-Elina Desma Gloria-
“Lin, gak mau makan siang dulu ?” Tanya Bella, salah satu dosen di universitas tempatku mengajar.
“bentar lagi bel, nanggung. Kamu duluan aja.” Ucapku sambil tersenyum.
Bella mengangguk. “Baiklah, aku istirahat duluan ya.”
“iya.”
Bella keluar dari ruangan dosen, meninggalkanku sendiri disini. Sedangkan dosen yang lain, ada yang masih mengajar.
Aku melanjutkan memeriksa tugas yang dikumpulkan oleh mahasiswaku. Tinggal beberapa tugas lagi, setelah itu baru aku makan siang dan langsung pulang. Lagian aku tidak ada jadwal mengajar lagi hari ini.
Suara ponsel berbunyi membuat perhatianku teralihkan. Mengabaikan sebentar tugas-tugas itu, aku langsung mengecek ponsel. Ternyata ada pesan singkat dari Ayu. Aku lantas membuka pesan tersebut.
Minggu depan aku ke Jakarta. Tolong siapin red carpet buat penyambutan. Okay ?
Aku tertawa pelan membaca pesan dari Ayu. Ngomong-ngomong aku sudah lama tidak bertemu dengan Ayu . terakhir bertemu saat liburan tahun baru kemaren. Itu berarti sudah enam bulan yang lalu. Sedangkan dengan Rissa, aku masih sering bertemu karena Rissa memang memutuskan untuk berkarir disini saja. Berbeda dengan Ayu yang ingin dekat dengan kedua orangtuanya.
Presiden saja tidak selalu disambut dengan Red carpet. Memangnya kau siapa ?
I’m your idol. Sudah sewajarnya fans fanatic memanjakan idolanya.
Huek ! kabarin aja kalau udah mau berangkat.
Tentu. Ambil cuti please, aku cuma bisa libur seminggu doang.
Ck. Selalu menyusahkan. Kabarin Rissa sekalian.
Sudah baby. Baiklah, idola mau makan siang dulu. Bye and see you next week.
See you.
Aku meletakkan kembali ponselku di atas meja, lalu melanjutkan memeriksa tugas-tugas yang tadi tertunda.
Tidak butuh waktu lama akhirnya aku selesai memeriksa semua tugas-tugas itu. Aku menyimpan file-file yang penting lalu merapikan meja. Setelah itu baru beranjak meninggalkan ruangan dosen.
Aku menyusuri lorong kampus dengan santai. Tersenyum ramah kepada setiap mahasiswa yang menyapaku sudah menjadi rutinitasku.
Lagi-lagi ponselku berbunyi. Aku mengeceknya dan memutuskan untuk mengangkatnya saat melihat nama si penelpon di layar. Justin calling, tertulis dilayar ponselku.
“Hai” Sapaku pelan.
“Lagi dimana ?” Tanya Justin langsung tanpa membalas sapaanku.
“Dikampus.”
“Masih ngajar ?”
“Enggak, udah mau pulang.”
“Baguslah.”
Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengannya. “are you okay ?” tanyaku.
Justin tertawa. “I’m okay. Berbaliklah dan lihat siapa yang ada dibelakangmu.”
Aku sontak berhenti berjalan. Lalu membalikkan badan. Aku langsung cemberut melihat siapa yang berdiri beberapa meter di belakangku. Ya, orang itu adalah Justin.
Ngomong-ngomong aku dan Justin memang masih sering berkomunikasi via telepon atau kadang-kadang via social media. Bahkan kami sempat beberapa kali bertemu. Saat dia ada urusan pekerjaan disini atau aku sedang jalan-jalan ke bali.
“kok gak ngabarin kalau mau kesini ?” tanyaku sambil cemberut.
Justin mengacak rambutku pelan. “Kejutan.” Ucapnya sambil tersenyum.
“hei, aku disini dosen ya. Jangan memperlakukanku seperti bocah begini. Ngerusak citra banget tauk !”
Justin tertawa pelan. “Kamu udah makan ?”
Aku menggeleng.
“mau makan bersama ?”
“Aku maunya ditempat yang mahal ya. Biar kamu bangkrut.”
“kayak yang banyak makan aja. Ayo, nyari makan.”
Aku dan Justin berjalan beriringan menuju area parkir kampus. Berhubung Justin tidak punya mobil disini, jadi kami berangkat menggunakan mobilku saja. Sepanjang jalan aku dan Justin mengobrol banyak. Aku seringkali memukuli lengannya saat sedang menyetir. Melampiaskan kekesalanku karena dia tidak mengabariku datang kesini. Kalau aku tau dari awal dia akan kesini aku pasti akan menyempatkan diri menjemputnya ke bandara.
Justin memakirkan mobil di area parkir restoran yang kami datangi. Aku turun duluan, disusul oleh Justin. Setelah itu kami masuk bersama-sama.
“Mau pesan apa ?” Tanya Justin.
Aku membaca buku menu restoran. “Spaghetti aja deh sama ice lemon tea.”
“Siang-siang gini makan spaghetti ?”
Aku mengangguk. “memangnya kenapa ?”
“Gak papa sih.”
Justin memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanan kami. Pelayan itu mencatat dan mengulang menyebutkan pesanan kami, setelah itu baru beranjak pergi.
“Jadi, kali ini berapa lama di Jakarta?” tanyaku kepada Justin.
“satu minggu. Kenapa ? pengen aku lama-lama disini ya ?” Godanya sambil tersenyum jahil.
Aku mencibir. “ngarep ! yang ada kamu nyusahin kalau lama-lama disini.”
Justin tertawa. “Jujur banget sih. Nanti malam dinner yuk.”
“Makan siang aja belum datang dan kamu udah mau ngajakin dinner buat nanti malem ?”
“Iyain aja kenapa.”
Aku tertawa. “Iya-iya. Kamu nginep dimana ? biar nanti malem aku jemput.”
“yang ngajakin dinner itu aku Lin, kenapa kamu yang jemput ?”
“biasanya juga aku yang jemput. Kayak kamu punya mobil aja disini.”
Justin tertawa lagi. “Kali ini aku yang jemput. Kamu cukup dandan yang cantik terus duduk manis dirumah sambil nunggu aku.”
“Baiklah.”
Beberapa saat kemudian makanan yang kami pesan datang. Kami langsung menyantapnya sambil sesekali menobrol santai.
*****
Pukul tujuh lewat empat puluh menit malam. Aku keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi dan sedikit berdandan. Justin bilang dia sudah di dalam perjalanan menuju rumahku.
“Mau kemana kak ?” Tanya Fajar yang sedang menonton tv sambil melirikku sekilas.
“Mau dinner sama Justin. Entar bilang mama papa kalau kakak pulang agak telat ya.”
“Kak Justin lagi di Jakarta ?”
“Iya, ada pekerjaan disini.”
Fajar mengangguk-ngangguk. “jangan pulang malam-malam banget.”
“Iya, kamu kayak mama papa lama-lama.”
Fajar mengedikkan bahu. “Buat kebaikan kakak juga.”
Suara bel berbunyi, itu pasti Justin. Aku melangkah menuju pintu. Lalu membukanya. Benar saja, Justin berdiri disana sambil tersenyum manis. Dia juga membawa sebuket bunga ditangannya.
“Buat kamu.” Ucapnya seraya mengulurkan sebuket bunga mawar berwarna merah.
Aku menaikkan sebelah alisku. “tumben banget ngasih bunga.” Ucapku, tapi tetap mengambil bunga tersebut. “makasih ya.” Ucapku lagi.
“Sekali-sekali gak papa dong.”
“Mau berangkat sekarang ?” tanyaku.
Justin mengangguk. “Mama papa ada ? aku mau izin dulu.”
“Mama papa lagi keluar, Cuma ada Fajar. Langsung berangkat aja deh, aku tadi udah bilang dia juga kok.”
“Baiklah, ayo.”
Aku mengikuti Justin yang berjalan didepan menuju mobil. Dia membukakan pintu mobil untukku. How sweet. Setelah aku duduk manis di bangku samping bangku kemudi barulah Justin menutup pintu dan berlari kecil menuju pintu bangku kemudi.
“Nyolong mobil siapa kamu ?” tanyaku saat Justin mulai menyalakan mesin mobil.
“Enak aja nyolong. Mobil pinjeman ini.” Ucapnya sambil terkekeh di akhir kalimat.
“Minjem mobil siapa ?”
“Mobil sepupu.”
Aku mengangguk-ngangguk. Lalu membiarkan Justin focus menyetir. Walaupun aku dan Justin dekat, namun kami tidak sedekat yang terlihat. Aku memang nyaman bersama Justin, tapi entah kenapa seperti ada batas di antara kami. Aku tidak bisa tertawa lepas bersamanya. Atau memang aku yang tidak tau bagaimana cara tertawa lepas lagi selama Sembilan tahun terakhir. Entahlah.
Aku mengedarkan pandangan keluar jendela selama di perjalanan. Bagiku, pemandangan gedung-gedung tinggi serta lampu-lampu yang berkilauan ditengah kegelapan malam itu sangat indah. Dan aku menyukainya.
“Kita sudah sampai.”
“huh ?”
“Kamu baik-baik aja ? Sepanjang jalan aku perhatiin kamu ngelamun terus.”
Aku tersenyum tipis. “aku baik-baik aja. Ayo turun, aku laper.” Ucapku lalu tertawa kecil.
Aku mendengar Justin menghela napas, namun tetap mengikutiku turun. Kami melangkah bersama-sama. Lalu memesan makanan dan menikmatinya dengan suasana santai.
Satu jam kemudian semua pesanan yang kami pesan habis tidak bersisa. Aku bukan orang yang suka menyisakan makanan. Jika bisa kuhabiskan maka akan aku habiskan, tidak peduli sedang bersama siapapun.
“Pergi sekarang yuk. Ada film yang mau aku tonton di bioskop. Kamu mau nemenin ?”
“film apa ?”
“Film action gitu. Aku lupa judulnya. Please.” Ucap Justin sambil menampilkan wajah memelasnya.
Aku tertawa pelan. “gak usah masang wajah gitu. Geli tauk. Ayo, ntar ngambek lagi kalau gak ditemenin.” Aku menjulurkan lidahku.
“emangnya aku cewek yang lagi pms, gampang ngambek.”
“gak usah sok ngerti tentang cewek deh Tin, jomblo juga.”
“Bully aja terus. Ayuk ah, gak berangkat-berangkat ini.”
Justin beranjak menuju meja kasir. Aku menyusul dibelakangnya. Setelah membayar semua pesanan, kami berjalan beriringan menuju mobil. Dan lagi-lagi Justin membukakan pintu mobil untukku.
Perjalanan menuju mall hanya memakan waktu sepuluh menit saja, karena jaraknya dengan restoran tempat kami makan tadi memang dekat.
Aku melihat-lihat sekeliling sementara Justin membeli tiket buat nonton. Setauku ini bukan malam minggu, kenapa pengunjung ramai sekali. Dan kebanyakan dari mereka adalah pasangan muda-mudi usia belasan tahun.
“Ayo masuk.” Justin menunjukkan tiket yang dibelinya.
Aku mengangguk lalu masuk bersama-sama dengan Justin ke dalam ruangan bioskop.
Aku mengernyitkan dahi, bingung. Pasalnya ruangan bioskop yang kami masuki masih kosong. Tidak ada orang sama sekali kecuali kami berdua.
“Kemana orang-orang ? kenapa Cuma kita berdua ?” tanyaku kepada Justin yang duduk di sisi kanan ku.
Justin mengedikkan bahu. “gak tau. Gak suka nonton ini mungkin.”
Aku semakin bingung dengan alasan Justin. Namun memilih untuk tidak menanyakan lagi. Beberapa saat kemudian lampu bioskop mulai dimatikan bersamaan dengan hidupnya layar yang ada di dalam bioskop.
Aku speechless seketika.
Karena yang ada di layar bukanlah tayangan film yang akan kami tonton melainkan Justin yang tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Hai, kamu pasti kaget banget ngeliat ini. ELina, kamu masih inget ungkapan cinta aku Sembilan tahun yang lalu kan ? Dan sekarang aku pengen nagih jawabannya ke kamu. Aku sungguh-sungguh sayang sama kamu Lin. Would you be my girl friend ?”
Aku menoleh ke samping dan semakin speechless dengan apa yang kulihat. Justin memberikanku sebuket bunga mawar dengan ukuran besar. Lebih besar dari yang diberikannya saat menjemputku tadi.
“Aku bener-bener gak tau harus bilang apa.” Jawabku dengan jujur.
“Aku gak akan maksa kamu untuk jawab iya Lin. Cukup kasih tau jawabannya sekarang. Yes or No ?”
Aku berfikir sebentar. Aku nyaman bersama Justin. Dia baik, baik banget malahan. Tapi, aku gak punya perasaan apa-apa sama Justin. Sungguh, aku bingung sekali.
Bukankah perasaan bisa tumbuh seiring berjalannya waktu ?
Kenapa tidak coba dijalani dulu ?
Benar juga, kenapa aku tidak mencobanya dulu. Bukankah ini kesempatan bagus buat melupakan pria brengsek bernama Gavin itu ?
“Yes.” Ucapku sambil mengangguk.
Justin sontak memelukku. “Thank you. Aku janji bakal bahagiain kamu. I Love you.”
Aku membalas pelukan Justin sambil tersenyum, tanpa membalas pernyataan cintanya.
Bersambung ~
Love me, please
Oleh
NindyKornelia
Categories
Part 11
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment