Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Gavin Devon Adelard-



Aku sedang memeriksa restoran yang ku miliki. Memastikan semua tempat sudah bersih dan nyaman untuk digunakan. GDA Resto, nama restoran yang kubangun tujuh tahun yang lalu.

Berawal dari meminjam uang sebagai modal awal kepada papa. Akhirnya sekarang aku mampu mendirikan GDA Resto di beberapa kota besar di Indonesia.

"Hei kak."

Aku menoleh ke arah suara berasal dan mendapati Fajar yang tampak rapi dengan setelan jasnya.

"Ah tersanjung sekali rasanya di datangi CEO super tampan." Godaku.

Fajar meninju pelan bahuku.

"Sial !" umpatnya.

Aku tertawa menanggapinya. Aku dan Fajar memang masih sering bertemu untuk sekedar olahraga atau nongkrong bersama. Mengagumkan sekali melihatnya menjadi CEO muda yang berpengaruh dikalangan pebisnis.

"Jadi apa yang membuat kau datang kemari ?"

"Setidaknya ajaklah tamu duduk sebelum bertanya kak."

Aku memutar kedua bola mata. "Di ruangan kakak aja."

Aku melangkah menuju ruanganku diikuti oleh Fajar dibelakang. Sebelum masuk aku meminta salah satu pegawaiku untuk menyiapkan minuman. Setelah itu baru masuk ke dalam.

"Jadi, ada apa ?" tanyaku langsung kepada Fajar. Kami duduk berhadap-hadapan di sofa yang ada diruanganku.

"Minggu depan adalah acara ulang tahun perusahaanku. Dan aku pengen restoran kakak yang menyiapkan makanannya."

Aku mengangguk-ngangguk. "Baiklah, kakak akan memberikan yang terbaik."

"Aku percaya sama kakak."

Kami lalu membahas persiapan apa saja yang dibutuhkan untuk minggu depan. Setelah itu melanjutkan dengan mengobrol santai. Biasanya topik yang kami bicarakan tidak akan jauh-jauh dari olahraga.

"hm. Kak, aku harap kali ini kakak mau datang ke acara ulang tahun perusahaanku."

Aku menghela napas. "kakak gak bisa Jar."

"Sampai kapan sih kakak menghindar dari kak Elin ? Ini udah Sembilan tahun kak. Aku gak tau apa masalah kakak sama kak Elin. Tapi satu hal yang aku tau. Kalian berdua sama-sama tersiksa selama Sembilan tahun terakhir."

"Gak usah sok tau."

Fajar mengedikkan bahu. "terserah. Aku Cuma pengen kalian berdua bahagia. Aku pergi dulu. Aku benar-benar berharap kakak datang."

Fajar berdiri lalu melangkah keluar. Meninggalkanku dengan fikiran yang dipenuhi dengan rasa bersalah. Semua kilatan kejadian Sembilan tahun yang lalu menyeruak masuk dalam ingatanku.

Bodoh !

Satu kata itu cocok menggambarkan bagaimana sikapku dulu.

Harusnya aku tidak pernah mengatakan semua kalimat sialan itu. Kalimat yang membuat wanita yang aku cintai terluka hingga mengeluarkan air mata. Kalimat yang ingin aku tarik kembali jika bisa. Dan kalimat itu juga yang membuatku membenci diriku sendiri hingga saat ini.

Aku terlalu cemburu saat itu. Masih teringat jelas olehku bagaimana pria bernama Justin itu memeluk Elina dengan erat. Ditambah lagi dengan Elina yang yang membalas pelukan Justin, sambil tersenyum manis.

Pemandangan itu sontak membuatku emosi. Aku tidak bisa berfikir jernih lagi. Yang ada didalam fikiranku adalah bagaimana cara melampiaskan amarahku. Aku sengaja tidak menjemput Elina malam itu. Karena aku tau, aku tidak akan bisa mengontrol emosiku bila bertemu dengannya. Namun sialnya, Elina malah datang menemuiku. Dan yap, aku menyakitinya.

Sangat menyakitinya.

"AAAARGH !!!"

PRANG !!!

Aku berteriak disusul dengan bunyi pecahan vas bunga yang ku lempar. Selalu seperti itu. Aku selalu melampiaskan penyesalanku dengan memecahkan benda-benda tidak bersalah disekitarku.

"Ada apa ? Kau baik-baik saja ?"

Aku menoleh dan mendapati Carel, orang kepercayaanku dalam mengelola GDA Resto sedang menatapku dengan raut wajah terkejut.

"Seperti yang kau lihat." Balasku singkat.

"Pulang dan beristirahatlah."

Aku mengangguk pelan. Carel benar. Aku butuh istirahat untuk menenangkan diri. Aku beranjak keluar dan menyempatkan menepuk pelan bahu Carel.

Sudah Sembilan tahun ternyata.

Dan aku masih saja belum melupakannya.

Bersambung ~

Terimakasih buat yang udah baca.

Terimakasih juga buat votenya :)


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sembilan tahun kemudian.



-Elina Desma Gloria-

"ma, pa, Elin berangkat ya." Aku mengecup pipi mama dan pipi papa, lalu mengacak rambut Fajar sekilas.

Sembilan tahun berlalu, banyak yang berubah dari hidupku. Aku sudah menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Sifatku juga sudah banyak berubah. Aku bukan lagi Elina yang akan berbinar melihat pria tampan. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan semua itu.

Dan perubahan itu membuat kedua orangtuaku khawatir, terutama mama. Karena sekarang, saat usiaku menginjak angka 29 tahun, aku masih belum mempunyai kekasih yang bisa aku kenalkan kepada mama dan papa.

Aku mengendarai mobil menuju kampus dengan kecepatan sedang. Hari ini aku ada jadwal mengajar, pukul sepuluh lebih tepatnya. Dan itu berarti aku masih punya waktu setengah jam lagi karena sekarang masih pukul Sembilan lewat tiga puluh menit.

Dikampus, aku langsung melangkah menuju ruang dosen sambil sesekali tersenyum ramah kepada beberapa mahasiswa yang menyapaku disepanjang lorong.

"Selamat pagi Ibu Elina." Goda salah satu dosen yang berada diruangan saat aku memasuki ruang dosen. Namanya Mahardika Nadindra, aku biasa memanggilnya mas Dika karena dia tiga tahun lebih tua dariku.

"Selamat pagi, mas Dika."

"Ada kelas jam berapa ?"

"jam sepuluh mas. Mas jam berapa ?"'

"Sama. Habis ngajar, lunch bareng ?"

Aku mengangguk. "baiklah. Aku meriksa bahan dulu."

Mas Dika mengangguk. Aku lalu memeriksa kembali apa saja yang akan aku jelaskan hari ini.

*****

Selesai mengajar aku dan mas Dika langsung berangkat menuju restoran langganan kami. Aku dan mas Dika memang sudah akrab. Dialah orang pertama yang mau berteman denganku disaat orang lain ada yang memandangku dengan sinis. Ya, dunia kerja memang begitu. Sebaik apapun kita, seramah apapun kita tetap saja akan ada orang yang tidak menyukai kita. Jadi, jalani dan nikmati saja.

"mau pesan apa ?" Tanya mas Dika.

"Ikan bakar aja mas. Minumnya jus jeruk."

Mas Dika mengangguk. Lalu menyebutkan pesanan kami kepada pelayan restoran.

"Oh iya, temen mas ada yang nanyain kamu. Kayaknya dia suka beneran sama kamu." Ucap mas Dika setelah pelayan restoran pergi.

"Belum kefikiran buat deket sama cowok mas." Jawabku seperti biasa. Ini bukan pertama kalinya ada temen mas Dika yang menanyakanku padanya.

"Lin, umur kamu udah 29. Udah waktunya untuk berumah tangga. Udah waktunya juga untuk ngelupain..."

"mas."

Aku memotong pembicaraan mas Dika. Aku tidak mau mas Dika menyebutkan nama seseorang yang selama Sembilan tahun ini coba aku lupakan. Aku memang sudah menceritakan semua yang terjadi Sembilan tahun yang lalu kepada mas Dika karena dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Begitupun dengan mas Dika. Dia juga sudah menganggapku seperti adiknya sendiri.

"mas gak usah khawatir gitu. Nanti juga aku bakalan nikah kok. Mas diem dan duduk manis aja nunggu undangan dari aku." Aku tertawa diakhir kalimat.

"Selalu aja menghindar kalau ngebahas dia." Ucap mas Dika.

Aku memberikan cengiran lebar seperti biasanya. Kalau ditanggapi, sudah bisa dipastikan kami akan membahas orang itu. Dan aku akan berakhir menyedihkan karena menangisi apa yang dia lakukan kepadaku dulu.

Mas Dika tidak lagi menyinggung soal orang itu. Kami beralih topik dengan menceritakan kegiatan mengajar tadi. Mas Dika seringkali dibuat pusing dengan tingkah mahasiswinya yang Nampak terang-terangan menyukainya. Wajar saja sih, karena mas Dika memiliki ketampanan diatas rata-rata.

*****

"Lin, bisa papa bicara sebentar ?"

Aku menoleh kearah papa. Menyimpan file yang sedang kuketik lalu menghampiri papa yang duduk di sofa kamarku.

"Kenapa pa ?" tanyaku.

Papa mengelus kepalaku dengan sayang. "Papa gak nyangka kamu segede ini sekarang. Udah jadi dosen lagi."

Aku tersenyum tipis. "Papa mau ngomong apa sebenarnya ?" tanyaku to the point.

Aku tau papa pasti mau menyampaikan sesuatu. Bukan hanya sekedar basa-basi seperti ini.

Papa tertawa kecil. "kamu memang selalu to the point."

"Lin." Ucap papa lagi. "kamu tau kan kalau papa sudah tua. Papa ingin sebelum papa meninggal, papa bisa melihat kamu menikah."

"papa jangan bicara seolah-olah papa bakal ninggalin Elin selamanya gitu dong. Papa jangan khawatir, Elin pasti menikah kok."

"Usia seseorang gak ada yang tau Lin. Kapan kamu akan menikah ? Papa juga gak pernah ngeliat temen cowok kamu yang datang ke rumah. Gavin juga. Kenapa gak pernah kesini lagi."

"Pa..."

"Udah Sembilan tahun Lin. Jangan menghindari masalah. Temui dan selesaikan semuanya."

"Papa ngomong apa sih ? Elin gak ada masalah apa-apa. Jadi gak ada yang harus diselesein."

"Papa ini orangtua kamu nak. Jadi papa pasti tau kalau ada apa-apa sama kamu. Walaupun kamu gak pernah cerita." Ucap papa sambil mengelus kepalaku.

Aku memeluk papa dari samping. Menyandarkan kepalaku di bahu papa. "Elin sayang papa."

Dalam hati, aku mengucapkan maaf kepada papa. Aku benar-benar tidak bisa menceritakan kejadian Sembilan tahun yang lalu itu.

"Ya sudah. Kamu lanjutin aja pekerjaan kamu. Jangan tidur malam-malam."

"Pa, Elin bukan bocah usia 5 tahun lagi, masa gak boleh tidur malam-malam." Ucapku memberengut seperti anak kecil.

Papa terkekeh. "Bagi papa kamu tetap saja putri kecil papa."

Papa kembali mengacak rambutku pelan sebelum keluar dari kamar.

Aku menghela napas berat lalu bersandar pada sofa.

Sudah Sembilan tahun ternyata.

Dan aku masih saja belum melupakannya.

*****

Bersambung ~

Terimakasih buat yang udah baca dan ngevote cerita ini :)

Berhubung sekarang aku udah bukan pengangguran lagi, jadi aku gak bisa cepet-cepet update. Tapi tenang aja, aku pasti lanjutin sampai tamat kok. Aku juga usahain buat update secepat yang aku bisa. Semoga masih ada yang mau nunggu dan baca cerita ini ya.

with love, nk.


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-



"Lin, kita rencananya mau ke mall. Kamu mau ikut gak ?" Ajak Ayu.

Aku, Ayu dan Rissa sedang berjalan menuju gerbang kampus.

"Gak deh kayaknya. Mama sendiri dirumah."

Ayu dan Rissa mengangguk. Mereka memang sudah mengerti tentang perubahanku yang lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Dan mereka tidak mempersalahkan itu. Quality time kami juga tidak pernah berkurang karena Rissa dan Ayu sering ke rumahku untuk sekedar bergosip atau membuat tugas bersama.

Lagian, nanti malam aku juga sudah ada janji makan malam diluar bersama Gavin. Ngomong-ngomong hubunganku dengan Gavin masih begitu-begitu saja. Aku juga tidak tahu bagaimana perasaan Gavin kepadaku. Dia terlalu susah di tebak. Sedangkan perasaanku kepadanya, jangan ditanya lagi. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.

"Elina, bisa ngobrol berdua aja ?"

Kami bertiga sontak berhenti dan menoleh ke belakang, ke asal suara. Ada Justin yang menatapku dengan tatapan memohon.

Aku mengangguk. Berpamitan kepada Ayu dan Rissa lalu mengikuti Justin yang ternyata memilih duduk di bangku taman kampus.

"Kenapa Tin ?" tanyaku saat sudah duduk berdampingan bersama Justin.

"Lin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi berjanjilah satu hal. Apapun yang akan aku sampein nanti, jangan sampai merusak pertemanan kita. Janji ?" Justin mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janji." Aku menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingking Justin sambil tersenyum.

Justin menggenggam kedua tanganku lalu menatapku sambil tersenyum. Aku seketika bisa menebak apa yang akan disampaikan oleh Justin. Astaga. Apa yang harus kulakukan ?

Aku tahu Justin mendekatiku beberapa minggu ini dengan maksud tertentu. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini Justin mengungkapkannya. Lagian aku juga tidak merespon semua perhatian Justin.

"Elina,...aku mau bilang sama kamu kalau aku sayang sama kamu. Aku udah lama memperhatikan kamu, dan aku rasa sekarang saat yang tepat buat bilang sama kamu. Karena,...besok aku pindah ke bali."

Aku kaget dengan perkataan Justin barusan, bukan karena ungkapan sayangnya tapi karena dia akan pindah ke bali besok."

"Justin..."

"sst. Kamu gak perlu jawab apa-apa karena aku memang gak butuh jawabannya sekarang. Nanti, setelah aku mapan aku akan datang kembali untuk menagih jawaban sama kamu.

"Tapi..."

"Elina, please. Aku gak akan memaksa kamu. Bahkan kalaupun nanti kamu mencintai pria lain, aku tidak masalah. Kamu berhak menentukan pilihan kamu sendiri."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Kapan kamu berangkat ?"

"Besok, pesawat jam 10.00."

"Maaf, aku gak bisa nganter kamu ke bandara. Jaga diri baik-baik di sana."

Justin mengangguk. "Kamu juga. Baik-baik disini ya. Aku sayang sama kamu, Elina."

"makasih udah sayang sama aku, Justin."

"Boleh aku peluk kamu ?"

Aku berfikir sebentar lalu menganggukkan kepala. Justin akan berangkat besok. Aku rasa, tidak masalah memberikan pelukan perpisahan untuknya.



***



Pukul tujuh lewat dua puluh menit, aku berulangkali mengecek ponselku. Berharap ada panggilan atau pesan singkat dari Gavin, namun berkali-berkali mengecek ponsel tidak ada satupun pesan dari Gavin. Aku bahkan sudah mencoba untuk menghubunginya namun dia tidak mengangkatnya.

Apa dia lupa kalau kami ada janji makan malam diluar ?

Aku menunggu Gavin hingga pukul Sembilan malam. Merasa khawatir karena dia tidak kunjung datang, aku akhirnya memutuskan untuk menemui Gavin ke rumahnya. Aku ingin memastikan dia dalam keadaan baik-baik saja.

Setengah jam berkendara akhirnya aku sampai di rumah Gavin. Aku turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu utama rumah Gavin. Dua kali memencet bel, pintu terbuka dan aku disambut oleh tante Merlin.

"Lho, Elin ?" tante Merlin tampak kaget dengan kedatanganku.

"Selamat malam tante, maaf ganggu malam-malam. Gavinnya ada tante ?" tanyaku sopan.

"ada. Ayo masuk. Dia dikamar aja dari tadi. Makan malam aja minta di antar ke kamar."

Aku mengikuti tante Merlin masuk ke dalam.

"Gavin gak sakit kan tante ?"

"gak kok. Lagi bad mood mungkin. Dia kalo gak mood emang gitu."

Tante Merlin membawaku menuju kamar Gavin.

"Vin, ada Elin nih." Ucap tante Merlin sambil mengetuk pintu kamar Gavin.

"Masuk aja. Gavin lagi main ma."

"Gih sana masuk, asyik main ps paling."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu membuka pintu kamar Gavin dan masuk ke dalam.

Gavin sedang sibuk bermain ps sambil bersandar di sofa yang ada di kamarnya. Dia diam saja. Tidak menyapaku sama sekali. Jangankan menyapa, menoleh padaku saja tidak.

"Vin." Panggilku pelan.

Gavin berdeham.

"Kamu baik-baik aja ?"

"baik." Jawabnya datar.

"kamu lupa ya ada janji sama aku ?"

"gak kok."

"terus ?"

"aku males."

Emosiku langsung memuncak seketika mendengar jawaban terakhir Gavin. Aku tidak masalah dengan sikap dingin atau jawaban-jawaban datarnya. Tapi aku sunggguh tidak bisa terima dengan jawaban "aku males" nya. Paling tidak dia harus mengabariku kalau memang tidak ingin keluar. Bukannya malah membiarkanku menunggu seperti orang bodoh di rumah.

Aku menarik stick ps dari tangan Gavin lalu membantingnya di sisi Gavin.

"KAMU KENAPA SIH ? MARAH SAMA AKU ? KALAU IYA BILANG !!! JANGAN DIEM AJA KAYAK GINI." Ucapku berapi-api.

Gavin menaikkan sebelah alisnya lalu berdiri dari duduknya. "Marah ? aku gak punya alesan apapun buat marah sama kamu."

"JADI KENAPA ? Kamu udah janji ngajakin aku makan malam di luar malam ini. Dan aku dengan begonya nungguin kamu dirumah berjam-jam. Dan sekarang, aku mendapati kamu dirumah sedang asyik main ps sementara dari tadi aku ngekhawatirin kamu. Kamu jahat banget sih." Aku memukul-mukul dada Gavin. Dia diam saja, tidak berusaha menenangkanku. Dan itu membuat dadaku sesak.aku menangis di depan Gavin.

"Aku sayang kamu, Vin." Ucapku lirih.

Aku tidak lagi memukulnya. Rasanya tenagaku hilang seiring dengan perlakuan dingin Gavin. Aku tidak tahu apa yang membuat Gavin berubah. Dia bahkan lebih dingin dari pada awal kami bertemu.

Gavin masih saja diam dan berwajah datar. Bahkan saat aku mengungkapkan perasaanku. Dia sungguh menyakitiku tepat di relung hati yang paling dalam.

"Pulanglah."

"Aku baru saja mengungkapkan kalau aku sayang sama kamu, dan kamu menjawabnya dengan mengusirku ?" tanyaku tidak percaya.

"Jadi, jawaban apa yang kamu mau ? Kamu berharap aku bilang sayang juga sama kamu ? Jangan mimpi. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah sayang sama kamu. Gadis seperti kamu tidak pantas untukku. Pergilah, cari pria yang mau menerima gadis agresif sepertimu."

"GAVIN !!!"

"APA ?? Itu faktanya kan ? Gadis sepertimu memang lebih suka mendekati pria dengan cara apapun. Ck. Murahan sekali !"

Air mataku mengalir deras tanpa bisa ku tahan. Aku sakit. Hatiku sakit. Rasanya aku baru saja di jatuhkan dari jurang dan disambut oleh bebatuan karang lalu dihempaskan dan terbawa ombak kemana saja.

"Maaf, karena aku dengan bodohnya mencintaimu. Selamat tinggal, Gavin."

Aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar Gavin. Berpamitan dengan tante Merlin lalu berlari keluar rumah. Aku tidak mau tante Merlin menanyakan apa yang barusan terjadi. Aku tidak akan sanggup untuk menceritakannya. Aku meninggalkan rumah Gavin dengan hati yang hancur.

"Selamat tinggal, Gavin."

Bersambung ~


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-

"Kita mau kemana sih sebenernya. Kamu gak punya niat buruk kan sama aku ?"

Aku melirik Gavin yang sedang sibuk menyetir. Sudah hampir tiga jam di mobil, Gavin belum juga menjelaskan kemana tujuan kami sebenarnya.

Tadi pagi-pagi sekali Gavin datang ke rumahku. Aku fikir dia mengantarkan tante Merlin seperti biasanya, ternyata tidak. Dia sengaja datang menemuiku dan menculikku. Ya, walaupun papa dan mama memang memberikan ijin kepada Gavin.

"Vin, aku beneran takut lho sekarang." Ucapku sambil bergidik ngeri. Pasalnya jalan yang kami lalui sekarang mulai terlihat sepi. Rumah penduduk pun sudah jarang kami temui.

Gavin berdecak. "bawel banget sih !"

"Gimana gak bawel kalau kamu gak ngejelasin kemana tujuan kita."

"Gak usah takut. Aku gak mungkin macam-macam sama kamu." Gavin melirik dadaku sekilas. "Datar gitu pun." Ucapnya lagi.

Aku memelototkan mataku lalu memukul lengannya. "mesum banget sih ! Punya aku gak datar ya, ideal ini gedenya."

Gavin mencibir. "Ngarep. Datar ya datar aja. Aku gak ngeliat ada yang nonjol tuh."

Aku mengarahkan kedua tanganku berbentuk cakaran kearah Gavin, namun kutarik kembali. Membuang-buang energi saja. Aku menghela napas berat lalu menyandarkan badan ke jok mobil. Lebih baik aku tidur sekarang.

Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas rasanya badanku kembali lebih segar. Aku membuka mata, mengarahkan pandangan ke sekeliling.

"Dimana ini ?" Gumamku.

Aku melepas seatbelt lalu turun dari mobil. Pemandangan disini indah sekali, semuanya hijau, dipenuhi oleh pepohonan. Hawa dingin mulai menusuk ke kulitku. Wajar saja, aku di daerah perbukitan sekarang.

Aku melihat Gavin di salah satu kedai kopi yang ada disini. Aku menyusulnya lalu memilih duduk disampingnya.

"Kok gak bangunin aku ? udah nyampe dari tadi ya ? btw, ngapain kita disini ?"

Gavin menyentil dahiku pelan yang membuatku mengaduh seketika lalu memberengut kesal.

"Nanya itu satu-satu. Kamu tidurnya nyenyak banget kayak kebo. Males ngebangunin."

"Mana ada kebo yang cantik kayak aku ?"

"Ada. Nih". Gavin menunjukku, tepat di hidung.

Aku menepis tangannya dengan kesal.

"Kamu mau makan apa ? Cepetan pesen. Bentar lagi kita berangkat."

"Berangkat ? Emang kita mau kemana lagi ?" tanyaku.

"Ada air terjun bagus di daerah sini. Aku pengen kesana. Cepetan pesen. Perjalanan ke air terjunnya ditempuh setengah jam lagi dengan jalan kaki."

Aku mengerjapkan mata. "Jalan kaki ?" tanyaku memastikan.

Gavin mengangguk. "Jadi mau makan apa enggak ? Kalau enggak kita berangkat sekarang."

Aku mendengus kesal. Dasar tidak sabaran. Sudah memaksa untuk pergi, tidak memberi tahu kalau mau ke air terjun, dan sekarang malah mendesakku untuk makan dengan cepat. Benar-benar luar biasa.

