Love me, please

Oleh NindyKornelia

-Elina Desma Gloria-



"Lin, kita rencananya mau ke mall. Kamu mau ikut gak ?" Ajak Ayu.

Aku, Ayu dan Rissa sedang berjalan menuju gerbang kampus.

"Gak deh kayaknya. Mama sendiri dirumah."

Ayu dan Rissa mengangguk. Mereka memang sudah mengerti tentang perubahanku yang lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Dan mereka tidak mempersalahkan itu. Quality time kami juga tidak pernah berkurang karena Rissa dan Ayu sering ke rumahku untuk sekedar bergosip atau membuat tugas bersama.

Lagian, nanti malam aku juga sudah ada janji makan malam diluar bersama Gavin. Ngomong-ngomong hubunganku dengan Gavin masih begitu-begitu saja. Aku juga tidak tahu bagaimana perasaan Gavin kepadaku. Dia terlalu susah di tebak. Sedangkan perasaanku kepadanya, jangan ditanya lagi. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.

"Elina, bisa ngobrol berdua aja ?"

Kami bertiga sontak berhenti dan menoleh ke belakang, ke asal suara. Ada Justin yang menatapku dengan tatapan memohon.

Aku mengangguk. Berpamitan kepada Ayu dan Rissa lalu mengikuti Justin yang ternyata memilih duduk di bangku taman kampus.

"Kenapa Tin ?" tanyaku saat sudah duduk berdampingan bersama Justin.

"Lin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi berjanjilah satu hal. Apapun yang akan aku sampein nanti, jangan sampai merusak pertemanan kita. Janji ?" Justin mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janji." Aku menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingking Justin sambil tersenyum.

Justin menggenggam kedua tanganku lalu menatapku sambil tersenyum. Aku seketika bisa menebak apa yang akan disampaikan oleh Justin. Astaga. Apa yang harus kulakukan ?

Aku tahu Justin mendekatiku beberapa minggu ini dengan maksud tertentu. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini Justin mengungkapkannya. Lagian aku juga tidak merespon semua perhatian Justin.

"Elina,...aku mau bilang sama kamu kalau aku sayang sama kamu. Aku udah lama memperhatikan kamu, dan aku rasa sekarang saat yang tepat buat bilang sama kamu. Karena,...besok aku pindah ke bali."

Aku kaget dengan perkataan Justin barusan, bukan karena ungkapan sayangnya tapi karena dia akan pindah ke bali besok."

"Justin..."

"sst. Kamu gak perlu jawab apa-apa karena aku memang gak butuh jawabannya sekarang. Nanti, setelah aku mapan aku akan datang kembali untuk menagih jawaban sama kamu.

"Tapi..."

"Elina, please. Aku gak akan memaksa kamu. Bahkan kalaupun nanti kamu mencintai pria lain, aku tidak masalah. Kamu berhak menentukan pilihan kamu sendiri."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Kapan kamu berangkat ?"

"Besok, pesawat jam 10.00."

"Maaf, aku gak bisa nganter kamu ke bandara. Jaga diri baik-baik di sana."

Justin mengangguk. "Kamu juga. Baik-baik disini ya. Aku sayang sama kamu, Elina."

"makasih udah sayang sama aku, Justin."

"Boleh aku peluk kamu ?"

Aku berfikir sebentar lalu menganggukkan kepala. Justin akan berangkat besok. Aku rasa, tidak masalah memberikan pelukan perpisahan untuknya.



***



Pukul tujuh lewat dua puluh menit, aku berulangkali mengecek ponselku. Berharap ada panggilan atau pesan singkat dari Gavin, namun berkali-berkali mengecek ponsel tidak ada satupun pesan dari Gavin. Aku bahkan sudah mencoba untuk menghubunginya namun dia tidak mengangkatnya.

Apa dia lupa kalau kami ada janji makan malam diluar ?

Aku menunggu Gavin hingga pukul Sembilan malam. Merasa khawatir karena dia tidak kunjung datang, aku akhirnya memutuskan untuk menemui Gavin ke rumahnya. Aku ingin memastikan dia dalam keadaan baik-baik saja.

Setengah jam berkendara akhirnya aku sampai di rumah Gavin. Aku turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu utama rumah Gavin. Dua kali memencet bel, pintu terbuka dan aku disambut oleh tante Merlin.

"Lho, Elin ?" tante Merlin tampak kaget dengan kedatanganku.

"Selamat malam tante, maaf ganggu malam-malam. Gavinnya ada tante ?" tanyaku sopan.

"ada. Ayo masuk. Dia dikamar aja dari tadi. Makan malam aja minta di antar ke kamar."

Aku mengikuti tante Merlin masuk ke dalam.

"Gavin gak sakit kan tante ?"

"gak kok. Lagi bad mood mungkin. Dia kalo gak mood emang gitu."

Tante Merlin membawaku menuju kamar Gavin.

"Vin, ada Elin nih." Ucap tante Merlin sambil mengetuk pintu kamar Gavin.

"Masuk aja. Gavin lagi main ma."

"Gih sana masuk, asyik main ps paling."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu membuka pintu kamar Gavin dan masuk ke dalam.

Gavin sedang sibuk bermain ps sambil bersandar di sofa yang ada di kamarnya. Dia diam saja. Tidak menyapaku sama sekali. Jangankan menyapa, menoleh padaku saja tidak.

"Vin." Panggilku pelan.

Gavin berdeham.

"Kamu baik-baik aja ?"

"baik." Jawabnya datar.

"kamu lupa ya ada janji sama aku ?"

"gak kok."

"terus ?"

"aku males."

Emosiku langsung memuncak seketika mendengar jawaban terakhir Gavin. Aku tidak masalah dengan sikap dingin atau jawaban-jawaban datarnya. Tapi aku sunggguh tidak bisa terima dengan jawaban "aku males" nya. Paling tidak dia harus mengabariku kalau memang tidak ingin keluar. Bukannya malah membiarkanku menunggu seperti orang bodoh di rumah.

Aku menarik stick ps dari tangan Gavin lalu membantingnya di sisi Gavin.

"KAMU KENAPA SIH ? MARAH SAMA AKU ? KALAU IYA BILANG !!! JANGAN DIEM AJA KAYAK GINI." Ucapku berapi-api.

Gavin menaikkan sebelah alisnya lalu berdiri dari duduknya. "Marah ? aku gak punya alesan apapun buat marah sama kamu."

"JADI KENAPA ? Kamu udah janji ngajakin aku makan malam di luar malam ini. Dan aku dengan begonya nungguin kamu dirumah berjam-jam. Dan sekarang, aku mendapati kamu dirumah sedang asyik main ps sementara dari tadi aku ngekhawatirin kamu. Kamu jahat banget sih." Aku memukul-mukul dada Gavin. Dia diam saja, tidak berusaha menenangkanku. Dan itu membuat dadaku sesak.aku menangis di depan Gavin.

"Aku sayang kamu, Vin." Ucapku lirih.

Aku tidak lagi memukulnya. Rasanya tenagaku hilang seiring dengan perlakuan dingin Gavin. Aku tidak tahu apa yang membuat Gavin berubah. Dia bahkan lebih dingin dari pada awal kami bertemu.

Gavin masih saja diam dan berwajah datar. Bahkan saat aku mengungkapkan perasaanku. Dia sungguh menyakitiku tepat di relung hati yang paling dalam.

"Pulanglah."

"Aku baru saja mengungkapkan kalau aku sayang sama kamu, dan kamu menjawabnya dengan mengusirku ?" tanyaku tidak percaya.

"Jadi, jawaban apa yang kamu mau ? Kamu berharap aku bilang sayang juga sama kamu ? Jangan mimpi. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah sayang sama kamu. Gadis seperti kamu tidak pantas untukku. Pergilah, cari pria yang mau menerima gadis agresif sepertimu."

"GAVIN !!!"

"APA ?? Itu faktanya kan ? Gadis sepertimu memang lebih suka mendekati pria dengan cara apapun. Ck. Murahan sekali !"

Air mataku mengalir deras tanpa bisa ku tahan. Aku sakit. Hatiku sakit. Rasanya aku baru saja di jatuhkan dari jurang dan disambut oleh bebatuan karang lalu dihempaskan dan terbawa ombak kemana saja.

"Maaf, karena aku dengan bodohnya mencintaimu. Selamat tinggal, Gavin."

Aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar Gavin. Berpamitan dengan tante Merlin lalu berlari keluar rumah. Aku tidak mau tante Merlin menanyakan apa yang barusan terjadi. Aku tidak akan sanggup untuk menceritakannya. Aku meninggalkan rumah Gavin dengan hati yang hancur.

"Selamat tinggal, Gavin."

Bersambung ~


0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea