My Lovely son

Oleh NindyKornelia

Sasha pov

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepertinya pepatah itu tepat sekali dengan keadaan yang kualami sekarang.

Sekeras apapun aku berusaha menyembunyikan Bimo dari ayahnya pasti akan ketahuan juga.

Aku merutuki kejadian kemaren yang mengharuskanku untuk bertemu Bima hari ini. Aku tidak mungkin mengelak lagi dengan memberikan banyak alasan karena Bima telah melihat Bimo dengan mata kepalanya sendiri.

Entah kenapa tatapan tajamnya kemaren membuatku takut untuk berbohong lebih banyak lagi. Lagian apasih yang diinginkannya sekarang. Bukannya dia yang menolak keberadaan Bimo dulu ?

Aku tidak pernah berharap dia akan mencintaiku, aku hanya ingin dia bertanggung jawab dan mengakui keberadaan Bimo sehingga Bimo tidak tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah seperti ini.

Ngomong-ngomong, aku melihatnya bersama seorang wanita cantik kemaren. Wanita itu bahkan bergelayut manja dilengannya. Jelas sekali kalau mereka adalah sepasang kekasih. Oooh shit ! Kenapa aku jadi kesal melihatnya bersama wanita itu. Jangan bilang kalau aku cemburu. Aku bahkan tidak mencintainya.

"Buuun, bunda mau kemana siih. Kok Bimbim gak boleh ikut ?" Bimo mengerucutkan bibirnya dan menggembungkan kedua pipinya. Menggemaskan sekali.

Dari tadi dia memang rewel sekali ingin ikut denganku. Tapi aku berusaha untuk membujuknya agar tidak ikut. Tidak mungkin aku membawanya sementara aku akan bertemu Bima.

Belum saatnya untuk mereka bertemu sekarang.

"Sayaang." Aku berjongkok mensejajarkan tinggiku dengannya. "Bunda mau ketemu sama teman lama Bunda. Ada sedikit urusan. Bunda janji akan pulang secepatnya." Aku mencoba memberinya pengertian.

"Kenapa Bimbim gak boleh ikut ?"

Aku berfikir sejenak sebelum menjawab. "Gini, semua orang dewasa punya pembicaraan yang kadang tidak boleh diketahui oleh anak-anak."

Dia menatapku. Sekilas tampak sedang berfikir.

"Ya udah deh bun. Tapi nanti beliin Bimbim ice cream ya bun."

"Good boy." Aku mengacak rambutnya. "Iyaa, nanti bunda beliin ice creamnya dua kalau Bimbim janji gak bakalan nakal selama bunda pergi."

"Janji !" Dia tersenyum lebar menampilkan deretan gigi-giginya yang nampak kecil sekali lalu memberikan jari kelingkingnya kearahku.

Aku menautkan jari kelingkingku dengan kelingkingnya.

"Ya udah, Bunda pergi dulu ya nak." Aku mengecup dahinya.

"Hati-hati dijalan bun. Dadaaaaa."

Dia melambaikan tangan mungilnya.

Aku melajukan mobilku menuju restoran seafood yang sudah kujanjikan. Aku sengaja memilih yang dekat dengan area tokoku. Bukannya karena ada alasan khusus. Hanya saja tempat ini terlintas begitu saja saat aku akan mengatakannya.

Tidak membutuhkan waktu lama aku sudah sampai direstoran yang kumaksud. Aku mencari tempat parkir yang masih kosong kemudian turun untuk masuk kedalam.

Aku mengedarkan pandanganku untuk melihat apakah Bima sudah sampai atau belum. Aku melihat seseorang mengangkat tangannya. Ternyata itu Bima. Aku tidak menyangka kalau dia bakalan tepat waktu begini.

Aku melangkahkan kakiku menuju ketempatnya.

"Maaf telat." Ucapku basa-basi. Padahal sebenarnya aku juga tidak telat. Toh sekarang masih jam makan siang.

"Tidak masalah." Ucapnya datar. Raut wajahnya yang datar dan serius seperti itu membuat nyaliku menciut seketika.

"Kamu mau pesan apa ?" Tanyanya masih dengan wajah datarnya.

"Samakan saja denganmu."

Dia lalu memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Setelah itu dia menatapku dengan tajam. Aku melihat ada kilatan emosi di kedua bola matanya yang berwarna coklat.

"Dia anakku ?"

"Bukan."

"Lihat mataku dan jawab pertanyaanku." Dia mencondongkan tubuhnya kedepan. "Dia anakku bukan ?" Tanyanya lagi.

"Dia anakku bukan anakmu. Apakah kamu lupa kalau dulu kamu telah menolaknya ?" Aku balik menatapnya. Entah kenapa saat melihat matanya aku jadi terbawa emosi. Matanya mengingatkanku akan ekspresinya saat menolak Bimo dulu.

Dia menghela napasnya kemudian mengembalikan posisi duduknya seperti semula. "Jadi dia benar anakku." Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan.

"Boleh aku bertemu dengannya ?"

Aku mengerutkan dahiku. Kemana Bima yang menatapku dengan tajam tadi ? Karena yang aku lihat sekarang tidak ada sama sekali tatapan tajam darinya. Dia memohon kepadaku.

Astaga.

Aku benar-benar tidak tega melihatnya.

"Buat apa ? Dia bahagia tanpa kamu." Aku menjawabnya dengan lirih.

"Aku mohon sama kamu. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin bertanggung jawab. Sungguh." Dia mencoba memegang jemariku yang berada diatas meja, namun aku lebih dulu menarik jemariku dari sana.

"Aku tidak butuh tanggung jawabmu."

"Aku tau aku salah. Please kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Dia masih saja memohon. Jika tidak mengingat bagaimana dulu dia menolak anakku, mungkin aku akan langsung memeluknya sekarang.

"Tidak ada yang perlu kamu perbaiki. Jangan pernah datang lagi dikehidupan kami."

Aku berdiri dan melangkahkan kakiku untuk pergi dari sana. Aku tidak sanggup lagi untuk berlama-lama melihatnya memohon seperti itu. Aku takut dia menyakiti kami lagi seperti dulu.

Luka yang dulu dia berikan bahkan belum sepenuhnya sembuh. Aku bisa saja berusaha tegar jika dia menyakitiku lagi. Tapi aku tidak akan sanggup jika nanti melihat hati anakku yang disakiti.

Sekarang biarlah seperti ini.

***

Aku memasuki toko dengan perasaan yang campur aduk. Aku masih marah, kesal dan benci. Tapi anehnya aku juga merasa kasihan.

"Bundaaaaa. Bunda udah pulang ?" Bimo berlari-lari menghampiriku. "Ice cream bimbim mana bun ?" Dia mengulurkan tangannya.

Astaga, aku sampai lupa membelikan ice cream pesanan Bimo.

"Bunda gak beliin yaa." Wajahnya langsung berubah sendu. Aku merasa bersalah sekarang. Bisa-bisanya aku melupakan janjiku kepada Bimo.

"Maafin bunda ya nak. Bunda lupa." Ucapku penuh sesal.

"Yaaah. Ya udah deh bun." Dia lalu masuk ke ruanganku.

Aku memang memiliki ruangan sendiri ditoko. Didalamnya ada kasur kecil yang bisa digunakan jika sewaktu-waktu Bimo ingin tidur siang. Disana juga terdapat banyak mainan Bimo agar dia tidak bosan berada disini.

Aku juga tidak mungkin membiarkan Bimo berada dirumah sendirian. Bagi kami toko kue yang kami miliki sudah seperti rumah kedua.

Aku menghela napas, Bimo pasti lagi ngambek sekarang. Ibu macam apa aku ini yang melupakan janjinya begitu saja.

"Woii. Ngapain ngelamun ?" Dinda mengagetkanku dengan kedatangannya yang tiba-tiba.

"Ada masalah ?" Tanyanya lagi.

Aku mengedikkan bahu. "Bimbim lagi ngambek."

"Kenapa ?"

"Gue lupa beliin ice cream pesenan dia. Padahal gue udah janji beliin dua." Aku menjelaskan.

"Tumben banget lo lupa. Biasanya pesenan Bimbim selalu lo prioritaskan."

"Fikiran gue lagi kacau Din." Aku berjalan menuju salah satu meja dan duduk dikursinya.

Dinda mengikutiku dan memilih duduk dikursi didepanku.

"Gue habis ketemu Bima ?"

"Terus ?"

"Kok lo gak kaget ?"

"Gue gak sengaja ngeliat kedatangan dia kemaren. Jadi lo habis ketemu dia barusan ?

Aku mengangguk.

"Jadi apa yang bikin lo kacau gini ?"

"Dia pengen ketemu Bimbim. Dia mohon-mohon sama gue."

"Bukankah itu bagus ? Bimbim pasti seneng bisa ketemu sama ayahnya."

"Gak segampang itu Din." Aku menghela napas lagi.

"Sha, gue tau lo benci banget sama dia. Itu wajar kok, kalo gue diposisi lo gue pasti bakal ngelakuin hal yang sama. Tapi kita gak boleh egois kan ? Lo juga harus mikirin gimana Bimbim. Kita bahkan udah gak bisa ngitung lagi berapa kali dia nanyain ayahnya. Setidaknya lakuin ini buat kebahagiaan Bimbim."

"Gue gak siap kalau nanti dia nyakitin Bimbim juga."

"Gue yakin dia gak akan nyakitin Bimbim. Dia ayahnya sha. Gak mungkin dia tega nyakitin anaknya sendiri."

Aku memilih diam. Aku tau apa yang diomongin Dinda itu benar. Tapi egoku berusaha menyangkalnya.

"Gue keluar dulu, mau beliin ice cream buat Bimbim. Nanti lo aja yang kasih."

Dinda ninggalin aku gitu aja. Sepertinya dia malas untuk berdebat denganku lagi.

***

Bima pov

Aku berjalan gontai memasuki rumahku. Aku lelah, bukan hanya lelah fisik tapi juga lelah hati.

Aku masih sangat mengingat bagaimana sasha pergi begitu saja dari restoran. Bahkan pesanan kami belum datang. Salahku juga yang langsung menanyakan tentang anakku.

Harus bagaimana lagi sekarang. Aku benar-benar ingin bertemu anakku. Aku bahkan tidak tau siapa namanya.

"Bimaa, kok masuk rumah gak pake salam sih." Tegur mama.

"Maaf ma, aku capek. Aku langsung istirahat aja."

Aku lalu melangkah menuju kamarku. Aku hanya mampu meminta maaf didalam hati karena bersikap dingin sama mama.

Aku mengunci kamar, melemparkan jas disembarang tempat kemudian menghempaskan diri di ranjang king size yang ada dikamarku. Mungkin tidur sebentar bisa membuat fikiranku lebih baik.

***

Author pov.

"Ren, bangunin kakak kamu gih. Dia belum makan malam." Shifa, mamanya Bima dan renata duduk disebelah renata yang sedang nonton tv.

"Bentar lagi ya ma. Nanggung ni." Renata fokus nonton film yang ditayangkan disalah satu televisi swasta sambil memangku cemilan.

"Ya udah, kalau udah iklan kamu bangunin kakak kamu ya. Mama nganterin cemilan dulu buat papa."

Shifa lalu meninggalkan Renata yang asyik dengan film yang ditontonnya. Dia mau mengambil cemilan ke dapur, setelah itu baru mengantarkannya ke ruang kerja suaminya.

Ting tong.

Bel berbunyi, mau tidak mau Renata harus meninggalkan ruang tv untuk membuka pintu. Untunglah sekarang sedang iklan. Dia tidak mau melewatkan jalan cerita film yang ditontonnya.

Ceklek.

"Kak Dika ?." Renata menatap Dika, sahabatnya Bima dengan mata berbinar.

Renata memang menyukai Dika. sejak dia berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namun sepertinya Dika sama sekali tidak mengetahuinya.

Sedangkan Renata memutuskan untuk tidak mengatakan apapun kepada Dika. Dia tidak siap jika nanti Dika menolaknya, lalu menjauh dari hidupnya.

"Haii ren." Sapa Dika. "Bima ada ?" Tanyanya lagi.

"Ada kak." Renata masih saja menatap Dika dengan mata berbinar.

"Kapan kami boleh diizinin masuk miss Renata ?" Roy, yang dari tadi hanya diam mulai mengeluarkan suaranya. Roy tau pasti bagaimana perasaan Renata terhadap sahabatnya, Dika. Jadi dia sengaja menyadarkan Renata dari tatapan memujanya. Dia yakin, pasti Renata tidak menyadari keberadaannya. Jatuh cinta benar-benar bisa membuat orang buta ternyata.

"Oh..eeh ada kak Roy juga. Hai kak. Ayo masuk." Renata mempersilahkan Dika dan Roy untuk masuk kedalam.

"Kakak langsung kekamar kak Bima aja ya. Dia dari tadi gak keluar kamar."

"Baiklah kalau begitu." Dika lalu melangkah kekamar Bima yang berada dilantai dua rumah ini disusul oleh Roy dibelakangnya.

Saat akan melewati Renata, Roy berbisik ditelinganya. "Ciee yang belum bisa move on."

Renata balas memukul lengan Roy sekilas. Renata memang sering curhat tentang Dika kepada Roy ketimbang Bima kakak kandungnya sendiri. Alasannya, karena Roy lebih enak untuk diajak ngobrol, tidak seperti Bima yang selalu bilang dia cerewet. Lagian dia juga tidak mau Bima mengetahui perasaannya terhadap Dika.

Roy pun menjulurkan lidahnya kearah Renata. Roy sudah menganggap Renata sebagai adiknya sendiri. Sebagai anak tunggal, dia sering merasa kesepian. Sosok Renata yang periang dan cerewet membuat hidupnya lebih berwarna.

Setelah kedua sahabat Bima menghilang dari pandangannya, Renata kembali melanjutkan menonton film yang ditontonnya tadi.

Bersambung ~



0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea