Sasha pov
"Mbaak. Mbak Sashaa."
"Eeh..ya ?"
"Itu. Creamnya kebanyakan."
"Ya ampuun !"
Aku menghentikan kegiatan memberikan cream pada kue ulang tahun pesenan pelanggan. Bentuknya sudah tidak jelas, bukannya menghias kuenya, aku malah menghancurkannya.
Dari tadi entah kenapa aku tidak fokus, atau malah dari semalam ? Saat Bima mengatakan dia akan mengenalkanku pada gadis itu.
Aku tidak tau apa maksudnya mengenalkanku pada gadis itu, jangan-jangan dia mau pamer karena sudah punya pacar. Dasar tukang pamer.
Eh tunggu dulu, kenapa juga aku harus kesal. Itu kan hak dia mau pacaran sama siapa saja. Sepertinya aku mulai gila.
"Sha, kalo lo gak fokus mending gak usah dilanjutin."
"Lho, Din ? Kapan lo dateng ?" Tanyaku heran, setauku dia belum ada disini dari tadi.
"Makanya jangan ngelamun terus." Dengusnya.
"Enggak ah." Elakku.
"Lo gak jemput Bimbim ke sekolah ?"
Aku menggeleng. "Enggak. Ayahnya yang bakal jemput."
Dinda mengangguk-nganggukan kepalanya. "Jadi, udah ada kemajuan apa aja ?"
"Maksud lo ?"
"Lo sama Bima. Kapan kalian nikah ?"
Aku menjitak kepalanya. "Sableng !"
Dinda mengusap-ngusap kepalanya yang barusan ku jitak. "Gak usah pake kekerasan juga. Becanda doang pun."
"Gak usah lebay juga. Sejak kapan di jitak dikit aja termasuk kekerasan." Aku mencibir.
Dinda tertawa pelan. "Bimbim masih lama ga sih pulangnya ? Kasian Dion nunggu lama ntar."
"Dion disini ?"
"Iya. Kangen sama Bimbim katanya."
Aku mengedikkan bahu. "Bentar lagi pulang kayaknya."
Dinda hanya ber-oh-ria, lalu kami mengobrol tentang banyak hal. Aku baru sadar, sejak ada Bima kami berdua jadi jarang punya waktu ngobrol berdua gini.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bima dan Bimo. Sedangkan Dinda, tentu saja sering menghabiskan waktu bersama Dion, pacarnya.
Aku juga menceritakan tentang wanita yang kulihat bersama Bima kemaren. Dan respon yang kudapatkan dari Dinda sungguh membuatku ingin membunuhnya detik ini juga. Dia tidak habis-habisnya menertawakanku. Dia bilang, aku cemburu kepada wanita itu.
Tapi aku tidak merasa cemburu sama sekali. Cemburu itu hanya buat orang-orang yang sedang mencintai, sedangkan aku tidak mencintai Bima sama sekali.
Aku Benarkan ?
***
Bima pov
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, kalau aku tidak salah menebak, sekitar lima menit lagi Bimo akan keluar dari ruangan kelasnya.
Sembari menunggu, aku memeriksa email-email yang berhubungan dengan pekerjaan.
Bunyi dering ponsel mengganggu kegiatanku mengecek email-email yang masuk. Aku memutuskan untuk mengangkat telepon dari si penelpon. Walaupun aku yakin tidak akan ada yang penting.
"Halo." Sapaku.
"Woii. Kamvret ! Kemana aja lo ?"
"Gue baik. Makasih udah nanyain."
"Dimana lo ?"
"Kenapa Dik ? Kangen lo sama gue ?" Ucapku seraya menjauhkan sedikit telepon dari telinga. Karena aku yakin Dika akan berteriak di ujung sana. Ya, yang menelpon itu adalah Dika, sahabatku. Aku yakin ada Roy juga disana.
"NAJIS !!!"
sudah kubilang kan kalau dia akan berteriak ?
"Apasih Dik. Kangen bilang aja."
Aku mendengar grasak-grusuk disana, sepertinya Roy sedang berusaha mengambil telepon dari Dika.
"Bim, gue yang kangen sama lo. Lo kangen gue juga kan ?" Ucap Roy dengan nada yang terdengar menjijikan di telingaku.
"Najis."
"Jangan gitu dong Bim, lo gak ingat kenangan indah kita berdua."
"Sumpah ya Roy, sekali lagi lo ngomong gitu gue matiin ni telepon."
Roy tertawa terbahak-bahak, aku mendengar suara Dika juga tertawa. Sialan, malah aku yang dikerjain balik.
"Udah belum ketawanya ? Gue gak punya banyak waktu ya, apalagi cuma ngedengerin dua curut kayak kalian ketawa." Omelku.
"Selow Bim." Ujar Roy disela-sela tawanya. "Sekarang serius ni, lo dimana sekarang ? Akhir-akhir ini susah banget dihubungi. Gak diculik kan lo ?"
"Anjiir lo. Yakali gue di culik. Gue lagi di sekolahannya Bimo."
"Bimo ??? Siapa tu ?"
"Anak gue."
"Ooh anak...WHAT ???" Roy berteriak yang sontak membuatku menjauhkan telepon dari telingaku. Takut gendang telingaku rusak karenanya.
"Bim, gue gak salah dengar kan ?" Tanya Roy memastikan.
"Kalau telinga lo masih berfungsi dengan baik harusnya sih lo gak salah dengar."
"Anak dari mana ? Tunggu. Jangan bilang cewek yang lo ceritain itu ?"
"Tebakan lo seratus persen benar." Aku melirik ke arah kelas Bimo. Lalu melihat murid-murid yang berlarian keluar. "Udah dulu ya Roy, Bimo udah keluar. Gue mau jemput dia dulu."
"Tunggu Bim. Lo harus cerita sama kita nanti malam. Di cafe biasa. Oke ?"
"Oke." Ucapku, lalu memutuskan sambungan telepon.
Aku keluar dari mobil, lalu melambai ke arah Bimo yang berlari mendekatiku.
"Ayaah !"
"Hei jagoan ayah." Aku menggendong Bimo saat sudah berada di dekatku. "Gimana tadi belajarnya. Bisa ?" Tanyaku.
Bimo mengangguk."Bimbim lapar yah."
"Ayo kita cari makan, sebelum itu jemput bunda dulu. Oke ?"
"Oke !"
***
Perjalanan menuju toko kue milik Sasha tidak menghabiskan banyak waktu. Sasha memang sengaja memilih sekolah yang jaraknya dekat dengan toko kuenya.
Sepanjang perjalanan Bimo tidak henti-hentinya berbicara tentang semua kejadian disekolah. Tentang Akila yang selalu membawa boneka panda pemberian darinya ke sekolah. Tentang Ibu guru yang mengajarinya bernyanyi sambil berhitung. Tentang Dodo yang suka usil dengan teman-teman di kelasnya. Dan masih banyak lagi.
"Bimbim jalan sendiri aja yah." Ucap Bimbim saat aku berniat menggendongnya. Kami memang baru sampai di toko kue.
"Baiklah. Ayo kita kedalam." Aku menggandeng tangan Bimo. Lalu kami berjalan beriringan.
Aku mendorong pintu masuk ke toko lebih lebar agar kami bisa masuk bergandengan tangan.
"PAPIIII !!!"
Bimo berteriak memanggil seseorang yang duduk bersebrangan dengan Sasha. Lalu melepaskan tangannya dari genggamanku, setelah itu berlari menuju pria yang dipanggilnya papi tadi.
Aku diam mematung melihat interaksi di antara mereka. Bimo yang berada di gendongan pria itu, cara pria itu menciumi pipi tembem Bimo serta cara mereka tertawa bersama.
Semua interaksi itu membuatku sangat kesal, cemburu lebih tepatnya. Aku adalah ayah Bimo, jadi harusnya aku saja yang bisa seperti itu dengan Bimo.
Sikap Sasha yang diam serta tersenyum bahagia membuat kecemburuanku makin berada dipuncaknya. Mereka bertingkah seperti sebuah keluarga bahagia.
Tunggu. Siapa pria itu ?
Kenapa Bimo memanggilnya papi ?
Apakah dia pria yang sedang dekat dengan Sasha ?
Semua pertanyaan itu menari-nari di fikiranku. Dan bodohnya aku, bukannya mendekati mereka aku malah menjauh. Aku memilih untuk pergi dari sana. Sebut saja aku pengecut. Tapi aku tidak bisa membayangkan jika kenyataannya nanti malah menyakitkanku.
Harusnya hari ini aku mengenalkan Renata kepada Sasha sebagai kejutan karena ingin melihat bagaimana reaksinya nanti. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Justru aku yang di buat terkejut oleh semua ini.
Sial.
Bersambung ~
My Lovely Son
Oleh
NindyKornelia
Categories
Part 12
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment