Love me, please

Oleh NindyKornelia

Sembilan tahun kemudian.



-Elina Desma Gloria-

"ma, pa, Elin berangkat ya." Aku mengecup pipi mama dan pipi papa, lalu mengacak rambut Fajar sekilas.

Sembilan tahun berlalu, banyak yang berubah dari hidupku. Aku sudah menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Sifatku juga sudah banyak berubah. Aku bukan lagi Elina yang akan berbinar melihat pria tampan. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan semua itu.

Dan perubahan itu membuat kedua orangtuaku khawatir, terutama mama. Karena sekarang, saat usiaku menginjak angka 29 tahun, aku masih belum mempunyai kekasih yang bisa aku kenalkan kepada mama dan papa.

Aku mengendarai mobil menuju kampus dengan kecepatan sedang. Hari ini aku ada jadwal mengajar, pukul sepuluh lebih tepatnya. Dan itu berarti aku masih punya waktu setengah jam lagi karena sekarang masih pukul Sembilan lewat tiga puluh menit.

Dikampus, aku langsung melangkah menuju ruang dosen sambil sesekali tersenyum ramah kepada beberapa mahasiswa yang menyapaku disepanjang lorong.

"Selamat pagi Ibu Elina." Goda salah satu dosen yang berada diruangan saat aku memasuki ruang dosen. Namanya Mahardika Nadindra, aku biasa memanggilnya mas Dika karena dia tiga tahun lebih tua dariku.

"Selamat pagi, mas Dika."

"Ada kelas jam berapa ?"

"jam sepuluh mas. Mas jam berapa ?"'

"Sama. Habis ngajar, lunch bareng ?"

Aku mengangguk. "baiklah. Aku meriksa bahan dulu."

Mas Dika mengangguk. Aku lalu memeriksa kembali apa saja yang akan aku jelaskan hari ini.

*****

Selesai mengajar aku dan mas Dika langsung berangkat menuju restoran langganan kami. Aku dan mas Dika memang sudah akrab. Dialah orang pertama yang mau berteman denganku disaat orang lain ada yang memandangku dengan sinis. Ya, dunia kerja memang begitu. Sebaik apapun kita, seramah apapun kita tetap saja akan ada orang yang tidak menyukai kita. Jadi, jalani dan nikmati saja.

"mau pesan apa ?" Tanya mas Dika.

"Ikan bakar aja mas. Minumnya jus jeruk."

Mas Dika mengangguk. Lalu menyebutkan pesanan kami kepada pelayan restoran.

"Oh iya, temen mas ada yang nanyain kamu. Kayaknya dia suka beneran sama kamu." Ucap mas Dika setelah pelayan restoran pergi.

"Belum kefikiran buat deket sama cowok mas." Jawabku seperti biasa. Ini bukan pertama kalinya ada temen mas Dika yang menanyakanku padanya.

"Lin, umur kamu udah 29. Udah waktunya untuk berumah tangga. Udah waktunya juga untuk ngelupain..."

"mas."

Aku memotong pembicaraan mas Dika. Aku tidak mau mas Dika menyebutkan nama seseorang yang selama Sembilan tahun ini coba aku lupakan. Aku memang sudah menceritakan semua yang terjadi Sembilan tahun yang lalu kepada mas Dika karena dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Begitupun dengan mas Dika. Dia juga sudah menganggapku seperti adiknya sendiri.

"mas gak usah khawatir gitu. Nanti juga aku bakalan nikah kok. Mas diem dan duduk manis aja nunggu undangan dari aku." Aku tertawa diakhir kalimat.

"Selalu aja menghindar kalau ngebahas dia." Ucap mas Dika.

Aku memberikan cengiran lebar seperti biasanya. Kalau ditanggapi, sudah bisa dipastikan kami akan membahas orang itu. Dan aku akan berakhir menyedihkan karena menangisi apa yang dia lakukan kepadaku dulu.

Mas Dika tidak lagi menyinggung soal orang itu. Kami beralih topik dengan menceritakan kegiatan mengajar tadi. Mas Dika seringkali dibuat pusing dengan tingkah mahasiswinya yang Nampak terang-terangan menyukainya. Wajar saja sih, karena mas Dika memiliki ketampanan diatas rata-rata.

*****

"Lin, bisa papa bicara sebentar ?"

Aku menoleh kearah papa. Menyimpan file yang sedang kuketik lalu menghampiri papa yang duduk di sofa kamarku.

"Kenapa pa ?" tanyaku.

Papa mengelus kepalaku dengan sayang. "Papa gak nyangka kamu segede ini sekarang. Udah jadi dosen lagi."

Aku tersenyum tipis. "Papa mau ngomong apa sebenarnya ?" tanyaku to the point.

Aku tau papa pasti mau menyampaikan sesuatu. Bukan hanya sekedar basa-basi seperti ini.

Papa tertawa kecil. "kamu memang selalu to the point."

"Lin." Ucap papa lagi. "kamu tau kan kalau papa sudah tua. Papa ingin sebelum papa meninggal, papa bisa melihat kamu menikah."

"papa jangan bicara seolah-olah papa bakal ninggalin Elin selamanya gitu dong. Papa jangan khawatir, Elin pasti menikah kok."

"Usia seseorang gak ada yang tau Lin. Kapan kamu akan menikah ? Papa juga gak pernah ngeliat temen cowok kamu yang datang ke rumah. Gavin juga. Kenapa gak pernah kesini lagi."

"Pa..."

"Udah Sembilan tahun Lin. Jangan menghindari masalah. Temui dan selesaikan semuanya."

"Papa ngomong apa sih ? Elin gak ada masalah apa-apa. Jadi gak ada yang harus diselesein."

"Papa ini orangtua kamu nak. Jadi papa pasti tau kalau ada apa-apa sama kamu. Walaupun kamu gak pernah cerita." Ucap papa sambil mengelus kepalaku.

Aku memeluk papa dari samping. Menyandarkan kepalaku di bahu papa. "Elin sayang papa."

Dalam hati, aku mengucapkan maaf kepada papa. Aku benar-benar tidak bisa menceritakan kejadian Sembilan tahun yang lalu itu.

"Ya sudah. Kamu lanjutin aja pekerjaan kamu. Jangan tidur malam-malam."

"Pa, Elin bukan bocah usia 5 tahun lagi, masa gak boleh tidur malam-malam." Ucapku memberengut seperti anak kecil.

Papa terkekeh. "Bagi papa kamu tetap saja putri kecil papa."

Papa kembali mengacak rambutku pelan sebelum keluar dari kamar.

Aku menghela napas berat lalu bersandar pada sofa.

Sudah Sembilan tahun ternyata.

Dan aku masih saja belum melupakannya.

*****

Bersambung ~

Terimakasih buat yang udah baca dan ngevote cerita ini :)

Berhubung sekarang aku udah bukan pengangguran lagi, jadi aku gak bisa cepet-cepet update. Tapi tenang aja, aku pasti lanjutin sampai tamat kok. Aku juga usahain buat update secepat yang aku bisa. Semoga masih ada yang mau nunggu dan baca cerita ini ya.

with love, nk.


0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea