Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

Gavin Devon Adelard

Aku memasuki ruangan dimana acara ulang tahun perusahaan Fajar berlangsung. Disini ramai sekali, semua orang yang hadir berpenampilan rapi dan glamour. Aku mengedarkan pandanganku. Mencari sosok Fajar di keramaian.

Aku melangkahkan kaki ke tempat Fajar berada saat sudah menemukannya. Dia sedang berbicara dengan rekan bisnisnya.

"Hai Jar." Sapaku pelan.

Fajar menoleh. "Hai kak. Akhirnya kakak datang juga."

"Selamat ya. Sukses terus pokoknya."

"Thank you kak, Kak gavin datang sendiri ?"

Aku mengedikkan bahu. "memangnya mau datang sama siapa lagi ?"

"Cari pacar makanya biar ada yang nemenin. Udah tua masih jomblo aja." Ucap fajar sambil terkekeh.

Aku berdecak. "memangnya kamu punya pacar ?"

"engga sih. Tapi kan aku gak setua kak Gavin." Ucap fajar lagi sambil tertawa. Namun beberapa saat kemudian dia sontak berhenti tertawa sambil melihat ke arah pintu masuk. Aku pun sontak mengikuti arah pandangnya.

Dadaku nyeri seketika, serasa habis disayat sesuatu yang tajam. Disana, aku melihat Elina yang terlihat sangat cantik melangkah masuk sambil menggandeng lengan lelaki yang sembilan tahun yang lalu membuatku sangat cemburu. lelaki itu adalah Justin.

Aku mengalihkan pandanganku, tidak sanggup lagi untuk menatap dua sejoli itu.

"Kak, are you okay ?" Tanya Fajar pelan.

Aku menaikkan sebelah alisku. "memangnya kenapa ? gak ada hal yang mengharuskan kakak untuk tidak baik-baik aja kan ?" ucapku berbohong. Aku tidak mau Fajar melihat kesakitanku.

"Jar, kakak cariin dari tadi ju..." Elina sontak berhenti bicara saat aku menoleh ke arahnya. Dan dia pun refleks melepaskan tangannya dari lengan Justin. Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya.

Hening beberapa saat.

Aku menatap Elina dengan tatapan penuh kerinduan. Sungguh, aku rindu saat-saat bersamanya. Melihatnya tertawa, melihatnya berbicara panjang lebar, dan melihatnya mengerucutkan bibir mungilnya saat cemberut.

Elina juga menatapku dengan tatapan...entahlah. Sepertinya ada kesakitan yang mendalam yang terlihat di matanya. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menyakiti gadis sebaik Elina.

"sayang, kamu kenapa ?" Ucap Justin dengan nada lembut.

Apa barusan dia memanggil Elina dengan panggilan sayang ?

Sial !

Rasanya aku ingin menonjok wajahnya yang tersenyum manis kepada Elina itu.

"eh. Apa ?" jawab Elina gelagapan.

"Mama sama papa mana kak ?" Ucap Fajar mencairkan suasana canggung di antara kami.

"lagi dijalan, bentar lagi dateng kayaknya." Jawab Elina. Dia berbicara tanpa mau menatapku. Dia bertingkah seolah-olah aku tidak ada disini.

"Hai jar, selamat buat ulang tahun perusahaannya." Ucap Justin menyalami Fajar.

"Thank's kak Justin."

"Kamu Gavin kan ? kita seangkatan dulu. Tapi kayaknya kamu gak bakal tau aku karena aku gak sepopuler kamu." Justin menyapaku sambil terkekeh kecil.

" Aku tau kamu kok." Jawabku datar.

" Tin, aku ke toilet dulu ya." Pamit Elina kepada Justin.

Dia lalu melangkah menuju toilet. Meninggalkanku bersama Justin dan Fajar. Suasananya canggung sekali, sulit rasanya menahan diri untuk tidak bersikap sinis kepada Justin.

"Aku keluar bentar." Ucapku kepada fajar dan Justin lalu melangkah menjauh dari mereka.

