My Lovely son

Oleh NindyKornelia

Bima pov

Aku menatap berkas-berkas yang berserakan dimeja tanpa minat. Aku tidak terbiasa melakukan sesuatu jika sedang tidak fokus begini. Hasilnya pasti tidak akan bagus.

Aku lagi mikir gimana caranya sasha bisa menerimaku untuk masuk kedalam kehidupannya. Paling engga biarin aku untuk dekat dengan Bimo.

Aku tau aku udah brengsek banget dulu, tapi aku benar-benar ingin menebus semua kebrengsekan yang telah aku buat.

"Gue baru tau kalau seorang CEO kerjaannya cuma ngelamun doang."

Aku melihat Dika dan Roy, sahabatku yang sedang berjalan menuju sofa, duduk dengan nyamannya seperti sedang berada diruangan sendiri. Kalau bukan mengingat mereka itu sahabatku, mungkin sudah kutendang keluar dengan kakiku sendiri.

"Gue lagi gak terima tamu." Ucapku ketus.

"Yang bilang kita tamu siapa. Kita kan udah seperti saudara." ucap Roy yang di setujui anggukan oleh Dika.

Aku mendengus kesal.

"Kenapa lagi sih ? Ditekuk mulu muka lo." tanya Dika.

Aku mengedikkan bahu. Enggan untuk bicara.

"Pasti ada hubungannya sama wanita itu." Ucap Roy. Tepat sasaran.

"Lo jatuh cinta beneran sama dia ?" tanya Dika lagi.

"Gue gak jatuh cinta." jawabku cepat.

"Ya kalii gak jatuh cinta tapi sewot gitu."

"Kalian pada ngapain sih kesini." Ucapku kesal, mengalihkan perhatian lebih tepatnya.

Aku sendiri bahkan gak tau apakah aku jatuh cinta apa engga.

"Tentu saja mengunjungi lo."

"Emangnya gue sakit dikunjungi segala."

"Iyaa. Hati lo yang sakit."

Sial. Si Roy memang kampret banget.

"Ayolaah Bim, lo gak seperti Bima yang kita kenal. Nanti malem clubbing yuuk. Sekalian refresh otak."

"Gue gak ada waktu."

"Jadi waktu lo cuma buat ngelamun aja ?" Sindir Dika.

"Whatever." Ucapku akhirnya. Males berdebat sama duo cecunguk ini. Dipastikan mereka gak bakal berhenti sebelum aku bilang 'iya'.

"Naah. Itu baru Bima yang kita kenal." Roy menyeringai.

Aku menghela napas. Memilih untuk melanjutkan pekerjaan. Biarin aja mereka bersantai-santai disini. Toh itu memang sudah kebiasaan mereka.

***

Sasha pov

"Bun, ayah kapan pulang sih ?" aku mematung seketika. Untunglah piring yang sedang kucuci tidak jatuh.

Aku masih diam. Menunggu pertanyaan Bimo selanjutnya.

"Ayah gak sayang Bimbim ya bun. Kok ayah gak pernah pulang ? Ayah gak mau ketemu Bimbim yaa."

Aku menghentikan kegiatan mencuci piring. Berjalan menuju Bimo yang duduk di meja makan. Kepalanya bersandar dimeja makan.
Sambil mengelus kepalanya, aku berfikir mencoba mencari alasan yang tepat.

"Ayah sayang Bimbim kok. Buktinya ayah selalu ngirimin kado tiap Bimbim ulang tahun kan ?"

Padahal kado itu aku sendiri yang mengirimnya. Semoga saja Bimo tidak pernah tau tentang hal ini.

Dia mendongak. Memandangku dengan wajah sendunya.

"Bimbim gak butuh kado bun. Bimbim mau ayah. Mau main sama ayah. Dibacain dongeng sebelum tidur sama ayah."

Aku meringis. Selama ini aku beranggapan Bimo bahagia-bahagia saja tanpa ayahnya. Tapi ternyata dia menyimpan banyak rindu buat ayahnya.

Aku hanya bisa meminta maaf di dalam hati.

"Nanti bunda tanyain ayah ya. Biar ayah bisa cepat pulang." aku gak tau entah aku bisa mewujudkannya atau tidak. Kalimat ini mengalir begitu saja dari bibirku.

"Beneran bun ?" wajah Bimo langsung berbinar. Mendengarnya saja dia sudah bahagia banget. Gimana kalau beneran ketemu.

"Iyaa." Aku tersenyum. "Jangan sedih lagi dong. Entar gak bunda bilangin ayah loo."

"Ini Bimbim senyum." dia memperlihatkan deretan giginya.

"Itu baru jagoan bunda." aku mengecup kepalanya sekilas. "Ya udah bunda mau lanjutin cuci piring dulu yaa. Bimbim nonton tv aja sana."

"Oke bun."

Dia berlari kecil ke ruangan tv. Lagi-lagi aku menghela napas. Sepertinya aku harus ngelakuin sesuatu yang gak pernah aku inginkan.

Demi Bimo.

***

Aku menatap takjub gedung yang menjulang tinggi didepanku. Aku sedang berada di depan kantornya Bima. Semalam aku memutuskan untuk menemuinya, aku ingin melihat Bimo bahagia. Jika dengan mempertemukannya dengan ayahnya bisa membuatnya bahagia. Maka akan kulakukan.

Aku yang tidak tau apapun tentang Bima semalam iseng mengetikkan namanya dikolom pencarian google. Niat awalnya siapa tau aku bisa menemukan sosial media yang dia punya.

Namun hasil yang aku peroleh justru sangat mencengangkan, ternyata Bima adalah salah satu pebisnis muda yang namanya cukup diperhitungkan didunia bisnis. Apalagi dengan ketampanan yang dia miliki. Banyak media online yang memuat berita tentang kehidupannya.

Dari salah satu media online jugalah aku mendapatkan alamat kantornya. Dan disinilah aku sekarang.

Aku menghela napas panjang, memejamkan mata sambil menghitung sampai sepuluh didalam hati.

"Ini semua demi Bimo." batinku.

Setelah merasa lebih tenang dan lebih punya nyali, aku mulai melangkahkan kaki untuk masuk kedalam. Seorang wanita yang baru kuketahui adalah resepsionis dikantor ini memberi tahu dimana ruangan Bima berada.

Aku akhirnya masuk ke lift dan menekan tombol 35, lantai dimana ruangan Bima berada. Setelah lift berhenti dilantai 35, aku keluar dan langsung berjalan menuju sebuah meja yang memiliki papan nama sekretaris diatasnya.

Aku melihat seorang wanita cantik duduk disana. Dia terlihat sedang mengerjakan sesuatu. Mungkin sedang menyelesaikan pekerjaannya.

"Permisi mbak. Saya mau bertemu dengan Pak Bima. Pak Bimanya ada ?" tanyaku dengan formal.

Dia mendongak. Lalu tersenyum ramah.

"Ada, Ibu sudah bikin janji ?" dia balik bertanya.

"Belum."

"Baiklah, saya tanya bapak dulu ya bu. Maaf dengan ibu siapa ?" tanyanya lagi.

Aku bersyukur sekretaris Bima ramah dan profesional sekali. Gak galak seperti sekretaris di novel-novel yang pernah aku baca.

"Sasha."

Dia tersenyum lagi. Kemudian mengambil telepon dan menekan beberapa no yang ada disana. Sepertinya dia mau menghubungi atasannya.

Aku hanya diam saja memperhatikan.

***

Bima pov

Aku memijit pelipisku. Kepalaku pusing sekali. Mungkin efek semalam terlalu banyak minum. Ditambah lagi dengan fikiranku yang sedang kacau.

Telepon diruanganku berbunyi, aku mengangkatnya.

"Ya." ucapku datar. Aku tau itu sekretarisku.

"Maaf mengganggu pak. Ada Ibu Sasha mencari bapak."

"Siapa ?" tanyaku memastikan. Pasti aku salah dengar. Tidak mungkin sasha mencariku.

"Ibu Sasha pak."

Aku tidak salah dengar ternyata.

"Suruh dia masuk." Ucapku cepat.

Aku memperbaiki posisi dudukku. Harap-harap cemas memandang ke pintu. Entah kenapa debaran jantungku jadi tidak normal begini.

Tok tok tok

"Masuk."

Aku melihat sekretarisku masuk disusul oleh sasha dibelakangnya.

"May, tolong siapkan minum ya." perintahku kepada Maya, sekretarisku.

Dia mengangguk lalu keluar dari ruanganku.

"Silahkan duduk."

"Terima kasih." sasha duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kebesaranku disini.

Kami saling diam beberapa saat. Dia terlihat gugup. Aku tidak berani untuk bicara duluan. Aku takut salah bicara yang malah membuat dia pergi nantinya.

Aku melihatnya menghela napas berat berkali-kali. Jemarinya saling bertautan. Entah gugup entah takut. Aku tidak tau.

"Bimo kangen sama kamu." ucapnya sambil menunduk.

"Aku juga."

Dia mendongak. Memandangku seakan aku mengatakan hal yang tidak wajar.

"Dia mau ketemu sama kamu."

"Aku juga. Aku boleh ketemu dia ?" tanyaku was-was.

Tok tok tok.

Obrolan kami terhenti.

Maya masuk membawa dua minuman kedalam. "Silahkan diminum pak, buk. Permisi."

Dia tersenyum sambil sedikit menunduk. Kemudian meninggalkan ruanganku.

"Minumlah."

"Terima kasih."

Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan sasha. Dia tidak seperti biasanya. Dia bahkan berbicara dengan lembut, bukan dengan nada sinis dan ketus. Mengetahui hal itu membuatku senang dalam hati.

"Kapan kamu bisa ketemu Bimo ?"

"Kapanpun kamu izinkan."

Dia melirik jam dipergelangan tangannya. "Sebentar lagi Bimo pulang sekolah. Kalau kamu gak sibuk, kamu bisa ikut aku buat jemput Bimo."

Aku menatapnya dengan tidak percaya. Seingatku aku tidak mimpi apapun semalam. Aku mengucap syukur dalam hati atas apa yang terjadi hari ini.

Aku berdiri lalu mengambil ponsel serta kunci mobil. "Ayo berangkat." Ucapku semangat.

Dia masih duduk dikursinya. Sambil menatapku tidak percaya.

"Kita mau jemput Bimo kan ?"

"Eeh. Iyaa." Dia ikut berdiri kemudian mulai melangkah.

Aku menahan tangannya yang langsung disentakkannya. Sepertinya dia refleks melakukannya. Dia menatapku dengan bingung.

"Sorry." Ucapku pelan. "Kita pake mobil aku aja, mobil kamu biar dianter sama sopir aku."

Dia diam. Sepertinya sedang berfikir sebelum akhirnya mengangguk.

Kami lalu berjalan beriringan keluar dari ruanganku. "May, tolong batalkan semua meeting hari ini ya. Saya ada urusan penting." Perintahku kepada Maya, saat melewati mejanya.

Dia mengangguk pertanda mengerti dengan apa yang kuperintahkan. Beruntunglah Maya sekretaris yang bisa kuandalkan. Jadi aku tidak perlu khawatir jika harus meninggalkan perusahaan seperti ini.

***

Suasana didalam mobil tidak jauh beda dengan suasana pemakaman yang sunyi, sepi dan mencekam.

Sejak memarkirkan mobil didepan sekolahnya Bimo, aku dan Sasha sama-sama memilih untuk diam. Lebih tepatnya aku tidak tau harus membicarakan apa.

Dia bolak-balik melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya sambil sesekali melihat ke arah gerbang sekolah Bimo. Terlihat sekali dia tidak ingin berlama-lama terjebak didalam mobil bersamaku.

"Sepertinya Bimo udah keluar." Aku menunjuk kearah anak-anak yang berlarian menuju gerbang sekolah.

"Aku cari Bimo dulu. Kamu tunggu disini aja."

Dia keluar dari mobil, aku memperhatikannya yang berjalan sambil melihat segerombolan anak-anak yang berlarian. Aku melihatnya melambaikan tangan saat melihat Bimo diantara anak-anak tersebut.

Jantungku berdebar tidak karuan. Aku gugup sekali sekarang. Entah kenapa aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Bimo nantinya.

Aku melihat sasha dan Bimo berjalan sambil gandengan tangan. Ketika mereka mulai mendekat, aku keluar dari mobil kemudian menampilkan senyum terbaikku.

"Bimbim mau ketemu ayah kan ?"

Bimo mengangguk antusias. Dia seperti tidak menyadari keberadaanku karena posisi kami yang masih berjarak beberapa meter.

"Itu ayaah." Sasha menunjukku.

Dan jawaban Bimo membuat jantungku berhenti berdetak seketika.

"Bukan ah bun. Itu kan om yang di kebun binatang waktu itu."

Bimo menolakku.

***





0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea