My Lovely son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sasha pov

"Bukan ah bun. Itu kan om yang di kebun binatang waktu itu."

Raut wajah Bima seketika menjadi sangat sendu. Aku tau dia pasti sedih ditolak oleh anaknya sendiri.

Aku mensejajarkan tinggiku dengan Bimo. Mengecup dahinya sekilas sebelum memberi pengertian. "Sayang. Om itu beneran ayahnya Bimbim." Aku melihat raut wajah bingung di wajahnya. Menghela napas sebelum melanjutkan. "Ada hal yang hanya bisa dimengerti oleh orang dewasa. Nanti kalau bimbim udah dewasa bimbim pasti ngerti."

"Kenapa waktu di kebun binatang om itu diam aja ?"

"Bukan om nak, tapi ayah. Sebenarnya waktu itu ayah udah mau bilang. Tapi karena ayah ada urusan penting makanya ayah diam aja dan langsung pergi."

Bimo masih menatapku bingung. Wajar dia bingung dengan keadaan ini. Dia lalu melirik Bima sekilas kemudian beralih menatapku lagi.

"Jadi itu ayah ?" Tanyanya lagi.

Aku tersenyum sambil mengangguk. "Iya bim."

Dia menatap Bima lagi. Aku kira dia masih akan menolak Bima. Namun jeda beberapa detik dia berlari kearah Bima kemudian menubrukkan badannya.

"Bimbim kangen ayaah."

Bimo memeluk Bima dengan sangat erat. Pemandangan ini yang selalu aku inginkan. Tanpa terasa aku menangis haru melihat mereka berpelukan seperti ini .

***

Bima pov

"Bimbim kangen ayah."

Aku bahagia. Sangat. Saat anak yang selama ini aku sia-siakan memanggilku dengan sebutan ayah. Dia bahkan mengatakan kalau dia merindukanku. Ya Tuhan.

"Maafin ayaah nak."

Aku masih memeluk Bimo dengan erat. Seolah kalau kulepaskan, dia akan menghilang lagi dari kehidupanku. Aku tidak mau itu terjadi.

"Ayah kemana aja ? Kenapa gak pernah pulang ? Ayah gak sayang bimbim ya." Bimo menangis dipelukanku. Aku juga. Namun aku menyeka setiap air mata yang menetes dengan cepat.

"Ayah minta maaf nak. Ayah sayang banget sama bimbim. Maaf ayah baru bisa nemuin bimbim sekarang."

Bimo melepaskan diri dari pelukanku. Pipi tembemnya dipenuhi dengan air mata. Mata dan hidungnya memerah. Aku menyeka air matanya.

"Jagoan tidak boleh menangis."

"Bimbim seneng ayah pulang."

"Ayah lebih senang lagi. Bimbim mau kan maafin ayah ?"

Dia mengangguk.

"Ayah jangan pergi lagi." dia mengerucutkan bibirnya.

"Ayah gak akan kemana-mana sayang." aku mengelus rambutnya.

"Waah bunda dicuekin ni."

Aku melirik Sasha yang pura-pura memasang wajah cemberut. Padahal dia melakukan itu untuk Bimo, tapi kenapa malah terlihat menggemaskan dimataku.

"Terima kasih bundaa." Bimo memeluk Sasha. Walaupun yang bisa dia peluk hanya kakinya saja.

"Bimbim seneng ?"

Bimo mengangguk antusias. Lalu Sasha mengecup kepalanya sekilas. Aku bersyukur bisa melihat pemandangan seindah ini secara langsung.

"Ayah, bimbim lapar. Bimbim mau makan disuapin sama ayah."

"Bimbim mau makan apa ?" Ucapku bersemangat. Aku tidak sabar untuk menyuapi jagoan kecilku ini.

"Bimbim mau ayam goreng yaah."

"Ya udaah. Ayok kita pergi." Aku melirik Sasha yang sedang tersenyum melihat kami, mungkin melihat Bimo lebih tepatnya.

"Gendong yaah."

"Sayaang. Bimbim kan udah gede. Masa masih digendong siih." Sasha menegur Bimo. Yang ditegur langsung mengerucutkan bibirnya. Ngambek.

"Gak papa Sha, sini ayah gendong."

Aku lalu menggendong Bimo menuju mobil. Membukakan pintu belakang kemudian mendudukannya di sana. Sasha juga melangkah menuju pintu belakang di sebelah Bimo.

Sebelum dia membuka pintu aku lebih dulu memanggilnya.

"Shaa."

"Yaa."

"Keberatan gak kalau kamu duduk didepan ?"

Dia diam. Tampak berfikir.

"Baiklah." Dia lalu membuka pintu depan kemudian masuk kedalam mobil. Aku tersenyum bego seketika, aku senang karena Sasha tidak menolak permintaanku. Walaupun wajahnya masih datar saat berbicara denganku.

Aku melajukan mobil menuju salah satu restoran yang terdekat. Aku tidak mau Bimo kelaparan lebih lama. Suasana didalam mobil hanya diisi dengan celotehan Bimo tentang teman-teman sekolahnya. Sepertinya dia sedang laporan semua kejadian sekolah kepada Sasha. Aku sesekali menimpalinya.

Sampai direstoran, lagi-lagi Bimo memintaku untuk menggendongnya yang ku setujui dengan senang hati. Sasha tadinya berjalan di belakangku, tapi setelah ku minta untuk berjalan disampingku, dia menurut.

Tidak lucu rasanya kalau dia berjalan dibelakangku. Orang-orang akan mengira kami pasangan yang sedang bertengkar.

Tapi, bukankah kami bukan pasangan ?

Sudahlah. Aku malas membahasnya sekarang.

Aku memilih tempat yang dekat dinding. Memanggil pelayan kemudian memesan makanan yang akan kami santap.

"Biim, duduk sendiri aja dong nak. Jangan dipangku teruus. Nanti ayah capek."

Bimo sekarang berada dipangkuanku. Dia tidak mau duduk sendiri. Aku sih tidak masalah, toh selama ini aku tidak ada buat Bimo. Jadi aku ingin menebus semua waktu yang telah terbuang.

"Ayah capek ?" Bimo menengadahkan kepalanya melihatku.

"Gak dong. Ayah kan kuat."

Bimo tertawa dipangkuanku.

Beberapa saat setelahnya, pelayan datang membawakan pesanan kami.

"Bimbim duduk sendiri dulu yaa, biar ayah gampang nyuapinnya." Ucapku.

Bimo lalu turun dari pangkuanku kemudian pindah ke kursi sebelah. Aku mulai menyuapi Bimo.

Aku melirik Sasha yang belum menyentuh makanannya.

"Kenapa tidak dimakan ?"

"Nungguin Bimo selesai makan dulu."

Aku mengangguk.

Lalu melanjutkan menyuapi Bimo sampai sepiring nasi ditambah dua ayam gorengnya habis.

Aku baru tahu kalau makan Bimo ternyata banyak juga.

"Sekarang makanlah." Ucapku kepada Sasha. "Atau kamu mau disuapin juga ?" Aku menggodanya.

"Apaan siih."

Dia tidak menatapku. Tapi sekilas aku melihat pipinya memerah.

Astaga.

Jangan bilang kalau dia merona karena kugoda barusan. Kalau iya, bukankah itu pertanda bagus ?

***

Sasha pov

Aku sedang membuat nasi goreng untuk menu sarapan pagi ini. Entah kenapa Bimo memintaku untuk memasak lebih.

Aku juga heran dengan kelakuan Bimo pagi ini, biasanya dia akan sulit untuk dibangunkan. Tapi berbeda dengan hari ini, dia bangun sendiri, bahkan bangun lebih awal dariku.

Tepat setelah menyelesaikan nasi goreng yang ku buat, bel berbunyi.

"Biim, ada tamu tuuh. Bukain pintu dongg naak." Ucapku sedikit berteriak.

"Bimbim lagii sibuuk bun."

Aku mengernyitkan dahi. Sibuk ? Apa yang dilakukannya dikamar.

Aku melangkah menuju pintu.

Saat membukanya aku kaget melihat siapa yang datang.

"Looh. Kok kamu bisa nyampe sini ?" Tanyaku heran.

"Sorry, kemaren Bimbim minta dianterin ke sekolah. Dia juga yang ngasih alamat kamu."

Bima menggaruk tengkuknya yang bisa kupastikan kalau itu tidak gatal sama sekali.

"Pantes saja dia aneh pagi ini." Gumamku.

"Kenapa ?"

"Ooh enggak. Ayoo masuk."

Aku melangkah kedalam diikuti oleh Bima dibelakangku.

"Biim, ada ayah nii."

"Yeiii. Ayaah dateng."

Bimo bersorak kegirangan sambil berlari menuju Bima. Bima langsung menggendong Bimo dan mencium pipi tembemnya.

"Anak ayah wangi banget." Pujinya.

"Dia mau ngedeketin cewek-cewek di sekolah tuh yaah." Aku menggoda Bimo.

Bima melirikku dengan ekspresi yang tidak ku baca. Seakan ada hal aneh yang terjadi.

Astaga.

Apa barusan aku memanggil Bima dengan sebutan "yah" ?

Pipiku memanas seketika. Apalagi Bima menatapku dengan intens. Dia juga menampilkan senyum mempesonanya.

Aku membalikkan badan kemudian melangkah ke dapur. Ketimbang makin malu berada disana.

Aku mengisi 3 buah piring dengan nasi goreng yang kubuat. Pantas saja tadi Bimo memintaku untuk memasak lebih, ternyata dia menyuruh ayahnya kesini.

"Biim, ayo sarapaaan. Nanti telaat."

"Oke buun."

Bima datang dengan Bimo yang berada digendongannya. Dia mendudukan Bimo dikursi. Kemudian juga memilih duduk di sebelah Bimo.

Aku meletakkan piring yang telah berisi nasi goreng serta telur ceplok di atasnya.

"Terima kasih." Bima tersenyum tipis.

Aku mengangguk.

Kami makan dengan nikmat. Sesekali Bimo berceloteh tentang apa saja yang ingin dia lakukan disekolah nanti.

Entah kenapa, aku berharap setiap pagi bisa mendapatkan suasana seindah ini.

***


My Lovely son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Bima pov

Aku menatap berkas-berkas yang berserakan dimeja tanpa minat. Aku tidak terbiasa melakukan sesuatu jika sedang tidak fokus begini. Hasilnya pasti tidak akan bagus.

Aku lagi mikir gimana caranya sasha bisa menerimaku untuk masuk kedalam kehidupannya. Paling engga biarin aku untuk dekat dengan Bimo.

Aku tau aku udah brengsek banget dulu, tapi aku benar-benar ingin menebus semua kebrengsekan yang telah aku buat.

"Gue baru tau kalau seorang CEO kerjaannya cuma ngelamun doang."

Aku melihat Dika dan Roy, sahabatku yang sedang berjalan menuju sofa, duduk dengan nyamannya seperti sedang berada diruangan sendiri. Kalau bukan mengingat mereka itu sahabatku, mungkin sudah kutendang keluar dengan kakiku sendiri.

"Gue lagi gak terima tamu." Ucapku ketus.

"Yang bilang kita tamu siapa. Kita kan udah seperti saudara." ucap Roy yang di setujui anggukan oleh Dika.

Aku mendengus kesal.

"Kenapa lagi sih ? Ditekuk mulu muka lo." tanya Dika.

Aku mengedikkan bahu. Enggan untuk bicara.

"Pasti ada hubungannya sama wanita itu." Ucap Roy. Tepat sasaran.

"Lo jatuh cinta beneran sama dia ?" tanya Dika lagi.

"Gue gak jatuh cinta." jawabku cepat.

"Ya kalii gak jatuh cinta tapi sewot gitu."

"Kalian pada ngapain sih kesini." Ucapku kesal, mengalihkan perhatian lebih tepatnya.

Aku sendiri bahkan gak tau apakah aku jatuh cinta apa engga.

"Tentu saja mengunjungi lo."

"Emangnya gue sakit dikunjungi segala."

"Iyaa. Hati lo yang sakit."

Sial. Si Roy memang kampret banget.

"Ayolaah Bim, lo gak seperti Bima yang kita kenal. Nanti malem clubbing yuuk. Sekalian refresh otak."

"Gue gak ada waktu."

"Jadi waktu lo cuma buat ngelamun aja ?" Sindir Dika.

"Whatever." Ucapku akhirnya. Males berdebat sama duo cecunguk ini. Dipastikan mereka gak bakal berhenti sebelum aku bilang 'iya'.

"Naah. Itu baru Bima yang kita kenal." Roy menyeringai.

Aku menghela napas. Memilih untuk melanjutkan pekerjaan. Biarin aja mereka bersantai-santai disini. Toh itu memang sudah kebiasaan mereka.

***

Sasha pov

"Bun, ayah kapan pulang sih ?" aku mematung seketika. Untunglah piring yang sedang kucuci tidak jatuh.

Aku masih diam. Menunggu pertanyaan Bimo selanjutnya.

"Ayah gak sayang Bimbim ya bun. Kok ayah gak pernah pulang ? Ayah gak mau ketemu Bimbim yaa."

Aku menghentikan kegiatan mencuci piring. Berjalan menuju Bimo yang duduk di meja makan. Kepalanya bersandar dimeja makan.
Sambil mengelus kepalanya, aku berfikir mencoba mencari alasan yang tepat.

"Ayah sayang Bimbim kok. Buktinya ayah selalu ngirimin kado tiap Bimbim ulang tahun kan ?"

Padahal kado itu aku sendiri yang mengirimnya. Semoga saja Bimo tidak pernah tau tentang hal ini.

Dia mendongak. Memandangku dengan wajah sendunya.

"Bimbim gak butuh kado bun. Bimbim mau ayah. Mau main sama ayah. Dibacain dongeng sebelum tidur sama ayah."

Aku meringis. Selama ini aku beranggapan Bimo bahagia-bahagia saja tanpa ayahnya. Tapi ternyata dia menyimpan banyak rindu buat ayahnya.

Aku hanya bisa meminta maaf di dalam hati.

"Nanti bunda tanyain ayah ya. Biar ayah bisa cepat pulang." aku gak tau entah aku bisa mewujudkannya atau tidak. Kalimat ini mengalir begitu saja dari bibirku.

"Beneran bun ?" wajah Bimo langsung berbinar. Mendengarnya saja dia sudah bahagia banget. Gimana kalau beneran ketemu.

"Iyaa." Aku tersenyum. "Jangan sedih lagi dong. Entar gak bunda bilangin ayah loo."

"Ini Bimbim senyum." dia memperlihatkan deretan giginya.

"Itu baru jagoan bunda." aku mengecup kepalanya sekilas. "Ya udah bunda mau lanjutin cuci piring dulu yaa. Bimbim nonton tv aja sana."

"Oke bun."

Dia berlari kecil ke ruangan tv. Lagi-lagi aku menghela napas. Sepertinya aku harus ngelakuin sesuatu yang gak pernah aku inginkan.

Demi Bimo.

***

Aku menatap takjub gedung yang menjulang tinggi didepanku. Aku sedang berada di depan kantornya Bima. Semalam aku memutuskan untuk menemuinya, aku ingin melihat Bimo bahagia. Jika dengan mempertemukannya dengan ayahnya bisa membuatnya bahagia. Maka akan kulakukan.

Aku yang tidak tau apapun tentang Bima semalam iseng mengetikkan namanya dikolom pencarian google. Niat awalnya siapa tau aku bisa menemukan sosial media yang dia punya.

Namun hasil yang aku peroleh justru sangat mencengangkan, ternyata Bima adalah salah satu pebisnis muda yang namanya cukup diperhitungkan didunia bisnis. Apalagi dengan ketampanan yang dia miliki. Banyak media online yang memuat berita tentang kehidupannya.

Dari salah satu media online jugalah aku mendapatkan alamat kantornya. Dan disinilah aku sekarang.

Aku menghela napas panjang, memejamkan mata sambil menghitung sampai sepuluh didalam hati.

"Ini semua demi Bimo." batinku.

Setelah merasa lebih tenang dan lebih punya nyali, aku mulai melangkahkan kaki untuk masuk kedalam. Seorang wanita yang baru kuketahui adalah resepsionis dikantor ini memberi tahu dimana ruangan Bima berada.

Aku akhirnya masuk ke lift dan menekan tombol 35, lantai dimana ruangan Bima berada. Setelah lift berhenti dilantai 35, aku keluar dan langsung berjalan menuju sebuah meja yang memiliki papan nama sekretaris diatasnya.

Aku melihat seorang wanita cantik duduk disana. Dia terlihat sedang mengerjakan sesuatu. Mungkin sedang menyelesaikan pekerjaannya.

"Permisi mbak. Saya mau bertemu dengan Pak Bima. Pak Bimanya ada ?" tanyaku dengan formal.

Dia mendongak. Lalu tersenyum ramah.

"Ada, Ibu sudah bikin janji ?" dia balik bertanya.

"Belum."

"Baiklah, saya tanya bapak dulu ya bu. Maaf dengan ibu siapa ?" tanyanya lagi.

Aku bersyukur sekretaris Bima ramah dan profesional sekali. Gak galak seperti sekretaris di novel-novel yang pernah aku baca.

"Sasha."

Dia tersenyum lagi. Kemudian mengambil telepon dan menekan beberapa no yang ada disana. Sepertinya dia mau menghubungi atasannya.

Aku hanya diam saja memperhatikan.

***

Bima pov

Aku memijit pelipisku. Kepalaku pusing sekali. Mungkin efek semalam terlalu banyak minum. Ditambah lagi dengan fikiranku yang sedang kacau.

Telepon diruanganku berbunyi, aku mengangkatnya.

"Ya." ucapku datar. Aku tau itu sekretarisku.

"Maaf mengganggu pak. Ada Ibu Sasha mencari bapak."

"Siapa ?" tanyaku memastikan. Pasti aku salah dengar. Tidak mungkin sasha mencariku.

"Ibu Sasha pak."

Aku tidak salah dengar ternyata.

"Suruh dia masuk." Ucapku cepat.

Aku memperbaiki posisi dudukku. Harap-harap cemas memandang ke pintu. Entah kenapa debaran jantungku jadi tidak normal begini.

Tok tok tok

"Masuk."

Aku melihat sekretarisku masuk disusul oleh sasha dibelakangnya.

"May, tolong siapkan minum ya." perintahku kepada Maya, sekretarisku.

Dia mengangguk lalu keluar dari ruanganku.

"Silahkan duduk."

"Terima kasih." sasha duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kebesaranku disini.

Kami saling diam beberapa saat. Dia terlihat gugup. Aku tidak berani untuk bicara duluan. Aku takut salah bicara yang malah membuat dia pergi nantinya.

Aku melihatnya menghela napas berat berkali-kali. Jemarinya saling bertautan. Entah gugup entah takut. Aku tidak tau.

"Bimo kangen sama kamu." ucapnya sambil menunduk.

"Aku juga."

Dia mendongak. Memandangku seakan aku mengatakan hal yang tidak wajar.

"Dia mau ketemu sama kamu."

"Aku juga. Aku boleh ketemu dia ?" tanyaku was-was.

Tok tok tok.

Obrolan kami terhenti.

Maya masuk membawa dua minuman kedalam. "Silahkan diminum pak, buk. Permisi."

Dia tersenyum sambil sedikit menunduk. Kemudian meninggalkan ruanganku.

"Minumlah."

"Terima kasih."

Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan sasha. Dia tidak seperti biasanya. Dia bahkan berbicara dengan lembut, bukan dengan nada sinis dan ketus. Mengetahui hal itu membuatku senang dalam hati.

"Kapan kamu bisa ketemu Bimo ?"

"Kapanpun kamu izinkan."

Dia melirik jam dipergelangan tangannya. "Sebentar lagi Bimo pulang sekolah. Kalau kamu gak sibuk, kamu bisa ikut aku buat jemput Bimo."

Aku menatapnya dengan tidak percaya. Seingatku aku tidak mimpi apapun semalam. Aku mengucap syukur dalam hati atas apa yang terjadi hari ini.

Aku berdiri lalu mengambil ponsel serta kunci mobil. "Ayo berangkat." Ucapku semangat.

Dia masih duduk dikursinya. Sambil menatapku tidak percaya.

"Kita mau jemput Bimo kan ?"

"Eeh. Iyaa." Dia ikut berdiri kemudian mulai melangkah.

Aku menahan tangannya yang langsung disentakkannya. Sepertinya dia refleks melakukannya. Dia menatapku dengan bingung.

"Sorry." Ucapku pelan. "Kita pake mobil aku aja, mobil kamu biar dianter sama sopir aku."

Dia diam. Sepertinya sedang berfikir sebelum akhirnya mengangguk.

Kami lalu berjalan beriringan keluar dari ruanganku. "May, tolong batalkan semua meeting hari ini ya. Saya ada urusan penting." Perintahku kepada Maya, saat melewati mejanya.

Dia mengangguk pertanda mengerti dengan apa yang kuperintahkan. Beruntunglah Maya sekretaris yang bisa kuandalkan. Jadi aku tidak perlu khawatir jika harus meninggalkan perusahaan seperti ini.

***

Suasana didalam mobil tidak jauh beda dengan suasana pemakaman yang sunyi, sepi dan mencekam.

Sejak memarkirkan mobil didepan sekolahnya Bimo, aku dan Sasha sama-sama memilih untuk diam. Lebih tepatnya aku tidak tau harus membicarakan apa.

Dia bolak-balik melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya sambil sesekali melihat ke arah gerbang sekolah Bimo. Terlihat sekali dia tidak ingin berlama-lama terjebak didalam mobil bersamaku.

"Sepertinya Bimo udah keluar." Aku menunjuk kearah anak-anak yang berlarian menuju gerbang sekolah.

"Aku cari Bimo dulu. Kamu tunggu disini aja."

Dia keluar dari mobil, aku memperhatikannya yang berjalan sambil melihat segerombolan anak-anak yang berlarian. Aku melihatnya melambaikan tangan saat melihat Bimo diantara anak-anak tersebut.

Jantungku berdebar tidak karuan. Aku gugup sekali sekarang. Entah kenapa aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Bimo nantinya.

Aku melihat sasha dan Bimo berjalan sambil gandengan tangan. Ketika mereka mulai mendekat, aku keluar dari mobil kemudian menampilkan senyum terbaikku.

"Bimbim mau ketemu ayah kan ?"

Bimo mengangguk antusias. Dia seperti tidak menyadari keberadaanku karena posisi kami yang masih berjarak beberapa meter.

"Itu ayaah." Sasha menunjukku.

Dan jawaban Bimo membuat jantungku berhenti berdetak seketika.

"Bukan ah bun. Itu kan om yang di kebun binatang waktu itu."

Bimo menolakku.

***





My Lovely son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sasha pov

Hari minggu waktunya kami jalan-jalan. Aku selalu menutup tokoku pada hari minggu. Selain karena aku menginginkan quality time dengan jagoan kesayanganku, aku juga ingin karyawan yang lain memiliki quality time dengan orang-orang tersayang mereka.

Aku menunggu Bimo selesai mandi sambil menyiapkan perlengkapan yang akan kami bawa. Aku selalu membawa banyak barang jika bepergian dengan Bimo, walaupun kami tidak keluar kota. Barang-barang seperti baju ganti buatku dan Bimo, jaga-jaga saja jika terjadi hal-hal yang mengharuskan kami mengganti pakaian. Cemilan agar Bimo tidak kelaparan jika kami belum menemukan tempat makan. Serta berbagai mainan supaya dia tidak bosan didalam mobil.

Ceklek.

Aku mendengar pintu kamar mandi berbunyi. Sepertinya Bimo telah selesai mandi. Aku menoleh kearah pintu dan melihatnya keluar dengan handuk yang melilit dipinggangnya.

"Sinii, Bunda pakein baju."

Dia menggeleng.

"Bimbim bisa pake baju sendiri bunn. Bunda mandi aja."

Aku melihatnya mengambil daleman dan baju yang sudah kusiapkan diatas tempat tidur. Aku memang mengajarkannya untuk mandiri sejak dia bisa mulai mengerti apa yang aku bicarakan.

"Ya udah, Bunda mandi dulu."

Aku mengambil handuk kemudian masuk ke kamar mandi. Sepertinya aku harus mandi dengan kilat sekarang.

Biasanya kalau sedang ingin jalan-jalan seperti ini, Bimo pasti tidak akan sabaran untuk segera berangkat.

***

Kami berdua, aku dan Bimo baru saja membeli tiket masuk ke kebun binatang. Setelah menyerahkan tiket tersebut kepada petugasnya, kami berdua baru dibolehkan untuk masuk ke kebun binatangnya.

"Bimbim mau liat apa dulu ?" Tanyaku kepada Bimo yang berdiri disampingku sambil memegang erat tanganku.

"Bimbim mau liat ular bun."

"Ular ?" Tanyaku memastikan.

Dia mengangguk.

"Bimbim gak takut ?" Tanyaku lagi.

"Bimbim mau liat aja bunn."

"Baiklah."

Aku menggandeng Bimo agar tidak terpisah denganku. Apalagi tempatnya lumayan ramai. Aku melihat peta yang menunjukkan dimana keberadaan hewan reptil, setelah menemukannya aku lalu berjalan untuk mencarinya.

"Bun, itu apaa ? Kok kayak dinosaurus." Bimo menunjuk Igguana yang berada di bahu salah satu pengawas kebun binatang.

"Itu namanya Igguana Bim, bukan dinosaurus. Bimbim mau kesana ?"

"Gak ah bun. Sereem." Dia bergidik ngeri.

Astaga. Lucu sekali.

Kami lalu melanjutkan untuk mencari tempat dimana Ular-ular berada.

"Buun, Bimbim mau pegang ular itu." Dia terlihat antusias melihat ular yang dipegang pengawasnya saat kami sudah sampai dimana reptil melata itu berada.

"Biim, lihat dari sini aja yaa." Bujukku.

Aku agak ngeri juga melihat ular yang gedenya hampir selengan orang dewasa.

"Ayolah bun, Bimbim mau pegang." Dia mulai merengek-rengek ala anak kecil. Matanya juga mulai berkaca-kaca. Aku mulai bingung sekarang. Sementara pengunjung yang lain juga mulai memperhatikan kami.

"Heii jagoan. Kenapa menangis ?" Seseorang mensejajarkan tingginya dengan Bimo. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Karena posisinya menyamping nyaris membelakangiku. Yang aku tau, dia adalah seorang pria.

"Bimbim mau pegang ular itu om. Tapi Bunda gak bolehin."

Pria itu menoleh kepadaku. "Boleh aku ajak dia kesana ? Aku janji dia akan baik-baik saja."

Aku mematung seketika setelah melihat wajah pria itu. Dia adalah Bima. Bagaimana bisa dia ada disini ? Apakah ini hanya kebetulan ? Atau memang takdir menginginkan pertemuan Bimo dengan ayahnya ?

Entahlah.

"Buun, kok malah ngelamun siih." Suara Bimo menyadarkanku.

Aku melihat raut wajah Bima yang tidak bisa kuartikan. Namun sepertinya dia ingin melihat Bimo senang.

"Bimbim mau kesana sama om nya ?"

Dia mengangguk.

"Ya udah, pergilah. Bunda nunggu disini aja."

"Yeiiii. Makasiih bun." Bimo loncat-loncat kegirangan. Dia lalu menggandeng tangan Bima. "Ayo om." Ucapnya antusias.

Sebelum pergi dengan Bimo, Bima menoleh ke arahku. "Terima kasih." Ucapnya.

Aku tidak menjawabnya. Lagian aku membiarkannya bersama Bimo bukan karena dia, melainkan karena Bimo memang menginginkan untuk memegang ular itu.

Pemandangan didepanku ini sungguh membuat dadaku menjadi sesak. Baru kali ini aku melihat Bimbim bisa langsung akrab dengan orang yang baru di temuinya. Apalagi orang itu seorang pria.

Satu-satunya pria yang dekat dengannya adalah Dion yang notabene adalah pacarnya Dinda.

Sembari menunggu mereka selesai untuk memegang reptil cantik itu, aku mengambil beberapa foto kebersamaan mereka secara diam-diam.

"Bunn, Bimbim hauuss." Bimo dan Bima sudah selesai bermain-main dengan ular tersebut.

Aku menyodorkan sebotol air mineral yang telah kubuka tutupnya. Bimo langsung meminumnya.

"Om haus juga kan ?" tanyanya kepada Bima. "Ini minum aja punya Bimbim om." Dia menyodorkan air mineral itu kepada Bima.

Bima melirikku sekilas. Sepertinya dia memang haus, tapi tidak enak denganku kalau meminum minuman Bimo.

Aku mengangguk sekilas.

Dia lalu menerima minuman itu dan meminumnya. "Terimakasih sayang." ucapnya sambil mengelus kepala Bimo.

Dia berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Bimo. "Nama kamu Bimbim ?" tanyanya. Aku fikir dia sudah menanyakan nama Bimo tadi saat tidak bersamaku.

"Bimo om. Tapi bunda dari dulu manggil bimbim." Bimo memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Nama om siapa ?" Bimo balik bertanya.

"Nama om Bima."

"Waaah, nama om mirip nama ayah ya bun."

Aku sontak melirik Bima yang ternyata juga sedang melirikku.

***

Bima pov

"Wah, nama om mirip nama ayah yah bun."

Aku sontak melihat sasha yang juga sedang melihatku. Sepertinya dia juga kaget dengan perkataan Bimo barusan.

Jujur, aku senang sekali mengetahui sasha memberi nama yang hampir mirip dengan namaku. Dia bahkan memberitahu Bimo tentang nama ayahnya. Ya walaupun aku belum bisa mengakui kepada Bimo kalau aku adalah ayahnya.

Setidaknya aku sudah bisa bertemu dengannya secara langsung.

"Ayo bim. Kita lihat hewan yang lainnya."

"Sama om Bima juga kan bun ?"

Sasha melirikku sekilas. Kemudian berdeham. "Omnya pasti sibuk Bim. Kita berdua aja yaa."

Terlihat sekali kalau sasha ingin menjauhiku. Dia bahkan tidak menyebut namaku malah menggunakan kata 'omnya'.

"Yaaaaah. Om memang sibuk apa ?" tanya Bimo kepadaku.

Aku berfikir sejenak sebelum menjawab. Aku sejujurnya ingin sekali ikut kemanapun mereka pergi, tapi aku tidak ingin sasha tidak nyaman dengan keberadaanku.

"Om ada urusan sayang. Om harus pergi sekarang."

Aku mengelus kepalanya. Ya Tuhan, aku ingin memeluknya.

"Ya udaah. Bye om."

Aku hanya bisa tersenyum miris melihat punggung kedua orang yang aku sayangi mulai menjauh.

Aku hanya bisa merapalkan doa didalam hati semoga bisa bertemu lagi dengan mereka, khususnya dengan Bimo. Putraku.

Sekarang apa yang harus kulakukan di kebun binatang ini ?

Oohh shit !

Aku baru ingat sekarang kalau aku kesini bersama Renata. Dan kalau tidak salah, tadi aku menyuruhnya untuk mencari toilet sendiri.

Aku mengeluarkan ponselku lalu menghubungi no ponsel Renata.

"KAKAAAK DIMANA ??"

Aku menjauhkan ponsel dari telinga sebelum gendang telingaku pecah akibat teriakan Renata.

"Kamu yang dimana dek ?" kalau aku sudah memanggilnya dengan 'dek' biasanya dia akan langsung luluh.

"Aku diparkiran kak. Kirain tadi kakak udah pulang. Aku telponin gak diangkat soalnya."

"Ya udah. Tunggu kakak disana ya. Jangan kemana-mana."

Aku mematikan telpon sambil menghela napas lega. Sebelum si Renata kembali mengamuk aku harus segera menyusulnya keparkiran.

***


My Lovely son

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sasha pov

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepertinya pepatah itu tepat sekali dengan keadaan yang kualami sekarang.

Sekeras apapun aku berusaha menyembunyikan Bimo dari ayahnya pasti akan ketahuan juga.

Aku merutuki kejadian kemaren yang mengharuskanku untuk bertemu Bima hari ini. Aku tidak mungkin mengelak lagi dengan memberikan banyak alasan karena Bima telah melihat Bimo dengan mata kepalanya sendiri.

Entah kenapa tatapan tajamnya kemaren membuatku takut untuk berbohong lebih banyak lagi. Lagian apasih yang diinginkannya sekarang. Bukannya dia yang menolak keberadaan Bimo dulu ?

Aku tidak pernah berharap dia akan mencintaiku, aku hanya ingin dia bertanggung jawab dan mengakui keberadaan Bimo sehingga Bimo tidak tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah seperti ini.

Ngomong-ngomong, aku melihatnya bersama seorang wanita cantik kemaren. Wanita itu bahkan bergelayut manja dilengannya. Jelas sekali kalau mereka adalah sepasang kekasih. Oooh shit ! Kenapa aku jadi kesal melihatnya bersama wanita itu. Jangan bilang kalau aku cemburu. Aku bahkan tidak mencintainya.

"Buuun, bunda mau kemana siih. Kok Bimbim gak boleh ikut ?" Bimo mengerucutkan bibirnya dan menggembungkan kedua pipinya. Menggemaskan sekali.

Dari tadi dia memang rewel sekali ingin ikut denganku. Tapi aku berusaha untuk membujuknya agar tidak ikut. Tidak mungkin aku membawanya sementara aku akan bertemu Bima.

Belum saatnya untuk mereka bertemu sekarang.

"Sayaang." Aku berjongkok mensejajarkan tinggiku dengannya. "Bunda mau ketemu sama teman lama Bunda. Ada sedikit urusan. Bunda janji akan pulang secepatnya." Aku mencoba memberinya pengertian.

"Kenapa Bimbim gak boleh ikut ?"

Aku berfikir sejenak sebelum menjawab. "Gini, semua orang dewasa punya pembicaraan yang kadang tidak boleh diketahui oleh anak-anak."

Dia menatapku. Sekilas tampak sedang berfikir.

"Ya udah deh bun. Tapi nanti beliin Bimbim ice cream ya bun."

"Good boy." Aku mengacak rambutnya. "Iyaa, nanti bunda beliin ice creamnya dua kalau Bimbim janji gak bakalan nakal selama bunda pergi."

"Janji !" Dia tersenyum lebar menampilkan deretan gigi-giginya yang nampak kecil sekali lalu memberikan jari kelingkingnya kearahku.

Aku menautkan jari kelingkingku dengan kelingkingnya.

"Ya udah, Bunda pergi dulu ya nak." Aku mengecup dahinya.

"Hati-hati dijalan bun. Dadaaaaa."

Dia melambaikan tangan mungilnya.

Aku melajukan mobilku menuju restoran seafood yang sudah kujanjikan. Aku sengaja memilih yang dekat dengan area tokoku. Bukannya karena ada alasan khusus. Hanya saja tempat ini terlintas begitu saja saat aku akan mengatakannya.

Tidak membutuhkan waktu lama aku sudah sampai direstoran yang kumaksud. Aku mencari tempat parkir yang masih kosong kemudian turun untuk masuk kedalam.

Aku mengedarkan pandanganku untuk melihat apakah Bima sudah sampai atau belum. Aku melihat seseorang mengangkat tangannya. Ternyata itu Bima. Aku tidak menyangka kalau dia bakalan tepat waktu begini.

Aku melangkahkan kakiku menuju ketempatnya.

"Maaf telat." Ucapku basa-basi. Padahal sebenarnya aku juga tidak telat. Toh sekarang masih jam makan siang.

"Tidak masalah." Ucapnya datar. Raut wajahnya yang datar dan serius seperti itu membuat nyaliku menciut seketika.

"Kamu mau pesan apa ?" Tanyanya masih dengan wajah datarnya.

"Samakan saja denganmu."

Dia lalu memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Setelah itu dia menatapku dengan tajam. Aku melihat ada kilatan emosi di kedua bola matanya yang berwarna coklat.

"Dia anakku ?"

"Bukan."

"Lihat mataku dan jawab pertanyaanku." Dia mencondongkan tubuhnya kedepan. "Dia anakku bukan ?" Tanyanya lagi.

"Dia anakku bukan anakmu. Apakah kamu lupa kalau dulu kamu telah menolaknya ?" Aku balik menatapnya. Entah kenapa saat melihat matanya aku jadi terbawa emosi. Matanya mengingatkanku akan ekspresinya saat menolak Bimo dulu.

Dia menghela napasnya kemudian mengembalikan posisi duduknya seperti semula. "Jadi dia benar anakku." Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan.

"Boleh aku bertemu dengannya ?"

Aku mengerutkan dahiku. Kemana Bima yang menatapku dengan tajam tadi ? Karena yang aku lihat sekarang tidak ada sama sekali tatapan tajam darinya. Dia memohon kepadaku.

Astaga.

Aku benar-benar tidak tega melihatnya.

"Buat apa ? Dia bahagia tanpa kamu." Aku menjawabnya dengan lirih.

"Aku mohon sama kamu. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin bertanggung jawab. Sungguh." Dia mencoba memegang jemariku yang berada diatas meja, namun aku lebih dulu menarik jemariku dari sana.

"Aku tidak butuh tanggung jawabmu."

"Aku tau aku salah. Please kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Dia masih saja memohon. Jika tidak mengingat bagaimana dulu dia menolak anakku, mungkin aku akan langsung memeluknya sekarang.

"Tidak ada yang perlu kamu perbaiki. Jangan pernah datang lagi dikehidupan kami."

Aku berdiri dan melangkahkan kakiku untuk pergi dari sana. Aku tidak sanggup lagi untuk berlama-lama melihatnya memohon seperti itu. Aku takut dia menyakiti kami lagi seperti dulu.

Luka yang dulu dia berikan bahkan belum sepenuhnya sembuh. Aku bisa saja berusaha tegar jika dia menyakitiku lagi. Tapi aku tidak akan sanggup jika nanti melihat hati anakku yang disakiti.

Sekarang biarlah seperti ini.

***

Aku memasuki toko dengan perasaan yang campur aduk. Aku masih marah, kesal dan benci. Tapi anehnya aku juga merasa kasihan.

"Bundaaaaa. Bunda udah pulang ?" Bimo berlari-lari menghampiriku. "Ice cream bimbim mana bun ?" Dia mengulurkan tangannya.

Astaga, aku sampai lupa membelikan ice cream pesanan Bimo.

"Bunda gak beliin yaa." Wajahnya langsung berubah sendu. Aku merasa bersalah sekarang. Bisa-bisanya aku melupakan janjiku kepada Bimo.

"Maafin bunda ya nak. Bunda lupa." Ucapku penuh sesal.

"Yaaah. Ya udah deh bun." Dia lalu masuk ke ruanganku.

Aku memang memiliki ruangan sendiri ditoko. Didalamnya ada kasur kecil yang bisa digunakan jika sewaktu-waktu Bimo ingin tidur siang. Disana juga terdapat banyak mainan Bimo agar dia tidak bosan berada disini.

Aku juga tidak mungkin membiarkan Bimo berada dirumah sendirian. Bagi kami toko kue yang kami miliki sudah seperti rumah kedua.

Aku menghela napas, Bimo pasti lagi ngambek sekarang. Ibu macam apa aku ini yang melupakan janjinya begitu saja.

"Woii. Ngapain ngelamun ?" Dinda mengagetkanku dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

"Ada masalah ?" Tanyanya lagi.

Aku mengedikkan bahu. "Bimbim lagi ngambek."

"Kenapa ?"

"Gue lupa beliin ice cream pesenan dia. Padahal gue udah janji beliin dua." Aku menjelaskan.

"Tumben banget lo lupa. Biasanya pesenan Bimbim selalu lo prioritaskan."

"Fikiran gue lagi kacau Din." Aku berjalan menuju salah satu meja dan duduk dikursinya.

Dinda mengikutiku dan memilih duduk dikursi didepanku.

"Gue habis ketemu Bima ?"

"Terus ?"

"Kok lo gak kaget ?"

"Gue gak sengaja ngeliat kedatangan dia kemaren. Jadi lo habis ketemu dia barusan ?

Aku mengangguk.

"Jadi apa yang bikin lo kacau gini ?"

"Dia pengen ketemu Bimbim. Dia mohon-mohon sama gue."

"Bukankah itu bagus ? Bimbim pasti seneng bisa ketemu sama ayahnya."

"Gak segampang itu Din." Aku menghela napas lagi.

"Sha, gue tau lo benci banget sama dia. Itu wajar kok, kalo gue diposisi lo gue pasti bakal ngelakuin hal yang sama. Tapi kita gak boleh egois kan ? Lo juga harus mikirin gimana Bimbim. Kita bahkan udah gak bisa ngitung lagi berapa kali dia nanyain ayahnya. Setidaknya lakuin ini buat kebahagiaan Bimbim."

"Gue gak siap kalau nanti dia nyakitin Bimbim juga."

"Gue yakin dia gak akan nyakitin Bimbim. Dia ayahnya sha. Gak mungkin dia tega nyakitin anaknya sendiri."

Aku memilih diam. Aku tau apa yang diomongin Dinda itu benar. Tapi egoku berusaha menyangkalnya.

"Gue keluar dulu, mau beliin ice cream buat Bimbim. Nanti lo aja yang kasih."

Dinda ninggalin aku gitu aja. Sepertinya dia malas untuk berdebat denganku lagi.

***

Bima pov

Aku berjalan gontai memasuki rumahku. Aku lelah, bukan hanya lelah fisik tapi juga lelah hati.

Aku masih sangat mengingat bagaimana sasha pergi begitu saja dari restoran. Bahkan pesanan kami belum datang. Salahku juga yang langsung menanyakan tentang anakku.

Harus bagaimana lagi sekarang. Aku benar-benar ingin bertemu anakku. Aku bahkan tidak tau siapa namanya.

"Bimaa, kok masuk rumah gak pake salam sih." Tegur mama.

"Maaf ma, aku capek. Aku langsung istirahat aja."

Aku lalu melangkah menuju kamarku. Aku hanya mampu meminta maaf didalam hati karena bersikap dingin sama mama.

Aku mengunci kamar, melemparkan jas disembarang tempat kemudian menghempaskan diri di ranjang king size yang ada dikamarku. Mungkin tidur sebentar bisa membuat fikiranku lebih baik.

***

Author pov.

"Ren, bangunin kakak kamu gih. Dia belum makan malam." Shifa, mamanya Bima dan renata duduk disebelah renata yang sedang nonton tv.

"Bentar lagi ya ma. Nanggung ni." Renata fokus nonton film yang ditayangkan disalah satu televisi swasta sambil memangku cemilan.

"Ya udah, kalau udah iklan kamu bangunin kakak kamu ya. Mama nganterin cemilan dulu buat papa."

Shifa lalu meninggalkan Renata yang asyik dengan film yang ditontonnya. Dia mau mengambil cemilan ke dapur, setelah itu baru mengantarkannya ke ruang kerja suaminya.

Ting tong.

Bel berbunyi, mau tidak mau Renata harus meninggalkan ruang tv untuk membuka pintu. Untunglah sekarang sedang iklan. Dia tidak mau melewatkan jalan cerita film yang ditontonnya.

Ceklek.

"Kak Dika ?." Renata menatap Dika, sahabatnya Bima dengan mata berbinar.

Renata memang menyukai Dika. sejak dia berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namun sepertinya Dika sama sekali tidak mengetahuinya.

Sedangkan Renata memutuskan untuk tidak mengatakan apapun kepada Dika. Dia tidak siap jika nanti Dika menolaknya, lalu menjauh dari hidupnya.

"Haii ren." Sapa Dika. "Bima ada ?" Tanyanya lagi.

"Ada kak." Renata masih saja menatap Dika dengan mata berbinar.

"Kapan kami boleh diizinin masuk miss Renata ?" Roy, yang dari tadi hanya diam mulai mengeluarkan suaranya. Roy tau pasti bagaimana perasaan Renata terhadap sahabatnya, Dika. Jadi dia sengaja menyadarkan Renata dari tatapan memujanya. Dia yakin, pasti Renata tidak menyadari keberadaannya. Jatuh cinta benar-benar bisa membuat orang buta ternyata.

"Oh..eeh ada kak Roy juga. Hai kak. Ayo masuk." Renata mempersilahkan Dika dan Roy untuk masuk kedalam.

"Kakak langsung kekamar kak Bima aja ya. Dia dari tadi gak keluar kamar."

"Baiklah kalau begitu." Dika lalu melangkah kekamar Bima yang berada dilantai dua rumah ini disusul oleh Roy dibelakangnya.

Saat akan melewati Renata, Roy berbisik ditelinganya. "Ciee yang belum bisa move on."

Renata balas memukul lengan Roy sekilas. Renata memang sering curhat tentang Dika kepada Roy ketimbang Bima kakak kandungnya sendiri. Alasannya, karena Roy lebih enak untuk diajak ngobrol, tidak seperti Bima yang selalu bilang dia cerewet. Lagian dia juga tidak mau Bima mengetahui perasaannya terhadap Dika.

Roy pun menjulurkan lidahnya kearah Renata. Roy sudah menganggap Renata sebagai adiknya sendiri. Sebagai anak tunggal, dia sering merasa kesepian. Sosok Renata yang periang dan cerewet membuat hidupnya lebih berwarna.

Setelah kedua sahabat Bima menghilang dari pandangannya, Renata kembali melanjutkan menonton film yang ditontonnya tadi.

Bersambung ~



 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea