Cristabel, biasa dipanggil Abel baru saja diterima di salah satu perguruan tinggi swasta. Dan hari ini adalah hari pertama ospek bagi mahasiswa baru. Dari kemarin dia sudah menyiapkan apa saja yang harus di bawa, mulai dari topi caping, tas dari kantong kresek berwarna merah putih sampe aksesoris kalung yang terbuat dari kombinasi berbagai permen bertangkai.
"Maa, paa, Abel berangkat yaa." Abel pamit kepada kedua orangtuanya. Dia sudah menghabiskan sarapan yang disiapkan oleh mamanya. Dia menghampiri mamanya untuk salim, lalu dilanjutkan dengan salim sama papanya.
"Hati-hati dijalan sayang. Kalau udah selesai langsung telepon Pak Ujang aja, biar langsung dijemput." Manda, mamanya Abel menasehati. Dia tau Abel tidak akan bisa pulang tanpa di jemput Pak Ujang, sopir keluarga mereka. Abel sudah terbiasa kemana-mana di antar sopir, dan itu membuatnya belum bisa mandiri di usianya yang menginjak 18 tahun.
"Okee maa."
Abel melangkahkan kaki keluar dari rumah, lalu masuk ke mobil. Dan sekarang dia siap untuk menjalani kegiatan ospek nanti. Dia berharap bisa menemukan seorang teman di hari pertama nanti.
***
"Heh kamu..sini !!"
Seorang senior wanita panitia ospek memanggil Abel untuk maju ke depan, setelah tadi teman-teman lainnya disuruh maju. Dan yang akan di lakukan Abel adalah memakan permen bertangkai yang tadi telah di makan bergilir oleh mahasiswa baru lainnya.
Abel mulai merasa mual membayangkan akan memakannya. Sungguh, dia tidak pernah melakukan ini, ditambah lagi dia termasuk orang yang menyukai sesuatu yang menurutnya sudah bersih.
"MAKAN INI !!" Perintah senior tersebut dengan bentakan khas ospek.
"Tapi kak..." Ucap Abel ragu.
"APAA ?? GAK USAH BELAGU DEH. CEPETAN MAKAN.!"
Abel memanyunkan bibirnya, kebiasaan yang sulit di hilangkan. Dia menghela napasnya, mengambil permen tersebut lalu mengamatinya.
Astaga.
Dia tidak akan sanggup memakannya. Tapi dia harus melakukannya juga bukan ? Abel mulai memejamkan matanya, mencoba mengusir fikiran-fikiran yang makin membuat perutnya mual.
"Tunggu...gue rasa sekarang waktunya istirahat. Kalian semua boleh istirahat." Suara seorang senior pria menghentikan aksi Abel, dia sontak menoleh ke asal suara. Tampan. Itulah penilaian Abel pertama kali terhadap senior tersebut.
Bukannya ikut bubar seperti mahasiswa lainnya, Abel justru hanya diam ditempatnya sambil menatap senior itu. Dia tidak menyadari keadaan sekitar yang telah sepi.
"Sampai kapan kamu berdiri di situ ? Atau kamu memang mau mencoba rasa permennya ?" Pria itu menggoda Abel yang seketika tersadar akan kekonyolannya. Dia malu sekali.
"Aa...eeh...makasih kak." Ucap Abel tergagap.
"Makasih buat ?"
"Udah nyelamatin aku tadi, aku gak suka sama permen ini." Abel membuang permen tersebut ke tong sampah terdekat.
Pria itu tertawa. "Mana ada yang suka permen bergilir itu. Sudahlah, aku hanya tidak mau kamu muntah-muntah kalau memakannya."
"Sekali lagi terimakasih kak."
"Baiklah, aku pergi dulu." Pria itu baru berjalan beberapa langkah saat Abel memanggilnya kembali.
"Ehm..kak..."
Pria itu berbalik. " yaa ?"
"Boleh aku tau nama kakak ?"
Pria itu tersenyum. "Jovan."
Setelah menyebutkan namanya, Jovan pergi dari sana. Meninggalkan Abel yang tersenyum bahagia. Hari pertama sudah bertemu pangeran tampan ? What a perfect day !.
***
Tiga bulan kemudian.
"Bel, lo udah ngerjain tugas dari Mr. Jack belum ?" Faya, teman kuliah Abel bertanya sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Mereka baru saja menyelesaikan salah satu matakuliah.
"Belum, aku baru mau ke perpus habis ini. Kamu mau ikut ?" Tawar Abel kepada Faya. Abel memang tidak biasa menggunakan kata "lo-gue" kepada siapapun. Jadi walaupun lawan bicaranya menggunakan kata itu, dia tetap akan membalasnya dengan kata "aku-kamu".
"Yaaah. Gue ada janji sama gebetan baru. Lo sendiri aja deh."
"Oke deh."
Abel melangkahkan kakinya menuju perpustakaan. Kalau bukan karena tugasnya yang akan di kumpulkan besok, Abel akan memilih untuk menunda mengerjakannya.
Sesampainya di perpustakaan Abel langsung mencari buku yang diperlukan dalam pengerjaan tugasnya.
"Ya ampun, kenapa letak bukunya tinggi banget sih." Abel menggerutu sendiri. Dia kesal karena buku yang dicarinya terletak pada rak paling atas. Dengan tinggi badan yang tidak seberapa membuat Abel tidak mampu mengambil buku itu. Abel mencoba melompat-lompat untuk menjangkaunya. Namun hasilnya tetap saja nihil.
"Lain kali kalo gak nyampe itu minta tolong." Suara seorang pria mengagetkan Abel dari aksi lompat-lompatnya. Abel sontak menoleh ke arah orang itu.
Malu !
Itulah yang di rasakannya sekarang. Pria itu menyodorkan buku yang di ambil oleh Abel tadi. Abel mengambilnya sambil menunduk. Malu.
"Makasih kak."
"Sama-sama. Ada lagi buku yang mau kamu ambil ?"
"Eeh..engga kak. Ini aja. Kak Jo mau ngapain ?" Tanya Abel. Ya, pria yang menolongnya adalah Jovan. Pangeran berkuda putih versi dirinya. Cinta pandangan pertama yang dirasakannya kepada Jovan tiga bulan yang lalu membuat Abel gugup berada di dekat Jovan. Dan ini kali keduanya dia bisa berdekatan dengan Jovan kembali.
"Tadi kakak nemenin temen terus ngeliatin kamu lompat-lompat gitu." Jovan berdecak. "Kakak baru tau kalau kamu sependek itu." Lanjutnya lagi sambil tertawa.
Abel mengerucutkan bibirnya. "Gak usah dijelasin kali kak."
Jovan tertawa lagi. "Oh iya, bukunya buat ngerjain tugas dari Mr. Jack ya ?"
"Loh kok kakak tau ?"
Jovan mengedikkan bahunya. "Kakak pernah ngerjain tugas ini juga pas semester awal. Ternyata tugas ini dikasih juga ke kamu."
"Mr. Jack nyeremin banget. Ngasih tugasnya gak tanggung-tanggung. Bikin pusing."
"Mau kakak bantuin ?" Tawar Jovan.
Mata Abel berbinar seketika. "Beneran kak ?" Tanyanya tanpa menutupi rasa bahagianya.
"Tentu sajaa. Tugasnya buat kapan ?"
"Besok kak."
"Ya udah, kerjain sekarang aja." Ajak Jovan. Baru akan melangkah dia menepuk jidatnya.
"Kenapa kak ?" Tanya Abel bingung.
"Nama kamu siapa ? Kakak gak tau nama kamu."
Pipi Abel bersemu seketika. "Cristabel kak. Panggil Abel aja."
"Oke Cristabel. Ayo."
Abel benar-benar bahagia hari ini. Setelah tiga bulan hanya bisa melihat dari jauh pangeran berkuda putihnya. Akhirnya sekarang dia bisa berdekatan dengan Jovan lagi. Walaupun pria itu cuma membantunya dalam mengerjakan tugas. Kalau begini caranya, Abel rela diberi tugas sebanyak apapun. Asalkan dia bisa menghabiskan waktu bersama pangeran berkuda putihnya.
***
Satu tahun kemudian.
Abel memandangi Jovan yang sibuk menggiring bola, mencoba untuk memasukkannya ke gawang lawan dan seperti biasanya, Jovan dengan mudah membobol gawang lawan.
"Yeiii... Kak Jo hebat. Semangat kak Jo." Abel berteriak sambil bertepuk tangan di kursi panjang yang terdapat diluar lapangan futsal.
Hari ini dia ikut menemani Jovan bermain futsal. Sejak Jovan mengajarinya mengerjakan tugas dari Mr. Jack setahun yang lalu, mereka menjadi sangat akrab.
Abel bahkan sudah tidak segugup saat mereka belum dekat, walaupun dia sering sekali tersipu dengan sikap Jovan terhadapnya. Abel tidak tau apakah Jovan mempunyai perasaan lebih atau tidak kepadanya. Dia juga tidak mau menerka-nerka. Baginya, bisa berada di samping Jovan sudah sangat membuatnya bahagia.
Sedangkan perasaannya terhadap Jovan. Jangan ditanya lagi. Dia semakin mencintai Jovan. Ditambah lagi dengan sikap pria itu terhadapnya. Jovan selalu memperlakukannya dengan baik, tak jarang juga orang yang menanyakan tentang hubungan mereka.
Sayangnya selama setahun dekat, tidak ada hubungan spesial yang terjadi di antara mereka. Jovan seolah menghindar jika Abel sudah menyinggung soal perasaan.
Pernah suatu ketika Abel menanyakan kenapa Jovan tidak mau pacaran ?. Dan pria itu dengan mantap menjawab kalau pacaran hanya membuang waktu. Jika dia mencintai seseorang, maka dia akan langsung melamarnya saja. Tentu saja setelah dia mapan nanti.
Sejak saat itu, Abel mencoba untuk mengontrol perasaannya saat bersama Jovan. Jangan sampai dia mengungkapkan perasaannya, karena dia sudah tau apa yang akan di dapatkannya jika itu terjadi.
"Hehh. Malah bengong. Mikirin apa sih ?" Tanya Jovan, sedari tadi dia memperhatikan Abel yang terlihat sedang melamun. Dia memutuskan untuk istirahat dan menghampiri Abel.
"Looh. Kak Jovan gak main lagi ?"
Jovan menggeleng. "Capek." Ucapnya. Setelah itu dia mengambil air mineral yang dipegang oleh Abel, lantas meminumnya hingga menyisakan sedikit air saja.
"Kamu mikirin apa dari tadi ?"
"Enggak mikirin apa-apa kok."
"Yakiiin ?"
Abel mengangguk sambil tersenyum. "Kak, habis ini kita langsung pulang ?"
"Makan dulu mau gak ? Kakak laper."
"Boleh deh, aku juga udah ngabarin mama kalo pulangnya agak telat dikit."
"Anak mamaaa." Jovan mengacak rambut Abel sambil tersenyum mengejek.
"Iya lah anak mama, emang kakak bukan anak mama ? Anak hantu ?" Gerutunya.
Jovan tertawa terbahak-bahak. "Lucu banget sih kalo lagi cemberut gitu. Sini peluuuuk dulu." Ucap Jovan lalu memeluk Abel.
"Iihh kaaak, jangan peluk-peluk. Bau keringat tauu."
"Siapa ya yang biasanya suka meluk kenceng banget di atas motor kalo kakak habis ngefutsal ? Mana bilang suka bau keringat kakak lagi." Ucap Jovan menyindir Abel.
Abel sejujurnya memang suka memeluk Jovan, apalagi kalau dia habis main futsal gini. Tapi tidak saat banyak orang seperti ini. Dia malu di liatin orang-orang.
"Apaan siih." Ucap Abel lalu memalingkan wajahnya. Dia tidak mau Jovan melihat pipinya yang pasti sedang memerah karena malu.
Jovan lagi-lagi hanya tertawa melihat tingkah menggemaskan Abel.
***
Beberapa bulan kemudian.
Hari ini Jovan akan di wisuda, sedangkan Abel masih berada di semester 4. Itu berarti masih ada 4 semester lagi baginya agar bisa menyelesaikan S1 nya.
Dan hari ini juga, tepatnya nanti malam Abel akan menyatakan perasaannya. Dia tidak bisa menjamin kedekatan mereka selepas Jovan wisuda. Jadi sebelum Jovan melanjutkan hidupnya, Abel ingin Jovan mengetahui bagaimana perasaannya. Entah akan diterima atau tidak, Abel hanya ingin Jovan tau apa yang di rasakannya selama ini.
Namun sebelum itu, Abel harus menghadiri acara wisudanya Jovan. Dia sudah berdandan mulai dari satu jam yang lalu. Dan sekarang dia sudah siap untuk berangkat.
Tidak butuh waktu lama, Abel sekarang sudah berada di kampus. Sepertinya acara wisudanya sudah selesai, dan sekarang waktunya Abel mencari dimana keberadaan Jovan.
Banyaknya orang yang berlalu lalang membuat Abel kesulitan mencari Jovan. Ponsel Jovan juga tidak aktif. Hampir saja dia menyerah dan memutuskan untuk pulang, hingga akhirnya dia menemukan Jovan sedang mengambil beberapa foto bersama teman-temannya.
Dengan semangat Abel melangkah menghampiri Jovan.
"Haii kak. Happy graduation ya." Ucap Abel saat sudah berada di dekat Jovan. Jovan lalu menghindar dari teman-temannya untuk menghampiri Abel.
"Haii. Udah dari tadi ?" Tanya Jovan.
"Lumayan deh kak. Aku muter-muter nyariin kakak."
"Kasian." Jovan mengacak pelan rambut Abel.
"Ooh iyaa, ini buat kakak." Abel memberikan sebuat kotak yang sudah dibungkusnya dengan kertas kado.
"Apa ini ?"
"Rahasia dong. Kakak buka nanti aja."
"Baiklaah, terimakasih Cristabel." Goda Jovan. Dia senang sekali memanggil nama Abel dengan lengkap.
"Oh iyaa, nanti malam kamu jadi ikut kakak ?" Tanya Jovan lagi.
Abel mengangguk. "Tapi aku gak ganggu kan kak ?"
"Engga dong. Kan kamu datengnya sama kakak."
"Oke deh."
***
Malamnya, Abel dan Jovan sudah berada disebuah cafe di tepi pantai. Malam ini Jovan dan teman-temannya mengadakan sedikit pesta untuk merayakan kelulusan mereka, dan Abel bahagia sekali bisa ikut serta sebagai pasangan Jovan. Ya, setidaknya itulah yang difikirkan Abel.
"Kamu mau minum apa ?" Tanya Jovan.
"Jus jeruk aja kak."
"Oke, kamu tunggu disini sebentar yaa."
Abel mengangguk. Membiarkan Jovan pergi mengambilkan minum untuknya. Dia menghela napas sesekali untuk mengusir kegugupannya. Dia sedang menyiapkan keberanian untuk mengutarakan perasaannya.
Satu jam berlalu, Jovan masih saja belum kembali. Abel mulai resah ditempatnya. Dia mencoba menghubungi ponsel Jovan, tapi tidak ada jawaban. Abel pun memutuskan untuk mencari Jovan.
"Kak Ray, maaf, kakak ngeliat kak Jo gak ?" Tanya Abel kepada Ray, salah satu teman Jovan yang di kenalnya.
"Kayaknya dia kepantai deh sama Farah, emang ada apa ?"
"Oh. Gak papa kak. Aku kesana dulu deh. Makasih kak."
Setelah itu Abel melangkahkan kaki menuju pantai, tempat dimana Jovan berada.
Abel mencari-cari Jovan di keremangan malam dan ditengah-tengah beberapa pasangan yang sedang bermesraan. Dan akhirnya sesuatu yang tidak pernah ingin dilihat ataupun di bayangkan oleh Abel terjadi.
Disana, tepat di pinggir pantai, Abel melihat Jovan sedang berciuman dengan Farah. Mereka terlihat sangat menikmatinya. Abel sontak memegang dadanya. Rasa sesak mulai menjalar disana.
Hatinya hancur. Air matanya jatuh begitu saja, tanpa bisa di cegahnya. Akhirnya Abel memutuskan untuk meninggalkan dua sejoli itu. Cukup sudah semuanya. Abel kalah. Bahkan sebelum menyatakan perasaannya.
***
Tiga tahun kemudian.
"Bel, lo udah nyiapin berkas-berkas buat meeting nanti kan ?"
"Udah. Bawel banget sih."
"Bukannya bawel. Klien kita yang satu ini penting banget tau buat kelangsungan perusahaan."
"Iya-iyaa. Tenang aja. Udah aah, gue mau lanjut kerja."
Abel melangkahkan kaki keluar dari ruangan atasannya, yang juga berstatuskan sepupunya. Setelah lulus setahun yang lalu, Abel langsung bekerja di perusahaan sepupunya yang bernama Daniel sebagai sekretarisnya.
Sejak kejadian tiga tahun yang lalu, dimana Abel memergoki Jovan berciuman. Dia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan pria itu. Bahkan Jovan pun tidak berusaha untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Hubungan mereka kandas bahkan sebelum dimulai. Abel merutuki dirinya yang begitu mudah mencintai Jovan. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya, dia masih saja mencintai pria itu.
Dia merasa sangat bodoh. Bodoh karena mencintai Jovan begitu dalam. Hingga dia tidak punya cara untuk keluar dari sana.
"Bel, ayo berangkat. Meetingnya setengah jam lagi kan ?" Suara Daniel mengembalikan kesadaran Abel dari masalalunya.
"Oke."
Abel dan Daniel berangkat menuju sebuah restoran yang sudah di tentukan oleh klien mereka. Abel sebenarnya tidak suka dengan meeting diluar seperti ini. Membuang-buang waktu saja. Karena mereka harus bolak-balik ke kantor.
Sesampainya di restoran, Daniel dan Abel langsung memasuki sebuah ruangan private yang di sediakan restoran tersebut. Seorang pria dengan penampilan sangat rapi menyambut mereka.
"Selamat datang Pak Daniel dan nona Abel. Perkenalkan saya Bara, atasan saya sebentar lagi akan sampai. Maaf membuat anda menunggu." Pria bernama Bara itu bersalaman dengan Daniel dan Abel.
Mereka bertiga lalu duduk membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan sembari menunggu atasan Bara. Percakapan mereka terhenti saat seseorang masuk ke ruangan itu.
"Maaf, saya terlambat." Ucap pria itu.
Abel yang merasa kenal suara itu sontak menoleh dan jantungnya serasa berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Dia tidak menyangka pria yang memiliki tempat dihatinya selama ini sekarang berdiri di hadapannya.
Beruntung Abel mampu menutupi keterkejutannya. Dia tidak mau lagi bertingkah bodoh. Dia ingin menunjukan kepada pria ini bahwa hidupnya baik-baik saja.
"Tidak masalah Pak Jovan. Kami juga baru saja datang. Saya Daniel." Ucap Daniel memperkenalkan diri.
"Jovan. Panggil nama saja. Saya merasa sangat tua jika dipanggil dengan embel-embel 'pak'." Selorohnya.
"Ah baiklah, dan perkenalkan ini sekretaris saya. Namanya Abel."
Jovan mengulurkan tangannya kepada Abel yang disambut Abel dengan profesional. Dia tidak terlihat gugup sama sekali.
"Long time no see you, Cristabel." Jovan tersenyum, Abel melotot tidak percaya. Bisa-bisanya pria ini memanggil nama lengkapnya saat seperti ini. Saat dia berusaha mati-matian untuk bersikap seolah-olah tidak saling kenal.
"Nice to meet you, PAK Jovan." Abel memberikan senyuman yang terlihat sangat dipaksakan. Dia juga menekankan kata "pak" seolah menegaskan bagaimana hubungan mereka saat ini.
"Kalian sudah saling kenal ?" Tanya Daniel yang kebingungan dengan situasi ini.
"Ya begitulah. Bukan begitu Cristabel ?"
"Dia hanya seniorku waktu kuliah dulu niel". Jelas Abel.
"Hanya ?" Jovan menaikkan sebelah alisnya.
"Saya rasa tujuan kita kesini untuk membahas masalah pekerjaan. Bisa kita mulai sekarang ?" Ujar Abel, mengalihkan pembicaraan.
Beruntunglah Daniel juga menyetujui apa yang dikatakannya. Akhirnya pertemuan itu dilanjutkan sebagaimana mestinya. Walaupun sering kali Jovan menatap Abel dengan tajam. Namun Abel mengabaikannya. Bertemu kembali dengan Jovan telah membuka luka lama yang ingin dilupakannya.
Selesai meeting, Jovan meminta waktu untuk berbicara berdua saja dengan Abel yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Abel. Namun Jovan tidak menyerah begitu saja. Dengan sedikit pemaksaan akhirnya Abel memberinya waktu lima menit. Ya, lima menit saja. Dan hingga semenit berlalu tidak satupun dari mereka yang berbicara.
"Kak Jo mau ngomong apa sih sebenarnya ?" Ucap Abel dengan kesal. Dia bahkan tidak sadar sudah memanggil Jovan dengan panggilan kak Jo seperti dulu.
Jovan tersenyum sumringah. "Akhirnya kamu mau manggil kak Jo lagi."
Wajah Abel merah padam. Antara marah, kesal dan juga malu. Dia memalingkan wajahnya.
"Kamu sudah punya pacar ?" Tanya Jovan.
Abel mengernyit. "Bukan urusan kakak." Jawab Abel ketus.
Jovan menghela napas. "Apa susahnya sih ngejawab. Gak usah pake urat juga bisa kan ?"
"Terserah aku dong mau ngejawab apa enggak. Mau pake urat kek, enggak kek. Sama sekali bukan urusan kakak."
Bukannya tersinggung Jovan malah tersenyum.
"Ngapain senyum-senyum ?"
"Gak papa sih. Kakak gak nyangka kamu berubah jadi singa betina gini."
"APA ? SINGA BETINA ?" dengan kesal Abel berdiri dari duduknya kemudian memukuli Jovan dengan tangannya. Dia benar-benar kesal dengan pria ini. "Dasar menyebalkan ! Rasakan ini !!" Ucap Abel. Masih dengan pukulan-pukulannya.
Jovan sontak berdiri menerima pukulan-pukulan dari Abel. Yaah walaupun pukulan itu sama sekali tidak terasa sakit olehnya. "Heii. Hentikan." Tegur Jovan.
Abel mengabaikan ucapan Jovan. Dia semakin melampiaskan apa yang di rasakannya selama ini. Tahu bahwa usahanya akan sia-sia, Jovan memegang kedua pergelangan tangan Abel, lalu memeluk Abel dengan erat.
Tubuh Abel menegang dipelukan Jovan. Sungguh dia merindukan pria ini, merindukan hangatnya pelukannya, dan merindukan kebersamaan mereka dulu.
"Maaf." Bisik Jovan.
Air mata Abel menetes bersamaan dengan permintaan maaf dari Jovan. Dulu, kata itu sangat ingin di dengarkan olehnya. Namun tidak lagi sekarang. Kata itu tidak berarti apa-apa lagi.
Abel melepaskan diri dari pelukan Jovan dengan paksa. Ingatan tentang kejadian tiga tahun yang lalu membuatnya kembali kepada kenyataan bahwa Jovan tidak pernah mencintainya.
"Aku harus pergi. Permisi."
Abel meninggalkan Jovan yang terpaku disana. Dia benci menjadi lemah karena Jovan.
***
Seminggu berlalu sejak pertemuan terakhir Abel dengan Jovan. Dia menghindari setiap meeting dengan berbagai alasan. Syukurlah sepertinya Daniel mengetahui gelagatnya yang menghindari Jovan.
Namun seminggu diabaikan oleh Abel, Jovan malah semakin gencar mendekatinya melalui kiriman-kiriman bunga yang dikirimkannya.
Disetiap bunga yang dikirimkan dia pasti selalu menyelipkan kata maaf pada kartu ucapannya. Entah apa maksud semua itu.
Awalnya Abel mengabaikan saja setiap bunga yang dikirim. Namun lama-lama dia geram juga. Ini bahkan sudah seminggu dan pria itu masih saja mengganggunya.
Tidak mau terus-terusan di permainkan Abel memutuskan untuk menemui Jovan hari ini. Dia geram dengan sikap Jovan yang seolah-olah mencintainya namun kenyataannya pria itu mencium wanita lain di depannya.
"Niel, Gue ijin keluar sebentar yaa. Gak papa kan ?" Pinta Abel kepada Daniel, atasannya sekaligus sepupunya.
"Mau kemana ?"
"Ada urusan. Sebentar aja kok."
"Ya udah. Hati-hati ya."
Abel mengangguk, lalu keluar dari ruangan Daniel. Dia mengambil tasnya kemudian berjalan menuju lift. Saat lift yang membawanya sudah sampai di lantai dasar, Abel langsung melangkah keluar dan mencari taxi. Setelah itu dia berangkat menuju kantor Jovan.
Tiga puluh menit kemudian taxi yang ditumpangi Abel sampai di depan kantornya Jovan. Setelah membayar ongkos taxi dia lalu melangkah memasuki kantor.
Saat di loby kantor, Abel berpapasan dengan Ray, teman kuliah Jovan. Ray tidak sendirian, dia bersama seorang wanita disampingnya. Wanita itu adalah wanita yang mengingatkan akan luka hatinya tiga tahun yang lalu.
"Ck. Jadi dia kerja disini juga. Sungguh pasangan yang romantis." Batin Abel.
"Heii. Kamu Abel kan ?" Sapa Ray.
Abel yang disapa pun lalu berhenti dan menoleh. Lalu tersenyum ramah.
"Hei kak. Kak Ray apa kabar ?"
"Baik. Kamu mau nemuin Jovan ?"
Abel mengangguk.
"Jadi akhirnya kalian memutuskan untuk pacaran ?" Goda Ray.
Abel mengernyitkan dahinya. "Pacaran ? Kami gak pernah pacaran kok. Kami bahkan lost contact selama tiga tahun terakhir." Aku Abel. "Bukannya kak Farah yang pacaran sama kak Jovan ?" Tanya Abel kepada Farah. Wanita yang disamping Ray itu adalah Farah.
"Farah ?" Ray tertawa. Lalu merangkul Farah. "Farah ini pacar aku Bel, bukan Jovan." Farah tersenyum sambil mengangguk.
"Maaf kak. Aku kirain kak Jovan sama kak Farah pacaran, soalnya aku pernah ngeliat mereka dipantai berdua saat malam perayaan kelulusan kakak." Jelas Abel tanpa menyinggung soal ciuman itu.
"Astaga." Farah berteriak sambil menepuk dahinya
"Kenapa sayang ?" Tanya Ray lembut.
"Bel, sorry sebelumnya. Kamu pasti ngeliat apa yang aku lakuin sama Jovan malam itu. Semua yang kamu lihat itu gak seperti yang ada di fikiran kamu kok."
"Maksudnya kak ? Aku gak ngerti."
"Jadi gini, si Jovan yang bodoh itu sebenarnya jatuh cinta sama kamu. Sejak pertama kali ngeliat kamu waktu ospek, tapi dia terlalu pengecut buat bilang sama kamu. Dan saat malam perayaan kelulusan itu, dia minta tolong sama aku. Dia mau keluar negri nyusulin orangtua dia. Mamanya sakit saat itu. Dia gak mau kamu sedih karena harus ninggalin kamu. Maaf ya Bel. Aku gak bermaksud nyakitin kamu."
Abel tercengang dengan informasi yang di dapatnya. Hatinya lega mengetahui bahwa Jovan juga mencintainya. Berarti selama ini cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
"Kakak gak bohong ?" Tanya Abel memastikan.
"Aku berani bersumpah untuk semua itu."
Abel sontak memeluk Farah. "Terimakasih kak." Ucapnya sambil berkaca-kaca.
Farah menepuk-nepuk pelan punggung Abel. "Percayalah, kamu satu-satunya gadis yang dicintai Jovan selama ini."
Abel melangkahkan kaki menuju lift setelah berpamitan dengan Ray dan juga Farah. Dia merutuki kebodohan Jovan yang membuatnya menderita selama tiga tahun terakhir. Entah apa yang ada di fikiran pria itu.
"Permisi, Pak Jovannya ada ?" Tanya Abel kepada sekretaris Jovan.
"Ada Bu. Silahkan masuk. Mau saya antar ?"
"Oh tidak usah. Terimakasih."
Abel tersenyum tipis lalu melangkah menuju ruangan Jovan.
Tok tok tok
"Masuk."
Abel membuka pintu, dan dengan langkah percaya diri masuk keruangan itu.
"Abel." Jovan kaget melihat kedatangan Abel, dia sontak berdiri dan mendekati Abel.
Abel mundur selangkah karena jarak mereka terlalu dekat. Dia mendongak serta menatap Jovan dengan wajah datar.
"Apa maksud semua ini ?" Tanya Abel.
"Apa ?"
"Berhenti ngirimin aku bunga."
"Kalo gitu berhenti menghindari aku.
"Aku gak menghindar."
"Bohong."
Abel menghela napas.
"Aku capek dengan semua ini." Ucap Abel lirih.
Jovan menarik Abel kedalam pelukannya. "Maaf. Sungguh aku minta maaf. Aku mencintaimu."
Abel menegang dipelukan Jovan, namun dengan cepat dia kembali rileks. Pengakuan Jovan membuat senyum tipis menghiasi bibirnya. Hatinya menghangat seketika, rasanya banyak kupu-kupu sedang berterbangan diperutnya.
"Nikahi aku kalau begitu."
Jovan refleks melepaskan pelukannya dan menatap Abel dengan tidak percaya.
"Kamu udah maafin aku ?"
Abel menggeleng. "Sebelum kakak nikahin aku, maka aku belum bisa maafin kakak." Abel bersidekap, menatap Jovan dengan wajah pura-pura marah.
Jovan tertawa. Lalu kembali menarik Abel kedalam pelukannya. Dia masih sangat merindukan gadis ini. "Aku sungguh merindukanmu."
"Kak."
"Hm."
"Aku udah maafin kakak, aku udah tau semuanya dari kak Farah." Ucap Abel dipelukan Jovan.
"Terimakasih. Aku mencintaimu. Sungguh mencintaimu.
"Aku juga mencintaimu kak."
***
Mencintaimu, selalu.
My Lovely Son
Sasha pov
Sudah seminggu sejak Bimo bertemu dengan Bima, dan sejak itu pula dia ingin pulang sekolah di jemput oleh Bima. Untungnya Bima selalu menuruti kemauannya, aku tidak akan tega jika melihat raut wajah sedih Bimo.
"Mbak sasha." Salah satu karyawanku memanggilku.
"Yaa."
"Diluar ada yang nyariin."
"Siapa ?
"Engga tau mbak, ganteng orangnya."
Aku mengernyit. Siapa yang mencariku ? Sejauh ini cowok ganteng yang berada disekitarku ya cuma Bima. Menurutku.
"Ya udah, aku keluar sekarang. Kamu lanjutin aja kerjaannya."
"Okesip mbak."
Aku keluar dari ruanganku, mencari seseorang yang katanya menemuiku. Aku melihat seorang pria yang berdiri membelakangiku, dia sedang melihat kue-kue yang berada di dalam etalase.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu ?" Tanyaku dengan formal.
Dia menoleh.
"Haii." Ucapnya sambil tersenyum.
"Eehh. ..Haii." aku membalasnya dengan kaku. Aku merasa tidak kenal dengan pria tampan ini. Ya, dia tampan.
"Kamu tidak mengenalku ?"
Aku menggeleng. "Sorry...sepertinya aku lupa. Apakah kita saling kenal ?"
"Ingat seseorang pernah menabrak mobilmu beberapa bulan yang lalu ?"
Aku mengerutkan dahi. Mencoba berfikir. "Aaaah iyaa, kamu yang buru-buru waktu itu kan ?."
"Yap. Benar sekali. Sepertinya kita harus kenalan lagi." Dia mengulurkan tangannya. "Aku Dave."
Aku membalas uluran tangannya. "Sasha." Ucapku memperkenalkan diri. "Ayo duduk." Ajakku.
Kami duduk berhadapan sekarang.
"Mau minum apa ?" Tanyaku.
"Kopi ada ?"
"Ada."
Aku memanggil salah satu karyawanku, memintanya membuatkan kopi untuk Dave, dan teh untukku.
"Oh iya. Kamu kesini mau pesen kue ?"
Dia menggeleng.
"Terus ?"
"Kalau aku bilang aku ingin bertemu denganmu, apa kamu akan marah ?"
Aku tergelak. "Kamu bukan penagih hutang kan ? Aku rasa aku tidak akan marah kalau begitu." Candaku.
Dia ikut tertawa.
"Toko kue ini milik kamu ?"
"Ya begitulah, kamu menemuiku hanya untuk memastikan toko kue ini milikku atau bukan yaa." Candaku lagi.
" lucu sekali." Ucapnya sambil tertawa.
Setelah itu kami mengobrol santai layaknya teman yang sudah lama tidak bertemu. Dia cukup humoris menurutku, ditambah lagi cara bicaranya yang bersahabat membuatku nyaman untuk ngobrol dengannya.
"Bundaaaaaaaaaaa."
Obrolan kami terhenti karena suara Bimo yang memanggilku. Aku menoleh ke arahnya yang sedang berlari. Sepertinya dia baru pulang sekolah. Aku tidak melihat Bima di belakangnya. Bukannya Bima yang menjemput Bimo ?
"Anaak bunda udah pulang." Aku mensejajarkan tinggiku dengan Bimo. Lalu mengecup dahinya.
"Buun, bimbim laparr. Mau brownis."
"Sebentar yaa. Bunda mintain dulu. Ayo duduk sini." Aku mendudukkan Bimo di samping kursi yang tadi aku duduki. Lalu memanggil salah satu karyawanku untuk mengambilkan brownis kesukaan Bimo.
"Buun, om ini siapa ?" Tanya Bimo sambil menunjuk ke arah Dave. Ya ampun, aku sampai lupa kalau ada Dave disini.
"Heii jagoan, kenalin nama om adalah Dave. Nama kamu siapa ?" Dave memperkenalkan dirinya, awalnya Bimo terlihat ragu. Dia bahkan melirikku untuk meminta persetujuanku.
Aku pun mengangguk.
"Halo om. Nama aku Bimo tapi bunda selalu manggil bimbim." Ucap Bimo sambil nyengir.
"Kamu tampan sekali." Puji Dave, kemudian mengacak rambut Bimo pelan.
"Pasti dong om. Bimoo..."
Aku berdecak. Anakku ini memang narsis sekali. Aku melirik Dave yang tertawa melihat tingkah lucu Bimo.
Beberapa saat kemudian brownis kesukaan Bimo datang. Dia langsung memakannya dengan lahap.
"Sorry sebelumnya, Bimo anak kamu ?" Tanya Dave sedikit pelan.
Aku tersenyum tipis. "Iyaa. Bimo anak aku satu-satunya."
"Kamu sudah menikah ?" Tanya Dave lagi.
Aku mengernyit. Semakin tidak nyaman dengan pertanyaannya.
"Maaf. Gak usah dijawab kalau kamu gak mau."
Aku menggeleng. "Gak papa, aku belum menikah. Dan seperti yang kamu lihat, aku punya anak berusia lima tahun."
"Aku gak bermaksud untuk..."
"Aku tau." Ucapku sebelum dia selesai bicara."santai aja Dave, aku baik-baik aja." Aku tertawa kecil melihat raut wajah bersalah Dave.
"Kamu masih mau temenan sama aku kan ? Maaf kalo tadi aku lancang menanyakan kehidupan pribadi kamu."
"Astaga. Aku sungguh tidak apa-apa Dave. Kita teman bukan ? Jadi buang jauh-jauh raut wajah bersalah kamu itu."
Dia tertawa. "Mau makan siang bersama ?" Ajak Dave.
"Lain kali saja yaa, aku sudah ada janji."
"Baiklaah. Kalau gitu aku balik dulu. Seneng bisa ketemu kamu. Lain kali aku masih boleh kesini kan ?"
"Kalau aku bilang tidak, memangnya kamu akan menurutiku ?"
"Tentu saja tidak." Jawabnya sambil tertawa.
"Dasarr." Ucapku.
"Jagoaan. Om pamit dulu yaaa. Kapan-kapan kita main bersama. Okay ?" Dave berbicara kepada Bimo.
Bimo menjawab dengan anggukan karena mulutnya penuh dengan brownis.
"Bimm, ayah mana ?" Aku menanyakan keberadaan Bima yang tidak terlihat dari tadi. Tentu saja setelah Dave pergi.
"Pewgii."
"Habiskan dulu brownisnya, baru bicara." Tegurku.
"Ayah pergi bun, katanya ada urusan mendadak di kantor. Tapi tadi ayah pesen, katanya kita makan siang bareng ayah." Ucap Bimo setelah menelan semua brownis di mulutnya.
Aku mengangguk saja.
***
Bima pov
Aku baru saja memakirkan mobilku di toko kue Sasha. Lalu mengambil makanan yang tadi aku beli sebelum ke sini. Harusnya kami makan siang di luar hari ini, tapi aku merasa lelah sekali. Jadi aku putuskan aku membelinya dan makan bersama dengan jagoan kecilku disini.
Memasuki toko, aku langsung di suguhi pemandangan yang diam-diam selalu aku inginkan tiap hari, bahkan kalau bisa tiap detik.
Disana, disebuah meja yang terdapat di toko ini aku melihat Bimo dan Sasha sedang mengobrol sambil sesekali tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan hingga kebahagian terpancar jelas di wajah mereka.
"Ayaaaaaaaaaaaah." Bimo berlari ke arahku yang langsung ku gendong sambil berputar-putar. Dan seperti biasa dia akan tertawa terbahak-bahak sambil minta di turunkan.
Aku mencium pipi gembilnya, lalu menurunkannya dari gendonganku.
"Ayah bawa apa ?" Tanya Bimo melihat kantong makanan yang ku letakkan di bawah saat aku menggendong Bimo tadi.
"Ayah bawain makan siang buat Bimbim."
"Yeiiiii. Ayo yaaah. Bimbim udah lapaar !!" Dia menarik tanganku dan berjalan ke arah Sasha.
"Siniin kantongnya." Pinta Sasha.
"Gak papa kan kita makan disini aja. Aku capek banget. Males bolak-balik."
Sasha menggeleng. "Gak papa. Makan di ruangan aku aja." Ajaknya.
Aku mengikuti Sasha masuk ke dalam sebuah ruangan. Aku fikir ruangan itu akan seperti ruangan kantor. Ternyata tidak. Ruangan ini lebih seperti ruang bermain anak. Di dalamnya berserakan mainan Bimo.
"Duduk di bawah aja gak papa kan ?" Tanya Sasha.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Sasha lalu keluar untuk menyiapkan makanan yang aku bawa. Sembari menunggu Sasha, Bimo mengajakku untuk bermain robot-robotannya.
"Yaah, kenapa robot-robotannya warna putih ? Bimbim kan sukanya warna hitam."
"Hah ? Apa bim ?" Tanyaku bingung.
"Robot ini yah. Kenapa ayah beliinnya warna putih. Bimbim kan udah bilang sama bunda kalo bimbim maunya warna hitam. Bunda ga bilang ayah kalo bimbim maunya warna hitam ?"
Aku mengernyitkan dahi. Tidak mengerti kemana arah pembicaraan Bimo. Dia bilang robot ini aku yang beliin. Tapi kapan ? Aku bahkan baru mengetahui keberadaannya akhir-akhir ini.
Jadi siapa yang membelikannya ?
Apakah ada pria lain yang dekat dengan Sasha dan membelikan robot ini ?
Sial.
Fikiran-fikiran itu membuatku menjadi kesal. Sungguh aku tidak rela jika ada pria lain yang dekat dengan Bimo melebihi kedekatannya denganku, ayah kandungnya.
"Hei. Kenapa ngelamun ?" Tegur Sasha.
"Tidak apa-apa." Jawabku sedikit ketus.
Sasha mengernyitkan dahinya. Mungkin bingung dengan nada bicaraku barusan. Biarin aja. Aku memang lagi kesal sekarang.
"Ayo makan. Ini buat Bimbim. Ini buat kamu."
Sasha menyerahkan masing-masing sepiring makanan buatku dan juga Bimo. Tentu saja sepiring juga untuknya. Setelah itu hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.
Selesai makan, Bimo mulai nampak mengantuk. Dia membaringkan kepalanya di pahaku, aku lalu mengelus rambutnya. Membiarkan dia tertidur.
"Sha." Panggilku sedikit pelan.
"Kenapa ?"
"Siapa yang membelikan Bimo robot-robotan ini ?" Tanyaku. Aku memberanikan diri untuk bertanya. Tidak mau menerka-nerka yang justru membuatku kesal dengan semua fikiran negatif.
Sasha menghela napas. "Pasti Bimbim nanyain ya kenapa robotnya warna putih ?"
Aku mengangguk. Menatapnya untuk menunggu lanjutannya.
"Sebenernya aku yang beliin sebagai kado pada hari ulang tahunnya. Dan aku bilang itu kado ulang tahun dari ayahnya. Aku gak sanggup ngeliat dia sedih tiap kali nanyain ayahnya. Akhirnya aku ngedapetin ide itu. Walaupun dia gak pernah ketemu kamu, setidaknya dia bahagia karena tau kamu sayang sama dia. Dan itu aku lakuin setiap tahunnya sampe dia sebesar sekarang." Sasha menyeka air mata di ujung matanya.
Dadaku sesak seketika. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya Sasha selama ini. Aku benar-benar brengsek. Aku meraih jemari Sasha kemudian menggenggamnya erat.
"Maaf." Ucapku.
"Aku benar-benar minta maaf." Ucapku lagi.
Sasha tersenyum tipis. "Semua udah berlalu Bim, aku seneng sekarang kamu ada disini."
Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan Sasha. Ya Tuhan, sungguh mulia hati wanita ini. Dan terkutuklah aku yang pernah menyakitinya.
"Sha, can I hug you ?" Ucapku memohon.
"Sure."
Sasha lalu memelukku dari samping. Takut membangunkan Bimo yang tertidur di pahaku. Aku memeluknya sambil mengelus rambutnya.
Dalam hati aku berdoa agar suatu saat nanti dia akan mencintaiku. Karena sekarang aku sangat mencintainya. Dia wanita berhati malaikat yang akan membuat siapa saja jatuh cinta kepadanya.
Bersambung ~