-Elina Desma Gloria-
Minggu yang cerah. Aku meregangkan otot-ototku, mengerjap-ngerjapkan mata lalu melirik jam di dinding kamar. Disana tertera pukul sepuluh lewat empat puluh lima menit. Bagus sekali. Siap-siaplah telingaku menerima semua omelan mama.
Aku beranjak ke kamar mandi. Mencuci muka lalu menyikat gigi. Urusan mandi nanti saja, perutku sudah tidak bisa menunggu lagi.
Aku keluar dari kamar dan menuruni tangga, sayup-sayup terdengar suara orang mengobrol dari arah ruang tamu. Siapa yang bertamu di jam segini ?. Aku mengabaikan suara itu dan meneruskan langkah menuju dapur.
Aku memeriksa kulkas, melihat apa saja yang bisa kumakan. Pilihanku jatuh kepada sereal dan susu. Aku menuangkan sereal ke mangkok disusul dengan menuangkan susu. Setelah itu baru duduk dikursi meja makan.
"Baru bangun kak ?"
Aku menoleh dan mendapati Fajar, adikku satu-satunya dengan kaos oblong yang basah. Sepertinya dia habis bermain basket di lapangan kecil samping rumah.
"Jar, minta minum dong." Aku kaget mendengar suara itu.
"Kamu ? Ngapain kamu disini ?" Tanyaku heran. Bagaimana bisa ada Gavin disini. Fajar masih SMA kelas tiga, tidak mungkin dia berteman dengan Gavin.
Dia menaikkan sebelah alisnya.
"Anak gadis bangunnya jam segini." Ucapnya datar.
Aku mendengus kesal.
"Kak Gavin nganterin tante Merlin kak, terus aku ajakin main basket deh." Jelas Fajar sambil memberikan segelas air mineral mineral buat Gavin.
Aku hanya ber-oh-ria. Melanjutkan makan sereal sambil berusaha menutupi debaran di jantungku.
Gavin duduk dikursi yang bersebrangan denganku. Dia menaikkan sebelah alisnya sambil menatapku. Tunggu. Dia tidak menatap wajahku melainkan menatap...Aku mengikuti arah pandang matanya. Oh shit. Dia menatap ke arah dadaku.
Aku lupa kalau aku masih menggunakan tank-top serta hot pans buat tidur semalam. Selesai mencuci muka aku langsung turun ke bawah. Lagian mana aku tau kalau Gavin ada disini.
"Dasar mesum ! Apa yang kau lihat ?" Ucapku sambil menyilangkan kedua tanganku didada, berusaha menutupi aset berhargaku.
"Melihat apa yang kau suguhkan." Jawabnya datar sembari menyandarkan badan kekursi serta bersidekap.
"KAU ??" Geramku.
Aku beranjak dari sana dengan kesal. Membiarkan serealku yang masih tersisa sedikit. Pria itu benar-benar membuat moodku hancur. Menyebalkan sekali.
"Kemana kak ?" Tanya Fajar yang baru keluar dari kamarnya.
Aku berdecak kesal. Bisa-bisanya tadi Fajar meninggalkanku berdua saja dengan pria mesum bernama Gavin itu.
"Ke Jogja." Ucapku asal.
"Lah ngapain ?" Tanyanya polos.
"Kepo !"
Dikamar, aku langsung merebahkan diri diatas kasur. Mengambil ponsel di atas nakas lalu menghidupkannya. Aku mengecek beberapa sosial media. Ada notifikasi di akun instagramku.
@JustinAlexis mulai mengikuti anda.
Aku mengecek akun dengan nama @JustinAlexis. Lalu mengklik tombol follow saat mengetahui kalau itu adalah Justin, pria yang pernah mengantarkanku pulang.
Aku melihat-lihat foto yang di uploadnya. Semuanya bagus-bagus, diambil dengan posisi yang pas. Dia juga terlihat tampan disetiap foto.
Teringat dengan Gavin si pria mesum, aku mencoba mencari akun instagramnya di pencarian instagram. Aku mengetik "Gavin" disaa. Beberapa saat kemudian muncullah akun-akun dengan nama Gavin.
Aku menggeser sampai kebawah, namun tidak menemukan akun si pria mesum itu. Mungkin dia tidak menggunakan instagram. Iya. Mungkin.
Aku beranjak dari kasur. Meletakkan ponsel di atas nakas. Lalu mengambil handuk yang tergantung di gantungan belakang pintu kamar.
Aku butuh mandi sekarang. Siapa tahu setelah mandi fikiranku jadi ikut bersih dari manusia dingin mesum bernama Gavin itu.
Bersambung ~
Love me, please
Love me, please
-Elina Desma Gloria-
"Mbak, aku pesen ayam penyetnya satu sama lemon tea satu." Aku menyebutkan pesanan kepada pelayan kafe yang ada di kampus.
"Aku pesen nasi goreng sama jus jeruk ya mbak." Sahut Rissa.
"Aku mie goreng sama teh es aja mbak." Ujar Ayu.
Selesai mencatat semua pesanan, pelayan kafe beranjak dari meja kami.
Kami bertiga sedang berada di kafe yang ada di kampus. Harusnya kami ada kuliah lagi, tapi berhubung dosennya lagi ada keperluan jadi jadwal kuliahnya diundur dulu.
Aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu mengecek semua sosial media yang kugunakan. Tidak ada notifikasi yang berarti, hanya like atau love pada setiap postingan yang kuposting saja.
"Habis ini ke mall yuk." Ajakku sembari meletakkan ponsel diatas meja.
"Gak deh." Sahut Ayu cepat.
"Kenapa ?" Tanyaku.
"Kayak gak tau Ayu aja Lin. Dia kemaren khilaf belanja banyak. Orangtuanya masih lama ngirimin duit lagi." Ujar Rissa menjelaskan.
Diantara kami bertiga, hanya Ayu yang berasal dari daerah lain. Dia memilih untuk belajar mandiri, namun tetap saja tidak bisa mengatur keuangan dengan baik. Matanya akan langsung berbinar melihat diskon-diskon yang ada di mall.
Aku berdecak."Kebiasaan banget sih." Omelku.
Dia mengerucutkan bibirnya. "Namanya juga khilaf." Ucapnya membela diri.
"Khilaf kok terus menerus." Rissa ikut-ikutan mengomeli Ayu.
"Eh bentar deh, itu cowok yang kemaren kamu liatin kan Lin ?"
Aku menoleh, mengikuti arah pandang Ayu. Justin tampak memasuki kafe ini bersama temannya. Dia melambaikan tangan kearahku sambil tersenyum yang kubalas dengan anggukan sambil tersenyum juga.
"Yu, sepertinya kita ketinggalan sesuatu nih." Ucap Rissa kepada Ayu.
"Iya Ris, ada yang mulai rahasia-rahasiaan sepertinya." Ujar Ayu.
Aku mendengus. "Gak usah nyindir, gak ada yang spesial juga." Ucapku.
"Bohong ! Waktu itu aja, matanya berbinar banget." Ayu mencibir di akhir kalimatnya.
"Waktu itu aku khilaf kayaknya." Ucapku sambil tertawa.
Aku lalu menceritakan tentang pertemuanku dengan Justin kepada mereka, aku juga menceritakan tentang Justin yang mengantarkanku pulang. Untunglah reaksi mereka tidak berlebihan seperti biasanya. Aku tidak mau Justin mengetahui kalau kami sedang membicarakan dirinya.
"Bagus dong. Berarti kali ini kamu gak bertepuk sebelah tangan Lin." Komentar Rissa setelah aku menceritakan semuanya.
Aku mengedikkan bahu. "Aku ngerasa biasa aja pas deket dia."
"Aneh banget sih, giliran cowoknya ngerespon kamunya malah gitu." Omel Ayu.
Aku mengabaikan omelan Ayu. Syukurlah pelayan kafe mengantarkan pesanan kami disaat yang tepat. Jadi obrolan tentang Justin bisa teralihkan.
Kami makan sambil sesekali mengomentari masakan yang kami pesan. Diantara kami bertiga, Rissalah yang paling cerewet tentang makanan. Dia bilang terlalu pedaslah, terlalu banyak minyaklah dan terlalu manis buat minumannya. Tapi anehnya walaupun banyak berkomentar dia tetap saja menghabiskan makanannya.
Tiga puluh menit kemudian, semua makanan yang kami pesan sudah habis kami lahap. Aku menyeruput lemon tea terakhirku. Mataku sontak membulat besar melihat ke arah pintu masuk kafe, benar-benar menyegarkan mata.
Disana, terlihat Gavin bersama kak Gian dan satu temannya lagi yang aku tidak tahu siapa namanya. Tunggu. Kenapa Gavin ada disini ? Aku tidak tahu kalau dia kuliah disini juga.
Mereka bertiga melangkah melewati meja kami, aku menyempatkan melirik ke arah Gavin. Dia juga melirikku sekilas dan setelah itu mengabaikanku begitu saja.
Aku berdecak di dalam hati.
Bukankah kami sudah pernah kenalan ?
Apa susahnya sih menyapaku duluan ?
Dasar manusia dingin.
"Pulang yuk." Ajakku kepada Ayu dan Rissa.
"Tumben banget jam segini ngajakin pulang." Rissa melirik jam di pergelangan tangannya.
"Gak papa, pengen tidur aja dirumah."
Ayu dan Rissa mengangguk. Kami bertiga lalu beranjak menuju meja kasir. Setelah membayar pesanan kami lalu melangkah keluar dari kafe.
Aku menyempatkan melirik ke arah Gavin. Dia terlihat sedang sibuk dengan ponselnya. Aku menghembuskan nafas dengan kesal.
Kenapa aku berharap dia akan menyapaku ?
Jantungku juga, kenapa harus berdebar-debar seperti ini ?
Aarrgg !
Bersambung ~
MY SUNSHINE
- Aditya Naufal Agustin -
"Jadi, apa maksud semua ini ?"
Aku menghela napas berat. Tidak tau harus memulai cerita dari mana. Sementara Felix, sudah dari tadi menunggu penjelasan dariku.
Aku cukup beruntung karena hanya Felix yang memergoki kami berciuman. Entah apa jadinya kalau sampai orangtua kami yang memergoki. Bisa-bisa kami dinikahkan malam ini juga.
"Gue gak tau harus menjelaskan dari mana." Jawabku dengan jujur. Sungguh, aku benar-benar tidak tau harus memulai dari mana.
"Mungkin bisa di mulai dari alasan lo menciumnya. Demi Tuhan. Dia itu adik gue. Dan lo ? Astaga, dia juga adik elo Dit !" Felix mulai terbawa emosi. Namun tetap berusaha menahannya.
"Gue refleks nyium dia."
"Refleks lo bilang ? Gak ada orang yang akan refleks mencium jika orang tersebut tidak memiliki perasaan lebih. Dan..."
"Gue gak memiliki perasaan lebih. Gue menganggap Dara sebagai adik gue sendiri. Lo tau itu !" Ucapku menyela ucapan Felix.
"Jadi apa semua ini !!!" Tanya Felix lagi.
Aku menatap Felix. Dia menatapku dengan wajah emosi. Wajar saja dia marah. Dara adalah adik kandungnya. Kakak mana yang tidak marah melihat adiknya dicium orang lain.
Orang lain ?
Apakah aku baru saja mengatakan orang lain ?
Sial.
Aku kakaknya juga !
"Dara...Dara cinta sama gue." Ucapku hati-hati. Aku melihat ekspresi Felix yang awalnya nampak kaget namun secepat mungkin kembali biasa lagi.
"Jadi dia akhirnya jujur sama lo." Itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan.
"Lo tau ?" Tanyaku memastikan.
Felix mengangguk.
"Gimana bisa ? Dara cerita sama lo ?"
Felix menggeleng. "Dia gak pernah cerita apa-apa sama gue. Tapi dari tatapannya ke lo udah terlihat jelas kok kalau dia cinta sama lo. Lo nya aja yang bego gak bisa ngeliat itu semua."
"Sialan lo. Jadi lo ngatain gue bego ?"
"Itu fakta bro. So ?"
Aku mengernyitkan dahiku "apa ?" Tanyaku.
"Kan bego. Maksud gue. Jadi gimana tanggapan elo tentang perasaannya. Lo tau kan Dit, gue paling gak bisa ngeliat dia sedih, dia nangis dari dulu."
"Gue tau. Dan gue juga gak bisa ngeliat dia sedih. Gue bingung. Semuanya terlalu tiba-tiba. Gue gak pernah menyangka dia akan mencintai gue. Sungguh, gue pun gak pernah bermaksud untuk bikin dia jatuh cinta sama gue."
"Lo gak salah. Dara juga gak salah. Semua orang gak akan pernah tau kapan perasaan itu datang. Dan untuk siapa perasaan itu datang. Gue juga ga akan menghakimi elo atau pun Dara. Gue cuma bisa nyaranin. Kalau elo memang tidak memiliki perasaan apapun, jauhin Dara. Beri dia waktu untuk melupakan perasaannya terhadap elo. Tapi, kalau elo memang memiliki perasaan terhadap Dara. Bahagiakan dia."
Aku menatap Felix. Tidak ada kemarahan sama sekali di wajahnya saat mengatakan kalimat itu. Dan itu membuatku semakin merasa bersalah karena telah mencium adiknya.
"Lo yakin gue bisa bahagiain Dara ?"
Felix mengangguk. "Tapi kalau lo berani nyakitin dia. Lo bakal berurusan sama gue." Ucapnya tegas.
Aku tersenyum. "Thank's. Gue rasa gue memilih untuk ngebahagiain dia."
"Gue percaya sama lo. Oh iya, lebih baik lo nyamperin dia sekarang. Dia pasti lagi nangis."
"Oke, gue nyamperin Dara dulu."
Aku melangkahkan kaki menuju kamar Dara. Semoga keputusan yang aku ambil tidak salah dan tidak menyakiti Dara.
Ya, semoga.
Bersambung ~
Love me, please
-Elina Desma Gloria-
Aku mencari nama Ayu di kontak ponselku lalu menekan tombol dial. Setelah itu mendekatkan ponsel ke telinga. Menunggu Ayu menerima panggilanku.
"Halo Lin."
"Tega ya kalian. Gak ngabarin aku kalo mau bolos. Sahabat macam apa kalian !" Aku langsung mengeluarkan unek-unekku tanpa menjawab sapaan Ayu. Aku tau dia pasti bersama Risa sekarang.
Ayu tertawa diseberang sana. "Sorry Lin. Lagian salah kamu juga, kenapa ponselnya gak aktif semalem ? Aku udah nyoba telpon kamu ya."
Aku berdecak. "Alesan !"
"Nyusul kesini aja. Kita lagi di mall. Belanja sekalian cuci mata ngeliatin cowok cakep."
"Aku gak minat. Bye !"
Aku memutuskan sambungan telepon. Berniat untuk pulang kerumah, lagian aku tidak ada jadwal kuliah lagi hari ini.
Sebenarnya ajakan Ayu untuk menyusul ke mall lumayan menggoda imanku, tapi aku tidak bisa. Aku sudah janji akan mengantarkan mama ke rumah sakit untuk membesuk teman arisannya yang sakit.
Aku melangkahkan kaki menyusuri lorong kampus. Menyebalkan sekali rasanya berjalan sendirian tanpa ditemani Ayu dan Risa. Aku jadi tidak bisa menggosipkan mahasiswa yang terlihat aneh oleh mataku.
Aku menunggu taxi didekat gerbang kampus. Tumben sekali tidak ada taxi yang menunggu disini. Aku mengambil ponsel di dalam tas lalu memainkannya. Lumayan, untuk mengurangi rasa bosan.
"Hai. Butuh tumpangan ?"
Aku kaget saat ada seseorang yang memanggilku. Aku menoleh dan mendapati cowok yang kemaren aku lirik di kantin sedang duduk di atas motornya. Lengkap dengan helm dikepalanya.
"Engga. Makasih." Jawabku pelan.
"Kamu takut ?"
Aku mengernyitkan dahi. "Takut ? Takut kenapa ?" Tanyaku bingung.
Dia mengedikkan bahunya lalu mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. "Aku Justin. Kamu ?"
"Elina." Aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum.
"Karena sekarang kita udah kenal, jadi mari aku antar pulang."
Aku berfikir sebentar, lalu menganggukan kepalaku. "Baiklah." Ucapku.
Dia menyodorkan satu helm lagi yang tersisa.
"Kamu ngebawa dua helm ?"
Dia mengangguk. "Jaga-jaga kalau ada cewek cantik yang butuh tumpangan." Ucapnya sambil terkekeh.
Aku memakai helm, lalu naik ke atas motornya Justin. Untung hari ini aku memakai celana jeans. Bakalan ribet banget kalau aku memakai rok span yang biasa aku pakai ke kampus.
"Siap ?"
"Iya." Ucapku lalu menyebutkan alamat lengkap rumahku.
Dia mengangguk lalu melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan mengobrol ringan. Dia menanyakan beberapa hal tentangku yang ku jawab dengan apa adanya. Aku pun menanyakan beberapa hal tentangnya.
Ternyata kami seumuran, hanya saja dia mengambil jurusan yang berbeda denganku. Kalau aku mengambil jurusan ekonomi, dia mengambil jurusan teknik sipil.
"Itu rumah aku." Aku menunjuk sebuah rumah ber cat warna putih. Justin lalu memberhentikan motornya di depan pagar rumahku.
Aku turun, melepaskan helm lalu mengembalikannya kepada Justin.
"Makasih Justin udah nganterin. Mau mampir dulu ?" Tawarku.
"Enggak usah. Makasih. Aku udah ada janji sama temen habis ini."
Aku hanya ber-oh-ria.
"Elina." Panggilnya pelan.
"Ya ?"
"Boleh minta no ponsel kamu ?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu menyebutkan no ponselku yang langsung di simpan oleh Justin di ponselnya.
"Ya udah, aku balik dulu." Pamitnya.
"Hati-hati dijalan."
Dia mengangguk lalu mulai menghidupkan motornya.
"Bye Elina."
Aku melambaikan tanganku. Melihat Justin menjauh, setelah itu melangkah masuk ke rumah.
Aku meraba dadaku. Tidak ada debaran yang berarti sama sekali disana. Seolah pertemuanku dengan Justin barusan sudah sering terjadi. Padahal saat pertama kali melihatnya aku benar-benar terpesona.
"Mamaaaaa. Eliin pulaang." Aku berteriak sambil melangkah ke dapur. Kebiasaan dari dulu, saat pulang kerumah aku akan berteriak memanggil mama dan mencarinya ke dapur.
"Tumben cepet banget pulangnya. Biasanya keluyuran dulu."
Aku memberengut. "Mamaa ih. Anaknya pulang cepet malah di omelin."
Mama tertawa. "Kamu keseringan diluar sih. Jadi mama heran aja kalau kamu udah dirumah jam segini."
Aku makin memberengut. Mama benar, aku memang sering menghabiskan waktu diluar rumah. Apalagi kalau sudah bersama Ayu dan Risa, bisa dipastikan aku belum akan pulang sebelum di telepon berkali-kali.
"Ma, nanti jadi kerumah sakitnya ?" Tanyaku sambil mencomot tempe goreng yang ada di atas meja.
"Jadi, kita berangkat jam 4 aja. Soalnya jam besuknya jam 4."
"Yaah, tau gitu ke mall dulu tadi."
Mama berdecak. "Tuh kan apa mama bilang, dalam fikiran kamu tu cuma ada keluyuran doang."
Aku terkekeh pelan." Elin tidur bentar deh. Nanti bangunin ya ma."
Aku berlari menuju kamarku. Membukanya perlahan lalu menutupnya kembali. Tidak perlu repot-repot mengganti baju, aku langsung merebahkan diri di kasur.
"Aaah nyamannya." Gumamku.
Aku lalu mencari posisi yang nyaman dan membiarkan diriku terlelap didalam tidur.
***
"Astaga Elin ! Kita ini mau kerumah sakit. Ngapain pake dandan lama-lama sih." Omel mama.
"Bentar maa." Protesku. Aku memoleskan lipstick dengan cepat di bibirku.
"Lagian mama gak bangunin Elin." Ucapku membela diri.
Mama berdecak. "Kamu ini, selalu aja ngebantah."
Aku mengambil tas kecil dan memasukkan ponsel serta dompet ke dalamnya.
"Udah siap nih ma."
"Ya udah, ayo."
Aku mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Mama tidak henti-hentinya mengomel dari tadi. Padahal aku cuma telat satu jam. Iya. Satu jam.
Beruntunglah jalanan tidak macet, jadi setelah tiga puluh menit berkendara aku sampai dirumah sakit.
"Mama tau ruangannya kan ?" Tanyaku kepada mama. Kami sedang menyusuri lorong rumah sakit.
"Iya. Bawel banget kamu."
Aku memasang wajah memelas. "Maa, bawelnya aku itu nurun dari mama lho."
"Naah, itu ruangannya." Ucap mama mengabaikan perkataanku yang sebelumnya.
Aku mendesah pelan. Begitulah jika aku disatukan dengan mama. Kami sama-sama bawel. Mau menang sendiri. Tapi kami sangat saling menyayangi.
Aku mengikuti mama masuk keruangan itu. Disana terlihat seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik sedang berbaring lemah. Dia lalu memaksakan diri untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang.
"Hai, Merlin. Maaf baru bisa besuk sekarang. Gimana keadaannya ?" Tanya mama langsung. Merlin adalah nama tante cantik itu.
"Hai. Ella. Aku sudah lebih baik sekarang. Terimakasih sudah datang." Balas tante Merlin ramah.
Mama mengenalkanku kepada tante Merlin. Aku lantas menyalami tante Merlin dengan sopan.
Setelah itu mereka berdua langsung bercerita tanpa henti. Sepertinya mama dan tante Merlin ini sangat dekat. Terlihat dari cara mereka berdua interaksi.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Dan disana, tepatnya di sofa yang terletak di samping pintu aku melihat seorang pria tampan yang sedang tertidur. Tunggu. Ralat. Sangat tampan.
Jantungku sontak berdebar-debar dengan cepat hanya dengan menatapnya. Sial. Apa-apaan ini.
Mataku langsung terpaku kepada hidung dan bibirnya. Dia memiliki hidung yang mancung serta bibir yang sedikit tebal berwarna pink.
Oh God! I Love his noise and his lips so much !
"Tidak sopan memandang seseorang dengan lama saat dia sedang tertidur."
Deg.
Aku sontak mengalihkan pandanganku ke arah lain. Apa-apaan ini, dia bahkan tidak membuka matanya. Bagaimana bisa dia tahu kalau aku menatapnya ?
"Kau pintar sekali berpura-pura." Celetuknya lagi.
Aku menoleh kembali ke arahnya.
"Apa maksudmu ?"
Dia mengedikkan bahunya.
"Gavin, sudah bangun ? Sini salim dulu sama tante Ella." Tante Merlin memanggilnya.
Jadi namanya adalah Gavin.
Dia beranjak lalu menghampiri mamaku. Menyalami dengan sopan lalu memperkenalkan namanya.
"Nah, kenalin juga perempuan cantik yang disana. Namanya Elina, anaknya tante Ella."
Dia mengikuti perkataan tante Merlin. Menghampiriku lalu mengulurkan tangannya.
"Gavin."
"Elina."
Dan setelah itu dia mengabaikanku.
Menyebalkan !
Bersambung ~
Love me, please
-Elina Desma Gloria-
"Omg !! Kalian liat cowok yang disana ? Ganteng banget kan ?" Seruku sambil menunjuk ke meja yang berada di pojok kantin ini.
"Elina, seriously ? Jangan bilang kau akan mendekati cowok itu juga." Ucap Larisa, salah satu sahabatku.
Aku memberikan cengiran khas diriku sebagai jawabannya.
"Kau kapan kapoknya sih. Jika kau mendekatinya dan dia menolakmu juga, maka dia akan menjadi cowok ketiga dalam daftar cowok yang menolakmu dikampus ini." Ucap Ayu memperingatkanku. Dia sahabatku juga. Nama lengkapnya Puspa Ayu Hapsari. Dan dia tidak mau dipanggil dengan nama Puspa.
Aku mengerucutkan bibirku. "Bisa tidak sih tidak mengingatkanku soal itu." gerutuku.
Dan mereka berdua sontak tertawa.
Aku semakin mengerucutkan bibirku. Mereka berdua memang benar. Aku sudah ditolak oleh dua orang pria yang kusukai di kampus ini.
Pria yang pertama bernama Ivander Adley. Dia seangkatan denganku. Aku menyukainya saat masa orientasi. Dia tinggi, badannya sedikit kurus, memiliki warna kulit kecoklatan, serta mata berwarna coklat.
Aku tipe perempuan yang tidak bisa menyembunyikan rasa sukaku. Kepada siapapun itu, termasuk kepada Ivan, nama panggilannya.
Aku mulai mendekati Ivan dengan perlahan. Memberinya sedikit perhatian lebih, mencari tahu semua kesukaannya hingga mencari tahu apa saja kegiatannya. Dan itu berlangsung hingga dua bulan.
Namun setelah dua bulan berlalu dia mulai memperlihatkan rasa tidak sukanya terhadapku. Entahlah, aku rasa aku tidaklah jelek. Aku tinggi, kulitku kuning langsat. Rambutku juga lurus dan berwarna coklat, aku memang sengaja mewarnai rambutku.
Aku tau dia mencoba menjauhiku, namun dengan bodohnya aku malah menyatakan perasaanku kepadanya.
Dan kalian tau apa jawabannya ?
Yap. Dia menolakku.
Tanpa alasan.
Pria kedua bernama Gian Aditya. Dia senior dikampusku. Aku tidak sengaja melihatnya sedang bermain basket di lapangan kampus saat itu.
Dia tinggi, kulitnya berwarna putih, badannya atletis sekali, mungkin karena dia sering berolahraga. Aku langsung terpesona begitu saja saat melihatnya memasukkan bola basket ke ring ditambah dengan badan atletisnya yang berkeringat.
He's so hot !
Sama seperti saat mendekati Ivan, aku juga melakukan pendekatan terhadap kak Gian. Ya, aku memanggilnya kakak karena dia adalah seniorku.
Kak Gian merespon baik semua perlakuanku untuk mendekatinya. Dia sangat ramah walaupun memiliki wajah yang sangat tampan, menurutku.
Namun sayangnya, tiga bulan setelah mendekatinya, dia baru mengatakan kalau dia memiliki kekasih. Mereka sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Dan kak Gian sangat mencintai kekasihnya tersebut.
Aku kembali patah hati.
Aku tersadar dari lamunanku saat ada yang menoyor kepalaku.
"Sakit tauk !"
"Siapa suruh ngelamun. Ayo kekelas, sebentar lagi Bu Aini masuk." ajak Risa yang di angguki oleh Ayu.
Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Sekarang pukul satu lewat dua puluh menit, dan itu berarti waktu kami tinggal sepuluh menit lagi.
"Bentar lagi dong. Sayang banget makhluk seindah dia di anggurin begitu saja." Ucapku seraya menopang dagu dengan kedua tanganku dan memandang ke arah pria tampan yang berada di pojok kantin. Dia sedang melahap makan siangnya.
"Elina Desma Gloria !" panggil Risa dan Ayu serempak.
Aku menghela napas pasrah. "Oke fine." Ucapku sambil mengangkat kedua tanganku.
Jika diantara kami ada yang dipanggil nama lengkapnya, itu berarti harus mengalah. Sebelum yang lainnya mengamuk.
Aku beranjak dan mulai mengikuti kedua sahabatku yang berjalan menuju kasir di kantin. Sembari mereka membayar pesanan mereka, aku menyempatkan mencuri pandang ke arah pria itu.
Sial. Aku tertangkap basah.
Dia ternyata juga sedang menatapku. Dan yang membuatku mematung ditempat adalah , dia mengedipkan sebelah matanya.
Astaga.
Aku malu sekali.
Aku sontak memalingkan wajahku. Jangan sampai dia melihat wajahku yang memerah karena malu.
"Elin. Kenapa dengan wajahmu ? Kau terlihat gugup." Ayu menatapku dengan curiga.
"Hah ? Aku baik-baik saja." Ucapku berkilah.
Aku buru-buru membayar makanan yang kupesan tadi. Setelah itu menarik Ayu dan Risa menjauh dari sana.
Bersambung ~
Love me, please.
-Elina Desma Gloria-
Sembilan tahun yang lalu.
Masih tersimpan rapi dalam ingatanku saat kau dengan tidak berperasaannya memaki-maki aku hanya karena persaan bodoh yang bernama cinta ini.
Dan sekarang, kau mengatakan tentang semua penyesalan bodohmu itu ?
Maaf, aku tidak tertarik lagi.
***
-Gavin Devon Adelard-
Sembilan tahun yang lalu.
Aku menyakitinya dengan semua kata-kata kasar yang terlontar dari bibirku. Sungguh. Aku tidak sadar mengucapkan kalimat sialan yang membuatku menyesal.
Bisakah kau memaafkanku ?
Masihkah rasa itu untukku ?
MY SUNSHINE
-Adytia Naufal Agustin-
Aku ikut menyalami tamu yang datang bersama ayah dan juga papa. Sejak tadi, banyak sekali tamu yang datang. Dan beberapa ada yang ku kenal juga, karena memang aku dan Felix seumuran.
Aku tidak menyangka dia akan menikah duluan. Dulu, kami pernah menyinggung soal pernikahan. Dan dia dengan mantap menjawab akan menikah saat usianya 30 lebih.
Lihatlah faktanya, sekarang bahkan usianya baru menginjak angka 29 tahun. Cinta memang mampu membuat seseorang melupakan rencana hidupnya.
Saat tamu yang datang mulai senggang. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok Dara. Dari tadi aku tidak melihatnya. Padahal beberapa teman kampus dan teman latihan baletnya tadi sudah ada yang mulai datang.
"Dit, jadi kamu kapan mau menyusul Felix ?" Tanya Ayah.
Aku tersenyum tipis. "Menyusul kemana yah ?" Candaku. Berpura-pura tidak mengerti maksud pembicaraan ayah.
"Begitulah dia kalau disinggung soal pernikahan." Celetuk papa.
Aku menanggapinya dengan tertawa kecil.
"Papa sama ayah tenang saja. Nanti juga Adit pasti menikah kok." Ucapku mantap.
"Nanti kapan ? Nunggu kamu tua dulu ?" Omel Papa.
"Papa doainnya jangan gitu dong. Memangnya papa mau Adit jadi perjaka tua ?"
Papa dan Ayah sontak tertawa. Pembicaraan kami lalu terhenti karena ada tamu yang datang lagi.
"Mas Adit." Suara seseorang memanggilku.
Aku menoleh dan mendapati Dara yang terlihat sangat cantik dan juga...sexy. Ditambah lagi dengan lipstick berwarna merah di bibirnya yang semakin membuatnya terlihat sexy.
Sial.
Aku tidak bisa mengalikan pandanganku. Namun aku juga tidak mungkin memandang Dara terus saat ada Ayah dan Papa disini. Aku memutuskan untuk mengalihkan pandangan.
Dan bodohnya, aku malah mendiamkan Dara. Sungguh, lidahku kelu sekali rasanya. Aku tidak bisa berkata-kata. Aku seperti bocah ingusan yang ketahuan jatuh cinta saja.
Eh, Jatuh cinta ?
Pemikiran macam apa itu. Dara adalah Adikku. Mana mungkin aku jatuh cinta kepadanya. Dasar bodoh.
Entah berapa lama aku berdebat dengan hatiku sendiri. Hingga tanpa aku sadari Dara sudah tidak berada disini.
Kemana perginya dia ?
"Yah, paa, Adit mau minum dulu." Aku pamit kepada Ayah dan Papa. Melangkahkan kaki menuju tempat minuman berada.
Selesai minum, aku memutuskan untuk menghampiri Felix dan Alana. Aku belum mengucapkan selamat kepada mereka dari tadi. Secara aku juga disibukkan dengan kegiatan membantu-bantu tuan rumah.
"Woi bro. Selamat menempuh hidup baru. Gila, gue gak nyangka lu nikah duluan." Ucapku saat berada di dekat Felix. Kami bersalaman ala pria.
Felix tertawa. "Sorry, gue lebih beruntung dari pada lo dalam hal percintaan." Ejeknya.
"Iya lo nya beruntung. Istri lo mah dapetin musibah dalam hidupnya."
"Sialan lo." Umpatnya.
Aku beralih menyalami Alana. "Selamat ya Alana, semoga kamu betah sama Felix." Candaku.
"Woi. Doa lo bisa biasa aja gak !" Omel Felix. Aku sontak tertawa melihat wajah merah padamnya. Alana pun ikut tertawa.
"Eh, bentar deh. Dara sama siapa tuh ?" Tanya Alana.
Aku mengikuti arah pandang Alana. Double Shit ! Kenapa dokter Vero bisa ada disini. Jangan-jangan Dara sengaja mengundangnya.
Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Terbukti dengan mereka yang tertawa terbahak-bahak.
"Siapa sih itu ?" Tanya Felix.
"Dia dokter Vero. Salah satu dokter di rumah sakit swasta tempat gue praktek." Jelasku.
"Oh. Dara lagi deket sama dia Dit ?" Tanya Felix lagi.
Aku mengendikkan bahu. Aku saja tidak tahu kalau mereka sedekat itu. Bukankah Dara bilang dia mencintaiku. Jadi ? Kenapa dia malah berada didekat Vero ? Harusnya dia disini. Disisiku !
Tadi kau mengabaikannya bodoh !
Sial. Suara hatiku memang kejam.
"Gue kesana dulu." Aku berpamitan kepada Felix dan juga Alana.
Aku melangkahkan kaki menuju tempat Dara berada. Entahlah, aku hanya merasa harus melindungi Dara dari Vero. Walaupun tidak begitu dekat dengan Vero, tapi aku tahu sepak terjangnya diluar sana bersama wanita.
Dia adalah seorang playboy.
Dan aku tidak mau Dara termakan rayuan murahannya.
"Selamat malam dokter Vero." Sapaku ramah, seperti biasa.
"Selamat malam dokter Adit. Anda disini juga ?" Tanyanya.
"Tentu saja. Ini adalah keluarga keduaku." Ucapku dengan bangga.
"Oh ya, berarti aku harus dapat izin dokter juga jika ingin mendekati Dara." Dia terkekeh diakhir kalimatnya.
Aku tahu dia bercanda, tapi sungguh, candaannya membuatku marah. Aku tidak ingin dia mendekati Dara, adikku. Ya, Dara adalah adikku. Jadi sudah menjadi tugasku untuk menjaganya. Aku benar kan ?
"Mas Vero apaan sih." Ujar Dara. Pipinya sedikit memerah. Jangan bilang dia tersipu karena ucapan Vero barusan.
Aku berdeham. "Dara, tadi bunda nyariin kamu." Ucapku berbohong. Dari sekian banyak alasan hanya itu yang terlintas di fikiranku.
"Bunda ? Dimana mas ?" Tanya Dara.
"Tadi di belakang. Coba kamu cek lagi aja."
Dara mengangguk. Dia lalu menatap Vero. "Mas, Dara tinggal dulu ya. Jangan lupa hidangannya di makan."
Setelah mengatakan itu Dara pergi meninggalkanku berdua saja dengan Vero. Baguslah, jangan sampai mereka berduaan lagi.
"Dokter Vero, saya permisi dulu. Silahkan nikmati pestanya."
"Terimakasih dokter Adit."
Aku melangkahkan kaki menuju depan kembali. Berniat menemani ayah dan papa yang masih menerima tamu.
Memasuki tengah malam, tidak ada tamu lagi yang datang. Yang tersisa hanya kerabat-kerabat dekat saja. Kedua mempelai pun sudah tidak duduk dipelaminan. Mereka sudah membaur dengan kerabat lainnya.
Aku mencari-cari keberadaan Dara. Dia tidak terlihat diruangan ini. Aku melangkah ke taman belakang rumah ini. Dan disanalah dia berada. Duduk sendiri dibangku tangan dengan memeluk tubuhnya sendiri.
Aku baru sadar kalau gaun yang dipakainya menampakkan sedikit bagian punggung putih mulusnya.
Aku mendekati Dara, membuka jas dan memakaikannya kepada Dara.
"Mas Adit." Dara menoleh dan tersenyum manis.
"Hei." Sapaku pelan. Lalu memilih duduk tepat di sampingnya.
"Ngapain malam-malam duduk diluar begini ?" Tanyaku.
"Dara pengen disini aja. Adem."
"Ini bukan adem lagi namanya. Tapi benar-benar dingin. Lihat, bulu tangan kamu berdiri semua." Aku mengelus tangannya.
Dia menanggapinya dengan tertawa kecil.
"Kenapa pakai gaun itu ?" Tanyaku lagi.
"Dara suka aja sama gaunnya."
Aku menghela napas. "Mas gak suka kamu pakai gaun seperti itu."
"Kenapa ?"
Aku mengendikkan bahu. "Entahlah, mas ngerasa kamu bukan lagi seperti gadis kecil mas."
"Dara memang bukan gadis kecil lagi mas. Dara udah dewasa." Dia memberengut.
"Oh ya ? Memangnya kamu tau seperti apa orang dewasa ?"
Dia nampak berfikir. Lucu sekali. Dahinya berkerut.
Aku mengelus dahinya dengan jempolku. "Tuh, kamu aja masih mikir. Udah, gak usah sok-sok an jadi dewasa."
"Mas ih." Dia makin cemberut.
"Mas." Panggilnya pelan.
"Hm."
"Lihat Dara."
Aku mengikuti perintahnya. Menatap tepat ke manik matanya. Entah kenapa aku merasa ada kesedihan disana.
"Dara benar-benar cinta sama mas Adit. Please. Sekali aja mas. Lihat Dara sebagai seorang wanita. Bukan sebagai gadis kecilnya mas Adit." Dia berbicara dengan lirih.
Rasanya menyakitkan melihat dia rapuh begini. Jantungku, sontak seperti ada yang menusuknya. Benarkah dia secinta itu kepadaku ?
Aku mengelus pipinya dengan sayang. Matanya mulai berkaca-kaca. Dan aku benci itu.
"Jangan menangis." Ucapku pelan.
"Disini." Dara memegang dada bagian kirinya. "Rasanya sakit sekali." Lirihnya.
Entah dapat dorongan dari mana. Aku langsung mencium Dara tepat di bibirnya. Mengecupnya dengan pelan disana, lalu melumat bibirnya dengan pelan.
Air mata Dara menetes, membasahi bibirku dan juga bibir Dara. Dia mencoba membalas ciumanku walaupun terasa sangat kaku sekali. Dadaku membuncah bahagia mengetahuinya, berarti dia tidak berpengalaman. Dan bisa kupastikan aku lah pria pertama yang menciumnya.
Aku melepaskan tautan bibir kami saat merasa Dara mulai susah bernafas. Dia langsung meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Nafasnya terengah-engah.
"Mas..."
"Sshh. Jangan bicara lagi oke ?"
"Tapi..."
Aku menarik Dara ke pelukanku. Mengelus punggungnya dengan lembut.
"Maaf."
"Kenapa mas minta maaf ?"
"Entahlah. Mas merasa harus melakukannya."
Dara melepaskan diri dari pelukanku.
"Jadi mas menyesal telah mencium Dara ? Mas keterlaluan !!" Dara melepaskan jas di badannya lalu melemparkan kepadaku.
Setelah itu dia berlari ke dalam rumah dengan isakan yang masih terdengar jelas olehku.
"Adit ? Apa-apaan ini ?"
Suara seseorang memanggilku, aku menoleh dan seketika tubuhku menegang.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Adara Fredella Ulani-
"Ya ampun Dara, lama banget sih dandannya. Dibawah udah rame tuh." Bunda memasuki kamarku. Beliau cantik sekali dengan balutan kebaya dengan rambut yang disanggul.
"Bentar lagi bun, tinggal pake lisptick aja kok." Ucapku sembari memoleskan lipstick di bibirku.
Hari ini adalah hari pernikahan mas Felix dengan mbak Alana. Proses ijab kabul sudah selesai diselenggarakan tadi pagi di rumah mbak Alana. Sekarang resepsinya, yang diadakan dirumahku.
Mas Felix menginginkan resepsi yang diadakan dirumah saja. Yang dihadiri oleh kerabat dekat serta sahabat-sahabatnya. Ditambah dengan relasi bisnis ayah serta teman-teman arisannya bunda.
Sementara aku sendiri, hanya mengundang beberapa teman kampus dan teman latihan balet.
"Bunda gak tanggung ya kalau kamu diomelin mas mu karena pake gaun ini." Ucap Bunda sambil berdecak.
Aku tertawa. "Sekali-sekali aja pun bun."
Aku memang menggunakan gaun yang menunjukan lekuk badanku. Ini kan acara spesial jadi aku harus tampil spesial juga.
"Bun, mas Adit udah dateng belum sih ?"
"Udah, tadi bunda liat lagi ngobrol sama ayah."
Aku hanya ber-oh-ria. Aku tidak sabar ingin melihat reaksi mas Adit. Semoga saja dia terpesona dengan penampilanku.
Aah, baru memikirkannya saja sudah membuatku tersenyum sumringah.
"Ayo, sekarang kebawah." Ajak Bunda.
Aku menurut. Mengikuti bunda dibelakang. Suasana dibawah sudah sangat ramai. Dipelaminan juga terdapat antrian yang lumayan panjang dari para tamu yang ingin menyalami kedua mempelai.
Aku mengedarkan pandanganku, mencoba mencari sosok mas Adit di tengah keramaian seperti ini. Namun nihil, aku tidak bisa menemukannya.
Dimana mas Adit ?
"Daraa."
Seseorang memanggil dan menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Kanaya yang terlihat cantik malam ini.
"Hei. Baru dateng lo ?"
"Iya nih. Gue lama dandannya. Susah banget pake eyeliner." Gerutunya.
Aku memperhatikan matanya. Benar saja, eyelinernya sedikit berantakan. Namun tidak terlihat jika hanya dilihat sekilas saja. Lagian tanpa eyeliner pun Kanaya akan tetap terlihat cantik.
"Ya udah sih, gak usah maksain make kalo emang gak bisa."
Dia mendengus.
"Eh iya, mbak Alana cantik banget ya. Beruntung banget mas Felix punya istri secantik mbak Alana." Komentar Kanaya seraya melihat ke arah pelaminan.
Aku mengikuti arah pandangnya. "Iya, cantik banget. Mas Felix aja cinta mati sama mbak Alana." Ucapku sambil terkekeh.
"Temenin gue ngucapin selamat dong." Pinta Kanaya.
"Manja banget lo."
"Bawel ih. Ayok."
Kanaya menyeretku. Kami menghampiri mas Felix dan mbak Alana. Beruntunglah tidak ada tamu yang sedang mengucapkan selamat juga sekarang. Jadi kami tidak perlu mengantri.
"Selamat ya mbak Alana, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah ya." Ucap Kanaya sambil tersenyum. Dia menyalami mbak Alana lalu mengecup sekilas pipi kanan dan pipi kiri mba Alana.
"Terimakasih Naya. Cepet nyusul ya." Balas mbak Alana.
Kanaya terkekeh. "Belum dulu deh mbak. Masih muda gini." Ucapnya sambil tertawa.
"Gak usah di dengerin mbak, paling tahun depan juga nikah." Celetukku. Kanaya sontak memelototkan matanya ke arahku. Aku balas menjulurkan lidah ke arahnya. Mbak Alana dan mas Felix tertawa melihat tingkah kami berdua.
"Selamat ya mas Felix. Cepet-cepet kasih kita berdua ponakan ya." Ucap Kanaya kepada mas Felix. Dia juga menyalami mas Felix.
"Terimakasih Naya. Kamu nginep disini kan ?" Tanya mas Felix.
"Iyaa mas. Naya nginep disini kok."
"Emang udah gue ijinin ?" Candaku.
"Gak perlu ijin lo juga kali."
Aku tertawa lagi. Bahagia sekali melihat Kanaya kesal begini.
"Dara. Siapa yang ngijinin kamu pake baju itu !" Bentak mas Felix pelan. Mungkin tidak ingin para tamu mendengar.
"Mas Felix ih. Sekali ini aja mas. Lagian biasanya juga kalau nari balet lebih mini lagi bajunya." Protesku.
"Kalau nari balet semua orang gak akan fokus sama badan kamu, tapi sama tarian kamu. Ganti sekarang bajunya !" Perintah mas Felix.
"Maasss." Rengekku.
"Gak mempan rengekan kamu."
Aku menoleh ke arah mbak Alana dengan wajah memelas. Mencoba meminta bantuan mbak Alana untuk membujuk mas Felix.
"Mas, biarin aja. Cuma malam ini kok. Dara udah gede, jadi dia pasti bisa jaga diri sendiri." Mbak Alana mengusap lengan mas Felix.
Mas Felix mendengus pelan. "Oke. Sekali ini aja. Mengerti ?" Dia menatapku tajam.
"Yeii, terimakasih mbak Alana." Aku memeluk mbak Alana dengan erat lalu mengecup pipinya sekilas.
Aku dan Naya lalu meninggalkan pelaminan. Beranjak menuju tempat makanan yang berjejer rapi.
"Lo mau makan apa ?" Tanyaku kepada Naya.
"Belum laper gue."
"Ngapain kesini kalo gitu."
"Gue pengen minum doang."
Naya mengambil minuman. Lalu meneguknya. Sedangkan aku masih mencari-cari sosok mas Adit.
Akhirnya aku melihat mas Adit bersama ayah berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Dia ikut menyalami tamu yang baru datang. Disana ada papanya mas Adit juga.
"Nay, gue nyamperin mas Adit dulu ya."
"Iya. Gih sana."
Aku melangkah dengan semangat. Sambil sesekali tersenyum manis saat ada yang menyapa. Aku tidak tau kalau ternyata banyak yang mengenalku juga.
"Mas Adit." Sapaku sambil tersenyum sumringah.
Mas Adit menoleh. Menatapku lama. Lalu mengalihkan pandangannya. Sepertinya usahaku gagal lagi. Mas Adit tidak terkesan sama sekali.
Aku menghela napas.
"Dara, cantik sekali malam ini." Sahut papa mas Adit.
"Makasi pa." Ucapku sambil tersenyum.
"Anak ayah bandel ya. Udah dibilangin pake baju yang sopan." Ayah menjewer telingaku pelan.
"Aduh. Sakit yah." Aku memberengut. "Ini kan sopan." Belaku.
Ayah hanya berdecak setelahnya.
"Biarin aja, anak muda memang suka begitu. Yang penting masih tau batas." Ujar papa mas Adit.
Aku sontak memeluk papa mas Adit. "Tuh kan yah. Papa aja ngerti." Ucapku manja.
Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku kembali melirik mas Adit. Dia tidak melihat kearahku sama sekali. Seolah-olah aku tidak berada disini.
Aku memutuskan untuk pergi dari sini.
"Yah, pa, mas Adit. Dara nemuin temen dulu." Aku pamit kepada mereka semua.
Melangkah dengan lesu.
Apa lagi sekarang ?
Bersambung ~