Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

Gavin Devon Adelard

Aku memasuki ruangan dimana acara ulang tahun perusahaan Fajar berlangsung. Disini ramai sekali, semua orang yang hadir berpenampilan rapi dan glamour. Aku mengedarkan pandanganku. Mencari sosok Fajar di keramaian.

Aku melangkahkan kaki ke tempat Fajar berada saat sudah menemukannya. Dia sedang berbicara dengan rekan bisnisnya.

"Hai Jar." Sapaku pelan.

Fajar menoleh. "Hai kak. Akhirnya kakak datang juga."

"Selamat ya. Sukses terus pokoknya."

"Thank you kak, Kak gavin datang sendiri ?"

Aku mengedikkan bahu. "memangnya mau datang sama siapa lagi ?"

"Cari pacar makanya biar ada yang nemenin. Udah tua masih jomblo aja." Ucap fajar sambil terkekeh.

Aku berdecak. "memangnya kamu punya pacar ?"

"engga sih. Tapi kan aku gak setua kak Gavin." Ucap fajar lagi sambil tertawa. Namun beberapa saat kemudian dia sontak berhenti tertawa sambil melihat ke arah pintu masuk. Aku pun sontak mengikuti arah pandangnya.

Dadaku nyeri seketika, serasa habis disayat sesuatu yang tajam. Disana, aku melihat Elina yang terlihat sangat cantik melangkah masuk sambil menggandeng lengan lelaki yang sembilan tahun yang lalu membuatku sangat cemburu. lelaki itu adalah Justin.

Aku mengalihkan pandanganku, tidak sanggup lagi untuk menatap dua sejoli itu.

"Kak, are you okay ?" Tanya Fajar pelan.

Aku menaikkan sebelah alisku. "memangnya kenapa ? gak ada hal yang mengharuskan kakak untuk tidak baik-baik aja kan ?" ucapku berbohong. Aku tidak mau Fajar melihat kesakitanku.

"Jar, kakak cariin dari tadi ju..." Elina sontak berhenti bicara saat aku menoleh ke arahnya. Dan dia pun refleks melepaskan tangannya dari lengan Justin. Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya.

Hening beberapa saat.

Aku menatap Elina dengan tatapan penuh kerinduan. Sungguh, aku rindu saat-saat bersamanya. Melihatnya tertawa, melihatnya berbicara panjang lebar, dan melihatnya mengerucutkan bibir mungilnya saat cemberut.

Elina juga menatapku dengan tatapan...entahlah. Sepertinya ada kesakitan yang mendalam yang terlihat di matanya. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menyakiti gadis sebaik Elina.

"sayang, kamu kenapa ?" Ucap Justin dengan nada lembut.

Apa barusan dia memanggil Elina dengan panggilan sayang ?

Sial !

Rasanya aku ingin menonjok wajahnya yang tersenyum manis kepada Elina itu.

"eh. Apa ?" jawab Elina gelagapan.

"Mama sama papa mana kak ?" Ucap Fajar mencairkan suasana canggung di antara kami.

"lagi dijalan, bentar lagi dateng kayaknya." Jawab Elina. Dia berbicara tanpa mau menatapku. Dia bertingkah seolah-olah aku tidak ada disini.

"Hai jar, selamat buat ulang tahun perusahaannya." Ucap Justin menyalami Fajar.

"Thank's kak Justin."

"Kamu Gavin kan ? kita seangkatan dulu. Tapi kayaknya kamu gak bakal tau aku karena aku gak sepopuler kamu." Justin menyapaku sambil terkekeh kecil.

" Aku tau kamu kok." Jawabku datar.

" Tin, aku ke toilet dulu ya." Pamit Elina kepada Justin.

Dia lalu melangkah menuju toilet. Meninggalkanku bersama Justin dan Fajar. Suasananya canggung sekali, sulit rasanya menahan diri untuk tidak bersikap sinis kepada Justin.

"Aku keluar bentar." Ucapku kepada fajar dan Justin lalu melangkah menjauh dari mereka.

***

Elina Desma Gloria

Aku berusaha menenangkan debaran jantungku. Apa-apaan ini. Apa yang dilakukan Gavin di sini. Setelah bertahun-tahun kenapa sekarang dia bisa muncul lagi. Aku pikir kami tidak akan pernah bertemu lagi. Karena baik aku maupun dia memang berusaha untuk saling menjauh satu sama lain selama ini.

"what I have to do ?" bisikku pelan.

Aku menghela napas berat berkali-kali. Rasanya menyesakkan sekali harus berpura-pura tidak melihat Gavin. Karena sejujurnya aku sangat merindukan pria brengsek itu.

Bodoh bukan ?

Setelah merasa cukup tenang, aku memutuskan untuk keluar dari toilet. Namun bukannya merasa tenang, jantungku malah serasa ingin berhenti melihat siapa yang sedang bersandar di dinding, tidak jauh dari pintu toilet.

Orang itu adalah Gavin.

"Tenanglah Elina, cukup jalan dan anggap saja tidak ada siapa-siapa disana." Ucapku dalam hati.

Mengikuti kata hatiku, aku melangkah dengan santai. Berusaha menutupi kegugupanku. Tepat saat akan melewati Gavin, dia mencekal lenganku. Aku sontak berhenti dan berusaha melepaskan lenganku dari cekalan tangan Gavin. Tapi sia-sia saja. Tenaga Gavin jauh lebih kuat dariku.

"Lepasin." Ucapku, menatapnya dengan tajam.

"Aku pengen ngomong sama kamu. Sebentar aja."

"Gak ada yang perlu diomongin lagi."

"Aku minta maaf Elina." Ucapnya lembut.

"Maaf ?" aku berdecak. "Segampang itu ? kamu pikir kamu siapa ha ?" ucapku lagi.

"Aku tau aku keterlaluan, aku juga tau aku udah nyakitin kamu banget. Please, kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

"Memperbaiki apa ? kita gak ada hubungan apa-apa sebelumnya kan ? Jadi, mari kita bersikap seperti tidak saling mengenal saja. Itu lebih baik." Aku mengalihkan pandanganku dari Gavin, menahan rasa menyesakkan di dadaku.

"Elina..."

"Sudahlah Vin, aku mohon." Ucapku lirih.

Aku melepaskan lenganku saat merasa Gavin mengendurkan cekalan tangannya. Lalu berlalu meninggalkan Gavin sendirian di sana. Air mataku seketika mengalir. Beruntunglah aku tidak menangis saat di depan Gavin. Aku tidak mau terlihat menyedihkan lagi olehnya.

Kenapa rasanya sakit sekali ?

Kenapa harus dia yang aku cintai ?

Bersambung ~


Dia "Alfajri" ku

Oleh NindyKornelia 0 comments

Dua tahun kemudian.

Aku melangkah menuju kosan dengan semangat. Aku capek, dan aku butuh kasur untuk melepaskan sedikit penatku.

Aku bukan lagi seorang pengangguran. Aku telah bekerja sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan di kota yang jaraknya mencapai dua jam dari rumah. Jadi aku memutuskan untuk ngekos saja.

Sesampainya dikosan aku langsung berbaring dikasur sambil memainkan ponselku. Memeriksa beberapa social media yang aku punya lalu membuka aplikasi wattpad dan mulai membaca cerita yang ada di list perpustakaanku.

Aku beruntung sekali ada aplikasi seperti wattpad. Karena aku bisa menghabiskan waktu untuk membaca cerita-cerita yang ada di sana. Pengalihan yang bagus. Karena jika aku tidak memiliki kegiatan apapun, aku tidak akan bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Alfajri.

Aku dan Alfajri. Kami tidak lagi berkomunikasi sesering dulu. Dalam satu tahun mungkin kami akan berkomunikasi sebanyak tiga kali saja. Saat dia ulang tahun, saat aku ulang tahun dan saat dia atau aku sedang ingin menanyakan kabar satu sama lain.

Awalnya sulit sekali menahan diri untuk tidak menghubunginya. Namun seiring berjalannya waktu, aku akhirnya bisa menjalani hari-hari tanpa harus mengingat Alfajri. Walaupun sesekali rindu itu datang tapi aku berusaha dengan keras menepisnya.

Ponselku berdering. Ada pesan baru di aplikasi bbmku. Aku melihat nama Alfajri disana. Dan seperti biasa aku membukanya dengan semangat.

Lagi apa ?

Aku mengernyitkan dahi. Setelah berbulan-bulan tidak menghubungiku, dia mengirimiku pesan dan menanyakan aku lagi apa ? apakah Alfajri salah mengirim pesan ?

Kamu salah kirim ?

Enggak.

Aku lagi tiduran aja. Kamu ?

Sama.

Kamu apa kabar ?

Baik. Kamu ?

Aku baik juga. Kamu tahu, setiap kali kamu menghubungiku seperti ini, aku tidak akan bisa menahan diri untuk bilang aku rindu kamu.

Kamu fikir buat apa aku menghubungimu jika aku tidak rindu ?

Kamu merindukanku ?

Menurutmu ?

Akan aku anggap iya.

Haha baguslah. Karena aku memang merindukanmu.

***

Pukul 12.00, itu berarti sekarang waktunya untuk istirahat. Aku membereskan pekerjaanku lalu bersiap untuk pulang kekosan. Jarak kosan ke kantor yang dekat membuatku selalu menghabiskan waktu dikosan saat istirahat siang untuk makan dan kalau bisa tidur sebentar.

Aku menuruni tangga sambil menunduk, jangan sampai aku tidak menginjak anak tangga dengan pas. Akan sangat memalukan jika aku terjatuh.

Tepat saat aku sudah berada diluar gedung kantor, aku mendengar suara seseorang yang sangat aku ingat suaranya.

"Butuh tumpangan ?" ucapnya pelan.

Aku menoleh ke asal suara lalu terpaku.

"tidak mungkin." Ucap batinku.

Aku masih saja menatap tidak percaya. Sedangkan orang yang ku tatap langsung tersenyum jahil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia melangkah mendekatiku.

"Ini beneran aku, kalau itu yang kamu fikirkan." Ucapnya lagi sambil mengelus pelan pipiku.

"Al...Fajri ?" tanyaku dengan gugup.

"Hello Keira." Sapanya sambil tersenyum.

"Ha...hai." Balasku.

Al tertawa. "Jangan gugup begitu. Bernapaslah dengan normal." Ucapnya sambil tertawa lagi.

Aku meneguk air ludahku berkali-kali. Mencoba menormalkan debaran jantungku dan menghilangkan kegugupanku.

"Mau makan siang bersama ?" tawarnya.

Aku mengangguk pelan. Al membawaku menuju mobilnya yang diparkirkan di parkiran kantorku. Dia membukakan pintu mobil untukku. Setelah itu baru melangkah menuju pintu kemudi.

Sepanjang perjalanan, aku menghabiskan waktu dengan diam dan menatap ke luar jendela. Entahlah, aku merasa sangat gugup. Aku tidak siap dengan pertemuan ini. Untunglah Al juga memberikanku waktu untuk menenangkan diriku sendiri dengan membiarkanku diam.

Al membawaku ke sebuah kafe yang memiliki pondok-pondok kecilnya. Dan aku merasa sangat lega, berarti kami bisa mengobrol dengan santai tanpa harus takut orang lain akan mendengar pembicaraan kami.

Aku membiarkan Al memesankan apapun untukku.

"kamu apa kabar ?" Tanya Al setelah memesankan makanan untuk kami berdua.

"Baik. Kamu ?

"Lebih baik lagi saat bertemu denganmu." Aku tersipu mendengar jawabannya.

"kamu pendiam sekali, tidak seperti saat kita telponan."

"Aku masih tidak percaya."

Al tersenyum. "Aku beneran disini Kei. Pegang saja tanganku kalau masih tidak percaya." Dia mengulurkan tangannya.

Aku memegang tangan Al. lalu tersenyum tipis. "Kamu beneran disini." Ucapku pelan.

"Ya. Aku disini. Untuk kamu." Al mengucapkannya dengan tegas.

Aku menatap Al. dia juga sedang menatapku dengan tatapan lembut tapi penuh keseriusan dimatanya. "Maksud kamu ?" tanyaku, tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya barusan."

"Kei, sebelumnya aku ingin minta maaf sama kamu." Al menggenggam kedua tanganku dengan lembut dan mengelus punggung tanganku dengan jari jempolnya. "Aku minta maaf karena sering membuatmu sedih. Aku ingin kamu tau, sejujurnya aku tidak ingin membuatmu sedih. Tapi aku tidak berdaya Kei. Kita masih sama-sama kuliah saat saling mengenal, ditambah lagi dengan jarak kita yang jauh. Aku sengaja tidak menaikkan status kita menjadi lebih dari seorang teman. Karena aku tau kita tidak akan bisa melewatinya dengan baik. Aku tidak mempercayai diriku sendiri saat itu Kei. Dan aku tidak ingin menyakitimu lebih dalam lagi. Lebih tepatnya aku tidak mau kamu membenciku jika suatu saat aku menyakitimu dan kamu akan menjauh dariku. Aku tidak mau itu terjadi."

Al menghela napasnya. Aku menunggunya menyelesaikan apa yang ingin diucapkannya lagi.

"Bertahun-tahun, aku menahan rasa rindu itu selama bertahun-tahun Kei. Dan sekarang aku tidak ingin menahan lagi. Aku mencintaimu Kei. Sangat mencintaimu. Aku ingin menikahimu. Kamu mau tidak menikah denganku ?"

Aku menegang seketika. Benarkah seorang Alfajri mengajakku untuk menikah ? astaga, mimpi apa aku semalam.

"kamu...kamu serius ?"

"Sangat serius. Aku tidak pernah mengambil keputusan seserius ini di dalam hidupku. Aku sangat berharap aku belum terlambat mengatakannya. Jadi, gimana ? kamu mau nikah sama aku ?"

Aku tersenyum tipis. Mataku berkaca-kaca. Lalu dengan pelan aku menganggukkan kepalaku.

"Oh Keira, terimakasih. Aku mencintaimu." Al memelukku dengan erat. Aku balas memeluknya. Air mataku ikut mewakili kebahagianku.

"aku mencintaimu, Al."Ucapku pelan, dipelukan Al.

"Aku lebih mencintaimu, Kei."

Al melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mataku dengan tangannya.

"aku sudah sering bilang kalau aku tidak suka melihatmu menangis kan ?"

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Aku bukan menangis karena sedih Al. aku menangis karena terlalu bahagia. Aku kira semua ini hanya akan ada dalam mimpiku saja."

"berhenti menangis ya." Ucap Al dengan nada memohon.

Aku mengangguk. Al kembali membawaku ke dalam pelukannya.

Didalam hati aku bersyukur sekali. Aku tidak menyangka Tuhan benar-benar mengabulkan permintaanku untuk bertemu dengan Al. Tuhan bahkan memberikan bonus lebih dengan memberikan Al yang akan selalu menemaniku setiap harinya.

Terimakasih Tuhan. Untuk semua anugrah ini.

***

End.

Cerita ini sampai disini saja ya. terimakasih buat yang sudah baca. Jangan lupa untuk baca cerita aku yang lainnya :)

Thank you ^^


Dia "Alfajri" ku

Oleh NindyKornelia 0 comments

Lupain Alfajri.

Lupain Alfajri.

Lupain Alfajri.

Aku merapalkan kalimat itu setiap harinya. Mencoba untuk benar-benar melupakan Al. Berusaha dengan kuat agar jemari-jemariku tidak mengetikkan pesan-pesan untuk Al lagi.

Bukankah Al yang memintaku untuk menjauh dari hidupnya ?

Maka akan aku lakukan. Walaupun sangat sulit dan harus membuat hatiku nyeri setiap kali melihatnya mengganti display picture bbmnya.

Tapi mau bagaimana lagi. Inilah akhirnya. Aku dan Al. Kami memang tidak akan berhasil sama sekali. Dia selalu pintar untuk mematahkan hatiku disaat aku mulai menitipkan hatiku padanya.

Ya. Dia pintar melakukannya.

***

Dua bulan kemudian

Hari ini adalah ulang tahunku. Tepat hari ini aku berusia 24 tahun. Dan aku bersyukur karena di usiaku yang ke 24 tahun Tuhan masih memberiku semua yang aku butuhkan, Keluarga yang mencintaiku serta sahabat-sahabat yang masih mengingat hari bahagiaku ini.

Aku sedang tidur-tiduran dikasur sambil membalas ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku. Namun aku terpaku seketika saat mendapat ucapan dari seseorang yang masih saja menempati sedikit tempat di hatiku.

Orang itu adalah Alfajri.

Dia mengirimiku ucapan selamat juga.

Selamat ulang tahun Keira :)

Hanya ucapan selamat ulang tahun biasa. Bahkan semua teman-temanku juga mengatakan itu. Tapi entah kenapa ucapan selamat dari Al memberikan efek luar biasa dihatiku.

Aku tersenyum tipis. Lalu mengetikkan balasan buat Al.

Terimakasih Al :)

Sama-sama Kei.

Al.

Ya ?

Aku punya permintaan sama kamu di hari ulang tahunku. Dan aku sangat berharap kamu mau mengabulkannya.

Permintaan apa ?

Besok, mau gak telponan sama aku ? Aku ...kangen.

Baiklah. Aku akan mengabulkannya.

Benarkah ? Terimakasih Al :)

Selang beberapa saat aku fikir Al tidak akan membalas pesanku lagi. Namun aku salah, dia mengirimiku sebuah rekaman suara.

Aku lalu memutar rekaman suara tersebut.

Kutrima suratmu `Tlah kubaca dan aku mengerti
Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku
Didalam hari-harimu bersama lagi

Kau tanyakan padaku kapan aku akan kembali lagi
Katamu kau tak kuasa Melawan gejolak didalam dada
Yang membara menahan rasa Pertemuan kita nanti
Saat bersama dirimu

Semua kata rindumu
Semakin membuatku `tak berdaya
Menahan rasa ingin jumpa
Percayalah padaku akupun rindu kamu
Ku akan pulang Melepas semua kerinduan
Yang terpendam

Kau tuliskan padaku Kata cinta
Yang manis dalam suratmu
Kau katakan padaku Saat ini
Kuingin hangat pelukmu
Dan belai lembut kasihmu
Takkan kulupa slamanya
Saat kau ada di sisiku

Jangan katakan cinta
Menambah beban rasa
Sudah simpan saja sedihmu itu
Ku akan datang

(Kangen - Dewa 19)

Isi rekaman suara itu adalah suara Al yang sedang menyanyikan lagu kangennya Dewa 19 sambil bermain gitar. Suaranya indah sekali.

Aku memutar rekaman suara itu berulang kali. Meresapi setiap kata yang dinyanyikan Al. Dan benar-benar menganggap lagu itu adalah ungkapan hatinya juga.

Dan sekali lagi, aku dibuatnya jatuh cinta.

***

Pukul 20.00 , aku mengabari Al bahwa aku akan menelponnya malam ini. Aku mengetikkan pesan singkat kepada Al.

Malam ini jadi telponan kan ?

Iya, jadi. Aku atau kamu yang telpon ?

Aku aja. Mau telponan jam berapa ?

Sekarang aja gimana ?

Oke.

Aku mencari kontak Al lalu menekan tombol panggilnya.

"Halo" sapaku pelan.

"Hai." Balas Al dari seberang sana.

"Lagi apa ?"

"Tiduran, kamu ?

"Sama. Tiduran juga."

"Ciye yang udah 24 tahun."

Aku tertawa. "Udah makin tua yak."

"Iya. Nikah sana."

"Nikah sama siapa ?"

"Ya sama siapa aja. Memangnya gak ada yang deketin kamu ?

"Ada sih, tapi aku gak mau."

"Kenapa gak mau ?"

"Gak mau aja. Aku gak punya perasaan apa-apa sama orangnya."

"Jangan terlalu milih-milih Kei."

"Buat yang seumur hidup harus dipilih yang bener-bener dong Al."

Aku menelpon Al hingga waktu menunjukan pukul 22.05. Al menyuruhku untuk istirahat setelahnya. Aku cukup bahagia karena percakapan kami tidak ada yang membuat suasana menjadi canggung. Ya walaupun ada saja perkataannya yang membuatku merasa sedikit sedih.

Tapi aku berusaha menutupi kesedihanku. Aku tidak mau Al merasa dia hanya akan membuatku sedih jika kami berkomunikasi lagi.

"Tidur sekarang ya." Ucap Al, dengan nada lembut tapi penuh ketegasan disana.

"Iya. Kapan-kapan kalau aku pengen berantem sama kamu masih boleh nelpon lagi kan ?" Ucapku sambil tertawa.

Al ikut tertawa. "Iya. Telponlah. Tapi gak pake nangis ya."

"Aku udah gak cengeng Al."

"Iya-iya. Aku tau. Sekarang tidur."

"Baiklah. Bye Al. Aku sayang kamu."

"Aku sayang kamu juga."

Aku memutuskan sambungan telepon. Bibirku tidak henti-hentinya tersenyum. Aku bahagia. Sangat bahagia. Ternyata Al masih sangat mempengaruhi hatiku. Dia masih ada disana. Ditempat khusus untuknya.

Aku berniat untuk mematikan ponsel, namun pesan singkat baru dari Al membuatku mengurungkan niatku. Dia mengirimiku rekaman suara baru.

Buat pengantar tidur kamu.

Tulis Al disana. Aku langsung mendengarkan rekaman suara itu.

Datanglah bila engkau menangis
Ceritakan semua yang engkau mau
Percaya padaku aku lelakimu

Mungkin pelukku tak sehangat senja
Ucapku tak menghapus air mata
Tapi ku di sini sebagai lelakimu

Aku lah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir mungkinkah berpaling
Aku lah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar kau berjalan nanti

Sudah benarkah yang engkau putuskan
Garis hidup sudah engkau tentukan
Engkau memilih aku sebagai lelakimu

Aku lah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir mungkinkah berpaling
Aku lah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar kau berjalan nanti

(Aku Lelakimu - Virza)

Aku mendengarkan rekaman suara Al dengan mata yang berkaca-kaca. Bukan karena sedih tapi karena bahagia. Aku tidak tau apa maksud Al dengan rekaman suara ini.

Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku benar-benar berharap Al menyanyikan lagu ini sesuai dengan kata hatinya.

Aku sungguh berharap dia akan memelukku erat dan menenangkan badai, untukku.

Oh Alfajri.

Aku sungguh-sungguh mencintaimu.

***

To be continue...


Dia "Alfajri" ku

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sebulan berlalu sejak ungkapan sayang yang membuatku menangis semalaman. Aku sedih. Sangat sedih. Ditambah lagi dengan Al yang benar-benar terlihat tidak peduli.

Sejak kejadian itu hubunganku dan Al memburuk. Dia tidak lagi menghubungiku seperti biasanya. Bahkan pesan-pesan yang aku kirimkan kepadanya pun hanya di balas seadanya.

Aku masih saja memaksakan diri untuk memperbaiki keadaan. Perasaan sayangku kepada Al amat sangat besar. Aku tidak masalah jika hubungan kami hanya akan berada di level pertemanan. Asalkan aku masih bisa mengetahui kabar Al setiap harinya.

"Kenapa lo ?" Tanya Indah yang baru saja pulang dari kampus.

"Gak papa. Absen gue gimana ?" Tanyaku, sambil memperbaiki selimut yang ku pakai. Hari ini aku memang tidak mengikuti jadwal perkuliahan. Demam sejak dua hari yang lalu membuatku lebih memilih untuk beristirahat dikosan saja.

"Udah gue izinin kok. Lo udah makan ? Obatnya udah di minum ?"

"Udah kok."

"Bagus deh. Cepet sembuh dong. Gak enak tau kekampus sendirian."

"Iya, besok kayaknya gue udah ngampus lagi. Udah mulai enakan badannya."

Ponselku berdering, ada pemberitahuan pesan baru di aplikasi bbm milikku. Aku lalu membukanya.

Cepat sembuh ya.

Itu pesan dari Al. Singkat, padat dan mampu membuat senyum kecil terbit di bibirku.

Terimakasih Al :)

Aku menunggu balasan dari Al selanjutnya, namun tidak ada lagi balasan dari Al. Dia hanya membaca pesan dariku. Membuatku menghela napas berat. Al benar-benar mencoba menjauh dariku.

***

Sudah bulan kedua, Aku dan Al tidak lagi berkomunikasi. Aku sengaja tidak lagi mengganggunya dengan pesan-pesan singkat dariku. Semua berakhir, bahkan sebelum dimulai.

Dan aku rasa Al terlihat baik-baik saja tanpa gangguan dariku. Sepertinya hanya aku saja yang merasakan sakit memiliki perasaan bernama sayang ini. Atau memang Al tidak pernah benar-benar sayang padaku ?

Entahlah.

Yang jelas hatiku lelah.

Sepertinya bertingkah seperti tidak saling mengenal seperti ini lebih baik. Ya walaupun aku masih saja sering mengintip display picturenya untuk melihat wajah Al.

***

Tiga tahun kemudian.

Tanggal 5 April, hari ini adalah ulang tahun Al. Tiga tahun telah berlalu, aku memang masih mengingatnya. Walaupun selama tiga tahun terakhir aku memiliki kekasih, namun tetap saja Al masih memiliki tempat di hatiku.

Selama tiga tahun tanpa komunikasi lagi bersama Al membuatku belajar tentang banyak hal. Aku berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mengurangi sifat manja serta cengengku. Berharap suatu saat Al mengatakan bahwa dia bangga dengan perubahanku.

Ngomong-ngomong walaupun sudah tiga tahun tidak berkomunikasi, kami masih saja bertahan untuk tetap berteman di aplikasi bbm walaupun tidak pernah saling sapa. Bahkan saat aku ataupun dia berganti pin baru, kami tetap saling meminta pertemanan kembali. Dan itu membuatku tau satu hal, dia masih mengingatku seperti aku yang masih mengingatnya dan sedikit memori di masalalu.

Selamat ulang tahun, Al :)

Aku mengirimkan pesan itu kepadanya. Berharap Al membalasnya dengan hangat. Bukan lagi menghindar dariku.

Beberapa saat kemudian doaku terkabul, Al membalasnya.

Terimakasih Kei :) kamu apa kabar ?

Aku baik. Kamu gimana kabarnya ?

Aku baik. Lagi apa ?

Lagi mau mandi. Kamu ?

Aku lagi duduk-duduk aja.

Setelah itu kami melanjutkan berbalas pesan dengan membahas banyak hal. Tanpa ada kecanggungan sama sekali. Dan itu membuatku kembali bahagia. Alfajriku telah kembali seperti dulu, ya Alfajriku.

Tanpa aku sadari, kami telah berbalas pesan hingga malam. Al menyuruhku beristirahat. Tapi aku berusaha mengulur-ngulur waktu. Aku masih belum ingin mengakhiri hari yang bahagia ini. Aku tidak yakin kami bisa seperti ini lagi esok hari.

Tidurlah Kei, ini sudah malam. Kamu harus istirahat.

Sebentar lagi ya. Aku masih pengen bbman sama kamu. Besok belum tentu kita bisa seperti ini lagi :(

Kenapa ngomong gitu ? Kita masih bisa komunikasi lagi besok.

Beneran ? Kamu janji ?

Iya sayang. Aku janji, aku bahkan akan menelponmu besok malam kalau kamu mau tidur sekarang.

Aku langsung tersenyum sumringah membaca kata "sayang" yang ditulis Al serta janjinya yang akan menelponku besok malam. Akhirnya setelah tiga tahun, aku akan mendengar suaranya lagi.

Baiklah. Aku akan tidur sekarang. Good night Al :)

Good night Kei :)

***

Hari ini aku lalui dengan sangat semangat. Berharap malam cepat datang. Aku tidak sabar mendengar suara Al, lagi.

Sejak pagi, aku berusaha menghubungi Al untuk sekedar mengucapkan selamat pagi. Dan dia membalas pesanku. Bahkan hingga sore ini, kami masih menyempatkan saling berbalas pesan di sela-sela kesibukan masing-masing.

Pukul 20.30 Al menelponku. Aku langsung mengangkatnya dengan semangat.

"Hai." Sapaku tanpa bisa mengurangi nada bahagiaku.

"Hai. Lagi apa ?" Tanya Al padaku.

"Tiduran aja. Kamu lagi apa ?"

"Lagi duduk-duduk di teras rumah."

"Gak duduk-duduk dipos ronda lagi ?" Tanyaku sambil tertawa pelan.

Al ikut tertawa. "Gak lah. Kan udah janji mau nelpon kamu. Sudah makan ?"

"Udah dong. Kamu ?"

"Udah juga."

"Al."

"Apa ?"

"Aku seneng banget bisa denger suara kamu."

Al tertawa pelan. "Suara aku merdu banget ya ?"

Aku berdecak. "Terserah deh ya."

Al tertawa lagi. "Pacar kamu gak nelpon ?"

"Pacar ? Aku gak punya pacar -_-"

"Masa iya. Yang sering kamu jadiin profile picture bukannya pacar kamu ?"

"Aku udah putus Al. Sejak dia wisuda malahan."

"Aku boleh nanya satu hal ?"

"Apa ?"

"Kamu pacaran sama dia karena hampir mirip sama aku atau aku aja yang kegeeran ngerasa kamu sengaja nyari yang mirip aku ?"

Aku tersenyum tipis. Tidak menyangka hal akan menanyakan tentang itu.

Aku menghela napas pelan. "Dari fisik memang mirip kamu sih. Tapi aku gak sejahat itu kok, sampai ngejadiin dia sebagai jelmaan kamu. Aku sayang kok sama dia waktu masih pacaran."

"Aku tau, karena kalau kamu gak sayang sama dia, gak mungkin kalian sampai ngejalanin hubungan bertahun-tahun. Kamu tau Kei, aku bahagia ngeliat kamu sama dia."

"Kenapa ?"

"Karena kamu terlihat bahagia sama dia. Dan dia bisa ngejaga kamu disana. Bukan seperti aku yang gak bisa apa-apa disini."

"Ya. Dia memang menjaga aku dengan baik." Ucapku dengan pelan. "Jadi, siapa perempuan yang pernah kamu jadiin fotonya sebagai display picture bbm kamu ?" Tanyaku pada Al. Aku ingat sekali, dia pernah beberapa kali memasang foto perempuan cantik sebagai display picturenya, dulu.

"Yang mana ? Aku gak ngerasa pernah masang foto perempuan."

"Gak usah pura-pura gak tau deh Al. Aku masih inget kok kamu pernah masang fotonya, kalau gak salah kamu nulis nama dia juga waktu itu. Tapi aku lupa namanya."

"Aku beneran gak inget Kei."

"Jadi sekarang kamu gak punya pacar ?"

"Gak, aku lebih pengen lulus ketimbang punya pacar." Al tertawa di akhir kalimatnya.

"Semangat terus ya. Usahain tahun ini di wisuda."

"Iya. Kamu kerja dimana sekarang ?"

"Aku masih nganggur Al. Belum dapat izin merantau. Jadi dirumah aja dulu."

"Izin ke pekanbaru aja. Ntar aku yang bakal jagain kamu disini. Bilang sama mama papa gak usah khawatir."

"Pengen banget mah kalau di izinin."

"Kamunya yang harus pinter-pinter bilang sama mama papa. Terus buktiin kalau kamu udah gede, udah bisa jaga diri sendiri. Jangan kayak bocah terus."

Aku tersenyum mendengar omelan kecil dari Al. Akhirnya malam ini kami menghabiskan waktu 2 jam lebih dengan telponan.

***

Tiga minggu berlalu sejak Al menelponku malam itu. Dan hingga saat ini komunikasi kami lancar sekali.  Bahkan kami mulai menggunakan kata sayang hampir disetiap pesan. Seperti saat sekarang ini.

Jangan lupa makan siang sayang :)

Itu adalah pesan singkat dari Al. Dia memang mulai sering mengirimiku pesan singkat duluan walaupun hanya sekedar mengingatkan makan siang atau makan malam. Begitupun dengan aku.

Kamu juga jangan lupa makan siang :) masih dikampus ?

Masih. Lagi nunggu dosen buat bimbingan. Kamu udah pulang ?

Belum, aku pulang sorean kayaknya.

Ya udah, lanjutin dulu kegiatan kamu. Nanti pulangnya hati-hati ya.

Iya, kamu juga. Aku sayang kamu.

Aku sayang kamu juga.

***

Memasuki minggu ke empat, aku dan Al masih sering komunikasi. Namun entah kenapa aku mulai merasa Al sedikit menghindariku. Entah karena apa.

Padahal, selama empat minggu terakhir kami tidak pernah bertengkar. Aku juga bahkan tidak pernah menuntut apapun dari Al, termasuk tentang status hubungan yang kami jalani sekarang.

Karena, sama seperti dulu, bagiku bisa mengetahui kabar Al setiap harinya sudah membuatku bahagia.

Aku memutuskan untuk menelpon Al sekarang. Menanyakan apa yang terjadi dengannya. Benarkah dia mencoba menghindariku atau perasaanku saja.

Al mengangkat teleponku pada deringan kelima.

"Halo." Sapa Al dari seberang sana.

"Hai Al, lagi apa ?"

"Lagi tiduran aja. Kamu ?"

"Sama. Lagi tiduran juga."

Al diam. Aku kembali memanggilnya.

"Al..."

"Ya ?"

"Kamu kenapa ? Aku ngerasa kamu mulai menjauh dari aku."

Aku mendengar Al menghela napasnya. "Aku gak bisa Kei."

"Gak bisa apa ?" Tanyaku bingung.

"Aku gak bisa ngejalanin hubungan kayak gini terus."

"Maksud kamu apa ? Aku gak ngerti."

"Kei, sudah hampir sebulan kita deket lagi. Dan jujur itu mulai membuatku merasa sulit. Hubungan seperti apa sebenarnya yang kita jalani."

"Kita temenan Al."

"Teman tapi mesra ? Teman mana yang memanggil temannya dengan panggilan sayang ? Teman mana yang komunikasi tiap hari tanpa henti ?"

Aku menghela napas pelan. "Lalu apa masalahnya ? Aku tidak menuntut apa-apa dari kamu Al. Aku juga tidak memaksa kamu untuk menaikkan status kita satu tingkat lagi. Aku cukup bahagia dengan seperti ini Al."

"Tapi aku yang tidak bisa Kei. Ini...sulit sekali rasanya.

"Kamu tau Al, kamu egois sekali. Sekarang terserah kamu. Kamu mau menjauh lagi seperti dulu juga terserah kamu. Aku gak akan memaksa kamu untuk tetap seperti ini."

"Aku minta maaf, Kei."

"Baiklah. Terserah."

Aku memutuskan sambungan telepon begitu saja. Dan untuk kedua kalinya Al mematahkan hatiku, seperti dulu.

***

To be continue...


Dia "Alfajri" ku.

Oleh NindyKornelia 0 comments

"Kei, lo mau gue kenalin sama temen gue gak ? Cakep anaknya." Ucap indah, teman satu kamar yang sekarang sudah menjadi sahabatku.

Kami sama-sama kuliah di salah satu universitas swasta dikota ini serta mengambil jurusan yang sama, yaitu Sistem Informasi. Dan sekarang sudah tahun kedua kami menjalani hari-hari bersama.

"Siapa ? Jangan yang cakep-cakep banget deh. Ntar dia gak mau sama gue." Ucapku sambil tertawa.

Indah berdecak. "Selalu aja gak percaya diri. Lo cantik tau."

"Ya udah, kenalin aja."

"Lo yang invite pin dia ya ?"

"Lah kenapa gue ? Gak mau ah, males."

Indah berdecak lagi. "Biasa aja ih. Sini hp lo." Indah merebut ponsel milikku. Dia langsung mengirim permintaan pertemanan kepada temannya. Aku hanya bisa pasrah, terlalu malas untuk berdebat dengan Indah.

"Sudah." Indah mengembalikan ponselku sambil tersenyum lebar.

Aku langsung membuka aplikasi bbm. Ada satu recent update disana. Ternyata teman si Indah sudah menerima permintaan pertemanan dariku.

"Nama temen lo Alfajri ?" Tanyaku kepada Indah.

Indah mengangguk. "Udah diterima ?"

"Udah." Jawabku singkat. "Dia dimana ?" Tanyaku lagi.

"Pekanbaru."

"Jauh ya."

"Ga jauh-jauh banget ah."

Aku baru saja akan menutup kembali aplikasi bbm, namun ada satu pesan baru yang masuk. Aku melihat nama Alfajri disana.

Hei.

Aku langsung membalas pesan itu tanpa memberitahu Indah. Lagian dia juga terlihat sedang sibuk dengan ponselnya.

Hei :)

Salam kenal, temannya Indah ya ?

Salam kenal kembali. Iya. Teman sekamar dikosan. Kamu teman Indah juga ?

Iya. Teman SMA. Nama kamu Keira ?

Iya. Panggil Kei saja. Kamu Alfajri ?

Panggil Al saja.

Oke, Al.

Lagi apa ?

Tiduran aja, capek pulang dari kampus. Kamu ?

Aku masih dikampus. Kamu ambil jurusan apa ?

Lah, masih ada jadwal kuliah emangnya ? Aku sistem informasi. Kamu ?

Enggak. Cuma lagi nongkrong aja sama anak-anak. Aku ambil teknik sipil.

Wah. Anak teknik sipil:)

Haha. Kenapa memangnya ?

Gapapa, dulu aku pengen banget ambil teknik sipil. Tapi gak lulus. Haha

Aku aja pengen nyerah rasanya.

Jangan ! Sayang tau. Masuk kesana susah. Semangat terus pokoknya.

Haha. Iya-iya. Aku mau jalan pulang dulu.

Oke. Hati-hati dijalan.

Sip. Bye Keira.

Bye Alfajri.

Aku menutup aplikasi bbm lalu menoleh ke arah Indah. Sial. Aku ketahuan. Dia sedang tersenyum jahil ke arahku sambil menaikturunkan alisnya.

"Apa ?" Tanyaku sedikit galak.

"Ciye. Langsung chatting aja." Godanya, dia mencolek daguku dari samping.

"Jangan lebay ya. Gak mungkin ada orang yang nge chat gue abaikan gitu aja. Ntar dikira sombong lagi."

"Uuuuuu. Gak usah salting gitu dong."

"Apaan sih." Gue menoyor kepala Indah lalu beranjak dari kasur. Mengambil handuk yang tergantung dibelakang pintu lalu melangkah menuju kamar mandi.

***

Aku mengucek mataku yang mulai perih dan berair. Hampir 2 jam memandangi laptop tanpa henti membuat mataku lelah. Kalau bukan karena tugas yang harus dikumpulkan besok pagi, aku tidak akan mau mengerjakannya.

Aku meregangkan otot-ototku. Lalu membereskan berkas-berkas tugas yang tadi kukerjakan. Dilanjutkan dengan membersihkan kamar. Jangan sampai aku mendengar omelan Indah saat dia pulang nanti karena kamar yang kotor dan berantakan.

Selesai dengan membereskan kamar, aku lalu merebahkan badanku di atas kasur lalu mulai mengecek ponselku yang dari tadi ku abaikan.

Aku membuka aplikasi bbm dan menemukan beberapa pesan baru disana. Dan salah satunya dari Alfajri.

Malam Kei, lagi apa ?

Sorry baru bales Al, aku baru kelar ngerjain tugas. Sekarang lagi tiduran aja. Kamu lagi apa ?

Owh. Aku lagi duduk-duduk aja sama abang-abang deket rumah di pos ronda. Kamu udah makan ?

Kamu ikutan jaga di pos ronda ? Aku belum makan. Nungguin Indah pulang dulu, soalnya tadi nitip beli makanan sama dia. Kamu udah makan ?

Iya. Ketimbang dirumah sendirian. Mending disini kan. Rame. Aku udah makan. Memangnya Indah kemana ?

Enakan rame yak. Biasalah Al, lagi pacaran dia haha.

Kamu gak pacaran juga ?

Pacaran kok, sama dinding kosan -_-

Haha. Masa sama dinding kosan.

Iya. Huhuu.

Pacar kamu kemana ?

Gak punya pacar :(

Kasian. Jomblo :p

Memangnya kamu enggak ?

Jomblo juga sih. Haha

Uuu. Dasar !

Akhirnya aku menghabiskan malam ini dengan chatting bersama Alfajri.

***

Dua minggu berlalu sejak perkenalanku dengan Al. Kami masih sering berkomunikasi. Entah itu sekedar menanyakan "lagi apa" atau "udah makan belum ?".

Dia teman chatting yang menyenangkan dan juga...perhatian. kadang-kadang dia bisa menjadi menyebalkan, apalagi saat aku mengeluh sakit perut karena magg ku yang kambuh. Dia bahkan bisa mengomeliku seharian, atau yang lebih parah malah mengabaikanku. Dia akan memilih untuk tidak membalas pesan-pesanku.

Seperti saat sekarang. Dia tidak membalas pesanku sejak tadi siang aku mengeluh sakit perut lagi. Memang salahku juga, sudah tau belum makan nasi dari pagi, malah memilih makan mie rebus untuk makan siang.

Aku menghela napas berat. Rasanya sesak sekali. Aku sudah terbiasa chatting dengan Al, jadi saat dia marah begini, aku merasa sedikit kehilangan.

Aku memutuskan untuk mengirim pesan lagi kepada Al. Berharap dia membalasnya.

Hei. Masih marah ?:(

Tiga puluh menit berlalu, namun Al masih belum membalas pesanku. Tapi aku masih bisa sedikit tenang, karena disana masih belum ada tanda bahwa pesan itu sudah dibaca. Mungkin saja Al lagi sibuk dan belum melihat ponselnya. Iya. Mungkin saja.

Beberapa saat kemudian ponselku berbunyi. Ada pemberitahuan pesan baru di aplikasi bbmku. Aku langsung membukanya dengan cepat saat tau pesan itu dari Al.

Enggak.

Hanya satu kata, dan itu semakin membuat dadaku menjadi sesak. Entah karena apa.

Beneran ? Tapi kenapa jadi cuek banget :(

Aku baru pulang, tadi di ajak keluar sama teman. Kamu sudah makan ? Masih sakit ?

Aku udah makan. Masih sakit sih, tapi udah gak sesakit tadi sore. Aku udah minum obat kok. Kamu udah makan ?

Aku udah makan. Mending kamu sekarang istirahat.

Gak mau, masih pengen bbman sama kamu.

Kei, kamu itu lagi sakit. Istirahat.

Sakit perut doang kok. Aku janji ga tidur lewat dari tengah malam.

Gak. Istirahat sekarang. Atau besok gak usah hubungin aku lagi.

Oke fine. Aku tidur.

Good night Keira.

Good night.

Aku memanyunkan bibirku. Merasa sedih karena Al terlihat sangat dingin malam ini. Dan tanpa bisa aku tahan lagi, akhirnya aku menangis. Aku tidak mau Al yang seperti ini. Al yang cuek dan tampak tidak peduli padaku, menurutku.

***

"Kei, tugas dari Pak Pian udah kelar belum?" Tanya Indah kepadaku. Dia sedang menghidupkan laptopnya. Aku bisa menebak pasti dia belum mengerjakan tugas dari Pak Pian.

"Udah." Jawabku singkat sambil memainkan ponselku. Seperti biasa, aku lagi chatting dengan Al. Dia sudah kembali menjadi Al yang aku suka.

Tunggu.

Apa barusan aku bilang suka sama Al ?

Astaga.

"Tumben banget udah kelar. Sok rajin lo."

Aku tertawa. "Gue emang rajin."

Indah mendengus pelan. Lalu mulai mengerjakan tugasnya. Aku membiarkan Indah fokus tanpa mengganggunya.

Aku tersenyum sumringah saat melihat pesan dari Al yang mengatakan bahwa dia akan menelponku. Ya, dia sudah meminta no ponselku dan sebentar lagi akan menelponku. Itu berarti ini pertama kalinya aku mendengar suaranya.

Ponselku berdering, ada panggilan telepon masuk. Dan aku bisa menebak kalau itu dari Al. Aku langsung mengangkatnya.

"Halo." Sapaku pelan.

"Hai." Ucap Al dari sana. Aku kembali tersenyum setelah mendengar suara Al. Dan entah kenapa jantungku berdebar-debar. Harus aku akui, aku suka mendengar suaranya. Sangat.

"Lagi apa ?" Tanyanya.

"Tiduran, kamu ?"

"Sama. Lagi tiduran juga. Besok kamu ada jadwal kuliah ?"

"Iya. Masuk pagi. Kamu gimana ?"

"Aku masuk pagi juga, bangunin aku ya ?"

"Bangunin ? Gimana caranya ?"

"Telepon-telepon aja. Hp gak aku silent kok."

"Oke. Aku bangunin jam 7 ya."

"Iya."

Setelah itu aku dan Al membicarakan banyak hal. Seperti kegiatanku seharian ini. Kegiatan dia seharian ini. Bahkan sampai membahas masalalu percintaan kami.

***

"Capek banget gue." Keluhku lalu menghempaskan badan dikasur.

Aku baru saja pulang dari mall bersama Indah dan Diah, teman satu kosku juga. Kami berbelanja kebutuhan masing-masing sambil cuci mata.

Aku mengecek ponselku. Dan seperti biasa menemukan pesan baru dari Al.

Udah pulang ?

Itu isi pesannya dari dua puluh menit yang lalu. Aku memang mengabarinya saat akan berangkat tadi.

Aku baru nyampe kosan Al. Kamu lagi apa ?

Lagi nongkrong di pos ronda. Sudah makan kan ?

Belum. Aku masih kenyang. Kebanyakan jajan tadi. Kayaknya ga makan lagi deh. Kamu udah makan ?

Udah. Kamu harus paksain makan, walaupun dikit. Ntar magg kamu kumat lagi.

Masih kenyang banget Al :(

Makan sayang.

Aku sontak tersenyum sumringah sambil menghentak-hentakkan kakiku di kasur. Ini pertama kalinya dia memanggilku sayang. Dan aku bahagia sekali.

"Kenapa lo ?" Tanya Indah.

Aku menggeleng sambil masih tersenyum. "Kepo lo."

Indah mencibir. "Paling karena si Al."

Aku mengabaikan ucapan Indah, lalu mulai mengetikkan balasan pesan dari Al.

Baiklah tuan pemaksa. Nanti aku makan. Puas ?

Bagus.

***

Aku bolak-balik mengubah posisi tidurku. Namun masih saja tidak bisa tidur. Aku tidak biasa tidur sendiri, dan sekarang aku harus tidur sendiri karena Indah sedang pulang ke kampung halamannya.

Al, sudah tidur ? Aku tidak bisa tidur :(

Aku memutuskan mengirimkan pesan itu kepada Al. Padahal tadi aku sudah pamit tidur dari jam sepuluh tadi kepadanya.

Belum. Kenapa tidak bisa tidur ?

Gak tau. Aku telpon ya ?

Iya. Telponlah.

Aku langsung mencari no Al di kontak, setelah itu menekan tombol panggilnya. Al langsung menerima panggilanku pada dering kedua.

"Kenapa tidak bisa tidur ?" Tanyanya langsung.

"Aku takut. Aku tidak biasa tidur sendiri."

Aku mendengar Al menghela napas di seberang sana. Dia pasti sedikit kesal. Dia pernah bilang kalau dia tidak suka aku terlalu manja dan cengeng. Dia ingin aku mandiri dan jadi lebih tegar lagi. Apapun yang terjadi.

"Paksain Kei. Kamu itu udah gede. Apa yang kamu takutin ?"

"Takut aja Al, temenin aku bentar ya. Please." Ucapku sedikit merengek.

"Iya. Tapi gak lebih dari jam 12. Kamu harus tidur.

"Oke."

Setelah itu kami kembali membicarakan banyak hal dengan tenang sampai kepada kalimat yang tanpa sengaja keluar dari bibirku. Yang membuat suasana menjadi canggung.

"Al. Aku sayang kamu."

Al diam beberapa saat lalu kembali berbicara. "Aku juga."

"Juga apa ?"

"Juga sayang kamu."

"Beneran ?" Tanyaku tanpa bisa menutupi nada bahagiaku.

"Iya Kei."

"Jadi ?" Tanyaku lagi.

"Jadi apa ?" Tanyanya balik. Aku gak tau apakah dia memang tidak mengerti maksudku atau pura-pura tidak mengerti.

"Jadi gimana kelanjutannya, tentang kita."

Al menghela napas berat lagi. Aku was-was menunggu apa yang akan diucapkan Al selanjutnya.

"Kei, aku akui aku sayang sama kamu, aku nyaman sama kamu. Tapi, aku gak bisa mengabulkan apapun yang ada di fikiran kamu saat ini. Kita gak akan berhasil Kei."

"Kenapa ?" Tanyaku lirih. Dadaku sesak seketika. Rasanya ada ribuan beton yang menghimpit disana.

"Jarak. Aku berada di pekanbaru. Sedangkan kamu berada di padang. Kita sulit untuk bertemu Keira. Dan aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh."

"Kenapa kita tidak coba dulu ? Aku beneran sayang samu Al. Sangat."

"Aku tau, Kei. Tapi aku sungguh-sungguh tidak bisa. Aku gak bisa ngebayangin jika suatu saat nanti, saat kita memutuskan untuk menjalani hubungan pacaran, dan tiba-tiba aku atau kamu rindu ingin bertemu. Sementara kondisinya kita gak bisa ketemu. Aku gak bisa ngebayangin gimana rasanya. Ditambah lagi sifat manja dan cengeng kamu, aku gak mau kamu nangis saat gak bisa ketemu sama aku. Aku gak bisa Kei. Mengertilah."

Aku menangis mendengar semua ucapan Al yang berarti penolakan untukku. Tadinya aku fikir hubungan kami akan naik satu tingkat dari level pertemanan. Tapi ternyata aku salah. Aku tidak yakin hubungan kami akan membaik setelah ini. Bahkan untuk level teman sekalipun.

"Jangan menangis. Aku tidak suka kamu menangis." Ucap Al lagi saat tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirku. Hanya suara tangisan saja yang akan terdengar oleh Al.

"Keira. Berhentilah menangis. Atau aku akan matikan teleponnya.

Bukannya menenangkanku, Al malah semakin menambah kesedihanku. Aku tau dia tidak suka aku menangis. Tapi setidaknya, untuk saat ini, aku berharap dia mau sedikit saja menunjukkan rasa sayangnya dengan cara menenangkanku.

Tapi Alfajri tetaplah Alfajri, laki-laki yang akan selalu membuktikan perkataannya. Dia benar-benar memutuskan sambungan telepon. Membiarkanku menangis terisak-isak disini.

***

To be continue...









Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-


“Lin, gak mau makan siang dulu ?” Tanya Bella, salah satu dosen di universitas tempatku mengajar.

“bentar lagi bel, nanggung. Kamu duluan aja.” Ucapku sambil tersenyum.

Bella mengangguk. “Baiklah, aku istirahat duluan ya.”

“iya.”

Bella keluar dari ruangan dosen, meninggalkanku sendiri disini. Sedangkan dosen yang lain, ada yang masih mengajar.

Aku melanjutkan memeriksa tugas yang dikumpulkan oleh mahasiswaku. Tinggal beberapa tugas lagi, setelah itu baru aku makan siang dan langsung pulang. Lagian aku tidak ada jadwal mengajar lagi hari ini.

Suara ponsel berbunyi membuat perhatianku teralihkan. Mengabaikan sebentar tugas-tugas itu, aku langsung mengecek ponsel. Ternyata ada pesan singkat dari Ayu. Aku lantas membuka pesan tersebut.

Minggu depan aku ke Jakarta. Tolong siapin red carpet buat penyambutan. Okay ?

Aku tertawa pelan membaca pesan dari Ayu. Ngomong-ngomong aku sudah lama tidak bertemu dengan Ayu . terakhir bertemu saat liburan tahun baru kemaren. Itu berarti sudah enam bulan yang lalu. Sedangkan dengan Rissa, aku masih sering bertemu karena Rissa memang memutuskan untuk berkarir disini saja. Berbeda dengan Ayu yang ingin dekat dengan kedua orangtuanya.

Presiden saja tidak selalu disambut dengan Red carpet. Memangnya kau siapa ?

I’m your idol. Sudah sewajarnya fans fanatic memanjakan idolanya.

Huek ! kabarin aja kalau udah mau berangkat.

Tentu. Ambil cuti please, aku cuma bisa libur seminggu doang.

Ck. Selalu menyusahkan. Kabarin Rissa sekalian.

Sudah baby. Baiklah, idola mau makan siang dulu. Bye and see you next week.

See you.

Aku meletakkan kembali ponselku di atas meja, lalu melanjutkan memeriksa tugas-tugas yang tadi tertunda.

Tidak butuh waktu lama akhirnya aku selesai memeriksa semua tugas-tugas itu. Aku menyimpan file-file yang penting lalu merapikan meja. Setelah itu baru beranjak meninggalkan ruangan dosen.

Aku menyusuri lorong kampus dengan santai. Tersenyum ramah kepada setiap mahasiswa yang menyapaku sudah menjadi rutinitasku.

Lagi-lagi ponselku berbunyi. Aku mengeceknya dan memutuskan untuk mengangkatnya saat melihat nama si penelpon di layar. Justin calling, tertulis dilayar ponselku.

“Hai” Sapaku pelan.

“Lagi dimana ?” Tanya Justin langsung tanpa membalas sapaanku.

“Dikampus.”

“Masih ngajar ?”

“Enggak, udah mau pulang.”

“Baguslah.”

Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengannya. “are you okay ?” tanyaku.

Justin tertawa. “I’m okay. Berbaliklah dan lihat siapa yang ada dibelakangmu.”

Aku sontak berhenti berjalan. Lalu membalikkan badan. Aku langsung cemberut melihat siapa yang berdiri beberapa meter di belakangku. Ya, orang itu adalah Justin.

Ngomong-ngomong aku dan Justin memang masih sering berkomunikasi via telepon atau kadang-kadang via social media. Bahkan kami sempat beberapa kali bertemu. Saat dia ada urusan pekerjaan disini atau aku sedang jalan-jalan ke bali.

“kok gak ngabarin kalau mau kesini ?” tanyaku sambil cemberut.

Justin mengacak rambutku pelan. “Kejutan.” Ucapnya sambil tersenyum.

“hei, aku disini dosen ya. Jangan memperlakukanku seperti bocah begini. Ngerusak citra banget tauk !”

Justin tertawa pelan. “Kamu udah makan ?”

Aku menggeleng.

“mau makan bersama ?”

“Aku maunya ditempat yang mahal ya. Biar kamu bangkrut.”

“kayak yang banyak makan aja. Ayo, nyari makan.”

Aku dan Justin berjalan beriringan menuju area parkir kampus. Berhubung Justin tidak punya mobil disini, jadi kami berangkat menggunakan mobilku saja. Sepanjang jalan aku dan Justin mengobrol banyak. Aku seringkali memukuli lengannya saat sedang menyetir. Melampiaskan kekesalanku karena dia tidak mengabariku datang kesini. Kalau aku tau dari awal dia akan kesini aku pasti akan menyempatkan diri menjemputnya ke bandara.

Justin memakirkan mobil di area parkir restoran yang kami datangi. Aku turun duluan, disusul oleh Justin. Setelah itu kami masuk bersama-sama.

“Mau pesan apa ?” Tanya Justin.

Aku membaca buku menu restoran. “Spaghetti aja deh sama ice lemon tea.”

“Siang-siang gini makan spaghetti ?”

Aku mengangguk. “memangnya kenapa ?”

“Gak papa sih.”

Justin memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanan kami. Pelayan itu mencatat dan mengulang menyebutkan pesanan kami, setelah itu baru beranjak pergi.

“Jadi, kali ini berapa lama di Jakarta?” tanyaku kepada Justin.

“satu minggu. Kenapa ? pengen aku lama-lama disini ya ?” Godanya sambil tersenyum jahil.

Aku mencibir. “ngarep ! yang ada kamu nyusahin kalau lama-lama disini.”
Justin tertawa. “Jujur banget sih. Nanti malam dinner yuk.”

“Makan siang aja belum datang dan kamu udah mau ngajakin dinner buat nanti malem ?”

“Iyain aja kenapa.”

Aku tertawa. “Iya-iya. Kamu nginep dimana ? biar nanti malem aku jemput.”

“yang ngajakin dinner itu aku Lin, kenapa kamu yang jemput ?”

“biasanya juga aku yang jemput. Kayak kamu punya mobil aja disini.”

Justin tertawa lagi. “Kali ini aku yang jemput. Kamu cukup dandan yang cantik terus duduk manis dirumah sambil nunggu aku.”

“Baiklah.”

Beberapa saat kemudian makanan yang kami pesan datang. Kami langsung menyantapnya sambil sesekali menobrol santai.

*****

Pukul tujuh lewat empat puluh menit malam. Aku keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi dan sedikit berdandan. Justin bilang dia sudah di dalam perjalanan menuju rumahku.

“Mau kemana kak ?” Tanya Fajar yang sedang menonton tv sambil melirikku sekilas.

“Mau dinner sama Justin. Entar bilang mama papa kalau kakak pulang agak telat ya.”

“Kak Justin lagi di Jakarta ?”

“Iya, ada pekerjaan disini.”

Fajar mengangguk-ngangguk. “jangan pulang malam-malam banget.”

“Iya, kamu kayak mama papa lama-lama.”

Fajar mengedikkan bahu. “Buat kebaikan kakak juga.”

Suara bel berbunyi, itu pasti Justin. Aku melangkah menuju pintu. Lalu membukanya. Benar saja, Justin berdiri disana sambil tersenyum manis. Dia juga membawa sebuket bunga ditangannya.

“Buat kamu.” Ucapnya seraya mengulurkan sebuket bunga mawar berwarna merah.

Aku menaikkan sebelah alisku. “tumben banget ngasih bunga.” Ucapku, tapi tetap mengambil bunga tersebut. “makasih ya.” Ucapku lagi.

“Sekali-sekali gak papa dong.”

“Mau berangkat sekarang ?” tanyaku.

Justin mengangguk. “Mama papa ada ? aku mau izin dulu.”

“Mama papa lagi keluar, Cuma ada Fajar. Langsung berangkat aja deh, aku tadi udah bilang dia juga kok.”

“Baiklah, ayo.”

Aku mengikuti Justin yang berjalan didepan menuju mobil. Dia membukakan pintu mobil untukku. How sweet. Setelah aku duduk manis di bangku samping bangku kemudi barulah Justin menutup pintu dan berlari kecil menuju pintu bangku kemudi.

“Nyolong mobil siapa kamu ?” tanyaku saat Justin mulai menyalakan mesin mobil.

“Enak aja nyolong. Mobil pinjeman ini.” Ucapnya sambil terkekeh di akhir kalimat.

“Minjem mobil siapa ?”

“Mobil sepupu.”

Aku mengangguk-ngangguk. Lalu membiarkan Justin focus menyetir. Walaupun aku dan Justin dekat, namun kami tidak sedekat yang terlihat. Aku memang nyaman bersama Justin, tapi entah kenapa seperti ada batas di antara kami. Aku tidak bisa tertawa lepas bersamanya. Atau memang aku yang tidak tau bagaimana cara tertawa lepas lagi selama Sembilan tahun terakhir. Entahlah.

Aku mengedarkan pandangan keluar jendela selama di perjalanan. Bagiku, pemandangan gedung-gedung tinggi serta lampu-lampu yang berkilauan ditengah kegelapan malam itu sangat indah. Dan aku menyukainya.

“Kita sudah sampai.”

“huh ?”

“Kamu baik-baik aja ? Sepanjang jalan aku perhatiin kamu ngelamun terus.”

Aku tersenyum tipis. “aku baik-baik aja. Ayo turun, aku laper.” Ucapku lalu tertawa kecil.

Aku mendengar Justin menghela napas, namun tetap mengikutiku turun. Kami melangkah bersama-sama. Lalu memesan makanan dan menikmatinya dengan suasana santai.

Satu jam kemudian semua pesanan yang kami pesan habis tidak bersisa. Aku bukan orang yang suka menyisakan makanan. Jika bisa kuhabiskan maka akan aku habiskan, tidak peduli sedang bersama siapapun.

“Pergi sekarang yuk. Ada film yang mau aku tonton di bioskop. Kamu mau nemenin ?”

“film apa ?”

“Film action gitu. Aku lupa judulnya. Please.” Ucap Justin sambil menampilkan wajah memelasnya.

Aku tertawa pelan. “gak usah masang wajah gitu. Geli tauk. Ayo, ntar ngambek lagi kalau gak ditemenin.” Aku menjulurkan lidahku.

“emangnya aku cewek yang lagi pms, gampang ngambek.”

“gak usah sok ngerti tentang cewek deh Tin, jomblo juga.”

“Bully aja terus. Ayuk ah, gak berangkat-berangkat ini.”

Justin beranjak menuju meja kasir. Aku menyusul dibelakangnya. Setelah membayar semua pesanan, kami berjalan beriringan menuju mobil. Dan lagi-lagi Justin membukakan pintu mobil untukku.

Perjalanan menuju mall hanya memakan waktu sepuluh menit saja, karena jaraknya dengan restoran tempat kami makan tadi memang dekat.
Aku melihat-lihat sekeliling sementara Justin membeli tiket buat nonton. Setauku ini bukan malam minggu, kenapa pengunjung ramai sekali. Dan kebanyakan dari mereka adalah pasangan muda-mudi usia belasan tahun.

“Ayo masuk.” Justin menunjukkan tiket yang dibelinya.

Aku mengangguk lalu masuk bersama-sama dengan Justin ke dalam ruangan bioskop.

Aku mengernyitkan dahi, bingung. Pasalnya ruangan bioskop yang kami masuki masih kosong. Tidak ada orang sama sekali kecuali kami berdua.

“Kemana orang-orang ? kenapa Cuma kita berdua ?” tanyaku kepada Justin yang duduk di sisi kanan ku.

Justin mengedikkan bahu. “gak tau. Gak suka nonton ini mungkin.”

Aku semakin bingung dengan alasan Justin. Namun memilih untuk tidak menanyakan lagi. Beberapa saat kemudian lampu bioskop mulai dimatikan bersamaan dengan hidupnya layar yang ada di dalam bioskop.

Aku speechless seketika.

Karena yang ada di layar bukanlah tayangan film yang akan kami tonton melainkan Justin yang tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Hai, kamu pasti kaget banget ngeliat ini. ELina, kamu masih inget ungkapan cinta aku Sembilan tahun yang lalu kan ? Dan sekarang aku pengen nagih jawabannya ke kamu. Aku sungguh-sungguh sayang sama kamu Lin. Would you be my girl friend ?”

Aku menoleh ke samping dan semakin speechless dengan apa yang kulihat. Justin memberikanku sebuket bunga mawar dengan ukuran besar. Lebih besar dari yang diberikannya saat menjemputku tadi.

“Aku bener-bener gak tau harus bilang apa.” Jawabku dengan jujur.

“Aku gak akan maksa kamu untuk jawab iya Lin. Cukup kasih tau jawabannya sekarang. Yes or No ?”

Aku berfikir sebentar. Aku nyaman bersama Justin. Dia baik, baik banget malahan. Tapi, aku gak punya perasaan apa-apa sama Justin. Sungguh, aku bingung sekali.

Bukankah perasaan bisa tumbuh seiring berjalannya waktu ?

Kenapa tidak coba dijalani dulu ?

Benar juga, kenapa aku tidak mencobanya dulu. Bukankah ini kesempatan bagus buat melupakan pria brengsek bernama Gavin itu ?

Yes.” Ucapku sambil mengangguk.

Justin sontak memelukku. “Thank you. Aku janji bakal bahagiain kamu. I Love you.”

Aku membalas pelukan Justin sambil tersenyum, tanpa membalas pernyataan cintanya.

Bersambung ~


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Gavin Devon Adelard-



Aku sedang memeriksa restoran yang ku miliki. Memastikan semua tempat sudah bersih dan nyaman untuk digunakan. GDA Resto, nama restoran yang kubangun tujuh tahun yang lalu.

Berawal dari meminjam uang sebagai modal awal kepada papa. Akhirnya sekarang aku mampu mendirikan GDA Resto di beberapa kota besar di Indonesia.

"Hei kak."

Aku menoleh ke arah suara berasal dan mendapati Fajar yang tampak rapi dengan setelan jasnya.

"Ah tersanjung sekali rasanya di datangi CEO super tampan." Godaku.

Fajar meninju pelan bahuku.

"Sial !" umpatnya.

Aku tertawa menanggapinya. Aku dan Fajar memang masih sering bertemu untuk sekedar olahraga atau nongkrong bersama. Mengagumkan sekali melihatnya menjadi CEO muda yang berpengaruh dikalangan pebisnis.

"Jadi apa yang membuat kau datang kemari ?"

"Setidaknya ajaklah tamu duduk sebelum bertanya kak."

Aku memutar kedua bola mata. "Di ruangan kakak aja."

Aku melangkah menuju ruanganku diikuti oleh Fajar dibelakang. Sebelum masuk aku meminta salah satu pegawaiku untuk menyiapkan minuman. Setelah itu baru masuk ke dalam.

"Jadi, ada apa ?" tanyaku langsung kepada Fajar. Kami duduk berhadap-hadapan di sofa yang ada diruanganku.

"Minggu depan adalah acara ulang tahun perusahaanku. Dan aku pengen restoran kakak yang menyiapkan makanannya."

Aku mengangguk-ngangguk. "Baiklah, kakak akan memberikan yang terbaik."

"Aku percaya sama kakak."

Kami lalu membahas persiapan apa saja yang dibutuhkan untuk minggu depan. Setelah itu melanjutkan dengan mengobrol santai. Biasanya topik yang kami bicarakan tidak akan jauh-jauh dari olahraga.

"hm. Kak, aku harap kali ini kakak mau datang ke acara ulang tahun perusahaanku."

Aku menghela napas. "kakak gak bisa Jar."

"Sampai kapan sih kakak menghindar dari kak Elin ? Ini udah Sembilan tahun kak. Aku gak tau apa masalah kakak sama kak Elin. Tapi satu hal yang aku tau. Kalian berdua sama-sama tersiksa selama Sembilan tahun terakhir."

"Gak usah sok tau."

Fajar mengedikkan bahu. "terserah. Aku Cuma pengen kalian berdua bahagia. Aku pergi dulu. Aku benar-benar berharap kakak datang."

Fajar berdiri lalu melangkah keluar. Meninggalkanku dengan fikiran yang dipenuhi dengan rasa bersalah. Semua kilatan kejadian Sembilan tahun yang lalu menyeruak masuk dalam ingatanku.

Bodoh !

Satu kata itu cocok menggambarkan bagaimana sikapku dulu.

Harusnya aku tidak pernah mengatakan semua kalimat sialan itu. Kalimat yang membuat wanita yang aku cintai terluka hingga mengeluarkan air mata. Kalimat yang ingin aku tarik kembali jika bisa. Dan kalimat itu juga yang membuatku membenci diriku sendiri hingga saat ini.

Aku terlalu cemburu saat itu. Masih teringat jelas olehku bagaimana pria bernama Justin itu memeluk Elina dengan erat. Ditambah lagi dengan Elina yang yang membalas pelukan Justin, sambil tersenyum manis.

Pemandangan itu sontak membuatku emosi. Aku tidak bisa berfikir jernih lagi. Yang ada didalam fikiranku adalah bagaimana cara melampiaskan amarahku. Aku sengaja tidak menjemput Elina malam itu. Karena aku tau, aku tidak akan bisa mengontrol emosiku bila bertemu dengannya. Namun sialnya, Elina malah datang menemuiku. Dan yap, aku menyakitinya.

Sangat menyakitinya.

"AAAARGH !!!"

PRANG !!!

Aku berteriak disusul dengan bunyi pecahan vas bunga yang ku lempar. Selalu seperti itu. Aku selalu melampiaskan penyesalanku dengan memecahkan benda-benda tidak bersalah disekitarku.

"Ada apa ? Kau baik-baik saja ?"

Aku menoleh dan mendapati Carel, orang kepercayaanku dalam mengelola GDA Resto sedang menatapku dengan raut wajah terkejut.

"Seperti yang kau lihat." Balasku singkat.

"Pulang dan beristirahatlah."

Aku mengangguk pelan. Carel benar. Aku butuh istirahat untuk menenangkan diri. Aku beranjak keluar dan menyempatkan menepuk pelan bahu Carel.

Sudah Sembilan tahun ternyata.

Dan aku masih saja belum melupakannya.

Bersambung ~

Terimakasih buat yang udah baca.

Terimakasih juga buat votenya :)


 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea