Bima pov
Kekesalanku makin berada di tingkat paling tinggi saat melihat dua curut yang mengaku sahabatku ini tidak berhenti tertawa sejak tadi.
Sesuai janji, aku dan dua curut ini sedang berada di cafe tempat biasa kami nongkrong. Mereka langsung menyambutku dengan berbagai pertanyaan seputar Sasha yang ku jawab semua dengan jujur.
Namun saat bagian dimana aku meninggalkan toko kue begitu saja dengan alasan cemburu, mereka mulai membullyku habis-habisan.
Aku yang jarang sekali bersikap seperti ini karena seorang wanita dimanfaatkan oleh dua curut ini untuk semakin menertawakanku.
"Gue bener-bener penasaran sama muka lo pas cemburu. Pasti gak jauh beda sama muka monyet di kebun binatang waktu itu kan ?" Roy kembali tertawa terbahak-bahak.
Bisa-bisanya si kampret ini menyamakan wajah tampanku dengan monyet yang di kebun binatang. Apalagi monyet yang kami lihat di kebun binatang saat menghabiskan waktu liburan bersama adalah monyet yang sedang poop. Menjijikan sekali saat mengingatnya.
"Gue bener-bener penasaran sama tuh cewek. Pasti cantik banget sampai bisa bikin si Bima jadi bego gini." Dika menimpali sembari memegangi perutnya yang mulai keram karena kebanyakan ketawa.
"Terserah kalian berdua. Gue lagi males nanggepin." Ucapku yang sontak membuat tawa mereka semakin menjadi-jadi.
Aku membiarkan mereka menertawakanku sepuasnya. Moodku benar-benar buruk saat ini. Ditambah lagi Sasha yang sepertinya tidak begitu peduli dengan kepergianku tadi.
Dia hanya menghubungiku via telepon. Saat aku memberi alasan sedang ada pekerjaan mendadak, dia menanggapi seadanya saja. Tidak berusaha untuk bertanya lebih lanjut.
Segitu senangnya ya ketemu pria itu sampai melupakanku. Aaargh sial.
"Sorry Bim, bukannya mau bersenang-senang di atas penderitaan lo. Cuma ya kita bahagia sekali kalau lo galau gini. Momen langka bro." Sahut Dika.
"Udahlah Bim, jangan kusut terus muka lo. Malem ini seneng-seneng aja yuk. Ke club gimana ?" Ucap Roy seraya menaik-turunkan alisnya.
"Ogah." Tolakku. "Udah ah capek ngomong sama kalian. Gue cabut duluan deh." Aku beranjak meninggalkan mereka.
"Mau kemana lu kamvret !"
"Terserah gue."
Aku melambaikan tangan kepada mereka sembari berjalan keluar dari cafe.
Tadinya aku berniat untuk langsung pulang ke rumah. Namun sepertinya fikiran dan tubuhku sedang tidak sejalan. Bukannya mengendarai mobil menuju rumah, aku malah mengarahkannya menuju rumah Sasha.
Entah apa yang akan ku lakukan disana. Yang jelas aku merasa harus kesana. Aku merindukan kedua malaikatku. Siapa lagi kalau bukan Bimo dan Sasha.
***
Sasha pov
"Bun, ayah gak kesini lagi ya ?" Tanya Bimo sambil menggambar.
Aku melirik ke arahnya. "Gak tau Bim, tadi ayah bilang lagi ada pekerjaan. Mungkin ayah capek sekarang." Jelasku sambil melanjutkan kegiatanku mengecek pemasukan toko hari ini.
"Yaaaaaaa. Padahal Bimbim nanti mau ditemenin tidur sama ayah lagi." Ucap Bimo dengan nada kecewa yang sangat terasa olehku.
Aku memilih untuk tidak menanggapi kekecewaan Bimo.
Sejujurnya aku juga tidak tau kenapa Bima tidak kesini lagi. Apalagi tadi siang saat mengantarkan Bimo ke toko, dia langsung pergi begitu saja tanpa pamit kepadaku ataupun Bimo.
Aneh sekali rasanya.
Bunyi bel menghentikan kegiatanku. Baru akan beranjak membukakan pintu, Bimo lebih dulu berlari menuju pintu.
"Bimbim aja bun." Ucapnya sambil berlari.
Tidak lama, aku mendengar ocehan Bimo berbicara dengan seseorang. Aku menoleh, lalu mendapati Bimo di gendongan ayahnya.
Wajah dan tampilan Bima kusut sekali, tidak rapi seperti biasanya. Aku memilih ke dapur untuk mengambilkannya minuman. Mungkin dia kelelahan bekerja.
"Nih minum dulu, kalau capek harusnya gak usah maksain kesini Bim. Istirahat aja dirumah." Aku menyodorkan segelas minuman kepadanya. Bima sedang duduk di sofa sambil memangku Bimo.
"Kamu gak suka aku disini ?" Ketusnya.
Aku mengernyit. Ada apa dengannya ?
Aku mengabaikannya setelah itu. Sepertinya dia benar-benar lelah, makanya bawaannya emosi aja. Aku melanjutkan kegiatanku memeriksa pemasukan toko hari ini.
"Liat deh yaah. Tadi bimbim gambar ini." Bimo memperlihatkan buku gambarnya.
"Wah gambarnya bagus. Anak ayah pinter ngegambar yaa." Ucap Bima sambil mengecup kepala Bimo.
Aku meliriknya dengan kesal. Ngomong sama aku jutek banget, sama Bimo manis banget. Nyebelin banget sih.
"Bimbim udah makan ?"
"Udah yah, tadi bunda masak ayam goreng. Bimbim makannya nambah deh." Ujar Bimo sambil nyengir.
"Baguus dong. Jagoan ayah harus makan yang banyak. Biar cepet gede terus makin pinter."
Aku memperhatikan interaksi anak dan ayah itu sambil tersenyum tipis. Lalu fokus kembali melanjutkan pekerjaanku.
Aku memeriksa semua berkas, namun sepertinya ada yang kurang. Merasa ada berkas yang ketinggalan di kamar, akupun memutuskan untuk mengambilnya kekamar.
"Untung gak ketinggalan dikantor." Gumamku sambil memegang berkas yang berada di nakas samping tempat tidur.
Saat ingin keluar dari kamar tiba-tiba saja lampu mati dan aku sontak berteriak.
"Aaaaaaaaaaaa." Teriakku kencang. Aku memiliki phobia gelap. Dulu saat orangtuaku masih ada, mamalah yang paling sering menghampiriku saat gelap. Dan saat mereka sudah tiada, Bimo lah yang menggantikan posisi mama.
Walaupun putraku itu masih kecil, dia tidak takut gelap sama sekali. Dia bahkan menguatkanku saat aku mulai merasa sesak dengan keadaan gelap, apalagi jika ponsel atau senter berada di tempat yang jauh, Bimo dengan cekatan akan mengambilkannya untukku.
Suara pintu kamar yang dibuka dengan kencang makin mengagetkanku.
"Biimm, bundaaa takuut." Panggilku dengan suara gemetar. Pasti Bimolah yang menghampiriku.
"Heii, tenanglaah. Ada aku disini."
Aku menegang diposisiku, bagimana tidak. Aku sedang berada di pelukan Bima sekarang. Ya, dia memelukku sembari mengelus punggungku.
Aku membalas pelukan Bima dengan erat juga, membenamkan wajahku di dadanya. Mencoba mencari kenyamanan disana.
"Aku takut. Rasanya sesak sekali." Gumamku.
"Tidak apa-apa. Sebentar lagi pasti lampunya hidup." Ucap Bima. "Sebentar, aku ambil ponsel dulu."
"Jangan pergi." Aku memeluknya lebih erat lagi. "Aku takut."
"Ponselnya ada di saku celanaku Sha."
"Ohh. Cepetan ambil kalo gitu." Aku mendesaknya.
Bima tidak berbicara lagi, tidak lama aku melihat sedikit cahaya yang berasal dari ponselnya. Ternyata Bima mengarahkan layar ponselnya ke arah kami.
"Kalau gini gak takut lagi kan ?" Tanyanya pelan nyaris berbisik. Aku menatap Bima yang ternyata juga sedang menatapku.
"Lumayan." Ucapku pelan nyaris berbisik juga, masih dengan menatapnya.
Entah sudah berapa lama kami tatap-tatapan seperti ini. Entah siapa yang memulai duluan, yang jelas posisi kami makin menempel sekarang. Bima merengkuh pinggangku dengan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain mengarahkan cahaya ponsel ke wajah kami.
Aku melihat Bima menatapku tanpa berkedip, dan perlahan-lahan dia mulai memajukan wajahnya. Aku gugup sekali sekarang, aku tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun bukannya berusaha menjauh aku malah memejamkan mataku seolah memberikan izin kepada Bima untuk melakukan apa yang akan dilakukannya.
Aku merasakan deru nafas Bima menerpa wajahku. Itu berarti jarak wajah kami semakin dekat sekarang. Mungkin hanya beberapa centimeter saja.
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasa, dan kalau aku tidak salah aku juga merasakan detak jantung Bima juga berdetak lebih cepat dari biasanya.
Saat aku merasa sebentar lagi bibir kami akan bertemu, tiba-tiba saja lampu hidup.
Aku terkejut dan sontak menjauhkan diri dari Bima.
"Syukurlah lampunya hidup." Ucapku dengan salah tingkah, aku bahkan tidak berani melihat wajah Bima.
"Ah...yaa. syukurlah." Ucap Bima dengan nada gugup yang jelas sekali.
"Buun, bunda gak papa ?" Bimo melongokkan wajahnya dari luar, lalu melangkah mendekatiku.
"Bunda gak papa sayang. Bimbim gak papa kan tadi diluar sendirian ?" Tanyaku sembari mengelus kepalanya.
"Engga papa bun. Tadi bimbim mau lari kesini pelukin bunda, tapi ayah udah lari duluan. Tadi ayah peluk bunda juga kan ? Kayak bimbim peluk bunda ?"
Astaga.
Aku yakin pipiku memerah sekarang. Mengingat tadi Bima memelukku dengan erat. Apalagi kejadian kami yang hampir berciuman.
"Kok diem aja sih bun."
"Tenang aja sayang. Tadi ayah udah pelukin bunda kok." Bima tersenyum sembari mengelus kepala Bimo.
"Kita keluar yuk, ngegambarnya belum selesai kan ?" Ajak Bima yang langsung di angguki oleh Bimo.
Mereka berdua keluar dari kamarku. Aku langsung memegang dadaku yang berdebar-debar saat mereka sudah keluar.
Setelah merasa tidak gugup lagi, aku menyusul Bima dan Bimo. Mereka terlihat fokus dengan gambar masing-masing. Seolah-olah sedang mengikuti lomba menggambar.
"Pada ngegambar apa siih, kok serius banget." Tanyaku sambil melongokkan wajahku.
"Kita lagi lomba bun, yang gambarnya paling bagus akan dikasih hadiah." Jawab Bimo tanpa menoleh ke arahku.
"Oh yaa, emang apa hadiahnya ?"
"Rahasiaa bun."
Aku mengernyit bingung. Lomba gini aja pake rahasiaan segala, batinku.
Aku membiarkan mereka fokus dengan gambar masing-masing, lalu memutuskan untuk membuatkan camilan buat mereka berdua.
Aku melangkah menuju ke dapur. Membuka kulkas dan melihat-lihat apa yang bisa kumasak dengan cepat. Aku melihat ada kentang yang tinggal di goreng. Aku memang selalu sedia kentang yang siap saji seperti ini.
Tidak butuh waktu lama, sepiring kentang goreng dan tiga gelas orange juice siap untuk disantap. Aku membawanya menggunakan nampan.
"Ada yang mau kentang goreng ?" Tanyaku sambil tersenyum lebar.
"Mauuu buun mauuu!!" Bimo berteriak senang.
Aku meletakkan nampan diatas meja tempat mereka menggambar. "Minggirin dulu buku gambarnya." Suruhku.
Bimo dan Bima menurut, lalu mulai memakan kentang goreng dengan lahap.
"Aaaaaaa bun." Bimo menyodorkan satu potongan kentang goreng ke arahku yang langsung kuterima dengan senang hati. Setelah itu dia juga melakukan hal yang sama kepada Bima.
Tidak mau kalah dengannya, aku juga menyodorkan satu potong kentang goreng kepada Bimo.
"Suapin ayah juga dong bun." Perintah Bimo.
Aku sontak menatap Bima yang juga menatapku. "Ayah bisa makan sendiri bim." Tolakku sambil mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Bimbim juga bisa makan sendiri, tapi bunda tetap suapin bimbim. Ayolah bun, suapin ayah." Bimo mulai merengek.
"Iya...iya..." aku mengalah. Mengambil satu potongan kentang lalu menyodorkannya kepada Bima.
Bima menatapku lekat sambil menerima suapanku. Sial. Kegugupanku kembali lagi.
Sepiring kentang goreng dan tiga gelas orange juice akhirnya habis tidak bersisa. Aku kembali ke dapur mencuci piring dan gelas yang kotor. Sementara Bima menemani Bimo untuk tidur.
Setengah jam berlalu, Bima keluar dari kamar Bimo. Dia duduk di sofa yang berseberangan denganku.
"Bimbim udah tidur ?" Tanyaku.
"Udah."
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa dengan nada bicaranya ? Perasaan tadi udah gak jutek. Sekarang jutek lagi. Aneh.
Aku melirik jam yang menunjukkan pukul 21.55. "Kamu gak pulang ? Udah hampir jam sepuluh."
"Kamu gak suka aku disini ?" Ketusnya.
"Aku gak ngomong gitu. Kamu kenapa sih ?" Tanyaku akhirnya, tidak tahan melihat kejutekannya.
"Pria yang di toko tadi siang pacar kamu ?"
"Huh ?"
"Kamu punya pacar ?"
"Pacar ?" Aku membeo ucapannya.
"Aku serius Sha. Kenapa kamu gak bilang kalau kamu punya pacar."
"Aku gak punya pacar." Kerutan didahiku makin dalam. Bagaimana bisa dia berfikir aku punya pacar.
"Kamu yakin ?"
Aku mengangguk.
"Lalu pria yang tadi di toko itu siapa ? Yang di panggil dengan sebutan papi oleh Bimo."
"Kamu cemburu ?" Tanyaku langsung.
"Iya."
"Ha ?" Jawaban dari Bima sungguh diluar ekspektasiku. Tadinya kufikir Bima akan menjawab tidak. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Aku jadi salah tingkah. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Kenapa diam ? Siapa dia Sha ?" Desak Bima.
Aku menatap Bima. Raut wajahnya terlihat penasaran sekali.
"Namanya Dion .Dia pacarnya Dinda, sahabat aku. Bimbim udah lama kenal dia. Papi itu panggilan sayang dari bimbim buat dia. Sedangkan mami panggilan sayang dari bimbim buat Dinda." Jelasku.
"Kamu serius ? Gak bohong ?" Tanyanya lagi.
"Iya. Ngapain juga harus bohong."
"Alhamdulillaaaah."
Aku mengernyit lagi. Tidak mengerti dengan pria yang duduk di hadapanku ini. Raut wajahnya sudah tidak lagi tegang. Dia terlihat lebih santai dan nampak sangat lega.
"Kamu gak papa kan hari ini ? Perasaan aneh banget."
Dia tersenyum lebar. "Aku bahagia lagi sekarang." Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Udah malam ternyata, aku balik dulu ya. Gak enak sama tetangga." Ucapnya sembari berdiri.
Aku ikut berdiri lalu mengikutinya melangkah kepintu. Masih disertai perasaan bingung dengan sikap anehnya.
Bima membalikkan badannya saat sudah sampai di pintu.
"Jangan lupa kunci pintu." ucapnya sambil mengacak rambutku seperti malam sebelumnya.
Aku mengangguk. "Hati-hati dijalan."
Bima mengangguk sambil tersenyum. Aku kira dia akan memutar badannya lalu melangkah ke mobil. Namun ternyata aku salah.
Dia mendekatkan wajahnya dan mencoum pipi kananku. Ya. Dia menciumku !
"Good night." Bisiknya.
Lalu melangkah meninggalkanku yang mematung akibat perbuatannya barusan.
Astaga.
Dia menciumku !
Bersambung ~
My Lovely Son
Oleh
NindyKornelia
Categories
Part 13
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment