Sasha
"Biim, ayo makan dulu."
"Gak mau." Bimo memberengut di sofa ruang tamu. Sepulang dari mall, dia tidak mau berbicara denganku. Katanya dia ngambek, dia masih kangen sama ayahnya, tapi aku mengajaknya pulang begitu saja.
Aku menghela napas.
"Bunda udah masakin ayam goreng kesukaan bimbim lho. Nanti gak enak kalo udah dingin."
Bimo tetap saja diam. Tidak mengindahkan ucapanku. Aku bisa stres kalau begini caranya.
Bel berbunyi menghentikan kegiatanku membujuk Bimo. Aku melangkah kepintu lalu membukanya.
"Ada apa ?" Ucapku tanpa menghilangkan nada ketus saat melihat tamu yang datang. Entah kenapa melihat wajah Bima membuatku kesal. Ditambah lagi kilatan ingatan tentang wanita yang bergelayut manja dilengannya waktu di mall.
Dia mengernyitkan dahinya. "Aku mau ketemu Bimo.
Aku membukakan pintu lebih lebar. "Masuklah."
Aku mengikuti Bima berjalan ke ruang tamu, membiarkan dia membujuk Bimo.
"Hei jagoan ayah, kenapa cemberut gitu ?" Sapa Bima saat memasuki ruang tamu.
"Ayah !" Bimo turun dari sofa lalu berlari ke arah Bima.
"Kenapa cemberut ?" Tanya Bima kepada Bimo yang berada di gendongannya.
"Bundaa jahat."
"Jahat ? Gak mungkin bunda jahat. Bunda kan sayang bimbim."
Aku memilih untuk diam. Mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Entah kenapa, aku sedih mendengar kalimat itu dari Bimo.
"Bimbim masih pengen main sama ayah di mall. Tapi bunda tarik-tarik bimbim, suruh pulang. Tangan bimbim sakit ditarik-tarik." Bimo memperlihatkan tangannya yang menurut dia sakit kepada Bima.
Bima sontak menoleh kepadaku, seolah meminta penjelasan apa yang telah aku lakukan kepada anaknya.
Aku merasa bersalah telah menarik Bimo, wajar saja dia ngambek begini. Aku mendekati Bimo lalu mengelus kepalanya dengan sayang.
"Biim, maafin bunda ya. Bunda sedih kalau bimbim marah sama bunda."
Bimo memeluk leher Bima, tidak mau menoleh ke arahku. Rasanya menyesakkan sekali melihat Bimo mengabaikanku.
"Sayaang. Gak boleh gitu. Bunda sayang banget sama bimbim. Bunda pasti gak sengaja narik tangan bimbim. Lihat tuh, bunda jadi sedih gitu." Bima mengelus kepala Bimo, mencoba memberi pengertian.
Pelan-pelan Bimo menoleh kearahku, lalu mengulurkan tangannya, memintaku untuk menggendongnya.
"Bimbim sayang bunda. Bunda jangan sedih." Ucapnya sembari mengalungkan tangannya di leherku. Dia menyembunyikan wajahnya di lekukan leherku.
Aku tersenyum, lalu mengelus kepalanya dengan sayang. "Bunda juga sayang bimbim. Maafin bunda ya sayang."
"Bun." Gumamnya.
"Hm."
"Bimbim lapar."
Senyumku makin merekah, Bimbimku telah kembali, dia sudah tidak marah lagi kepadaku.
""Ayo makan." Aku menggendong Bimo ke arah meja makan, baru beberapa melangkah aku teringat sesuatu, aku menoleh ke belakang dan mendapati Bima yang menatap kami sambil tersenyum.
"Ikutlah makan dengan kami." Tawarku.
Dia mengangguk lalu mengikutiku ke meja makan.
*****
Bima
"Yah, besok ayah kesini lagi kan ? Kenapa ayah gak tinggal sama kita aja ?" Tanya Bimo kepadaku.
Aku sedang menemaninya tidur saat ini, setelah menikmati makan malam bersama, Bimo memintaku untuk menenaminya bermain, lalu setelah itu menemaninya tidur.
Namun setelah hampir satu jam, belum ada tanda-tanda dia akan tertidur.
"Iya, besok ayah kesini lagi. Ayo sekarang tidur. Besok bimbim harus sekolah kan ?" Aku mengelus kepalanya dengan sayang, berharap dia bisa tertidur.
"Ayah belum jawab. Kenapa ayah gak tinggal sama kita ?"
Aku berusaha mencari jawaban yang tepat. "Nanti, kalau sudah waktunya kita akan tinggal bersama."
"Sama bunda juga ?"
"Iya. Sama bunda juga."
"Yeiii. Bimbim gak sabar nunggu waktunya."
Aku tersenyum sembari mengelus rambutnya. Lalu bersenandung pelan.
Beberapa menit kemudian aku melihat Bimo mulai terlelap. Dia terlihat sangat pulas. Aku tersenyum memperhatikannya.
Pelan-pelan aku mencoba untuk beranjak dari kasur, mengecup keningnya lalu keluar dari kamar tidur Bimo.
Pemandangan diruang tamu membuat senyum merekah terukir di bibirku. Disana, ada Sasha yang sedang fokus dengan berkas-berkas ditangannya. Kalau tebakanku tidak salah, berkas-berkas itu pasti pembukuan toko kue miliknya.
"Ngapain senyum-senyum." Nada ketus itu membuatku tersadar bahwa pemilik suara itu dari tadi sengaja menghindariku, menghindari tatapanku lebih tepatnya.
Aku mendekati Sasha, lalu memilih duduk bersebrangan dengan kursi yang di dudukinya."kamu lagi ngapain ?"
"Menurut kamu ?" Dia malah balik bertanya, masih dengan nada ketusnya. Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengannya di toko kue. Dia seperti macan betina saja.
"Kalau aku tau, aku gak bakalan nanya sama kamu."
Dia menatapku dengan kesal, mungkin bukan jawaban itu yang diharapkannya dariku. Wanita memang sulit dimengerti.
"Bimbim sudah tidur ?" Tanyanya, dan syukurlah nada ketus itu sudah hilang. Mungkin karena pertanyaannya menyangkut Bimo.
"Sudah. Baru saja. Butuh waktu lama agar dia bisa tertidur."
Sasha tersenyum. Manis sekali. "Dia pasti nanya-nanya banyak hal ya. Bimbim memang gitu. Mau tidur aja bawel dulu." Ucapnya sambil terkekeh.
"Iya. Dia bicarain banyak hal. Termasuk..." aku sengaja menggantung kalimatku.
"Termasuk apa ?" Tanya Sasha penasaran.
"Kamu yakin mau tau ?
Sasha mengangguk.
"Tapi aku haus, keberatan gak kalau kamu ambilin aku minum dulu ?" Aku tersenyum jahil. Sekali-sekali mengerjainya pasti menyenangkan sekali.
Dia mendengus. "Minta minum aja ribet banget. Ambil sendiri sana." Suruhnya.
"Aku kan tamu Sha, atau kamu udah nganggep aku tuan rumah disini juga ? Kalo gitu, aku boleh tinggal disini dong."
Sebuah bantal langsung melayang ke arahku. "Dasar ngarep !!!" Ujar Sasha.
Dia lalu melangkah ke dapur. Tidak lama, dia kembali dengan membawa dua gelas minuman.
"Nih !" Dia menyerahkan minuman berwarna orange kearahku. Sementara untuknya yang berwarna bening.
"Gak dikasih racun kan ?"
"Kamu mau racun ? Siniin lagi kalo gitu biar aku tambahin."
Aku sontak tertawa. "Becanda Sha. Thank's ya." Ucapku tulus sembari tersenyum.
Sasha terlihat salah tingkah, tidak menjawab ucapan terimakasihku. Lalu fokus kembali dengan berkas-berkasnya.
Keheningan melanda kami setelah itu, aku membiarkan Sasha menyelesaikan pekerjaannya. Harus ku akui dia terlihat semakin cantik saat serius seperti ini, ditambah lagi dengan rambutnya yang di ikat keatas, menyisakan anak-anak rambut di sekitar tengkuknya.
"Bim."
"Hm."
"Cewek yang di mall, pacar kamu ?"
Aku menatap Sasha, dia terlihat tidak nyaman dengan pertanyaannya. Namun rasa penasaran sangat terlihat di matanya.
"Kamu beneran mau tau ?"
"Eh ? Enggak juga sih. Ya udah kalau gak mau jawab. Kamu pulang gih sana. Udah malem. Gak enak sama tetangga."
Sasha berdiri dari duduknya, lalu menghindari tatapan mataku. Aku tertawa didalam hati.
Jadi dia benar cemburu.
Aku lega sekali mengetahui Sasha cemburu, berarti bukan aku saja yang membawa perasaan ke dalam hubungan ini. Apapun itu, aku harus berjuang untuk mendapatkannya.
"Baiklah, kalau gitu aku pulang dulu."
Aku melangkah ke pintu, diikuti oleh Sasha di belakangku. Saat sudah berada diluar, aku membalikkan badan. Sasha nampak terkejut. Namun sebisa mungkin terlihat biasa saja. Lucu sekali bukan ?
"Jangan lupa kunci pintu." Aku mengacak rambutnya pelan.
"Besok aku akan kenalin kamu sama cewek yang tadi. Aku pergi dulu." Ucapku lagi.
Lalu meninggalkan Sasha yang membulatkan matanya.
Aku tidak sabar melihat tanggapannya tentang Renata besok.
Bersambung ~
My Lovely Son
Oleh
NindyKornelia
Categories
Part 11
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment