MY SUNSHINE

Oleh NindyKornelia

-Adytia Naufal Agustin-

Aku ikut menyalami tamu yang datang bersama ayah dan juga papa. Sejak tadi, banyak sekali tamu yang datang. Dan beberapa ada yang ku kenal juga, karena memang aku dan Felix seumuran.

Aku tidak menyangka dia akan menikah duluan. Dulu, kami pernah menyinggung soal pernikahan. Dan dia dengan mantap menjawab akan menikah saat usianya 30 lebih.

Lihatlah faktanya, sekarang bahkan usianya baru menginjak angka 29 tahun. Cinta memang mampu membuat seseorang melupakan rencana hidupnya.

Saat tamu yang datang mulai senggang. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok Dara. Dari tadi aku tidak melihatnya. Padahal beberapa teman kampus dan teman latihan baletnya tadi sudah ada yang mulai datang.

"Dit, jadi kamu kapan mau menyusul Felix ?" Tanya Ayah.

Aku tersenyum tipis. "Menyusul kemana yah ?" Candaku. Berpura-pura tidak mengerti maksud pembicaraan ayah.

"Begitulah dia kalau disinggung soal pernikahan." Celetuk papa.

Aku menanggapinya dengan tertawa kecil.

"Papa sama ayah tenang saja. Nanti juga Adit pasti menikah kok." Ucapku mantap.

"Nanti kapan ? Nunggu kamu tua dulu ?" Omel Papa.

"Papa doainnya jangan gitu dong. Memangnya papa mau Adit jadi perjaka tua ?"

Papa dan Ayah sontak tertawa. Pembicaraan kami lalu terhenti karena ada tamu yang datang lagi.

"Mas Adit." Suara seseorang memanggilku.

Aku menoleh dan mendapati Dara yang terlihat sangat cantik dan juga...sexy. Ditambah lagi dengan lipstick berwarna merah di bibirnya yang semakin membuatnya terlihat sexy.

Sial.

Aku tidak bisa mengalikan pandanganku. Namun aku juga tidak mungkin memandang Dara terus saat ada Ayah dan Papa disini. Aku memutuskan untuk mengalihkan pandangan.

Dan bodohnya, aku malah mendiamkan Dara. Sungguh, lidahku kelu sekali rasanya. Aku tidak bisa berkata-kata. Aku seperti bocah ingusan yang ketahuan jatuh cinta saja.

Eh, Jatuh cinta ?

Pemikiran macam apa itu. Dara adalah Adikku. Mana mungkin aku jatuh cinta kepadanya. Dasar bodoh.

Entah berapa lama aku berdebat dengan hatiku sendiri. Hingga tanpa aku sadari Dara sudah tidak berada disini.

Kemana perginya dia ?

"Yah, paa, Adit mau minum dulu." Aku pamit kepada Ayah dan Papa. Melangkahkan kaki menuju tempat minuman berada.

Selesai minum, aku memutuskan untuk menghampiri Felix dan Alana. Aku belum mengucapkan selamat kepada mereka dari tadi. Secara aku juga disibukkan dengan kegiatan membantu-bantu tuan rumah.

"Woi bro. Selamat menempuh hidup baru. Gila, gue gak nyangka lu nikah duluan." Ucapku saat berada di dekat Felix. Kami bersalaman ala pria.

Felix tertawa. "Sorry, gue lebih beruntung dari pada lo dalam hal percintaan." Ejeknya.

"Iya lo nya beruntung. Istri lo mah dapetin musibah dalam hidupnya."

"Sialan lo." Umpatnya.

Aku beralih menyalami Alana. "Selamat ya Alana, semoga kamu betah sama Felix." Candaku.

"Woi. Doa lo bisa biasa aja gak !" Omel Felix. Aku sontak tertawa melihat wajah merah padamnya. Alana pun ikut tertawa.

"Eh, bentar deh. Dara sama siapa tuh ?" Tanya Alana.

Aku mengikuti arah pandang Alana. Double Shit ! Kenapa dokter Vero bisa ada disini. Jangan-jangan Dara sengaja mengundangnya.

Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Terbukti dengan mereka yang tertawa terbahak-bahak.

"Siapa sih itu ?" Tanya Felix.

"Dia dokter Vero. Salah satu dokter di rumah sakit swasta tempat gue praktek." Jelasku.

"Oh. Dara lagi deket sama dia Dit ?" Tanya Felix lagi.

Aku mengendikkan bahu. Aku saja tidak tahu kalau mereka sedekat itu. Bukankah Dara bilang dia mencintaiku. Jadi ? Kenapa dia malah berada didekat Vero ? Harusnya dia disini. Disisiku !

Tadi kau mengabaikannya bodoh !

Sial. Suara hatiku memang kejam.

"Gue kesana dulu." Aku berpamitan kepada Felix dan juga Alana.

Aku melangkahkan kaki menuju tempat Dara berada. Entahlah, aku hanya merasa harus melindungi Dara dari Vero. Walaupun tidak begitu dekat dengan Vero, tapi aku tahu sepak terjangnya diluar sana bersama wanita.

Dia adalah seorang playboy.

Dan aku tidak mau Dara termakan rayuan murahannya.

"Selamat malam dokter Vero." Sapaku ramah, seperti biasa.

"Selamat malam dokter Adit. Anda disini juga ?" Tanyanya.

"Tentu saja. Ini adalah keluarga keduaku." Ucapku dengan bangga.

"Oh ya, berarti aku harus dapat izin dokter juga jika ingin mendekati Dara." Dia terkekeh diakhir kalimatnya.

Aku tahu dia bercanda, tapi sungguh, candaannya membuatku marah. Aku tidak ingin dia mendekati Dara, adikku. Ya, Dara adalah adikku. Jadi sudah menjadi tugasku untuk menjaganya. Aku benar kan ?

"Mas Vero apaan sih." Ujar Dara. Pipinya sedikit memerah. Jangan bilang dia tersipu karena ucapan Vero barusan.

Aku berdeham. "Dara, tadi bunda nyariin kamu." Ucapku berbohong. Dari sekian banyak alasan hanya itu yang terlintas di fikiranku.

"Bunda ? Dimana mas ?" Tanya Dara.

"Tadi di belakang. Coba kamu cek lagi aja."

Dara mengangguk. Dia lalu menatap Vero. "Mas, Dara tinggal dulu ya. Jangan lupa hidangannya di makan."

Setelah mengatakan itu Dara pergi meninggalkanku berdua saja dengan Vero. Baguslah, jangan sampai mereka berduaan lagi.

"Dokter Vero, saya permisi dulu. Silahkan nikmati pestanya."

"Terimakasih dokter Adit."

Aku melangkahkan kaki menuju depan kembali. Berniat menemani ayah dan papa yang masih menerima tamu.

Memasuki tengah malam, tidak ada tamu lagi yang datang. Yang tersisa hanya kerabat-kerabat dekat saja. Kedua mempelai pun sudah tidak duduk dipelaminan. Mereka sudah membaur dengan kerabat lainnya.

Aku mencari-cari keberadaan Dara. Dia tidak terlihat diruangan ini. Aku melangkah ke taman belakang rumah ini. Dan disanalah dia berada. Duduk sendiri dibangku tangan dengan memeluk tubuhnya sendiri.

Aku baru sadar kalau gaun yang dipakainya menampakkan sedikit bagian punggung putih mulusnya.

Aku mendekati Dara, membuka jas dan memakaikannya kepada Dara.

"Mas Adit." Dara menoleh dan tersenyum manis.

"Hei." Sapaku pelan. Lalu memilih duduk tepat di sampingnya.

"Ngapain malam-malam duduk diluar begini ?" Tanyaku.

"Dara pengen disini aja. Adem."

"Ini bukan adem lagi namanya. Tapi benar-benar dingin. Lihat, bulu tangan kamu berdiri semua." Aku mengelus tangannya.

Dia menanggapinya dengan tertawa kecil.

"Kenapa pakai gaun itu ?" Tanyaku lagi.

"Dara suka aja sama gaunnya."

Aku menghela napas. "Mas gak suka kamu pakai gaun seperti itu."

"Kenapa ?"

Aku mengendikkan bahu. "Entahlah, mas ngerasa kamu bukan lagi seperti gadis kecil mas."

"Dara memang bukan gadis kecil lagi mas. Dara udah dewasa." Dia memberengut.

"Oh ya ? Memangnya kamu tau seperti apa orang dewasa ?"

Dia nampak berfikir. Lucu sekali. Dahinya berkerut.

Aku mengelus dahinya dengan jempolku. "Tuh, kamu aja masih mikir. Udah, gak usah sok-sok an jadi dewasa."

"Mas ih." Dia makin cemberut.

"Mas." Panggilnya pelan.

"Hm."

"Lihat Dara."

Aku mengikuti perintahnya. Menatap tepat ke manik matanya. Entah kenapa aku merasa ada kesedihan disana.

"Dara benar-benar cinta sama mas Adit. Please. Sekali aja mas. Lihat Dara sebagai seorang wanita. Bukan sebagai gadis kecilnya mas Adit." Dia berbicara dengan lirih.

Rasanya menyakitkan melihat dia rapuh begini. Jantungku, sontak seperti ada yang menusuknya. Benarkah dia secinta itu kepadaku ?

Aku mengelus pipinya dengan sayang. Matanya mulai berkaca-kaca. Dan aku benci itu.

"Jangan menangis." Ucapku pelan.

"Disini." Dara memegang dada bagian kirinya. "Rasanya sakit sekali." Lirihnya.

Entah dapat dorongan dari mana. Aku langsung mencium Dara tepat di bibirnya. Mengecupnya dengan pelan disana, lalu melumat bibirnya dengan pelan.

Air mata Dara menetes,  membasahi bibirku dan juga bibir Dara. Dia mencoba membalas ciumanku walaupun terasa sangat kaku sekali. Dadaku membuncah bahagia mengetahuinya, berarti dia tidak berpengalaman. Dan bisa kupastikan aku lah pria pertama yang menciumnya.

Aku melepaskan tautan bibir kami saat merasa Dara mulai susah bernafas. Dia langsung meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Nafasnya terengah-engah.

"Mas..."

"Sshh. Jangan bicara lagi oke ?"

"Tapi..."

Aku menarik Dara ke pelukanku. Mengelus punggungnya dengan lembut.

"Maaf."

"Kenapa mas minta maaf ?"

"Entahlah. Mas merasa harus melakukannya."

Dara melepaskan diri dari pelukanku.

"Jadi mas menyesal telah mencium Dara ? Mas keterlaluan !!" Dara melepaskan jas di badannya lalu melemparkan kepadaku.

Setelah itu dia berlari ke dalam rumah dengan isakan yang masih terdengar jelas olehku.

"Adit ? Apa-apaan ini ?"

Suara seseorang memanggilku, aku menoleh dan seketika tubuhku menegang.

Bersambung ~


0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea