My Lovely Son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sasha pov


"Din, gue titip toko dulu ya. Mau jemput Bimbim ke sekolah." Ucapku kepada Dinda yang sedang menghias kue.

"Oke. Mau gue anter gak ?." Tawar Dinda.

"Engga usah. Gue naik taxi aja."

"Ya udah, hati-hati dijalan."

Aku mengangguk lalu melangkah keluar dari toko. Beruntunglah saat baru keluar ada taxi yang lewat. Jadi aku tidak perlu menunggu terlalu lama.

Mobilku sedang berada di bengkel sekarang. Entah kenapa tadi pagi saat mau mengendarainya, mobil kesayanganku itu tidak mau hidup sama sekali.

"Ini uangnya pak." Aku menyodorkan beberapa lembar uang kepada sopir taxi saat sudah sampai di sekolahannya Bimo.

Sekolahan Bimo sudah ramai di kunjungi para orangtua yang ingin menjemput anaknya. Aku memilih duduk di bangku panjang didekat sebuah pohon yang rindang.

Ponselku berdering pertanda ada pesan masuk. Aku membuka tas dan mengambil ponsel dari dalam tas. Lalu membuka pesan singkat yang baru masuk.

From : Bima

Bilangin sama Bimbim, aku gak bisa ikut makan siang bersama hari ini. Nanti sore aku akan menjemputmu dan Bimbim di toko.
Tunggu aku.

Aku langsung mengetik balasan pesan untuknya.

To : Bima

Oke.

Setelah mengklik tombol send, aku kembali memasukkan ponselku ke dalam tas.

Sejujurnya aku tidak bisa tidur semalam. Bukan karena aku ada pekerjaan atau karena aku belum mengantuk. Semua itu disebabkan karena ciuman dari Bima semalam.

Sungguh aku tidak tau apa maksud dari ciumannya semalam. Yang aku tau dia bersikap aneh sekali kemaren.

Astaga.

Aku benar-benar penasaran. Aku merasa seperti seorang ABG yang jatuh cinta saja. Tunggu. Jatuh cinta ?

Mungkinkah aku telah jatuh cinta sama Bima ?

Aku memegang dadaku yang berdebar-debar. Dan aku menemukan jawabannya. Ya ! Aku jatuh cinta kepadanya. Kepada pria yang dulu sangat aku benci. Kepada pria yang dulu aku anggap pengecut.

"Lho, Sasha ?"

Aku terkejut saat suara seseorang memanggilku, aku menoleh dan mendapati seseorang yang langsung duduk di sebelahku.

"Dava ?" Tanyaku sedikit ragu.

"Yap. Syukurlah kamu masih mengingatku. Ngapain disini ?" Tanyanya, pria yang di sampingku adalah Dava.

Aku ingat dulu kami tidak sengaja bertemu karena dia menabrak mobilku dari belakang, lalu bertemu lagi saat di tokoku. Berarti sekarang pertemuan kami yang ketiga.

"Aku lagi nungguin Bimbim. Dia sekolah disini. Kamu ngapain disini ?"

"Kalau aku bilang aku nungguin kamu, kamu akan percaya ?"

Aku tertawa. "Tentu saja tidak. Kalau tadi itu gombalan, sungguh tidak berkesan sekali Dav." Candaku.

Dava ikut tertawa disampingku. "Aku payah ya dalam soal gombal-ngegombal."

"Lumayan." Ucapku sambil tertawa lagi. "Jadi, kamu ngapain disini ?"

"Jemput ponakan. Aku tidak tau kalau mereka lama sekali keluarnya."

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. "Paling sebentar lagi. Naah, itu mereka sudah keluar." Aku menunjuk rombongan anak-anak yang berlarian dari dalam kelas.

Aku melambaikan tanganku kearah Bimo. Dia berlari menghampiriku sambil memegang botol minumannya.

"Kok minumannya masih banyak Bim ?" Tanyaku sambil mengelus kepala Bimo. Lalu mengambil botol minumannya.

"Bimbim gak haus bun."

Aku ber-oh-ria.

"Hello jagoan." Dava datang bersama ponakannya yang berada di gendongannya. Dia cantik sekali, seperti princess-princess di negeri dongeng.

"Halo om. Kila, anaknya om Dava ya ?"

"Bukan sayang. Kila keponakan om. Kamu kenal kila ?"

Bimo mengangguk. "Kila teman satu kelas bimbim." Ucapnya.

"Bimbim yang kasih kila boneka panda ini om." Akila yang berada digendongan Dava menunjukan sebuah boneka panda di tangannya.

Jadi si princess ini yang dibelikan boneka oleh Bimo. Ck, anakku ini. Masih kecil sudah tau mana cewek yang cantik seperti bidadari.

"Bimo, tante cantik itu mama kamu ya ?"

"Hello princess, kenalin tante adalah bundanya Bimo. Kamu cantik sekali." Ucapku seraya mencubit pelan pipi putih bersih milik Akila.

"Terimakasih tante, tante juga cantik. Tapi lebih cantik mami kila. Hehe." Akila terkekeh digendongan Dava.

"Kamu dicuci otak ya sama mami kamu, jelek gitu dibilang cantik." Dava menggoda Akila.

"Om Dava !!" Akila memberengut. "Mami kila yang paling cantik !" Ucapnya kekeh.

"Gak usah dengerin om Dava sayang. Dia hanya iri saja mami kamu." Ucapku menengahi. Aku tidak tau kalau Dava jail seperti itu. Apalagi sama keponakannya sendiri.

"Bun, bimbim lapaar." Bimo menarik ujung bajuku. Kepalanya menengadah.

Aku menunduk sambil tersenyum. "Iya, ayo kita nyari makan."

"Hm. Sha." Panggil Dava.

"Ya ?"

"Mau makan siang bersama ?"

"Kamu yakin gak ngerepotin ?"

Dia menggeleng. "Gak sama sekali. Aku malah seneng kalau kamu mau." Dia tersenyum tipis. "Akila juga pasti seneng kan makan siang bareng Bimo ?" Tanyanya sembari mencubit pipi Akila.

Akila mengangguk. "Seneng. Akila mau makan sama Bimo."

"Kamu liat sendiri kan Sha, jadi gimana ?"

Aku berfikir sebentar, lalu mengangguk sebagai jawaban menyetujui ajakan Dava.

"Baiklah."

***

Bima pov

Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit. Meninggalkan rapat penting dengan perusahaan asing yang harusnya di adakan 10 menit lagi.

Saat sampai diruangan yang aku tuju, aku langsung menyelonong masuk.

"Mamaa baik-baik saja ?" Tanyaku begitu memasuki ruangan tempat mama terbaring lemah.

Mama tersenyum. Aku lalu mengecup dahinya dengan sayang.

"Mama baik-baik aja Bim. Dokter bilang cuma kecapekan." Jawab mama dengan suara yang pelan.

"Kan udah Bima bilang ma, mama banyak istirahat aja. Percuma aja ada mbok Ani kalau mama sakit gini." Aku memegang tangan mama seraya mengecup punggung tangannya.

"Mama sakit bukan karena kerja kak, tapi karena mikirin kakak." Ucap Renata. Dia duduk di sofa di dekat ranjang yang ditiduri mama.

"Mikirin kakak ?" Aku mengernyitkan dahi. Lalu kembali menoleh kearah mama. "Mama mikirin apa sih ?" Desahku.

Mama mengangkat tangannya lalu mengelus kepalaku. "Mama pengen kamu cepat nikah Bim. Mama pengen cucu dari kamu."

"Maaaaa."

"Kamu selalu gitu kalau mama tanyain." Mama memalingkan wajahnya. Raut wajahnya berubah sendu.

Selama ini mama memang sering mengutarakan keinginannya agar aku cepat menikah, tapi aku selalu berusaha menolaknya dengan lembut. Aku tidak tahu kalau keinginan mama sebesar itu.

Aku menghela napas. Memikirkan jawaban yang tidak akan membuat mama sedih.

"Maa, Bima janji akan menikah secepatnya. Tapi sebelumnya Bima mau mama sembuh dulu, terus doain Bima agar di terima sama wanita yang Bima cintai."

Mama kembali menoleh kearahku.

"Kamu sedang mencintai seseorang Bim ?" Tanya mama dengan raut wajah penasaran.

Aku mengangguk.

"Siapa dia ? Kenalin sama mama ya ?" Pintanya.

"Iya. Tapi mama sembuh dulu. Oke ?"

Mama mengangguk sembari tersenyum. Aku lalu mengecup dahinya sekilas. "Mama istirahat yaa."

Aku mengelus-ngelus kepala mama. Memberi kenyamanan agar mama cepat terlelap.

Setelah mama tertidur, aku pindah duduk di sofa. Tepat disebelah Renata yang sedang memainkan ponselnya.

"Kamu gak kuliah dek ?" Tanyaku sembari menyandarkan badan di sofa.

"Engga kak. Kan masih ada jatah libur. Aku mau nungguin mama aja."

"Kapan mama boleh pulang ?"

"Nanti sore udah boleh pulang kok kak."

Aku ber-oh-ria. Mengeluarkan ponsel dari kantong celana. Lalu mulai mengetikkan pesan singkat kepada Sasha.

Aku ingin mengabarinya bahwa aku tidak bisa menemani Bimo makan siang. Entah kenapa makan siang atau makan malam bersama hampir menjadi rutinitas kami.

Tidak butuh waktu lama, aku mendapatkan balasan pesan dari Sasha yang ternyata hanya berisikan satu kata saja, yaitu "oke".

Aku menghela napas lagi. Balasan pesan Sasha membuatku menjadi sedikit pesimis.

Apa salahnya sih dia menulis balasan yang sedikit panjang. Paling tidak tanyakan apakah aku sudah makan atau belum.

Huft.

Kenapa aku jadi mellow seperti wanita begini. Ini benar-benar bukan sifatku.

"Kamu udah makan dek ?" Tanyaku kepada Renata.

"Udah kak." Dia menjawab tanpa menoleh, masih sibuk dengan ponselnya.

"Kamu ngapain sih ?" Aku merebut ponsel dari tangan Renata.

"Kak !!" Protesnya.

Aku memiringkan dudukku, menjauhkan ponsel dari Renata. Lalu memeriksa apa yang sedang dilakukannya dengan ponsel.

"Ck. Kamu mulai pacaran ya?" Tanyaku, setelah memeriksa apa yang dilakukan Renata. Dia sedang chatting dengan seorang pria yang bernama Raffi.

"Apaan sih kak. Aku engga pacaran sama dia." Renata masih berusaha mengambil ponselnya.

"Terus ini apa ? Manggilnya udah sayang-sayangan aja." Aku mendengus.

Selama ini aku memang over protectif kepada Renata. Aku tidak mau kesalahanku di masa lalu, dilakukan pria lain kepada Renata.

"Dia doang kak yang manggil aku sayang, akunya kan engga."

"Tapi kamu ngerespon dia dek, ntar disangkanya kamu ngasih harapan ke dia. Kakak gak mau kamu pacaran dulu. Kuliah aja yang bener."

"Kaaaaaaaaaak." Rengeknya.

"Engga !"

"Iya.iya. siniin hp aku."

"Janji dulu kamu gak akan pacaran."

"Iya kak. Janji ! Bawel ah."

Aku mengembalikan ponsel Renata, aku tau dia tidak akan mengingkari janjinya. Lagian selama ini Renata tidak pernah membantahku. Dia sangat penurut.

"Kakak kekantin dulu. Mau makan. Kamu ikut ?"

Renata menggeleng. "Aku masih kenyang kak."

Aku mengangguk lalu melangkah keluar dari ruang inap mama. Cacing diperutku sudah mulai meronta-ronta minta di isi. Sebelum mereka menjadi lebih ganas lagi, aku harus segera mengisinya.

***

Sasha pov

"Sha, gue denger dari yang lain, tadi lo dianterin sama cowok cakep ya ? Dianterin siapa sih ?" Tanya Dinda kepadaku.

"Kepo ih." Ucapku sambil membereskan barang-barangku.

Sekarang jam 17.10, toko sudah tutup dari 10 menit yang lalu. Aku sedang bersiap-siap untuk pulang. Sedangkan Bimo, dia masih tidur di kasur santai yang memang kusediakan disini.

"Serius woi ! Katanya ada anak kecil juga. Lo pacaran sama duda ?"

Aku menoyor kepala Dinda. "Gila aja lo."

"Lo suka kekerasan ya." Dengusnya. "Jadi siapa tuh cowok ?" Tanyanya lagi.

"Dia temen gue, namanya Dava. Anak kecil itu keponakannya. Kita gak sengaja ketemu pas di sekolahan Bimo. Jadi ya gitu deh, dia nawarin buat makan bareng sekalian nganterin kesini."

Dinda mengangguk-nganggukan kepalanya. "Kok gue gak pernah tau lo punya temen namanya Dava ?"

"Emang setiap gue punya temen mesti lapor dulu sama lo." Sewotku.

Dinda tertawa, lalu mengangkat ponselnya yang berdering. Sepertinya dia ditelepon oleh Dion, pacarnya.

"Gue udah dijemput nih. Mau sekalian bareng gak ?" Tawarnya.

Aku menggeleng. "Duluan aja, Bima mau jemput."

"Cieee, dijemput ayaaaang." Godanya.

Aku mendorongnya keluar dari pintu. "Udah sana pulang. Berisik !" Usirku.

Lagi-lagi Dinda tertawa. Lalu melambaikan tangannya. "Bye Shaa, gue duluan." Ucapnya sedikit berteriak. Aku balas melambaikan tangannya.

Setelah Dinda pulang, aku kembali melanjutkan beres-beres. Sekarang tinggal aku berdua saja yang tinggal di toko. Biasanya ada pegawaiku yang lain, namun karena mereka pada punya keperluan semua. Jadi mereka pada pulang lebih dulu.

Suara ponsel berdering menghentikan aktifitasku. Aku mengambil ponsel yang terletak di atas meja. Melihat nama Bima tertera dilayar lalu mengangkatnya.

"Ya Bim." Sapaku.

"Aku udah di depan."

"Oke, aku bangunin Bimbim dulu."

"Bimbim tidur ?"

"Iya."

"Gak usah dibangunin, aku kedalam ya."

"Oke."

Aku memutuskan sambungan terlebih dulu.

Beberapa saat kemudian, pintu ruanganku terbuka. Bima masuk dengan kedua tangan yang di masukkan ke dalam kantong celana. Sok ganteng banget sih, batinku. Tapi Bima memang ganteng sih, batinku lagi.

Astaga.

Kenapa aku malah memujinya begini sih, batinku lagi dan lagi.

"Barang-barang kamu udah beres semua ?"

"Udah."

Bima lalu melangkah ke arah Bimo yang sedang tertidur pulas. Dia meraih Bimo kedalam gendongannya dengan hati-hati.

Saat melihat Bimo yang tampak kaget dan gelisah, Bima langsung menepuk-nepuk punggung Bimo dengan pelan sembari menenangkannya.

Aku sontak tersenyum melihatnya. Aku bisa merasakan bagaimana sayangnya Bima kepada Bimo.

"Ayo." Ucap Bima.

Lalu melangkah keluar dari ruanganku, aku mengikutinya dari belakang.

Setelah memastikan toko terkunci, aku kembali melangkah menuju mobil Bima yang terparkir tidak jauh dari pintu toko.

Aku menghentikan langkahku saat jarakku dengan mobil Bima tinggal beberapa langkah lagi.

Aku terpaku melihat seorang wanita yang duduk tepat di sebelah bangku kemudi.

Wanita itu.

Aku mengingatnya.

Dia adalah wanita yang pernah bergelayut manja dilengan Bima.

Apa-apaan ini ?


Bersambung ~







My Lovely Son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Bima pov

Kekesalanku makin berada di tingkat paling tinggi saat melihat dua curut yang mengaku sahabatku ini tidak berhenti tertawa sejak tadi.

Sesuai janji, aku dan dua curut ini sedang berada di cafe tempat biasa kami nongkrong. Mereka langsung menyambutku dengan berbagai pertanyaan seputar Sasha yang ku jawab semua dengan jujur.

Namun saat bagian dimana aku meninggalkan toko kue begitu saja dengan alasan cemburu, mereka mulai membullyku habis-habisan.

Aku yang jarang sekali bersikap seperti ini karena seorang wanita dimanfaatkan oleh dua curut ini untuk semakin menertawakanku.

"Gue bener-bener penasaran sama muka lo pas cemburu. Pasti gak jauh beda sama muka monyet di kebun binatang waktu itu kan ?" Roy kembali tertawa terbahak-bahak.

Bisa-bisanya si kampret ini menyamakan wajah tampanku dengan monyet yang di kebun binatang. Apalagi monyet yang kami lihat di kebun binatang saat menghabiskan waktu liburan bersama  adalah monyet yang sedang poop. Menjijikan sekali saat mengingatnya.

"Gue bener-bener penasaran sama tuh cewek. Pasti cantik banget sampai bisa bikin si Bima jadi bego gini." Dika menimpali sembari memegangi perutnya yang mulai keram karena kebanyakan ketawa.

"Terserah kalian berdua. Gue lagi males nanggepin." Ucapku yang sontak membuat tawa mereka semakin menjadi-jadi.

Aku membiarkan mereka menertawakanku sepuasnya. Moodku benar-benar buruk saat ini. Ditambah lagi Sasha yang sepertinya tidak begitu peduli dengan kepergianku tadi.

Dia hanya menghubungiku via telepon. Saat aku memberi alasan sedang ada pekerjaan mendadak, dia menanggapi seadanya saja. Tidak berusaha untuk bertanya lebih lanjut.

Segitu senangnya ya ketemu pria itu sampai melupakanku. Aaargh sial.

"Sorry Bim, bukannya mau bersenang-senang di atas penderitaan lo. Cuma ya kita bahagia sekali kalau lo galau gini. Momen langka bro." Sahut Dika.

"Udahlah Bim, jangan kusut terus muka lo. Malem ini seneng-seneng aja yuk. Ke club gimana ?" Ucap Roy seraya menaik-turunkan alisnya.

"Ogah." Tolakku. "Udah ah capek ngomong sama kalian. Gue cabut duluan deh." Aku beranjak meninggalkan mereka.

"Mau kemana lu kamvret !"

"Terserah gue."

Aku melambaikan tangan kepada mereka sembari berjalan keluar dari cafe.

Tadinya aku berniat untuk langsung pulang ke rumah. Namun sepertinya fikiran dan tubuhku sedang tidak sejalan. Bukannya mengendarai mobil menuju rumah, aku malah mengarahkannya menuju rumah Sasha.

Entah apa yang akan ku lakukan disana. Yang jelas aku merasa harus kesana. Aku merindukan kedua malaikatku. Siapa lagi kalau bukan Bimo dan Sasha.

***

Sasha pov

"Bun, ayah gak kesini lagi ya ?" Tanya Bimo sambil menggambar.

Aku melirik ke arahnya. "Gak tau Bim, tadi ayah bilang lagi ada pekerjaan. Mungkin ayah capek sekarang." Jelasku sambil melanjutkan kegiatanku mengecek pemasukan toko hari ini.

"Yaaaaaaa. Padahal Bimbim nanti mau ditemenin tidur sama ayah lagi." Ucap Bimo dengan nada kecewa yang sangat terasa olehku.

Aku memilih untuk tidak menanggapi kekecewaan Bimo.

Sejujurnya aku juga tidak tau kenapa Bima tidak kesini lagi. Apalagi tadi siang saat mengantarkan Bimo ke toko, dia langsung pergi begitu saja tanpa pamit kepadaku ataupun Bimo.

Aneh sekali rasanya.

Bunyi bel menghentikan kegiatanku. Baru akan beranjak membukakan pintu, Bimo lebih dulu berlari menuju pintu.

"Bimbim aja bun." Ucapnya sambil berlari.

Tidak lama, aku mendengar ocehan Bimo berbicara dengan seseorang. Aku menoleh, lalu mendapati Bimo di gendongan ayahnya.

Wajah dan tampilan Bima kusut sekali, tidak rapi seperti biasanya. Aku memilih ke dapur untuk mengambilkannya minuman. Mungkin dia kelelahan bekerja.

"Nih minum dulu, kalau capek harusnya gak usah maksain kesini Bim. Istirahat aja dirumah." Aku menyodorkan segelas minuman kepadanya. Bima sedang duduk di sofa sambil memangku Bimo.

"Kamu gak suka aku disini ?" Ketusnya.

Aku mengernyit. Ada apa dengannya ?

Aku mengabaikannya setelah itu. Sepertinya dia benar-benar lelah, makanya bawaannya emosi aja. Aku melanjutkan kegiatanku memeriksa pemasukan toko hari ini.

"Liat deh yaah. Tadi bimbim gambar ini." Bimo memperlihatkan buku gambarnya.

"Wah gambarnya bagus. Anak ayah pinter ngegambar yaa." Ucap Bima sambil mengecup kepala Bimo.

Aku meliriknya dengan kesal. Ngomong sama aku jutek banget, sama Bimo manis banget. Nyebelin banget sih.

"Bimbim udah makan ?"

"Udah yah, tadi bunda masak ayam goreng. Bimbim makannya nambah deh." Ujar Bimo sambil nyengir.

"Baguus dong. Jagoan ayah harus makan yang banyak. Biar cepet gede terus makin pinter."

Aku memperhatikan interaksi anak dan ayah itu sambil tersenyum tipis. Lalu fokus kembali melanjutkan pekerjaanku.

Aku memeriksa semua berkas, namun sepertinya ada yang kurang. Merasa ada berkas yang ketinggalan di kamar, akupun memutuskan untuk mengambilnya kekamar.

"Untung gak ketinggalan dikantor."  Gumamku sambil memegang berkas yang berada di nakas samping tempat tidur.

Saat ingin keluar dari kamar tiba-tiba saja lampu mati dan aku sontak berteriak.

"Aaaaaaaaaaaa." Teriakku kencang. Aku memiliki phobia gelap. Dulu saat orangtuaku masih ada, mamalah yang paling sering menghampiriku saat gelap. Dan saat mereka sudah tiada, Bimo lah yang menggantikan posisi mama.

Walaupun putraku itu masih kecil, dia tidak takut gelap sama sekali. Dia bahkan menguatkanku saat aku mulai merasa sesak dengan keadaan gelap, apalagi jika ponsel atau senter berada di tempat yang jauh, Bimo dengan cekatan akan mengambilkannya untukku.

Suara pintu kamar yang dibuka dengan kencang makin mengagetkanku.

"Biimm, bundaaa takuut." Panggilku dengan suara gemetar. Pasti Bimolah yang menghampiriku.

"Heii, tenanglaah. Ada aku disini."

Aku menegang diposisiku, bagimana tidak. Aku sedang berada di pelukan Bima sekarang. Ya, dia memelukku sembari mengelus punggungku.

Aku membalas pelukan Bima dengan erat juga, membenamkan wajahku di dadanya. Mencoba mencari kenyamanan disana.

"Aku takut. Rasanya sesak sekali." Gumamku.

"Tidak apa-apa. Sebentar lagi pasti lampunya hidup." Ucap Bima. "Sebentar, aku ambil ponsel dulu."

"Jangan pergi." Aku memeluknya lebih erat lagi. "Aku takut."

"Ponselnya ada di saku celanaku Sha."

"Ohh. Cepetan ambil kalo gitu." Aku mendesaknya.

Bima tidak berbicara lagi, tidak lama aku melihat sedikit cahaya yang berasal dari ponselnya. Ternyata Bima mengarahkan layar ponselnya ke arah kami.

"Kalau gini gak takut lagi kan ?" Tanyanya pelan nyaris berbisik. Aku menatap Bima yang ternyata juga sedang menatapku.

"Lumayan." Ucapku pelan nyaris berbisik juga, masih dengan menatapnya.

Entah sudah berapa lama kami tatap-tatapan seperti ini. Entah siapa yang memulai duluan, yang jelas posisi kami makin menempel sekarang. Bima merengkuh pinggangku dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain mengarahkan cahaya ponsel ke wajah kami.

Aku melihat Bima menatapku tanpa berkedip, dan perlahan-lahan dia mulai memajukan wajahnya. Aku gugup sekali sekarang, aku tau apa yang akan terjadi selanjutnya.

Namun bukannya berusaha menjauh aku malah memejamkan mataku seolah memberikan izin kepada Bima untuk melakukan apa yang akan dilakukannya.

Aku merasakan deru nafas Bima menerpa wajahku. Itu berarti jarak wajah kami semakin dekat sekarang. Mungkin hanya beberapa centimeter saja.

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasa, dan kalau aku tidak salah aku juga merasakan detak jantung Bima juga berdetak lebih cepat dari biasanya.

Saat aku merasa sebentar lagi bibir kami akan bertemu, tiba-tiba saja lampu hidup.

Aku terkejut dan sontak menjauhkan diri dari Bima.

"Syukurlah lampunya hidup." Ucapku dengan salah tingkah, aku bahkan tidak berani melihat wajah Bima.

"Ah...yaa. syukurlah." Ucap Bima dengan nada gugup yang jelas sekali.

"Buun, bunda gak papa ?" Bimo melongokkan wajahnya dari luar, lalu melangkah mendekatiku.

"Bunda gak papa sayang. Bimbim gak papa kan tadi diluar sendirian ?" Tanyaku sembari mengelus kepalanya.

"Engga papa bun. Tadi bimbim mau lari kesini pelukin bunda, tapi ayah udah lari duluan. Tadi ayah peluk bunda juga kan ? Kayak bimbim peluk bunda ?"

Astaga.

Aku yakin pipiku memerah sekarang. Mengingat tadi Bima memelukku dengan erat. Apalagi kejadian kami yang hampir berciuman.

"Kok diem aja sih bun."

"Tenang aja sayang. Tadi ayah udah pelukin bunda kok." Bima tersenyum sembari mengelus kepala Bimo.

"Kita keluar yuk, ngegambarnya belum selesai kan ?" Ajak Bima yang langsung di angguki oleh Bimo.

Mereka berdua keluar dari kamarku. Aku langsung memegang dadaku yang berdebar-debar saat mereka sudah keluar.

Setelah merasa tidak gugup lagi, aku menyusul Bima dan Bimo. Mereka terlihat fokus dengan gambar masing-masing. Seolah-olah sedang mengikuti lomba menggambar.

"Pada ngegambar apa siih, kok serius banget." Tanyaku sambil melongokkan wajahku.

"Kita lagi lomba bun, yang gambarnya paling bagus akan dikasih hadiah." Jawab Bimo tanpa menoleh ke arahku.

"Oh yaa, emang apa hadiahnya ?"

"Rahasiaa bun."

Aku mengernyit bingung. Lomba gini aja pake rahasiaan segala, batinku.

Aku membiarkan mereka fokus dengan gambar masing-masing, lalu memutuskan untuk membuatkan camilan buat mereka berdua.

Aku melangkah menuju ke dapur. Membuka kulkas dan melihat-lihat apa yang bisa kumasak dengan cepat. Aku melihat ada kentang yang tinggal di goreng. Aku memang selalu sedia kentang yang siap saji seperti ini.

Tidak butuh waktu lama, sepiring kentang goreng dan tiga gelas orange juice siap untuk disantap. Aku membawanya menggunakan nampan.

"Ada yang mau kentang goreng ?" Tanyaku sambil tersenyum lebar.

"Mauuu buun mauuu!!" Bimo berteriak senang.

Aku meletakkan nampan diatas meja tempat mereka menggambar. "Minggirin dulu buku gambarnya." Suruhku.

Bimo dan Bima menurut, lalu mulai memakan kentang goreng dengan lahap.

"Aaaaaaa bun." Bimo menyodorkan satu potongan kentang goreng ke arahku yang langsung kuterima dengan senang hati. Setelah itu dia juga melakukan hal yang sama kepada Bima.

Tidak mau kalah dengannya, aku juga menyodorkan satu potong kentang goreng kepada Bimo.

"Suapin ayah juga dong bun." Perintah Bimo.

Aku sontak menatap Bima yang juga menatapku. "Ayah bisa makan sendiri bim." Tolakku sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Bimbim juga bisa makan sendiri, tapi bunda tetap suapin bimbim. Ayolah bun, suapin ayah." Bimo mulai merengek.

"Iya...iya..." aku mengalah. Mengambil satu potongan kentang lalu menyodorkannya kepada Bima.

Bima menatapku lekat sambil menerima suapanku. Sial. Kegugupanku kembali lagi.

Sepiring kentang goreng dan tiga gelas orange juice akhirnya habis tidak bersisa. Aku kembali ke dapur mencuci piring dan gelas yang kotor. Sementara Bima menemani Bimo untuk tidur.

Setengah jam berlalu, Bima keluar dari kamar Bimo. Dia duduk di sofa yang berseberangan denganku.

"Bimbim udah tidur ?" Tanyaku.

"Udah."

Aku mengernyitkan dahi. Kenapa dengan nada bicaranya ? Perasaan tadi udah gak jutek. Sekarang jutek lagi. Aneh.

Aku melirik jam yang menunjukkan pukul 21.55. "Kamu gak pulang ? Udah hampir jam sepuluh."

"Kamu gak suka aku disini ?" Ketusnya.

"Aku gak ngomong gitu. Kamu kenapa sih ?" Tanyaku akhirnya, tidak tahan melihat kejutekannya.

"Pria yang di toko tadi siang pacar kamu ?"

"Huh ?"

"Kamu punya pacar ?"

"Pacar ?" Aku membeo ucapannya.

"Aku serius Sha. Kenapa kamu gak bilang kalau kamu punya pacar."

"Aku gak punya pacar." Kerutan didahiku makin dalam. Bagaimana bisa dia berfikir aku punya pacar.

"Kamu yakin ?"

Aku mengangguk.

"Lalu pria yang tadi di toko itu siapa ? Yang di panggil dengan sebutan papi oleh Bimo."

"Kamu cemburu ?" Tanyaku langsung.

"Iya."

"Ha ?" Jawaban dari Bima sungguh diluar ekspektasiku. Tadinya kufikir Bima akan menjawab tidak. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Aku jadi salah tingkah. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Kenapa diam ? Siapa dia Sha ?" Desak Bima.

Aku menatap Bima. Raut wajahnya terlihat penasaran sekali.

"Namanya Dion .Dia pacarnya Dinda, sahabat aku. Bimbim udah lama kenal dia. Papi itu panggilan sayang dari bimbim buat dia. Sedangkan mami panggilan sayang dari bimbim buat Dinda." Jelasku.

"Kamu serius ? Gak bohong ?" Tanyanya lagi.

"Iya. Ngapain juga harus bohong."

"Alhamdulillaaaah."

Aku mengernyit lagi. Tidak mengerti dengan pria yang duduk di hadapanku ini. Raut wajahnya sudah tidak lagi tegang. Dia terlihat lebih santai dan nampak sangat lega.

"Kamu gak papa kan hari ini ? Perasaan aneh banget."

Dia tersenyum lebar. "Aku bahagia lagi sekarang." Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah malam ternyata, aku balik dulu ya. Gak enak sama tetangga." Ucapnya sembari berdiri.

Aku ikut berdiri lalu mengikutinya melangkah kepintu. Masih disertai perasaan bingung dengan sikap anehnya.

Bima membalikkan badannya saat sudah sampai di pintu.

"Jangan lupa kunci pintu." ucapnya sambil mengacak rambutku seperti malam sebelumnya.

Aku mengangguk. "Hati-hati dijalan."

Bima mengangguk sambil tersenyum. Aku kira dia akan memutar badannya lalu melangkah ke mobil. Namun ternyata aku salah.

Dia mendekatkan wajahnya dan mencoum pipi kananku. Ya. Dia menciumku !

"Good night." Bisiknya.

Lalu melangkah meninggalkanku yang mematung akibat perbuatannya barusan.

Astaga.

Dia menciumku !

Bersambung ~








My Lovely Son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sasha pov


"Mbaak. Mbak Sashaa."

"Eeh..ya ?"

"Itu. Creamnya kebanyakan."

"Ya ampuun !"

Aku menghentikan kegiatan memberikan cream pada kue ulang tahun pesenan pelanggan. Bentuknya sudah tidak jelas, bukannya menghias kuenya, aku malah menghancurkannya.

Dari tadi entah kenapa aku tidak fokus, atau malah dari semalam ? Saat Bima mengatakan dia akan mengenalkanku pada gadis itu.

Aku tidak tau apa maksudnya mengenalkanku pada gadis itu, jangan-jangan dia mau pamer karena sudah punya pacar. Dasar tukang pamer.

Eh tunggu dulu, kenapa juga aku harus kesal. Itu kan hak dia mau pacaran sama siapa saja.  Sepertinya aku mulai gila.

"Sha, kalo lo gak fokus mending gak usah dilanjutin."

"Lho, Din ? Kapan lo dateng ?" Tanyaku heran, setauku dia belum ada disini dari tadi.

"Makanya jangan ngelamun terus." Dengusnya.

"Enggak ah." Elakku.

"Lo gak jemput Bimbim ke sekolah ?"

Aku menggeleng. "Enggak. Ayahnya yang bakal jemput."

Dinda mengangguk-nganggukan kepalanya. "Jadi, udah ada kemajuan apa aja ?"

"Maksud lo ?"

"Lo sama Bima. Kapan kalian nikah ?"

Aku menjitak kepalanya. "Sableng !"

Dinda mengusap-ngusap kepalanya yang barusan ku jitak. "Gak usah pake kekerasan juga. Becanda doang pun."

"Gak usah lebay juga. Sejak kapan di jitak dikit aja termasuk kekerasan." Aku mencibir.

Dinda tertawa pelan. "Bimbim masih lama ga sih pulangnya ? Kasian Dion nunggu lama ntar."

"Dion disini ?"

"Iya. Kangen sama Bimbim katanya."

Aku mengedikkan bahu. "Bentar lagi pulang kayaknya."

Dinda hanya ber-oh-ria, lalu kami mengobrol tentang banyak hal. Aku baru sadar, sejak ada Bima kami berdua jadi jarang punya waktu ngobrol berdua gini.

Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bima dan Bimo. Sedangkan Dinda, tentu saja sering menghabiskan waktu bersama Dion, pacarnya.

Aku juga menceritakan tentang wanita yang kulihat bersama Bima kemaren. Dan respon yang kudapatkan dari Dinda sungguh membuatku ingin membunuhnya detik ini juga. Dia tidak habis-habisnya menertawakanku. Dia bilang, aku cemburu kepada wanita itu.

Tapi aku tidak merasa cemburu sama sekali. Cemburu itu hanya buat orang-orang yang sedang mencintai, sedangkan aku tidak mencintai Bima sama sekali.

Aku Benarkan ?


***

Bima pov


Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, kalau aku tidak salah menebak, sekitar lima menit lagi Bimo akan keluar dari ruangan kelasnya.

Sembari menunggu, aku memeriksa email-email yang berhubungan dengan pekerjaan.

Bunyi dering ponsel mengganggu kegiatanku mengecek email-email yang masuk. Aku memutuskan untuk mengangkat telepon dari si penelpon. Walaupun aku yakin tidak akan ada yang penting.

"Halo." Sapaku.

"Woii. Kamvret ! Kemana aja lo ?"

"Gue baik. Makasih udah nanyain."

"Dimana lo ?"

"Kenapa Dik ? Kangen lo sama gue ?" Ucapku seraya menjauhkan sedikit telepon dari telinga. Karena aku yakin Dika akan berteriak di ujung sana. Ya, yang menelpon itu adalah Dika, sahabatku. Aku yakin ada Roy juga disana.

"NAJIS !!!"

sudah kubilang kan kalau dia akan berteriak ?

"Apasih Dik. Kangen bilang aja."

Aku mendengar grasak-grusuk disana, sepertinya Roy sedang berusaha mengambil telepon dari Dika.

"Bim, gue yang kangen sama lo. Lo kangen gue juga kan ?" Ucap Roy dengan nada yang terdengar menjijikan di telingaku.

"Najis."

"Jangan gitu dong Bim, lo gak ingat kenangan indah kita berdua."

"Sumpah ya Roy, sekali lagi lo ngomong gitu gue matiin ni telepon."
Roy tertawa terbahak-bahak, aku mendengar suara Dika juga tertawa. Sialan, malah aku yang dikerjain balik.

"Udah belum ketawanya ? Gue gak punya banyak waktu ya, apalagi cuma ngedengerin dua curut kayak kalian ketawa." Omelku.

"Selow Bim." Ujar Roy disela-sela tawanya. "Sekarang serius ni, lo dimana sekarang ? Akhir-akhir ini susah banget dihubungi. Gak diculik kan lo ?"

"Anjiir lo. Yakali gue di culik. Gue lagi di sekolahannya Bimo."

"Bimo ??? Siapa tu ?"

"Anak gue."

"Ooh anak...WHAT ???" Roy berteriak yang sontak membuatku menjauhkan telepon dari telingaku. Takut gendang telingaku rusak karenanya.

"Bim, gue gak salah dengar kan ?" Tanya Roy memastikan.

"Kalau telinga lo masih berfungsi dengan baik harusnya sih lo gak salah dengar."

"Anak dari mana ? Tunggu. Jangan bilang cewek yang lo ceritain itu ?"

"Tebakan lo seratus persen benar." Aku melirik ke arah kelas Bimo. Lalu melihat murid-murid yang berlarian keluar. "Udah dulu ya Roy, Bimo udah keluar. Gue mau jemput dia dulu."

"Tunggu Bim. Lo harus cerita sama kita nanti malam. Di cafe biasa. Oke ?"

"Oke." Ucapku, lalu memutuskan sambungan telepon.

Aku keluar dari mobil, lalu melambai ke arah Bimo yang berlari mendekatiku.

"Ayaah !"

"Hei jagoan ayah." Aku menggendong Bimo saat sudah berada di dekatku. "Gimana tadi belajarnya. Bisa ?" Tanyaku.

Bimo mengangguk."Bimbim lapar yah."

"Ayo kita cari makan, sebelum itu jemput bunda dulu. Oke ?"

"Oke !"

***

Perjalanan menuju toko kue milik Sasha tidak menghabiskan banyak waktu. Sasha memang sengaja memilih sekolah yang jaraknya dekat dengan toko kuenya.

Sepanjang perjalanan Bimo tidak henti-hentinya berbicara tentang semua kejadian disekolah. Tentang Akila yang selalu membawa boneka panda pemberian darinya ke sekolah. Tentang Ibu guru yang mengajarinya bernyanyi sambil berhitung. Tentang Dodo yang suka usil dengan teman-teman di kelasnya. Dan masih banyak lagi.

"Bimbim jalan sendiri aja yah." Ucap Bimbim saat aku berniat menggendongnya. Kami memang baru sampai di toko kue.

"Baiklah. Ayo kita kedalam." Aku menggandeng tangan Bimo. Lalu kami berjalan beriringan.

Aku mendorong pintu masuk ke toko lebih lebar agar kami bisa masuk bergandengan tangan.

"PAPIIII !!!"

Bimo berteriak memanggil seseorang yang duduk bersebrangan dengan Sasha. Lalu melepaskan tangannya dari genggamanku, setelah itu berlari menuju pria yang dipanggilnya papi tadi.

Aku diam mematung melihat interaksi di antara mereka. Bimo yang berada di gendongan pria itu, cara pria itu menciumi pipi tembem Bimo serta cara mereka tertawa bersama.

Semua interaksi itu membuatku sangat kesal, cemburu lebih tepatnya. Aku adalah ayah Bimo, jadi harusnya aku saja yang bisa seperti itu dengan Bimo.

Sikap Sasha yang diam serta tersenyum bahagia membuat kecemburuanku makin berada dipuncaknya. Mereka bertingkah seperti sebuah keluarga bahagia.

Tunggu. Siapa pria itu ?

Kenapa Bimo memanggilnya papi ?

Apakah dia pria yang sedang dekat dengan Sasha ?

Semua pertanyaan itu menari-nari di fikiranku. Dan bodohnya aku, bukannya mendekati mereka aku malah menjauh. Aku memilih untuk pergi dari sana. Sebut saja aku pengecut. Tapi aku tidak bisa membayangkan jika kenyataannya nanti malah menyakitkanku.

Harusnya hari ini aku mengenalkan Renata kepada Sasha sebagai kejutan karena ingin melihat bagaimana reaksinya nanti. Namun yang terjadi malah sebaliknya.

Justru aku yang di buat terkejut oleh semua ini.

Sial.


Bersambung ~




My Lovely Son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sasha

"Biim, ayo makan dulu."

"Gak mau." Bimo memberengut di sofa ruang tamu. Sepulang dari mall, dia tidak mau berbicara denganku. Katanya dia ngambek, dia masih kangen sama ayahnya, tapi aku mengajaknya pulang begitu saja.

Aku menghela napas.

"Bunda udah masakin ayam goreng kesukaan bimbim lho. Nanti gak enak kalo udah dingin."

Bimo tetap saja diam. Tidak mengindahkan ucapanku. Aku bisa stres kalau begini caranya.

Bel berbunyi menghentikan kegiatanku membujuk Bimo. Aku melangkah kepintu lalu membukanya.

"Ada apa ?" Ucapku tanpa menghilangkan nada ketus saat melihat tamu yang datang. Entah kenapa melihat wajah Bima membuatku kesal. Ditambah lagi kilatan ingatan tentang wanita yang bergelayut manja dilengannya waktu di mall.

Dia mengernyitkan dahinya. "Aku mau ketemu Bimo.

Aku membukakan pintu lebih lebar. "Masuklah."

Aku mengikuti Bima berjalan ke ruang tamu, membiarkan dia membujuk Bimo.

"Hei jagoan ayah, kenapa cemberut gitu ?" Sapa Bima saat memasuki ruang tamu.

"Ayah !" Bimo turun dari sofa lalu berlari ke arah Bima.

"Kenapa cemberut ?" Tanya Bima kepada Bimo yang berada di gendongannya.

"Bundaa jahat."

"Jahat ? Gak mungkin bunda jahat. Bunda kan sayang bimbim."

Aku memilih untuk diam. Mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Entah kenapa, aku sedih mendengar kalimat itu dari Bimo.

"Bimbim masih pengen main sama ayah di mall. Tapi bunda tarik-tarik bimbim, suruh pulang. Tangan bimbim sakit ditarik-tarik." Bimo memperlihatkan tangannya yang menurut dia sakit kepada Bima.

Bima sontak menoleh kepadaku, seolah meminta penjelasan apa yang telah aku lakukan kepada anaknya.

Aku merasa bersalah telah menarik Bimo, wajar saja dia ngambek begini. Aku mendekati Bimo lalu mengelus kepalanya dengan sayang.

"Biim, maafin bunda ya. Bunda sedih kalau bimbim marah sama bunda."

Bimo memeluk leher Bima, tidak mau menoleh ke arahku. Rasanya menyesakkan sekali melihat Bimo mengabaikanku.

"Sayaang. Gak boleh gitu. Bunda sayang banget sama bimbim. Bunda pasti gak sengaja narik tangan bimbim. Lihat tuh, bunda jadi sedih gitu." Bima mengelus kepala Bimo, mencoba memberi pengertian.

Pelan-pelan Bimo menoleh kearahku, lalu mengulurkan tangannya, memintaku untuk menggendongnya.

"Bimbim sayang bunda. Bunda jangan sedih." Ucapnya sembari mengalungkan tangannya di leherku. Dia menyembunyikan wajahnya di lekukan leherku.

Aku tersenyum, lalu mengelus kepalanya dengan sayang. "Bunda juga sayang bimbim. Maafin bunda ya sayang."

"Bun." Gumamnya.

"Hm."

"Bimbim lapar."

Senyumku makin merekah, Bimbimku telah kembali, dia sudah tidak marah lagi kepadaku.

""Ayo makan." Aku menggendong Bimo ke arah meja makan, baru beberapa melangkah aku teringat sesuatu, aku menoleh ke belakang dan mendapati Bima yang menatap kami sambil tersenyum.

"Ikutlah makan dengan kami." Tawarku.

Dia mengangguk lalu mengikutiku ke meja makan.

*****

Bima

"Yah, besok ayah kesini lagi kan ? Kenapa ayah gak tinggal sama kita aja ?" Tanya Bimo kepadaku.

Aku sedang menemaninya tidur saat ini, setelah menikmati makan malam bersama, Bimo memintaku untuk menenaminya bermain, lalu setelah itu menemaninya tidur.

Namun setelah hampir satu jam, belum ada tanda-tanda dia akan tertidur.

"Iya, besok ayah kesini lagi. Ayo sekarang tidur. Besok bimbim harus sekolah kan ?" Aku mengelus kepalanya dengan sayang, berharap dia bisa tertidur.

"Ayah belum jawab. Kenapa ayah gak tinggal sama kita ?"

Aku berusaha mencari jawaban yang tepat. "Nanti, kalau sudah waktunya kita akan tinggal bersama."

"Sama bunda juga ?"

"Iya. Sama bunda juga."

"Yeiii. Bimbim gak sabar nunggu waktunya."

Aku tersenyum sembari mengelus rambutnya. Lalu bersenandung pelan.

Beberapa menit kemudian aku melihat Bimo mulai terlelap. Dia terlihat sangat pulas. Aku tersenyum memperhatikannya.

Pelan-pelan aku mencoba untuk beranjak dari kasur, mengecup keningnya lalu keluar dari kamar tidur Bimo.

Pemandangan diruang tamu membuat senyum merekah terukir di bibirku. Disana, ada Sasha yang sedang fokus dengan berkas-berkas ditangannya. Kalau tebakanku tidak salah, berkas-berkas itu pasti pembukuan toko kue miliknya.

"Ngapain senyum-senyum."  Nada ketus itu membuatku tersadar bahwa pemilik suara itu dari tadi sengaja menghindariku, menghindari tatapanku lebih tepatnya.

Aku mendekati Sasha, lalu memilih duduk bersebrangan dengan kursi yang di dudukinya."kamu lagi ngapain ?"

"Menurut kamu ?" Dia malah balik bertanya, masih dengan nada ketusnya. Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengannya di toko kue. Dia seperti macan betina saja.

"Kalau aku tau, aku gak bakalan nanya sama kamu."

Dia menatapku dengan kesal, mungkin bukan jawaban itu yang diharapkannya dariku. Wanita memang sulit dimengerti.

"Bimbim sudah tidur ?" Tanyanya, dan syukurlah nada ketus itu sudah hilang. Mungkin karena pertanyaannya menyangkut Bimo.

"Sudah. Baru saja. Butuh waktu lama agar dia bisa tertidur."

Sasha tersenyum. Manis sekali. "Dia pasti nanya-nanya banyak hal ya. Bimbim memang gitu. Mau tidur aja bawel dulu." Ucapnya sambil terkekeh.

"Iya. Dia bicarain banyak hal. Termasuk..." aku sengaja menggantung kalimatku.

"Termasuk apa ?" Tanya Sasha penasaran.

"Kamu yakin mau tau ?

Sasha mengangguk.

"Tapi aku haus, keberatan gak kalau kamu ambilin aku minum dulu ?" Aku tersenyum jahil. Sekali-sekali mengerjainya pasti menyenangkan sekali.

Dia mendengus. "Minta minum aja ribet banget. Ambil sendiri sana." Suruhnya.

"Aku kan tamu Sha, atau kamu udah nganggep aku tuan rumah disini juga ? Kalo gitu, aku boleh tinggal disini dong."

Sebuah bantal langsung melayang ke arahku. "Dasar ngarep !!!" Ujar Sasha.

Dia lalu melangkah ke dapur. Tidak lama, dia kembali dengan membawa dua gelas minuman.

"Nih !" Dia menyerahkan minuman berwarna orange kearahku. Sementara untuknya yang berwarna bening.

"Gak dikasih racun kan ?"

"Kamu mau racun ? Siniin lagi kalo gitu biar aku tambahin."

Aku sontak tertawa. "Becanda Sha. Thank's ya." Ucapku tulus sembari tersenyum.

Sasha terlihat salah tingkah, tidak menjawab ucapan terimakasihku. Lalu fokus kembali dengan berkas-berkasnya.

Keheningan melanda kami setelah itu, aku membiarkan Sasha menyelesaikan pekerjaannya. Harus ku akui dia terlihat semakin cantik saat serius seperti ini, ditambah lagi dengan rambutnya yang di ikat keatas, menyisakan anak-anak rambut di sekitar tengkuknya.

"Bim."

"Hm."

"Cewek yang di mall, pacar kamu ?"

Aku menatap Sasha, dia terlihat tidak nyaman dengan pertanyaannya. Namun rasa penasaran sangat terlihat di matanya.

"Kamu beneran mau tau ?"

"Eh ? Enggak juga sih. Ya udah kalau gak mau jawab. Kamu pulang gih sana. Udah malem. Gak enak sama tetangga."

Sasha berdiri dari duduknya, lalu menghindari tatapan mataku. Aku tertawa didalam hati.

Jadi dia benar cemburu.

Aku lega sekali mengetahui Sasha cemburu, berarti bukan aku saja yang membawa perasaan ke dalam hubungan ini. Apapun itu, aku harus berjuang untuk mendapatkannya.

"Baiklah, kalau gitu aku pulang dulu."

Aku melangkah ke pintu, diikuti oleh Sasha di belakangku. Saat sudah berada diluar, aku membalikkan badan. Sasha nampak terkejut. Namun sebisa mungkin terlihat biasa saja. Lucu sekali bukan ?

"Jangan lupa kunci pintu." Aku mengacak rambutnya pelan.

"Besok aku akan kenalin kamu sama cewek yang tadi. Aku pergi dulu." Ucapku lagi.

Lalu meninggalkan Sasha yang membulatkan matanya.

Aku tidak sabar melihat tanggapannya tentang Renata besok.

Bersambung ~









My Lovely Son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Keyla pov

"Bun, kita beneran berdua aja ? Kenapa ayah gak ikut ?" Bimo memberengut dikursi meja makan. Aku sedang menyiapkan sarapan untuk kami berdua.

Hari ini rencananya aku akan mengajak Bimo jalan-jalan ke mall sekalian belanja bulanan. Dan dari tadi, dia terus-terusan menanyakan kenapa ayahnya tidak ikut.

"Biasanya juga kita kan berdua Bim. Bimbim gak mau jalan berdua sama bunda lagi ya ?" Tanyaku, masih membelakangi Bimo.

"Mau buun. Tapi kan Bimbim mau ada ayah juga. Teman-teman Bimbim pasti kalau jalan-jalan sama ayah sama bunda mereka. Bimbim kan juga pengen bun."

Aku menoleh, dan mendapati Bimo dengan raut wajah sendu. Aku menghela napas. Tidak tega sebenarnya. Sejak bertemu dengan Bima, kami memang belum pernah menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bertiga. Hal yang kami lakukan bertiga hanya sebatas sarapan, makan siang atau makan malam sesekali.

"Nanti bunda coba telpon ayah ya"

"Beneran bun ?" Raut wajah Bimo seketika berbinar.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu melanjutkan kegiatan membuatkan sarapan untuk kami berdua.

Selesai sarapan, aku mencoba menghubungi ponsel Bima. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Tiga kali mencoba dan hasilnya tetap sama. Aku memutuskan untuk tidak menghubunginya lagi. Semoga saja jagoan kecilku itu bisa mengerti.

"Biim, kita berdua aja yaa. Bunda janji minggu depan kita akan jalan-jalan bertiga sama ayah."

"Ayah kemana bun ?"

"Ayah lagi gak enak badan. Jadi ayah gak bisa keluar nemenin kita." Bohongku.

Bimo mengangguk.

Aku lalu menyuruh Bimo untuk mandi dan bersiap-siap sementara aku membersihkan peralatan makan kami serta dapur yang berantakan. Setelah itu baru aku bergegas mandi dan bersiap-siap juga.

Satu jam berlalu, sekarang kami siap untuk pergi ke mall. Bimo menggunakan celana jeans panjang dipadukan dengan kaos tanpa kerah warna hitam, warna kesukaannya. Untuk kakinya dia menggunakan sepatu sneaker warna putih.

Dia terlihat sangat tampan.

Aku sendiri hanya menggunakan kaos warna putih dipadukan celana jeans warna hitam serta menggunakan sneaker sama seperti Bimo. Bagiku, tampilan seperti ini lebih memudahkanku untuk berbelanja serta menjaga Bimo.

Sesampainya di mall, Bimo langsung menarikku ke bagian mainan. Aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Bun, Bimbim mau itu yaa." Dia menunjuk sebuah lego.

"Iyaaa."

Aku lalu mengambilnya lalu memasukkan ke troli yang untungnya masih sempat aku ambil.
"Bimbim mau apa lagi ?"

Dia nampak berfikir sebentar lalu menatapku.

"Hmm..buuun." panggilnya pelan. Dia menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal sama sekali. Biasanya dia akan meminta sesuatu yang tidak biasanya jika sedang seperti ini.

"Bimbim mau apa ?" Tanyaku langsung.

"Bimbim mau boneka panda boleh bun ?" Bimo menundukkan wajahnya.

"Boneka panda ?" Aku mengernyitkan dahi. Bimo tidak pernah bermain boneka sejak kecil. "Buat apa Bim ?" Tanyaku lagi.

"Bimbim mau kasih Akila bun, boneka dia dirusakin Dodo. Dia nangis-nangis disekolah."

Aku tersenyum. Lalu mengusap rambutnya. Merasa bangga dengan niat baiknya.

"Ayo. Kita beli boneka pandanya." Aku mendorong troli ke deretan boneka dengan Bimo yang berjalan disampingku.

Setelah memilih boneka panda serta membeli semua keperluan bulanan. Aku menitipkan belanjaan di tempat penitipan, lalu mengajak Bimo untuk naik ke lantai 3 di mall. Aku berencana untuk membeli beberapa baju untukku dan Bimo.

Dilantai tiga, aku langsung berkeliling bersama Bimo. Menjelajahi dari satu toko ke toko yang lain. Jika ada yang menarik perhatianku aku langsung membelinya.

"Ayaaaaaaah !!." Bimo berteriak. Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Disana, tidak jauh dari kami berdiri ada Bima bersama seorang wanita cantik. Wanita itu bergelayut manja dilengannya. Merasa pernah melihat wanita itu, aku mencoba untuk mengingatnya.

Beruntunglah ingatanku sangat baik saat seperti ini, aku ingat wanita itu adalah wanita yang pernah datang ke tokoku bersama Bima.

Bima melihat kami dan nampak sedikit terkejut. Aku mengerti, mungkin dia tidak ingin pacarnya mengetahui tentang Bimo.

"Bim, kita pulang aja yuk." Aku menarik tangan Bimo.

"Kenapa bun ? Bimbim mau ketemu ayah." Bimo tetap saja berdiri di tempatnya.

Aku melirik Bima lagi yang terlihat berjalan ke arah kami. Aku tidak tau harus bagaimana. Jujur, aku merasa iri dengan wanita itu. Ada sedikit perasaan tidak rela menyaksikan kemesraan mereka.

"Ayaah." Panggil Bimo dengan senyum menghiasi bibirnya saat Bima sudah berada di depanku dan Bimo.

"Heii jagoan. Sedang apa disini ?" Bima mengusap rambut Bimo.

"Jalan-jalan yah. Tadi bunda bilang ayah gak enak badan. Kok ayah sama tante ini ?" Bimo menunjuk wanita itu yang terlihat sangat bingung dengan apa yang dilihatnya.

Bima menatapku.

"Tadi aku nelpon kamu, tapi gak di angkat." Aku berbicara tanpa suara. Tidak mau Bimo mengetahui kebohonganku. Dan sepertinya Bima mengerti.

"Ayah udah merasa baikan, makanya kesini."

Bimo mengangguk.

"Ayoo Bim, kita pulang. Ayah mau pergi sama tante itu."

Aku kembali menarik tangan Bimo, kami berjalan menjauh dari pasangan itu. Tidak mau berlama-lama melihat kedekatan mereka.

***

Bima pov

Aku menatap Sasha yang berjalan menarik Bimo menjauhiku. Mereka terlihat tergesa-gesa.

Tadinya aku kesini menemani Renata untuk berbelanja apapun yang dia inginkan, tentu saja dengan aku yang membayar semuanya.

"Kak, siapa mereka ? Kenapa anak kecil itu manggil kakak dengan sebutan ayah ?"

Astaga.

Aku lupa kalau ada Renata disini, dia pasti bingung dengan apa yang dilihatnya.

"Dek, kamu bisa rahasiain ini dulu dari mama papa ?"

"Baiklah, tapi sebagai gantinya kakak harus ceritain semuanya. Terutama tentang anak kecil tadi."

Aku menghela napas. "Baiklah. Ayo kesana. Kakak akan ceritain semuanya."

Aku mengajak Renata ke salah satu kafe yang ada di mall. Sembari menunggu pesanan, aku menceritakan semua tentang Sasha yang aku ketahui, awal kami bertemu hingga malam kejadian terciptanya Bimo dan tidak lupa pula tentang bagaimana brengseknya aku menolak kehadiran Bimo.

Renata memberikan ekspresi yang berubah-rubah selama aku bercerita.

"Kakak keterlaluan banget." Komentarnya setelah aku bercerita.

Aku mengangguk. Mengiyakan. "Kakak beneran nyesel dek. Kakak ingin bertanggung jawab."

"Bertanggung jawab yang bagaimana kak ?"

"Kakak akan selalu berusaha meluangkan waktu bermain bersama Bimo. Kakak juga akan memberikan semua yang dia butuhkan."

"Kakak hanya ingin bertanggung jawab dengan Bimo aja ? Bagaimana dengan bundanya Bimo ?"

Aku menghela napas. "Kakak bingung dek. Jujur, kakak ingin menikahinya, agar kami bisa membesarkan Bimo bersama-sama. Tapi, kakak gak tau gimana perasaan dia. Yang kakak tau dulu dia sangat membenci kakak."

"Perasaan kakak sendiri bagaimana ? Kakak mencintainya ?"

Aku diam.

"Jadi kakak mencintainya ?" Tanya Renata lagi.

"Iya." Ucapku lesu.

"Berjuanglah kak, kalau memang kak Sasha belum mencintai kakak. Maka buatlah dia mencintai kakak. Buktikan kepadanya bahwa kakak mencintai dia."

Aku tersenyum. Apa yang dikatakan Renata membuatku bersemangat. Ya, aku harus membuat Sasha mencintaiku. Harus.

"Gak usah senyum-senyum deh kak. Ntar disangka gila senyum sendiri."

Aku menjitak pelan kepala Renata.

"Sembarangan." Gerutuku.

Renata tertawa lalu menjulurkan lidahnya.

"Oh iya kak, kayaknya tadi kak Sasha cemburu deh ngeliat kita berdua."

Aku mengerutkan dahiku. "Cemburu ? Cemburu sama siapa ?"

"Ya sama aku lah. Pasti kak Sasha mikirnya aku pacar kakak." Regina tertawa di akhir ucapannya.

"Gak mungkinlah dek."

"Kok ga mungkin sih. Aku kan juga cewek kak. Jadi aku tau mana cewek yang cemburu mana yang enggak."

"Kamu serius ?"

Renata mengangguk. "Trust me brother." Dia menepuk-nepuk dadanya dengan songong.

Senyumku lagi-lagi merekah. Jika memang Sasha cemburu. Berarti dia memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan.

"Mulai lagi deh gilanya." Celetuk Renata.

"Jangan syirik. Berhubung kakak hari ini lagi seneng, kakak beliin apa aja yang kamu mau. Ayoo."

"SERIUS KAK ?"

Aku menutup telinga.

"Iya. Bawel !"

Bersambung ~




 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea