"Lo ngapain sih ngirimin makanan buat gue mulu ? Gak cukup emang semua penolakan gue selama ini ?" Dio menatap tajam perempuan yang berdiri di depan meja kerjanya.
Dio tidak tau kenapa perempuan bernama Vela ini selalu mendatanginya di kantor saat jam makan siang begini, membawakan makanan, seolah mereka adalah sepasang kekasih. Dan itu sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir ini.
"Aku hanya ingin memastikan kamu makan dengan baik." Vela tersenyum sambil meletakkan kotak makanan yang di bawanya di atas meja.
"Hari ini aku masakin ayam kecap kesukaan kamu." Ucap Vela lagi, mengabaikan Dio yang mulai nampak jengah dengan keberadaannya.
"Gue gak minta lo buat masakin." Jawab Dio ketus.
"Aku tau." Vela tersenyum, menghela napas sebelum melanjutkan. "Aku suka melakukannya. Aku gak minta apa-apa sama kamu. Cukup terima dan makanlah, setelah itu aku akan pergi."
"Gue gak mau lo ada di sini. Keluar dari ruangan gue sekarang. Sebelum gue panggilin satpam buat ngusir lo."
"Baiklaah, aku pergi dulu. Selamat makan...Dio." Vela mencoba untuk tersenyum. Mengabaikan rasa sesak di dadanya.
Selama tiga bulan terakhir, dia mencoba untuk menerima semua penolakan Dio. Semua ini dia lakukan hanya karena satu alasan. Karena dia mencintai Dio.
Dio memijit pelipisnya setelah Vela keluar dari ruangannya. Entah kenapa melihat raut wajah sendu Vela membuat dadanya sedikit sesak. Keinginan untuk memeluk Vela pun hanya bisa di tepis keras olehnya.
Dio melirik kotak makanan yang ada di mejanya, Dio mengakui kalau masakan Vela memang enak, sangat enak malah di lidahnya. Seolah makanan itu memang hanya dimasak khusus untuk dirinya.
Dio tidak mengerti kenapa sulit sekali untuk bersikap baik kepada Vela, padahal perempuan itu tidak punya salah apapun terhadapnya.
Dio mengambil kotak makanan itu, lalu membukanya. Tanpa dia sadari seutas senyum terukir di wajahnya. Aroma bumbu ayam kecap langsung membuat cacing diperutnya meronta-ronta untuk diisi.
Dan lagi-lagi Dio dengan tidak tahu malunya menghabiskan makan siang yang diberikan oleh Vela.
***
Vela menyeruput jus jeruk yang tadi dipesannya, dia sedang berada di sebuah kafe tidak jauh dari kantor Dio. Sembari menunggu sahabatnya, Vela mencoba untuk melanjutkan tulisan yang belum diselesaikannya.
Vela adalah seorang penulis, walaupun bukan penulis terkenal, setidaknya masih banyak orang yang menikmati karyanya. Terbukti dengan larisnya beberapa novel yang pernah di terbitkan oleh penerbitnya.
"Pacaran sama lepi muluu". Nana, sahabatnya Vela langsung duduk dikursi yang berhadapan dengan Vela. "Sorry telat." Ucapnya lagi sambil nyengir.
"Lo emang selalu telat kan ? Jadi udah kebiasa gue." Vela menyimpan semua tulisannya, kemudian mematikan laptopnya. Dia tidak akan bisa lanjut menulis jika sedang bersama Nana.
Nana tertawa. "Tau aja lo. Maklum gue kan sibuk banget."
"Uu dasar sok sibuk." Vela mencibir.
"Btw gimana sama tawaran om gue ? Udah lo fikirin kan ?". Tanya Nana.
Vela mengedikkan bahunya. "Pesen minum ato makanan dulu gih. Baru dateng gak ada basa-basinya."
"Fine." Nana melambaikan tangannya memanggil seorang pelayan.
"Ada yang bisa saya bantu mbak ?" Pelayan itu tersenyum ramah.
"Saya pesen kentang goreng 1, sama jus mangganya 1 ya."
Pelayan itu mencatat pesanan Nana, lalu mengulang pesanannya. "Ada lagi mbak ?".
Nana menggeleng.
"Baiklah, mohon ditunggu sebentar. Permisi."
"Jadi gimana ?" Tanya Nana lagi, sesaat setelah pelayan itu meninggalkan mereka.
"Gimana apanya ?"
"Gak usah pura-pura bego." Nana mendengus. "Tawaran om gue gimana ?"
Vela menghela napas. Lalu menggeleng. "Gue bingung."
"Ini kesempatan bagus Ve, sayang banget gak di ambil."
"Gue gak bisa ninggalin Jakarta."
"Gak bisa ninggalin Jakarta, apa gak bisa ninggalin Dio ?" Nana menaikkan sebelah alisnya. "Singapore gak jauh kok, lo bisa pulang kapanpun lo mau kan ?"
"Guee...entahlaah...gue rasa gue gak bisa Na." Vela menunduk.
"Baiklah. Terserah lo. gue cuma pengen lo tau kalau gue bakalan tetap ada buat lo." Nana tersenyum. "Gue berharap banget lo bisa bahagia seperti dulu Ve."
"Thank's Na."
Vela dan Nana menghabiskan waktu dengan mengobrol tentang banyak hal, tapi mereka menghindari topik tentang Dio. Nana tidak mau Vela sedih dengan mengingat perlakuan Dio selama tiga bulan terakhir.
Dia berharap Vela bisa bahagia lagi seperti dulu, sebelum kejadian itu terjadi.
***
"Vee, lo yakin bakalan dateng ? Gue gak mau dia nyakitin elo di depan banyak orang nanti." Nana mencoba membujuk Vela untuk tidak datang ke acara ulang tahunnya Dio.
"Yakin dong. Udah deh Na, berhenti membuang energi untuk ngebujuk gue. Gue tetep bakalan dateng kesana dengan atau tanpa lo." Vela yang baru selesai mandi lalu mulai memilih pakaian yang akan dipakainya.
"Menurut lo ini gimana ?"
Vela memperlihatkan long dress lengan panjang berwarna hitam, dengan beberapa motif cantik di bagian leher sampai perut.
"Lo kayak mau ngelayat pake baju itu."
Vela mendengus.
"Cantik tau inii, pas banget biasanya di badan gue."
"Bodo. Yang lain please."
Vela berdecak. Namun memilih mengikuti omongan Nana. Membuka lebar lemarinya sambil memperhatikan satu-satu baju mana yang cocok di pakai.
"Ini gimana ?" Tanya Vela lagi memperlihatkan dress tanpa lengan yang jatuh tepat di atas lututnya. Warna merah dress itu akan terlihat sangat kontras dengan kulit putih Vela.
Nana menggeleng.
"Terlalu biasa."
"Ini warna favorit gue. Ini ajaa deeh." Rengek Vela.
"Lo harus tampil memukau malam ini. Kali aja itu bisa bikin Dio cepet sadar kan."
"Lo fikir Dio pingsan. Disuruh cepetan sadar." Gerutu Vela.
Nana mengabaikan gerutuan Vela, melangkah ke lemari kemudian memperhatikan satu-satu dress yang Vela punya.
"Naaah. Ini baru cantik." Nana mengambil satu dress yang terletak di bagian ujung. Terlihat sekali kalau dress itu jarang di pakai.
"What ? No no no. Gue gak mau pake dress itu." Vela bergidik ngeri.
"Kenapa ? Cantiik kok. Pasti pas banget deh di badan lo."
Nana meneliti dress yang sedang di pegangnya. Dress berwarna biru model kemben yang mungkin akan memperlihatkan sedikit aset Vela, ditambah dengan motif bunga-bunga yang membuatnya semakin terlihat hidup.
"Pokoknya engga."
"Lo harus pake ini. Percaya deh sama gue. Ya ya yaa."
Vela menghela napas pasrah.
"Oke fine."
"That's my girl. Ya udaah, cepetan ganti, habis itu gue bantuin lo dandan."
Dengan berat hati Vela berganti pakaian dengan dress yang di pilihkan Nana. Benar saja, dress itu sangat pas di badan Vela.
"Tuh kan pilihan gue bagus. Kalau si Dio gak sadar juga, lo pasti bakalan dapet cowok ganteng disana. You look so amazing beibii."
"Gak usah lebay."
Nana mendengus.
"Udaah sini. Gue dandanin. Lo tinggal terima beres. Gak usah protes."
Nana mulai merias wajah Vela, bukannya Vela tidak bisa merias wajah, hanya saja Nana lebih ahli dalam hal ini.
"Selesai." Nana menepuk tangannya. "Gue selalu seneng kalo ngerias lo."
"Karena cuma gue yang wajahnya mau di acak-acak sama lo."
Nana tertawa. "You know me so well beib." Dia mengedipkan sebelah matanya.
"Ayo berangkat."
Vela dan Nana berangkat menuju kediaman keluarga Dio. Rasa gugup mulai menghampiri Vela, bahkan saat dia masih di dalam taxi.
"Hei tenanglah."
Vela mengembuskan napasnya pelan-pelan.
***
Rumah keluarga Dio nampak ramai dari luar. Acaranya diadakan di tamannya yang luas di samping rumahnya. Melihat banyaknya tamu yang datang membuat nyali Vela menciut seketika.
Dia takut jika Dio bersikap seperti tiga bulan terakhir saat dia menemuinya. Selama ini Vela sanggup menahannya karena hanya dia yang melihat bagaimana penolakan Dio, tapi dia tidak bisa bersikap biasa-biasa saja jika Dio menolaknya atau membentaknya seperti biasanya jika di depan semua orang.
Vela dan Nana melangkahkan kakinya memasuki kediaman Dio. Mereka langsung berbaur dengan tamu lainnya yang sebagian besarnya memang dikenali oleh mereka.
"Sayaaang. Kamu dateng ?" Seorang wanita cantik paruh baya menghampiri Vela yang sedang ngobrol dengan tamu lainnya. Dia adalah Yasha, ibunya Dio.
"Eh haii mii." Vela menyalami wanita tersebut, lalu cipika cipiki seperti biasa mereka bertemu. "Mami apa kabar ?" Tanya Vela lagi.
"Mami baik sayang. Kamu baik-baik aja kan ?" Yasha menatap sendu ke arah Vela.
Vela mengangguk sambil tersenyum tipis.
"Maafin perbuatan kasar Dio ya nak, mami sedih ngeliat dia seperti itu. Benar-benar bukan dirinya."
"Gak papa mi, Vela baik-baik aja kok. Oh ya, Dio mana mi ? Vela belum ngeliat dia dari tadi."
"Mami gak tau nak, tadi dia pamit mau jemput temennya. Padahal sebentar lagi acaranya mau di mulai."
Vela hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan Yasha.
Hening beberapa saat, sosok yang mereka ceritakan datang dengan seorang wanita cantik yang bergelayut manja dilengannya. Vela seketika terpaku dengan apa yang dilihatnya.
Bagaimana bisa Dio datang dengan wanita itu ?
Jadi wanita itu yang tadi di jemputnya ?
"Dioo, darimana aja sih ? Tamu-tamu pada nanyain kamu. Masa yang ulang tahun gak ada." Yasha langsung memarahi Dio saat dia sudah berada di dekatnya.
"Dio jemput Andin dulu mi." Jawabnya.
"Ngapain di jemput segala, dateng sendiri kan bisa." Jawab Yasha dengan ketus.
"Mii..."
"Maaf tante, tadi Andin juga udah mau dateng sendiri kok, tapi Dio maksa mau jemput." Wanita bernama Andin mulai berbicara yang tidak di tanggapi oleh Yasha.
"Dioo, liat siapa yang dateng." Yasha menunjuk Vela yang dari tadi hanya diam di antara mereka. Dia tidak tau harus berbicara apa. Hatinya terasa sakit melihat bagaimana mesranya wanita itu menggandeng lengan Dio. Dia ingin sekali berada di posisi wanita itu.
"Hai Dio, selamat ulang tahun ya." Vela mengulurkan tangannya.
"Thank's" jawab Dio tanpa membalas uluran tangan Vela.
Vela hanya mampu tersenyum tipis melihat perlakuan Dio.
"Dio !! Gak sopan banget sih kamu." Omel Yasha.
"Apasiih mii. Lagian siapa sih yang ngundang dia."
"Mami yang ngundang dia, mami gak pernah ngajarin kamu buat gak sopan seperti itu."
"Dio gak suka dia ada disini. Mami tau gak sih dia itu wanita seperti apa ?"
"Apa maksud kamu ?" Tanya Yasha.
"Dia itu bukan wanita baik-baik mi, dia itu sama aja kayak wanita murahan diluar sana yang mau ngelakuin apa aja buat ngedapetin apa yang dia mau. Selama tiga bulan terakhir dia selalu dateng ke kantor Dio nganterin makan siang. Padahal Dio selalu nolak dia, tapi tetep aja dia dengan tidak tahu malunya dateng ke kantor Dio." Dio menatap tajam ke arah Vela.
Vela sontak ternganga mendengar kalimat itu dari Dio. Dia tidak percaya Dio mengatakan kata "wanita murahan" untuknya. Jadi semua yang telah dia lakukan tidak berarti apa-apa buat Dio. Seolah semua penolakan Dio belum cukup untuk menyakiti perasaannya.
"DIOO !!!!" Yasha membentak Dio.
"Puas lo ngebuat rusak acara gue ?" Dio bukannya berhenti malah semakin menyalahkan Vela. "Lo sengaja ya pake baju kurang bahan itu buat menarik perhatian gue ? Sorry, gue gak minat sama sekali sama tubuh lo. Lo semakin terlihat mu..."
PLAK.
Belum selesai Dio melanjutkan bicaranya, sebuah tamparan lebih dulu mendarat di pipinya.
"CUKUP DIO !! CUKUP !!!"
Vela berteriak setelah menampar Dio. Dia tidak sanggup lagi sekarang. Air mata sudah mengalir di pipinya. Dadanya terasa sesak sekali.
"Aku bener-bener CAPEK sekarang. Tadinya aku ingin memperjuangkan kita. Aku bahkan menerima semua penolakan kamu, kata-kata kasar kamu karena aku sayang sama kamu. Tapi sekarang, enggak lagi yo. Selamat. Kamu sukses bikin aku sakit sekarang." Vela lalu melepaskan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Lalu memaksa memberikannya kepada Dio.
"Aku rasa udah gak ada gunanya lagi aku make cincin ini sekarang. Aku berhenti yo. Berhenti jadi tunangan kamu, dan mungkin akan berhenti mencintai kamu."
Setelah mengatakan itu Vela meninggalkan Dio yang terlihat sangat shock dengan apa yang di dengarnya.
Tunangan ?
Vela adalah tunangannya ?
Kenapa dia tidak tau ?
Dio lalu menoleh ke arah ibunya yang sedang menangis terisak, dia semakin bingung sekarang.
"Mii, apa yang terjadi ? Apa maksud perkataannya ? Siapa dia mi ?" Dio mendesak ibunya dengan berbagai pertanyaan.
"Apakah itu benar ? Dia tunangan Dio ?" Dio kembali bertanya.
Yasha mengangguk sembari terisak.
"Kenapa Dio tidak tau ?"
"Hiks. Hiks..Karena kecelakaan yang terjadi sama kamu tiga bulan yang lalu sudah membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu yoo."
Yasha lalu memeluk Dio yang terlihat semakin tegang dan pucat. Dia hanya diam mematung, tidak membalas pelukan Yasha sedikitpun.
Satu hal yang dia tau, walaupun dia tidak mengingat semua tentang Vela, tapi dia tau bahwa Vela sangat mencintainya. Dan dia benar-benar menyesal telah menyakiti Vela selama ini.
*****
Tiga tahun kemudian
"Veeeee. Lo jadi berangkat besok pagi kan ?" Vela menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia tidak mau gendang telinganya pecah mendengar teriakan Nana.
"Astaga. Ini udah kesembilan kalinya lo nelpon gue nanyain keberangkatan gue ya. Gak percayaan banget sih."
Nana tergelak." Sorry beibii. Gue takut lo bohongin gue. Pokoknya lo harus pulang. Kalo enggak gue gak mau lagi sahabatan sama lo."
"Dih. Sok ngancem."
"Gue gak ngancem omong doang ya. Gue bakal buktiin omongan gue kalo sampe lo gak dateng. Trust me."
"Yaa..yaa.yaa... I know. Sekarang please biarin gue istirahat karena gue mesti bangun pagi-pagi. Okay ?"
"Ok beibii.. bye...see u tomorrow."
"Bye."
Vela mematikan ponselnya, lalu tersenyum tipis mengingat kebawelan Nana yang menyuruhnya untuk kembali ke Indonesia.
Setelah kejadian Dio menghina Vela habis-habisan di acara ulang tahun pria itu, besoknya Vela langsung berangkat ke Singapura. Dia menerima pekerjaan yang di tawarkan oleh omnya Nana. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi menahan semuanya dan memutuskan untuk pergi dari tempat yang penuh dengan kenangan indah bersama Dio.
Walaupun kadang akal sehat Vela mengingatkannya akan kondisi Dio yang amnesia sehingga melupakannya begitu saja. Tapi egonya selalu saja menang. Dia terlalu sakit mengingat hinaan yang dilontarkan Dio.
Tiga tahun. Selama itu Vela melarikan diri. Dia tidak pernah kembali ke Indonesia. Selalu saja ada alasan yang di berikan kepada orangtuanya. Beruntunglah Vela karena orangtuanya mengerti dengan apa yang di alami Vela.
Dan selama itu pula dia mencoba untuk melupakan Dio. Dia tidak pernah mencari tau bagaimana kabar Dio sekarang. Dia juga menutup semua akun media sosialnya.
***
Vela menghela napas berkali-kali, mencoba menenangkan dirinya dan mengusir rasa sesak yang mulai terasa di dadanya. Dia sedang berada di dalam sebuah taxi yang membawanya menuju rumah Nana.
Hari ini sahabatnya itu akan menikah, jadi dia memilih penerbangan pagi dari singapura. Tadinya dia berfikir dia telah siap untuk kembali ke Indonesia, namun hatinya tetap saja berkata lain. Rasanya masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Menyakitkan dan menyesakkan.
Tidak butuh waktu lama, taxi yang membawanya berhenti di depan rumah Nana. Melihat dari para tamu dan jam sekarang, sepertinya dia melewatkan akad nikahnya. Habislah dia diomeli oleh Nana nanti.
Velaa melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah Nana setelah membayar ongkos taxi yang dinaikinya.
"Veelaaaaaa." Seorang wanita paruh baya yang menggunakan kebaya warna putih langsung berteriak senang memanggilnya. Dia adalah Amora, Ibunya Nana.
"Heii mam. Mami apa kabar ?" Vela memeluk Amora.
"Mami baik. Mami seneng kamu datang. Nana bawel banget kamu gak dateng-dateng. Hampir aja dia ngemundurin jadwal akad nikahnya. Untung aja calon suaminya sabar banget."
Vela tertawa. "Dia selalu seperti itu mam. Vela jadi penasaran sama yang namanya Leo."
"Nanti malem pas resepsi kamu juga ketemu sayang. Sekarang mending kamu samperin Nana dulu dikamarnya."
"Oke deh mam. Vela ke atas dulu ya mam."
Vela lalu menaiki tangga menuju kamar Nana. Dia tidak habis fikir sahabatnya itu mau ngemundurin jadwal akad nikahnya demi menunggu dirinya.
"Surprise !!"
Vela membuka pintu kemudian melongokkan kepalanya ke dalam.
"Apaan sih lo. Gue gak kaget sama sekali. Aaah ya satu lagi. Lo telat. Gue sebel sama lo." Nana memalingkan wajahnya.
Vela tersenyum tipis sembari masuk ke dalam. Dia sudah mengira Nana akan ngambek seperti ini. Saat sudah berada di samping Nana, dia langsung memeluknya.
"Selamat ya sayaang. Akhirnya lo nikah juga. Bahagia terus ya. Kasih gue ponakan secepatnya."
Nana menangis dipelukan Vela.
"Kok malah nangis sih."
"Gue juga pengen elo nikah Ve. Gue pengen lo bahagia juga."
Vela tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Sebisa mungkin menahan agar air matanya tidak jatuh. Dia tidak ingin memperlihatkan kesedihannya. "Gue bahagia tau. Lo gak usah mikirin gue. Cukup doain yang terbaik aja buat gue."
Nana lalu membalas pelukan Vela. Mereka menghabiskan waktu untuk bercerita tentang kehidupan masing-masing tanpa membahas masalah Dio dulu sebelum resepsinya dilaksanakan malam nanti.
***
Vela memandang takjub sekaligus haru kepada kedua mempelai yang sedari tadi tampak tersenyum bahagia. Tidak pernah sekalipun senyum itu hilang dari wajah Nana maupun dari wajah Leo, suaminya.
Entah kapan Vela bisa merasakan apa yang sekarang dirasakan oleh Nana.
Semakin malam semakin banyak tamu yang datang menghadiri acara resepsinya. Vela merasa capek luar biasa karena dari tadi ikut menjadi bagian dari tuan rumah acara ini. Nana sama sekali tidak mengijinkannya untuk pulang.
Merasa haus, Vela bermaksud mengambil minuman yang disediakan di sepanjang meja prasmanan, namun kebaya dan kain songket yang dikenakannya membuat Vela sedikit kesulitan untuk berjalan.
Dengan berjalan hati-hati dan nampak anggun, akhirnya Vela mampu mencapai tempat dimana minuman berada. Saat akan mengambilnya, seseorang lebih dulu memberikannya untuk Vela.
Vela menoleh dan sontak terkejut. Namun dia cepat bersikap normal.
"Terimakasih." Ucap Vela, berusaha menutupi kegugupannya. Karena orang yang memberinya minum itu adalah Dio. Pria yang tidak bisa dilupakannya.
Dio mengangguk. Dia tidak mengalihkan pandangannya. Hanya memandang ke arah Vela.
Vela semakin salah tingkah dipandang seperti itu. Dia tidak tau harus berbuat apa. Dia tidak punya keberanian untuk berbasa-basi sebatas menanyakan kabar atau hanya sebatas ucapan say hello.
"Aku permisi dulu."
Vela memilih untuk menghindar dan pergi dari sana. Namun baru beberapa melangkah, Dio malah memegang tangannya.
Vela menoleh dan menatap Dio dengan bingung.
"Tiga tahun menghilang, dan sekarang kamu mau pergi begitu saja ?" Dio menatap tajam Vela.
"Maksud kamu ?"
Dio memejamkan matanya, menghela napas, lalu kembali menatap Vela.
"Kita harus bicara, tapi tidak disini."
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Kamu tidak mengenal aku bukan ? Jadi pergilah. Jangan membuang-buang waktumu." Vela memberikan senyum terbaiknya.
"Please..." Dio memohon. Raut wajahnya sontak berubah menjadi sendu. Sungguh, Vela tidak tega melihatnya.
Vela akhirnya mengangguk dan membiarkan saja Dio membawanya pergi dari rumah Nana.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah taman. Dio turun dari mobil, kemudian membukakan pintu sampingnya agar Vela turun.
Vela menurut, tapi dia hanya diam saja dari tadi. Dio pun juga tidak berbicara sepanjang perjalanan tadi. Hanya keheninganlah yang menjadi teman mereka.
Sampai di sebuah bangku taman, Dio menyuruh Vela duduk disana, melepaskan jas yang dipakainya kemudian memakaikannya kebadan Vela.
"Pakailah. Kamu pasti kedinginan hanya dengan memakai kebaya." Ucap Dio, sebelum Vela menolak memakai jasnya.
"Terimakasih." Lagi-lagi hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Vela.
"Kemana kamu selama ini ?"
Vela menoleh ke arah Dio. Lalu berdecak di dalam hati. Bisa-bisanya pria itu bertanya tanpa melihatnya. Pria itu malah menatap lurus ke depan.
"Aku tidak kemana-mana." Jawab Vela tanpa melihat Dio. Dia juga menatap lurus kedepan.
"Aku pasti sangat menyakitimu, hingga kamu pergi dan tidak pernah kembali."
"Bukan salahmu. Aku baik-baik saja."
Hening. Tidak ada satupun dari mereka yang bicara lagi. Vela berusaha mati-matian untuk tidak memeluk Dio. Sungguh, dia sangat merindukan Dio.
Entah berapa lama mereka berdiam diri, hingga akhirnya Vela mendengar suara Dio. Bukan berbicara kepadanya, melainkan bernyanyi. Vela sontak melihat Dio dengan tatapan tidak percaya.
Awalnya ku tak mengerti apa yang sedang kurasakan
Segalanya berubah dan rasa rindu itu pun ada
Sejak kau hadir di setiap malam di tidurku
Aku tahu sesuatu sedang terjadi padaku
Sudah sekian lama ku alami pedih putus cinta
Dan mulai terbiasa hidup sendiri tanpa asmara
Dan hadirmu membawa cinta sembuhkan lukaku
Kau berbeda dari yang ku kira
Aku jatuh cinta kepada dirinya
Sunguh sungguh cinta oh apa adanya
Tak pernah ku ragu namun tetap selalu menunggu
Sungguh aku jatuh cinta kepadanya
Coba-coba dengarkan apa yang ingin aku katakan
Yang selama ini sungguh telah lama terpendam
Aku tak percaya membuatku tak berdaya
Tuk ungkapkan apa yang kurasa
( Jatuh Cinta - Roulette )
Vela masih saja menatap Dio, jika tadi dia berusaha untuk tidak terlihat lemah di depan Dio, berbeda kenyataannya saat Dio menyanyikannya lagu tadi.
Vela sedang menatap Dio sambil menangis terisak-isak sekarang. Lagu itu adalah pertama kalinya lagu yang dinyanyikan Dio saat menyatakan perasaannya waktu mereka masih kuliah. Dan lagu itu juga masih sering dinyanyikan oleh Dio jika Vela menginginkannya.
Namun itu dulu sekali, saat Dio masih berstatuskan pacarnya, saat Dio memintanya untuk menjadi tunangannya, dan saat Dio masih mengingat semua tentangnya.
"Dio..." ucap Vela liriih.
Dio menatap Vela, kemudian menghapus air mata Vela dengan jemarinya.
"Jangan menangis." Ucap Dio yang nyaris seperti bisikan.
"Kamu...kamu..."
Vela tidak sanggup melanjutkan, dia malah semakin terisak. Dio langaung memeluk Vela yang semakin membuatnya menangis.
"Maaf...aku minta maaf. Aku udah nyakitin kamu. Maafin akuu." Ucap Dio sambil mengelus punggung Vela. Menenangkannya.
Tidak ada jawaban dari Vela, Dio membiarkan Vela menumpahkan air matanya. Berharap setelah ini Vela akan lebih tenang.
Setelah merasa lebih tenang Vela melepaskan diri dari pelukan Dio. Dio membantu Vela menghapus air matanya, lalu menggenggam jemari Vela.
"Vee...maaf. aku tau aku keterlaluan, sungguh, aku tidak pernah berniat untuk nyakitin kamu. Aku menyesal Ve. Harusnya aku enggak ngelakuin itu. Dan enggak seharusnya juga aku ngelupain kamu."
"Kamu...udah inget sama aku ?" Tanya Vela ragu-ragu.
Dio mengangguk.
Vela sontak memeluk Dio dengan erat. Sudah lama sekali rasanya dia tidak merasakan kenyamanan pelukan Dio.
"Jahat." Vela memukul dada Dio dengan tangannya. "Jangan pernah melupakan aku lagi. Aku mohon."
"Tidak akan. Maafin aku."
"Vee..."
"Yaa."
"Aku mau ngasih sesuatu sama kamu."
Vela melepaskan pelukannya. "Apa ?"
Dio membuka kancing atas kemejanya, kemudian membuka kalung yang melingkar di lehernya, lalu mengambil cincin yang menjadi liontin dari kalungnya.
"Ini milik kamu. Aku mohon jangan di buang lagi." Ucap Dio sambil menyelipkannya di jemari Vela. Cincin itu adalah cincin pertunangan mereka. Cincin yang pernah di kembalikan oleh Vela sebelum Vela meninggalkan Dio.
Vela mengangguk antusias. "Terimakasih Dioo..Aku mencintaimu." Ucapnya, lalu memeluk Dio kembali.
"Aku yang berterimakasih sayang. Terimakasih untuk semuanya. Aku juga mencintaimu. Sangat."
Vela tersenyum bahagia dipelukan Dio. Akhirnya penantian dia selama ini tidak sia-sia.
-End-
Only you
Don't hurt my heart
Keyla pov
Aku membereskan perlengkapanku saat berada di hotel. Setelah tadi malam melewati malam pertama yang menyedihkan, pagi ini aku memutuskan untuk pulang.
Semalam, setelah aku meninggalkan Kak Sammy berdua saja dengan Meisya, aku memilih untuk kembali ke kamar hotel dengan alasan pusing dan butuh istirahat.
Untunglah tidak ada yang curiga, kecuali kak Jordi yang menatapku seakan meminta penjelasan. Namun aku mengabaikannya. Aku benar-benar butuh menenangkan diri.
Setelah membersihkan diri, aku bergegas untuk tidur, lebih tepatnya untuk menghindari kak Sammy. Malas untuk mendengarkan apapun yang akan dijelaskannya.
Aku mengecek ponselku yang sejak acara kemarin ku biarkan begitu saja. Aku membaca pesan satu persatu, yang isinya dipenuhi oleh ucapan selamat yang kebanyakan dari teman-teman kampus.
Namun aku tidak menemukan pesan dari Kevin.
Kemana dia ?
Aku mencari contact Kevin, kemudian mengirimkan pesan padanya.
To : Kevin
Lo dimana ? Jahat banget gak dateng ke nikahan gue :(
Send.
Aku melirik kasur yang masih ditiduri oleh kak Sammy. Melihat kak Sammy membuat mood ku kembali rusak. Seketika ide itu muncul begitu saja di kepalaku. Aku berjalan mengendap-ngendap keluar kamar, membawa semua perlengkapanku. Bermaksud meninggalkan kak Sammy disini.
"Mau kemana ?"
Suara serak khas bangun tidur kak Sammy mengagetkanku yang nyaris saja memegang handle pintu. Aku mengatur debaran di jantungku. Bukan debaran jatuh cinta melainkan debaran kaget luar biasa.
Aku berdeham, membalikkan badan. Melihat kak Sammy sudah duduk di atas kasur dengan rambut acak-acakan. Namun tetap saja terlihat tampan. Bodoh.
"A..aaku mau sarapan."
Sial. Kenapa aku jadi gugup begini. Jelas sekali kalau aku berbohong.
"Sarapan ?" Salah satu alis kak Sammy terangkat.
"Iyaa, sarapan."
"Dengan membawa tas seberat itu ?"
Aku sontak menjatuhkan tas yang kupegang. "Enggak kok, aku emang mau letakin tasnya deket pintu, biar gak ketinggalan nanti." Ucapku berkilah.
Kak Sammy tertawa, lalu turun dari kasur.
Astaga.
Aku baru sadar kalau kak Sammy tidur tidak pake baju, hanya celana boxer yang melekat di tubuhnya. Aku menelan ludah, fokus melihat dada bidangnya. He's so hot.
"Wake up girl." Kak Sammy menepuk pelan kepalaku. Aku kaget, lalu menatap kak Sammy yang sudah berdiri di depanku. Sambil menyeringai.
"Kenapa ?" Tanyaku polos.
"Jangan menatap kakak seperti itu." Dia memiringkan wajahnya, kemudian berbisik di telingaku. "Air liur kamu hampir netes tuh." Kak Sammy lalu nyelonong ke kamar mandi.
Aku refleks mengelap bibirku yang ternyata tidak ada apa-apa.
Aku dikerjai ternyata.
"KAAK SAMMYYYY." teriakku. Benar-benar menyebalkan. Samar-samar aku mendengar kak Sammy terbahak-bahak di kamar mandi.
"Jangan pergi sebelum kakak selesai. Kita akan sarapan bersama." Ucap kak Sammy sedikit berteriak.
Aku mendengus kesal. Apa-apan dia. Jangan fikir aku sudah lupa ya sama apa yang dia lakukan semalam.
Aku menggerutu, tapi tetap saja menunggu kak Sammy selesai mandi di sofa sambil menonton tv.
5 menit kemudian kak Sammy keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih fresh. Dia juga sudah memakai pakaian lengkap.
"Cepet banget mandinya kak."
"Cuma mandi kan ? Ngapain lama-lama." Katanya , lalu memberikan gel ke rambutnya. Tidak perlu menggunakan sisir, kak Sammy merapikan rambutnya dengan jari-jarinya.
"Kamu mau sarapan dimana ?" Tanya kak Sammy.
"Aku mau pulang kak."
"Ya udah kalau gitu kita beli dijalan, terus bungkus. Terus makannya di apartemen kakak aja."
"Kak, aku mau pulang." Jelasku.
Kak Sammy menoleh, menatapku sambil menaikkan sebelah alisnya.
Aku berdeham. "Aku mau pulang ke rumah papa."
"Kamu mau sarapan disana ?"
Aku menggeleng.
"Aku mau tinggal di rumah papa aja."
Raut wajah kak Sammy seketika berubah, rahangnya mengeras. Terlihat sekali kalau dia sedang emosi. Dia memejamkan matanya. Lalu membukanya dan menatapku kembali.
"Maksud kamu apa ?"
"Aku fikir pernikahan kita enggak akan berhasil kak."
"Ini bahkan baru sehari. Bagaimana bisa kamu nyimpulin gitu ? Sudahlah, gak usah di bahas lagi."
"Aku gak mau jadi penghalang dua orang yang saling mencintai."
Kak Sammy menghela napas. Lalu memilih ikut duduk di sebelahku.
"Ini ada hubungannya dengan yang semalem ?" Tanya kak Sammy.
Aku diam. Berharap kak Sammy mengerti.
Kak Sammy memegang tanganku.
"Gak usah dengerin omongan dia. Pernikahan kita gak ada hubungannya sama dia. Semuanya bener-bener keinginan kakak."
Aku memalingkan wajahku. Berusaha menghilangkan perasaan kesal atas kejadian semalam. Perkataan wanita itu masih saja terngiang-ngiang di telingaku.
"Aaaah menyedihkan sekali." Gumam kak Sammy yang masih terdengar jelas olehku.
Aku menatapnya kembali. "Kenapa ?" Tanyaku.
"Hari pertama menjadi suami, kakak harus rela di cuekin sama istri kakak. Dia bahkan tidak mempercayai suaminya." Dia berdecak."benar-benar suami yang malang." Ucapnya dramatis.
Menggelikan sekali.
Aku berusaha menahan tawaku melihat bagaimana ekspresinya. Benar-benar konyol.
Sejak kapan dia menjelma jadi drama king gini ?
"Kenapa tertawa ?" Tanyanya.
"Aku engga ketawa kok."
"Oh iya. Engga ketawa, tapi nahan tawa." Dia memberengut. "Tuh kan malang, bukannya di baekin malah di ketawain." Ujarnya lagi.
Akhirnya tawaku pecah juga.
Aku masih saja tertawa sampai menahan sakit diperutku. Biasanya aku hanya melihat wajah datar kak Sammy, sesekali tersenyum. Jadi saat melihatnya dengan wajah konyol drama king nya, sulit sekali untuk tidak menertawakannya.
"Sudah selesai ?" Tanya kak Sammy.
"Apanya ?" Aku balik bertanya.
"Ketawanya."
Aku mengangguk. Namun masih menahan tawa.
Kak Sammy memegang tanganku lagi , mengelusnya, lalu menatapku.
"Maaf karena semalam meninggalkanmu, kakak tidak mau dia mengacaukan acara pernikahan kita, makanya semalam kakak menemuinya. Satu hal yang harus kamu ingat, kakak tidak akan pernah kembali kepadanya. Jadi, kakak mohon. Percayalah. Bukankah kunci suatu hubungan itu kepercayaan ?"
Aku mengangguk.
"Maaf sudah meragukan kakak." Ucapku pelan.
Kak Sammy lalu memelukku. "Tidak apa-apa. Lagian dia juga keterlaluan."
Aku tersenyum di balik punggungnya. Nyaman sekali rasanya berada di pelukan kak Sammy.
"Jadi sekarang kita sarapan dimana ?" Tanya kak Sammy setelah melepaskan pelukannya.
"Hmmm. Bubur ayam yang di dekat kantor kak Sammy aja yuk."
"Kamu sering makan disana ?"
"Engga, sesekali ajaa."
"Ya udah kalau gitu. Ayok."
***