Aku memesan makanan kepada penjualnya lalu mulai memakannya dengan lahap saat pesananku sudah datang. Udara dingin benar-benar membuat perutku sangat lapar. Aku tidak peduli dengan keberadaan Gavin yang melihatku makan seperti ini.

"Udah berapa tahun gak makan ?" komentarnya.

Aku menatap Gavin sambil cemberut, lalu melanjutkan makanku.

Selesai makan, Gavin membiarkanku istirahat sebentar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun. Seperti yang Gavin bilang, perjalanan menuju air terjun memang ditempuh selama tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Aku capek sekali, aku tidak terbiasa jalan jauh menyusuri hutan seperti ini. Untunglah Gavin sepertinya mengerti, jadi setiap kali aku merasa lelah dia akan mengajakku berhenti sebentar untuk beristirahat.

"waaah. Cantiknyaaa." Teriakku saat kami sudah sampai di air terjun.

"Makanya jangan nongkrong di kafe ato mall terus. Sekali-sekali coba menikmati keindahan alam kayak gini." Ucap Gavin menyindirku.

Aku mencibir. Malas meladeninya.

Aku duduk dibebatuan besar, tidak begitu jauh dari air terjun. Sebenarnya aku ingin menceburkan diri, tapi aku tidak membawa baju ganti, ditambah lagi aku menggunakan kaos berwarna putih sekarang.

"Gak mau ikutan nyebur ?" Gavin yang sudah nyebur duluan menghampiriku. "Airnya seger banget lho." Ucapnya menggodaku.

Aku menggeleng. "Aku gak bawa baju ganti. Kamu gak bilang mau kesini." Aku mengerucutkan bibirku.

"aku juga gak bawa baju ganti. Ntar juga kering sendiri pas jalan pulang."

"Baju aku warna putih Vin."

Gavin melihat kearah bajuku lalu mengangguk-ngangguk. "Nanti pake jaket aku aja. Sayang banget udah nyampe sini gak ikutan nyebur."

Mataku berbinar seketika. Tanpa fikir panjang aku langsung menceburkan diri. Airnya benar-benar dingin, enak buat mandi-mandi.

Aku dan Gavin mandi berjam-jam. Kami bercanda dan tertawa-tawa selama mandi. Ada saja yang akan kami tertawakan. Aku bahkan tidak sadar jari-jariku mulai keriput karena terlalu lama mandi.

"Udahan yuk, aku takut nanti nganterin kamunya kemaleman." Uvap Gavin.

"Yaaaah." Aku menampilkan wajah memelasku.

"kapan-kapan aku ajakin jalan-jalan lagi.

"beneran ?"

Dia mengangguk.

Aku baru saja akan keluar dari air, namun Gavin lebih dulu menahanku.

"Kenapa ?" tanyaku bingung.

"Aku ambilin jaket dulu. Banyak orang disini. Daleman kamu keliatan."

Aku mengangguk. Membiarkan Gavin keluar dari air lebih dulu. Gak lama Gavin datang dengan membawa jaketnya. Aku memakainya didalam air lalu keluar dari air.

Perjalanan menuju pulang terasa lebih cepat daripada perjalanan menuju air terjun. Pukul 20.45 Gavin memakirkan mobilnya di halaman rumahku.

Aku turun dari mobil. Gavin juga ikutan turun. Dia kembali menemui mama dan papaku. Meminta maaf karena baru pulang jam segini. Gentleman sekali.

Aku kembali mengantarkan Gavin menuju mobilnya setelah dia berpamitan kepada mama dan papa.

"makasih udah ngajakin aku jalan-jalan." Ucapku kepada Gavin.

Gavin tersenyum sambil mengangguk. Dia masuk ke mobilnya, menghidupkan mesin mobil lalu melambaikan tangannya sedikit ke arahku.

"Aku pulang dulu."

Aku mengangguk. "hati-hati dijalan."

Gavin mulai melajukan mobilnya. Setelah mobil Gavin menghilang dari pandanganku , aku baru masuk ke dalam rumah.

Bersambung ~


 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea