-Elina Desma Gloria-
Sebulan setelah kepulangan mama dari rumah sakit, aku mulai merubah kebiasaan keluyuranku. Aku menghabiskan banyak waktu dirumah bersama mama.
Kami melakukan banyak hal bersama-sama seperti memasak bersama, olahraga bersama, berbelanja bersama dan banyak hal lainnya.
Aku bersyukur sekali mama tidak lama dirawat di rumah sakit. Dokter menyarankan mama untuk memulai hidup sehat dan mengatur pola makan dengan benar.
"Lin, lama banget sih dandannya." Ucap mama sambil berdecak.
"Bentar ma, Elin kan harus terlihat cantik. Kali aja ntar ketemu cowok ganteng." Ucapku dengan asal.
Kebiasaan berdebatku dengan mama memang tidak pernah berubah. Namun dengan cara itulah kami menunjukkan kasih sayang satu sama lain.
Mama mencibir. "Bilang aja mau terlihat cantik di depan Gavin." Sindir mama.
Aku dan mama memang mau kerumah Gavin. Sebenarnya aku malas ikut kesana. Tapi mau gimana lagi, mama ngotot minta ditemani.
"Mama ih. Ga jadi nemenin ni."
Mama tertawa."udah ah, ayo berangkat."
Mama keluar lebih dulu dari kamarku. Aku bercermin sekali lagi. Memastikan tidak ada yang aneh dengan penampilanku. Setelah itu baru menyusul mama yang sudah menungguku dibawah.
Perjalanan menuju rumah Gavin hanya membutuhkan waktu dua puluh menit saja. Aku memarkirkan mobil dihalaman rumah Gavin. Aku tidak menyangka rumahnya sebesar ini.
"Mama mau ngapain sih ma kesini ?" Tanyaku sambil mengikuti mama yang berjalan didepanku.
"Bawel kamu. Mama udah lama gak ngegosip sama tante Merlin."
Aku benar-benar terpaku sekarang. Jadi aku hanya akan menemani ibu-ibu bergosip ? Ya Tuhan, tenggelamkan saja aku di rawa-rawa sekarang.
Mama menekan bel, tidak lama terdengar suara langkah kaki dari dalam disusul dengan terbukanya pintu. Tante Merling langsung tersenyum sumringah saat melihat mama. Meteka berdua langsung berpelukan dan bercipika-cipiki.
Aku menyalami tante Merlin dengan hormat. Setelah itu mengikuti tante Merlin dan juga mama yang masuk kedalam.
Mama dan tante Merlin asyik mengobrol sambil makan cemilan. Aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan.
"Tante, Elim boleh duduk disana gak ?" Aku menunjuk kearah kolam renang. Disana terdapat kursi untuk bersantai dan juga tumbuh-tumbuhan yang lebih menyegarkan mata.
"Tentu boleh sayang. Pergilah, kamu pasti bosan sekali disini."
Aku tertawa kecil lalu mulai melangkah keluar. Kolam renang disini lumayan besar. Airnya yang jernih membuatku ingin berenang saja. Untunglah aku masih cukup waras untuk tidak menceburkan diri disini.
Aku menyandarkan badan dikursi santai yang ada disini. Mengambil ponsel dari kantong celanaku lalu mulai membuka aplikasi instagram. Aku memposting live story instagram. Manampilkan wajah bad mood serta sedikit pemandangan disini.
"Alay."
Suara datar seseorang yang sangat aku ingat sontak membuatku mengerucutkan bibir. Siapa lagi kalau bukan Gavin. Secara aku sedang berada dirumahnya sekarang.
"Udah gede masih aja alay. Malu sama umur." Ucapnya lagi sambil duduk disampingku.
"Alay juga gak ganggu kamu kan ? Gak usah resek deh."
"Jelas mengganggu karena kamu secara gak langsung udah ngejelasin ke orang-orang kalau kamu lagi ada di rumah aku sekarang."
"Kepedean banget sih. Gak akan ada yang tau juga kalau ini rumah kamu."
"Oh ya ? Coba cek lagi yang kamu posting barusan. Kalau mata kamu masih normal harusnya sih ngeliat kalau aku kerekam disana."
Aku kembali membuka akun instagram, melihat kembali live storyku. Benar saja, ada Gavin terekam saat aku mengambil pemandangan disini.
"See ?" Tanyanya meremehkanku.
"Ya udah sih sorry."
"Tante Ella mana ?" Tanya Gavin, mengabaikan permintaan maafku barusan.
"Ada di dalem."
"Aku mau keluar, ikut gak ?"
"Kemana ?"
"Kemana aja. Bosen disini."
"Boleh deh. Aku juga bosen."
Aku mengikuti Gavin masuk ke dalam, berpamitan kepada tante Merlin dan juga mama. Setelah itu keluar menuju garasi, dimana mobil Gavin terparkir.
Gavin mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan ada saja yang kami debatkan. Dia sama sekali tidak mau mengalah. Egois sekali.
Tiga puluh menit mutar-mutar tanpa arah dan tujuan mulai membuatku bosan.
"Vin, berhenti di taman itu yuk ? Beli ice cream." Aku menunjuk sebuah taman. Gavin tidak menjawab namun langsung memarkirkan mobilnya. Aku keluar mobil duluan, melangkah menuju penjual ice cream.
"Pak, ice cream rasa coklatnya satu dong." Ucapku kepada penjual ice cream.
Aku menoleh kebelakang, mendapati Gavin yang ternyata ikut turun menyusulku.
"Kamu mau ?" Tawarku.
"Boleh deh. Rasa strawberry ya."
Aku mengangguk, lalu menyebutkan pesanan Gavin kepada si penjual. Beberapa saat kemudian si penjual memberikan kedua ice cream untukku. Aku memberikan yang rasa strawberry kepada Gavin. Saat akan membayar, Gavin lebih dulu membayarnya kepada si penjual.
"Makasih." Ucapkku.
Gavin mengedikkan bahunya. Lalu berjalan menuju kursi panjang yang ada di taman. Aku mengikutinya dari belakang.
Aku duduk disamping Gavin sambil menikmati ice cream, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Banyak orang yang bersantai disini, ada yang bersama keluarga dan ada juga yang bersama pasangannya.
"Disini rame ya." Ucapku.
"Namanya juga taman, jelaslah rame. Kalo mau yang sepi ke kuburan sana."
Aku mendelik sebal. "Kamu kalo ngomong emang gitu ya ? Suka nyebelin."
"Kamu aja yang baperan."
Aku berdecak. Tidak membalas lagi. Lebih baik aku menikmati suasana disini dengan damai, ketimbang berdebat dengan makhluk dingin ini.
"Ice cream kamu enak ?"
Aku menoleh, menatap Gavin. Merasa tidak yakin apakah memang dia yang berbicara barusan.
"Kamu ngomong sama aku ?"
"Gak, sama pohon di samping kamu."
Aku tertawa pelan. "Gitu aja ngambek." Ucapku.
"Rasa coklat enak tau. Mau nyoba ?" Aku menyodorkan ice cream rasa coklat milikku.
"Kamu gak rabies kan ?"
Aku kembali berdecak sebal. Aku baru saja akan menarik kembali tanganku, namun Gavin lebih dulu menahannya.
"Becanda." Ucapnya lalu menyicip ice cream milikku.
"Biasa aja rasanya. Enakan juga rasa strawberry." Komentar Gavin.
"Enak aja. Coklat lebih enak daripada strawberry."
"Cicip sendiri." Dia menyodorkan ice cream miliknya. Aku dengan polosnya menyicip ice cream itu.
"Gak enak." Ucapku datar.
"Selera kamu ndeso."
Aku memukul pelan tangannya. "Sembarangan." Ketusku.
Setelah itu kami lanjutkan dengan mengobrol santai. Ternyata Gavin tidak sedingin yang kukira, buktinya sekarang kami menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol banyak hal sambil sesekali bercanda.
Bersambung~
Love me, please
Love me, please
-Elina Desma Gloria-
Ayu menyenggol lenganku dengan sikunya, membuat perhatianku terhadap dosen yang sedang mengajar teralihkan.
"Kenapa ?" Ucapku setengah berbisik.
"Itu Fajar kan ?" Ayu menunjuk arah jendela. Aku melihat ke arah dana. Benar saja, Fajar berdiri disana menggunakan seragam sekolahnya.
"Aku keluar bentar." Ucapku kepada Ayu dan Rissa.
Aku ijin sebentar kepada dosen lalu keluar dari kelas menemui Fajar yang terlihat sangat...tegang.
"Kenapa Jar ? Bukannya masih jam sekolah ?" Tanyaku langsung.
"Kita harus ke rumah sakit sekarang kak."
"Rumah sakit ? Ngapain ?" Tanyaku dengan bingung.
"Mama masuk rumah sakit."
Ucapan Fajar sukses membuat jantungku terasa berhenti berdetak.
"Jangan becanda !" Ucapku sedikit berteriak.
"Aku gak becanda kak. Mama kena serangan jantung. Papa udah di rumah sakit sekarang." Ucap Fajar dengan suara serak. Dia terlihat sedang berusaha menahan tangisnya.
"Tunggu sebentar. Kakak ijin dulu."
Aku buru-buru masuk ke kelas. Menemui dosen lalu meminta izin untuk ke rumah sakit sekarang juga. Setelah mendapat izin aku lalu mengambil tas di bangku yang tadi kududuki.
"Mama masuk rumah sakit." Ucapku kepada Ayu dan Rissa.
Setelah itu aku baru keluar dari kelas.
"Ayo cepetan."
Aku berlari di sepanjang lorong kampus menuju parkiran diikuti oleh Fajar dibelakang yang juga berlari dibelakangku. Fajar sempat meminta maaf kepada beberapa mahasiswa yang tidak sengaja kami senggol. Sungguh. Aku hanya ingin cepat berada di rumah sakit sekarang.
Fajar melajukan motornya dengan kendaraan sedang. Padahal aku sudah memintanya untuk mengendarai dengan cepat. Tapi dia tidak mau. Sepertinya akal sehatnya masih berfungsi dengan baik. Tidak seperti aku yang tidak bisa memikirkan apapun kecuali tentang mama.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung berlari menuju ruangan mama di rawat.
"Papa." Aku memanggil papa yang akan masuk ke ruangan lalu memeluknya dengan erat.
"Mama kenapa pa ?" Tanyaku langsung.
"Mama kena serangan jantung. Ayo ke dalam. Mama lagi istirahat sekarang. Dokter sudah menangani mama dengan baik."
Aku masuk kedalam bersama papa. Mama terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya. Aku mendekati ranjang mama lalu mengecup dahinya.
"Cepat sembuh ma." Ucapku pelan.
Papa merangkulku dari belakang. "Jangan sedih. Mama baik-baik aja. Dokter bilang tekanan darah mama tadi terlalu tinggi. Sekarang sudah mulai turun." Jelas papa.
Fajar masuk bersamaan dengan papa yang selesai menjelaskan. Sama sepertiku dia juga langsung mengecup dahi mama lalu mengucapkan kalimat "cepat sembuh ma."
***
Pukul sembilan lewat sepuluh menit. Aku menyandarkan badan disofa yang ada di ruangan mama di rawat. Papa pulang, aku menyuruh papa untuk mandi dan berganti pakaian. Sedangkan Fajar, dia lagi ke kantin yang ada di rumah sakit ini.
Suara pintu diketuk membuatku menoleh ke arah pintu bersamaan dengan masuknya Gavin.
"Hai." Sapanya pelan.
Aku tersenyum tipis. Dia mendekati ranjang mama lalu mengucapkan kalimat "cepat sembuh tante". Setelah itu dia memilih duduk di sebelahku.
"Sudah makan ?" Tanyanya pelan.
Aku menggeleng. "Aku tidak selera makan." Jawabku pelan.
Pandanganku lurus ke arah dimana mama terbaring lemah. Seharian ini aku benar-benar linglung. Rasanya dadaku sesak, tapi aku tidak tau bagaimana melampiaskannya.
Fajar masuk membawa sebotol minuman dingin rasa jeruk di tangannya lalu memberikannya kepadaku.
"Kak Gavin dari tadi ?" Tanyanya pada Gavin.
"Gak kok, baru aja dateng."
Gavin berdiri lalu mengulurkan tangannya kearahku. Aku menatapnya dengan dahi berkerut.
"Ayo ikut. Kamu butuh udara segar." Ucapnya pelan.
Aku berfikir sebentar lalu menerima uluran tangannya. Dia benar. Aku memang butuh udara segar sekarang.
"Jar, jagain mama." Pesanku krpada Fajar sebelum keluar.
Fajar mengangguk. "Kak Gavin, ajakin kak Elin makan juga sekalian. Dia belum makan dari tadi."
Gavin mengangguk lalu menarikku keluar dari ruangan mama.
Aku membiarkan Gavin membawaku entah kemana. Aku tidak punya tenaga untuk berdebat dengannya. Lagian Gavin yang bersamaku sekarang bukanlah Gavin yang menyebalkan seperti biasanya. Dia terlihat lebih pendiam, atau memang karena aku yang lagi tidak dalam mood untuk bicara banyak.
Gavin memberhentikan mobilnya disebuah taman. Dia keluar duluan lalu membukakan pintu mobil untukku.
"Turun." Perintahnya dengan lembut.
Aku menurut. Lagi-lagi dia menggandeng tanganku dan menarikku kesebuah kursi taman. Aku duduk disana dengan pandangan lurus ke depan. Gavin memilih duduk disamping kananku.
"Kamu bisa lepasin semuanya sekarang."
Aku menoleh. "Maksudnya ?" Tanyaku bingung.
"Semua yang kamu rasain. Aku tau kamu memendamnya. Aku bisa jadi pendengar yang baik."
Ucapan Gavin sukses membuat mataku berkaca-kaca. Perlahan-lahan air mata mulai menetes membasahi pipiku. Dadaku semakin sesak.
"Aku jarang ada dirumah." Ucapku memulai untuk menceritakan semuanya. "Aku lebih banyak menghabiskan waktu dikampus, nongkrong dikafe, main ke mall, jalan-jalan kemana saja bareng Ayu dan Rissa. Aku bahkan gak inget kapan terakhir kali cerita banyak sama mama, ngingetin mama makan, ngajakin mama olahraga, aku juga gak pernah tau kapan mama sakit karena mama memang gak pernah ngeluh. Aku takut Vin. Aku takut mama kenapa-napa. Aku nyesel sekarang kenapa aku gak ngabisin waktu di rumah aja sama mama." Ucapku sembari terisak.
Gavin memelukku dari samping, memaksa untuk menyandarkan kepalaku di dadanya. Aku menangis dipelukan Gavin tanpa malu.
"Tante Ella baik-baik aja. Dokter juga udah bilang kan kalau tidak ada yang serius." Ucapnya sambil mengelus kepalaku.
"Tetep aja aku takut. Aku lebih sering bikin mama kesal ketimbang ngebahagiain mama.
"Makanya jangan keluyuran terus. Anak gadis kok hobi keluyuran."
Aku memukul pelan dadanya. Sepertinya dia sudah kembali menjadi Gavin yang menyebalkan.
"Udah lebih tenangkan ? Sekarang ayo cari makan. Ngomongnya mau ngebahagiain tante Ella. Gimana mau ngebahagiain kalau sekarang aja gak mau makan."
Gavin melepaskan pelukannya yang langsung membuatku merasa...hampa. Dia berdiri lalu berjalan duluan. Gavin berhenti dan menoleh kebelakang saat merasa aku tidak mengikutinya.
"Kenapa masih duduk disana ?" Tanyanya.
"Tadi kan digandeng." Jawabku dengan polos.
"Gak usah ngarep ! Ayo cepetan, kalo enggak aku tinggal."
Gavin lanjut melangkahkan kakinya menuju mobil. Manusia dingin menyebalkan benar-benar telah kembali. Aku menghentakkan kaki lalu menyusulnya menuju mobil sambil menggerutu.
Tapi, walaupun Gavin akhirnya kembali menyebalkan. Aku tetap berterimakasih padanya. Karena dialah aku merasa lebih baik sekarang.
"Thank's Vin." Ucapku dalam hati.
Bersambung ~