***

Elina Desma Gloria

Aku berusaha menenangkan debaran jantungku. Apa-apaan ini. Apa yang dilakukan Gavin di sini. Setelah bertahun-tahun kenapa sekarang dia bisa muncul lagi. Aku pikir kami tidak akan pernah bertemu lagi. Karena baik aku maupun dia memang berusaha untuk saling menjauh satu sama lain selama ini.

"what I have to do ?" bisikku pelan.

Aku menghela napas berat berkali-kali. Rasanya menyesakkan sekali harus berpura-pura tidak melihat Gavin. Karena sejujurnya aku sangat merindukan pria brengsek itu.

Bodoh bukan ?

Setelah merasa cukup tenang, aku memutuskan untuk keluar dari toilet. Namun bukannya merasa tenang, jantungku malah serasa ingin berhenti melihat siapa yang sedang bersandar di dinding, tidak jauh dari pintu toilet.

Orang itu adalah Gavin.

"Tenanglah Elina, cukup jalan dan anggap saja tidak ada siapa-siapa disana." Ucapku dalam hati.

Mengikuti kata hatiku, aku melangkah dengan santai. Berusaha menutupi kegugupanku. Tepat saat akan melewati Gavin, dia mencekal lenganku. Aku sontak berhenti dan berusaha melepaskan lenganku dari cekalan tangan Gavin. Tapi sia-sia saja. Tenaga Gavin jauh lebih kuat dariku.

"Lepasin." Ucapku, menatapnya dengan tajam.

"Aku pengen ngomong sama kamu. Sebentar aja."

"Gak ada yang perlu diomongin lagi."

"Aku minta maaf Elina." Ucapnya lembut.

"Maaf ?" aku berdecak. "Segampang itu ? kamu pikir kamu siapa ha ?" ucapku lagi.

"Aku tau aku keterlaluan, aku juga tau aku udah nyakitin kamu banget. Please, kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

"Memperbaiki apa ? kita gak ada hubungan apa-apa sebelumnya kan ? Jadi, mari kita bersikap seperti tidak saling mengenal saja. Itu lebih baik." Aku mengalihkan pandanganku dari Gavin, menahan rasa menyesakkan di dadaku.

"Elina..."

"Sudahlah Vin, aku mohon." Ucapku lirih.

Aku melepaskan lenganku saat merasa Gavin mengendurkan cekalan tangannya. Lalu berlalu meninggalkan Gavin sendirian di sana. Air mataku seketika mengalir. Beruntunglah aku tidak menangis saat di depan Gavin. Aku tidak mau terlihat menyedihkan lagi olehnya.

Kenapa rasanya sakit sekali ?

Kenapa harus dia yang aku cintai ?

Bersambung ~


Dia "Alfajri" ku

Oleh NindyKornelia 0 comments

Dua tahun kemudian.

Aku melangkah menuju kosan dengan semangat. Aku capek, dan aku butuh kasur untuk melepaskan sedikit penatku.

Aku bukan lagi seorang pengangguran. Aku telah bekerja sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan di kota yang jaraknya mencapai dua jam dari rumah. Jadi aku memutuskan untuk ngekos saja.

Sesampainya dikosan aku langsung berbaring dikasur sambil memainkan ponselku. Memeriksa beberapa social media yang aku punya lalu membuka aplikasi wattpad dan mulai membaca cerita yang ada di list perpustakaanku.

Aku beruntung sekali ada aplikasi seperti wattpad. Karena aku bisa menghabiskan waktu untuk membaca cerita-cerita yang ada di sana. Pengalihan yang bagus. Karena jika aku tidak memiliki kegiatan apapun, aku tidak akan bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Alfajri.

Aku dan Alfajri. Kami tidak lagi berkomunikasi sesering dulu. Dalam satu tahun mungkin kami akan berkomunikasi sebanyak tiga kali saja. Saat dia ulang tahun, saat aku ulang tahun dan saat dia atau aku sedang ingin menanyakan kabar satu sama lain.

Awalnya sulit sekali menahan diri untuk tidak menghubunginya. Namun seiring berjalannya waktu, aku akhirnya bisa menjalani hari-hari tanpa harus mengingat Alfajri. Walaupun sesekali rindu itu datang tapi aku berusaha dengan keras menepisnya.

Ponselku berdering. Ada pesan baru di aplikasi bbmku. Aku melihat nama Alfajri disana. Dan seperti biasa aku membukanya dengan semangat.

Lagi apa ?

Aku mengernyitkan dahi. Setelah berbulan-bulan tidak menghubungiku, dia mengirimiku pesan dan menanyakan aku lagi apa ? apakah Alfajri salah mengirim pesan ?

Kamu salah kirim ?

Enggak.

Aku lagi tiduran aja. Kamu ?

Sama.

Kamu apa kabar ?

Baik. Kamu ?

Aku baik juga. Kamu tahu, setiap kali kamu menghubungiku seperti ini, aku tidak akan bisa menahan diri untuk bilang aku rindu kamu.

Kamu fikir buat apa aku menghubungimu jika aku tidak rindu ?

Kamu merindukanku ?

Menurutmu ?

Akan aku anggap iya.

Haha baguslah. Karena aku memang merindukanmu.

***

Pukul 12.00, itu berarti sekarang waktunya untuk istirahat. Aku membereskan pekerjaanku lalu bersiap untuk pulang kekosan. Jarak kosan ke kantor yang dekat membuatku selalu menghabiskan waktu dikosan saat istirahat siang untuk makan dan kalau bisa tidur sebentar.

Aku menuruni tangga sambil menunduk, jangan sampai aku tidak menginjak anak tangga dengan pas. Akan sangat memalukan jika aku terjatuh.

Tepat saat aku sudah berada diluar gedung kantor, aku mendengar suara seseorang yang sangat aku ingat suaranya.

"Butuh tumpangan ?" ucapnya pelan.

Aku menoleh ke asal suara lalu terpaku.

"tidak mungkin." Ucap batinku.

Aku masih saja menatap tidak percaya. Sedangkan orang yang ku tatap langsung tersenyum jahil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia melangkah mendekatiku.

"Ini beneran aku, kalau itu yang kamu fikirkan." Ucapnya lagi sambil mengelus pelan pipiku.

"Al...Fajri ?" tanyaku dengan gugup.

"Hello Keira." Sapanya sambil tersenyum.

"Ha...hai." Balasku.

Al tertawa. "Jangan gugup begitu. Bernapaslah dengan normal." Ucapnya sambil tertawa lagi.

Aku meneguk air ludahku berkali-kali. Mencoba menormalkan debaran jantungku dan menghilangkan kegugupanku.

"Mau makan siang bersama ?" tawarnya.

Aku mengangguk pelan. Al membawaku menuju mobilnya yang diparkirkan di parkiran kantorku. Dia membukakan pintu mobil untukku. Setelah itu baru melangkah menuju pintu kemudi.

Sepanjang perjalanan, aku menghabiskan waktu dengan diam dan menatap ke luar jendela. Entahlah, aku merasa sangat gugup. Aku tidak siap dengan pertemuan ini. Untunglah Al juga memberikanku waktu untuk menenangkan diriku sendiri dengan membiarkanku diam.

Al membawaku ke sebuah kafe yang memiliki pondok-pondok kecilnya. Dan aku merasa sangat lega, berarti kami bisa mengobrol dengan santai tanpa harus takut orang lain akan mendengar pembicaraan kami.

Aku membiarkan Al memesankan apapun untukku.

"kamu apa kabar ?" Tanya Al setelah memesankan makanan untuk kami berdua.

"Baik. Kamu ?

"Lebih baik lagi saat bertemu denganmu." Aku tersipu mendengar jawabannya.

"kamu pendiam sekali, tidak seperti saat kita telponan."

"Aku masih tidak percaya."

Al tersenyum. "Aku beneran disini Kei. Pegang saja tanganku kalau masih tidak percaya." Dia mengulurkan tangannya.

Aku memegang tangan Al. lalu tersenyum tipis. "Kamu beneran disini." Ucapku pelan.

"Ya. Aku disini. Untuk kamu." Al mengucapkannya dengan tegas.

Aku menatap Al. dia juga sedang menatapku dengan tatapan lembut tapi penuh keseriusan dimatanya. "Maksud kamu ?" tanyaku, tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya barusan."

"Kei, sebelumnya aku ingin minta maaf sama kamu." Al menggenggam kedua tanganku dengan lembut dan mengelus punggung tanganku dengan jari jempolnya. "Aku minta maaf karena sering membuatmu sedih. Aku ingin kamu tau, sejujurnya aku tidak ingin membuatmu sedih. Tapi aku tidak berdaya Kei. Kita masih sama-sama kuliah saat saling mengenal, ditambah lagi dengan jarak kita yang jauh. Aku sengaja tidak menaikkan status kita menjadi lebih dari seorang teman. Karena aku tau kita tidak akan bisa melewatinya dengan baik. Aku tidak mempercayai diriku sendiri saat itu Kei. Dan aku tidak ingin menyakitimu lebih dalam lagi. Lebih tepatnya aku tidak mau kamu membenciku jika suatu saat aku menyakitimu dan kamu akan menjauh dariku. Aku tidak mau itu terjadi."

Al menghela napasnya. Aku menunggunya menyelesaikan apa yang ingin diucapkannya lagi.

"Bertahun-tahun, aku menahan rasa rindu itu selama bertahun-tahun Kei. Dan sekarang aku tidak ingin menahan lagi. Aku mencintaimu Kei. Sangat mencintaimu. Aku ingin menikahimu. Kamu mau tidak menikah denganku ?"

Aku menegang seketika. Benarkah seorang Alfajri mengajakku untuk menikah ? astaga, mimpi apa aku semalam.

"kamu...kamu serius ?"

"Sangat serius. Aku tidak pernah mengambil keputusan seserius ini di dalam hidupku. Aku sangat berharap aku belum terlambat mengatakannya. Jadi, gimana ? kamu mau nikah sama aku ?"

Aku tersenyum tipis. Mataku berkaca-kaca. Lalu dengan pelan aku menganggukkan kepalaku.

"Oh Keira, terimakasih. Aku mencintaimu." Al memelukku dengan erat. Aku balas memeluknya. Air mataku ikut mewakili kebahagianku.

"aku mencintaimu, Al."Ucapku pelan, dipelukan Al.

"Aku lebih mencintaimu, Kei."

Al melepaskan pelukannya, lalu menghapus air mataku dengan tangannya.

"aku sudah sering bilang kalau aku tidak suka melihatmu menangis kan ?"

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Aku bukan menangis karena sedih Al. aku menangis karena terlalu bahagia. Aku kira semua ini hanya akan ada dalam mimpiku saja."

"berhenti menangis ya." Ucap Al dengan nada memohon.

Aku mengangguk. Al kembali membawaku ke dalam pelukannya.

Didalam hati aku bersyukur sekali. Aku tidak menyangka Tuhan benar-benar mengabulkan permintaanku untuk bertemu dengan Al. Tuhan bahkan memberikan bonus lebih dengan memberikan Al yang akan selalu menemaniku setiap harinya.

Terimakasih Tuhan. Untuk semua anugrah ini.

***

End.

Cerita ini sampai disini saja ya. terimakasih buat yang sudah baca. Jangan lupa untuk baca cerita aku yang lainnya :)

Thank you ^^


Dia "Alfajri" ku

Oleh NindyKornelia 0 comments

Lupain Alfajri.

Lupain Alfajri.

Lupain Alfajri.

Aku merapalkan kalimat itu setiap harinya. Mencoba untuk benar-benar melupakan Al. Berusaha dengan kuat agar jemari-jemariku tidak mengetikkan pesan-pesan untuk Al lagi.

Bukankah Al yang memintaku untuk menjauh dari hidupnya ?

Maka akan aku lakukan. Walaupun sangat sulit dan harus membuat hatiku nyeri setiap kali melihatnya mengganti display picture bbmnya.

Tapi mau bagaimana lagi. Inilah akhirnya. Aku dan Al. Kami memang tidak akan berhasil sama sekali. Dia selalu pintar untuk mematahkan hatiku disaat aku mulai menitipkan hatiku padanya.

Ya. Dia pintar melakukannya.

***

Dua bulan kemudian

Hari ini adalah ulang tahunku. Tepat hari ini aku berusia 24 tahun. Dan aku bersyukur karena di usiaku yang ke 24 tahun Tuhan masih memberiku semua yang aku butuhkan, Keluarga yang mencintaiku serta sahabat-sahabat yang masih mengingat hari bahagiaku ini.

Aku sedang tidur-tiduran dikasur sambil membalas ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku. Namun aku terpaku seketika saat mendapat ucapan dari seseorang yang masih saja menempati sedikit tempat di hatiku.

Orang itu adalah Alfajri.

Dia mengirimiku ucapan selamat juga.

Selamat ulang tahun Keira :)

Hanya ucapan selamat ulang tahun biasa. Bahkan semua teman-temanku juga mengatakan itu. Tapi entah kenapa ucapan selamat dari Al memberikan efek luar biasa dihatiku.

Aku tersenyum tipis. Lalu mengetikkan balasan buat Al.

Terimakasih Al :)

Sama-sama Kei.

Al.

Ya ?

Aku punya permintaan sama kamu di hari ulang tahunku. Dan aku sangat berharap kamu mau mengabulkannya.

Permintaan apa ?

Besok, mau gak telponan sama aku ? Aku ...kangen.

Baiklah. Aku akan mengabulkannya.

Benarkah ? Terimakasih Al :)

Selang beberapa saat aku fikir Al tidak akan membalas pesanku lagi. Namun aku salah, dia mengirimiku sebuah rekaman suara.

Aku lalu memutar rekaman suara tersebut.

Kutrima suratmu `Tlah kubaca dan aku mengerti
Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku
Didalam hari-harimu bersama lagi

Kau tanyakan padaku kapan aku akan kembali lagi
Katamu kau tak kuasa Melawan gejolak didalam dada
Yang membara menahan rasa Pertemuan kita nanti
Saat bersama dirimu

Semua kata rindumu
Semakin membuatku `tak berdaya
Menahan rasa ingin jumpa
Percayalah padaku akupun rindu kamu
Ku akan pulang Melepas semua kerinduan
Yang terpendam

Kau tuliskan padaku Kata cinta
Yang manis dalam suratmu
Kau katakan padaku Saat ini
Kuingin hangat pelukmu
Dan belai lembut kasihmu
Takkan kulupa slamanya
Saat kau ada di sisiku

Jangan katakan cinta
Menambah beban rasa
Sudah simpan saja sedihmu itu
Ku akan datang

(Kangen - Dewa 19)

Isi rekaman suara itu adalah suara Al yang sedang menyanyikan lagu kangennya Dewa 19 sambil bermain gitar. Suaranya indah sekali.

Aku memutar rekaman suara itu berulang kali. Meresapi setiap kata yang dinyanyikan Al. Dan benar-benar menganggap lagu itu adalah ungkapan hatinya juga.

Dan sekali lagi, aku dibuatnya jatuh cinta.

***

Pukul 20.00 , aku mengabari Al bahwa aku akan menelponnya malam ini. Aku mengetikkan pesan singkat kepada Al.

Malam ini jadi telponan kan ?

Iya, jadi. Aku atau kamu yang telpon ?

Aku aja. Mau telponan jam berapa ?

Sekarang aja gimana ?

Oke.

Aku mencari kontak Al lalu menekan tombol panggilnya.

"Halo" sapaku pelan.

"Hai." Balas Al dari seberang sana.

"Lagi apa ?"

"Tiduran, kamu ?

"Sama. Tiduran juga."

"Ciye yang udah 24 tahun."

Aku tertawa. "Udah makin tua yak."

"Iya. Nikah sana."

"Nikah sama siapa ?"

"Ya sama siapa aja. Memangnya gak ada yang deketin kamu ?

"Ada sih, tapi aku gak mau."

"Kenapa gak mau ?"

"Gak mau aja. Aku gak punya perasaan apa-apa sama orangnya."

"Jangan terlalu milih-milih Kei."

"Buat yang seumur hidup harus dipilih yang bener-bener dong Al."

Aku menelpon Al hingga waktu menunjukan pukul 22.05. Al menyuruhku untuk istirahat setelahnya. Aku cukup bahagia karena percakapan kami tidak ada yang membuat suasana menjadi canggung. Ya walaupun ada saja perkataannya yang membuatku merasa sedikit sedih.

Tapi aku berusaha menutupi kesedihanku. Aku tidak mau Al merasa dia hanya akan membuatku sedih jika kami berkomunikasi lagi.

"Tidur sekarang ya." Ucap Al, dengan nada lembut tapi penuh ketegasan disana.

"Iya. Kapan-kapan kalau aku pengen berantem sama kamu masih boleh nelpon lagi kan ?" Ucapku sambil tertawa.

Al ikut tertawa. "Iya. Telponlah. Tapi gak pake nangis ya."

"Aku udah gak cengeng Al."

"Iya-iya. Aku tau. Sekarang tidur."

"Baiklah. Bye Al. Aku sayang kamu."

"Aku sayang kamu juga."

Aku memutuskan sambungan telepon. Bibirku tidak henti-hentinya tersenyum. Aku bahagia. Sangat bahagia. Ternyata Al masih sangat mempengaruhi hatiku. Dia masih ada disana. Ditempat khusus untuknya.

Aku berniat untuk mematikan ponsel, namun pesan singkat baru dari Al membuatku mengurungkan niatku. Dia mengirimiku rekaman suara baru.

Buat pengantar tidur kamu.

Tulis Al disana. Aku langsung mendengarkan rekaman suara itu.

Datanglah bila engkau menangis
Ceritakan semua yang engkau mau
Percaya padaku aku lelakimu

Mungkin pelukku tak sehangat senja
Ucapku tak menghapus air mata
Tapi ku di sini sebagai lelakimu

Aku lah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir mungkinkah berpaling
Aku lah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar kau berjalan nanti

Sudah benarkah yang engkau putuskan
Garis hidup sudah engkau tentukan
Engkau memilih aku sebagai lelakimu

Aku lah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir mungkinkah berpaling
Aku lah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar kau berjalan nanti

(Aku Lelakimu - Virza)

Aku mendengarkan rekaman suara Al dengan mata yang berkaca-kaca. Bukan karena sedih tapi karena bahagia. Aku tidak tau apa maksud Al dengan rekaman suara ini.

Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku benar-benar berharap Al menyanyikan lagu ini sesuai dengan kata hatinya.

Aku sungguh berharap dia akan memelukku erat dan menenangkan badai, untukku.

Oh Alfajri.

Aku sungguh-sungguh mencintaimu.

***

To be continue...


Dia "Alfajri" ku

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sebulan berlalu sejak ungkapan sayang yang membuatku menangis semalaman. Aku sedih. Sangat sedih. Ditambah lagi dengan Al yang benar-benar terlihat tidak peduli.

Sejak kejadian itu hubunganku dan Al memburuk. Dia tidak lagi menghubungiku seperti biasanya. Bahkan pesan-pesan yang aku kirimkan kepadanya pun hanya di balas seadanya.

Aku masih saja memaksakan diri untuk memperbaiki keadaan. Perasaan sayangku kepada Al amat sangat besar. Aku tidak masalah jika hubungan kami hanya akan berada di level pertemanan. Asalkan aku masih bisa mengetahui kabar Al setiap harinya.

"Kenapa lo ?" Tanya Indah yang baru saja pulang dari kampus.

"Gak papa. Absen gue gimana ?" Tanyaku, sambil memperbaiki selimut yang ku pakai. Hari ini aku memang tidak mengikuti jadwal perkuliahan. Demam sejak dua hari yang lalu membuatku lebih memilih untuk beristirahat dikosan saja.

"Udah gue izinin kok. Lo udah makan ? Obatnya udah di minum ?"

"Udah kok."

"Bagus deh. Cepet sembuh dong. Gak enak tau kekampus sendirian."

"Iya, besok kayaknya gue udah ngampus lagi. Udah mulai enakan badannya."

Ponselku berdering, ada pemberitahuan pesan baru di aplikasi bbm milikku. Aku lalu membukanya.

Cepat sembuh ya.

Itu pesan dari Al. Singkat, padat dan mampu membuat senyum kecil terbit di bibirku.

Terimakasih Al :)

Aku menunggu balasan dari Al selanjutnya, namun tidak ada lagi balasan dari Al. Dia hanya membaca pesan dariku. Membuatku menghela napas berat. Al benar-benar mencoba menjauh dariku.

***

Sudah bulan kedua, Aku dan Al tidak lagi berkomunikasi. Aku sengaja tidak lagi mengganggunya dengan pesan-pesan singkat dariku. Semua berakhir, bahkan sebelum dimulai.

Dan aku rasa Al terlihat baik-baik saja tanpa gangguan dariku. Sepertinya hanya aku saja yang merasakan sakit memiliki perasaan bernama sayang ini. Atau memang Al tidak pernah benar-benar sayang padaku ?

Entahlah.

Yang jelas hatiku lelah.

Sepertinya bertingkah seperti tidak saling mengenal seperti ini lebih baik. Ya walaupun aku masih saja sering mengintip display picturenya untuk melihat wajah Al.

***

Tiga tahun kemudian.

Tanggal 5 April, hari ini adalah ulang tahun Al. Tiga tahun telah berlalu, aku memang masih mengingatnya. Walaupun selama tiga tahun terakhir aku memiliki kekasih, namun tetap saja Al masih memiliki tempat di hatiku.

Selama tiga tahun tanpa komunikasi lagi bersama Al membuatku belajar tentang banyak hal. Aku berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mengurangi sifat manja serta cengengku. Berharap suatu saat Al mengatakan bahwa dia bangga dengan perubahanku.

Ngomong-ngomong walaupun sudah tiga tahun tidak berkomunikasi, kami masih saja bertahan untuk tetap berteman di aplikasi bbm walaupun tidak pernah saling sapa. Bahkan saat aku ataupun dia berganti pin baru, kami tetap saling meminta pertemanan kembali. Dan itu membuatku tau satu hal, dia masih mengingatku seperti aku yang masih mengingatnya dan sedikit memori di masalalu.

Selamat ulang tahun, Al :)

Aku mengirimkan pesan itu kepadanya. Berharap Al membalasnya dengan hangat. Bukan lagi menghindar dariku.

Beberapa saat kemudian doaku terkabul, Al membalasnya.

Terimakasih Kei :) kamu apa kabar ?

Aku baik. Kamu gimana kabarnya ?

Aku baik. Lagi apa ?

Lagi mau mandi. Kamu ?

Aku lagi duduk-duduk aja.

Setelah itu kami melanjutkan berbalas pesan dengan membahas banyak hal. Tanpa ada kecanggungan sama sekali. Dan itu membuatku kembali bahagia. Alfajriku telah kembali seperti dulu, ya Alfajriku.

Tanpa aku sadari, kami telah berbalas pesan hingga malam. Al menyuruhku beristirahat. Tapi aku berusaha mengulur-ngulur waktu. Aku masih belum ingin mengakhiri hari yang bahagia ini. Aku tidak yakin kami bisa seperti ini lagi esok hari.

Tidurlah Kei, ini sudah malam. Kamu harus istirahat.

Sebentar lagi ya. Aku masih pengen bbman sama kamu. Besok belum tentu kita bisa seperti ini lagi :(

Kenapa ngomong gitu ? Kita masih bisa komunikasi lagi besok.

Beneran ? Kamu janji ?

Iya sayang. Aku janji, aku bahkan akan menelponmu besok malam kalau kamu mau tidur sekarang.

Aku langsung tersenyum sumringah membaca kata "sayang" yang ditulis Al serta janjinya yang akan menelponku besok malam. Akhirnya setelah tiga tahun, aku akan mendengar suaranya lagi.

Baiklah. Aku akan tidur sekarang. Good night Al :)

Good night Kei :)

***

Hari ini aku lalui dengan sangat semangat. Berharap malam cepat datang. Aku tidak sabar mendengar suara Al, lagi.

Sejak pagi, aku berusaha menghubungi Al untuk sekedar mengucapkan selamat pagi. Dan dia membalas pesanku. Bahkan hingga sore ini, kami masih menyempatkan saling berbalas pesan di sela-sela kesibukan masing-masing.

Pukul 20.30 Al menelponku. Aku langsung mengangkatnya dengan semangat.

"Hai." Sapaku tanpa bisa mengurangi nada bahagiaku.

"Hai. Lagi apa ?" Tanya Al padaku.

"Tiduran aja. Kamu lagi apa ?"

"Lagi duduk-duduk di teras rumah."

"Gak duduk-duduk dipos ronda lagi ?" Tanyaku sambil tertawa pelan.

Al ikut tertawa. "Gak lah. Kan udah janji mau nelpon kamu. Sudah makan ?"

"Udah dong. Kamu ?"

"Udah juga."

"Al."

"Apa ?"

"Aku seneng banget bisa denger suara kamu."

Al tertawa pelan. "Suara aku merdu banget ya ?"

Aku berdecak. "Terserah deh ya."

Al tertawa lagi. "Pacar kamu gak nelpon ?"

"Pacar ? Aku gak punya pacar -_-"

"Masa iya. Yang sering kamu jadiin profile picture bukannya pacar kamu ?"

"Aku udah putus Al. Sejak dia wisuda malahan."

"Aku boleh nanya satu hal ?"

"Apa ?"

"Kamu pacaran sama dia karena hampir mirip sama aku atau aku aja yang kegeeran ngerasa kamu sengaja nyari yang mirip aku ?"

Aku tersenyum tipis. Tidak menyangka hal akan menanyakan tentang itu.

Aku menghela napas pelan. "Dari fisik memang mirip kamu sih. Tapi aku gak sejahat itu kok, sampai ngejadiin dia sebagai jelmaan kamu. Aku sayang kok sama dia waktu masih pacaran."

"Aku tau, karena kalau kamu gak sayang sama dia, gak mungkin kalian sampai ngejalanin hubungan bertahun-tahun. Kamu tau Kei, aku bahagia ngeliat kamu sama dia."

"Kenapa ?"

"Karena kamu terlihat bahagia sama dia. Dan dia bisa ngejaga kamu disana. Bukan seperti aku yang gak bisa apa-apa disini."

"Ya. Dia memang menjaga aku dengan baik." Ucapku dengan pelan. "Jadi, siapa perempuan yang pernah kamu jadiin fotonya sebagai display picture bbm kamu ?" Tanyaku pada Al. Aku ingat sekali, dia pernah beberapa kali memasang foto perempuan cantik sebagai display picturenya, dulu.

"Yang mana ? Aku gak ngerasa pernah masang foto perempuan."

"Gak usah pura-pura gak tau deh Al. Aku masih inget kok kamu pernah masang fotonya, kalau gak salah kamu nulis nama dia juga waktu itu. Tapi aku lupa namanya."

"Aku beneran gak inget Kei."

"Jadi sekarang kamu gak punya pacar ?"

"Gak, aku lebih pengen lulus ketimbang punya pacar." Al tertawa di akhir kalimatnya.

"Semangat terus ya. Usahain tahun ini di wisuda."

"Iya. Kamu kerja dimana sekarang ?"

"Aku masih nganggur Al. Belum dapat izin merantau. Jadi dirumah aja dulu."

"Izin ke pekanbaru aja. Ntar aku yang bakal jagain kamu disini. Bilang sama mama papa gak usah khawatir."

"Pengen banget mah kalau di izinin."

"Kamunya yang harus pinter-pinter bilang sama mama papa. Terus buktiin kalau kamu udah gede, udah bisa jaga diri sendiri. Jangan kayak bocah terus."

Aku tersenyum mendengar omelan kecil dari Al. Akhirnya malam ini kami menghabiskan waktu 2 jam lebih dengan telponan.

***

Tiga minggu berlalu sejak Al menelponku malam itu. Dan hingga saat ini komunikasi kami lancar sekali.  Bahkan kami mulai menggunakan kata sayang hampir disetiap pesan. Seperti saat sekarang ini.

Jangan lupa makan siang sayang :)

Itu adalah pesan singkat dari Al. Dia memang mulai sering mengirimiku pesan singkat duluan walaupun hanya sekedar mengingatkan makan siang atau makan malam. Begitupun dengan aku.

Kamu juga jangan lupa makan siang :) masih dikampus ?

Masih. Lagi nunggu dosen buat bimbingan. Kamu udah pulang ?

Belum, aku pulang sorean kayaknya.

Ya udah, lanjutin dulu kegiatan kamu. Nanti pulangnya hati-hati ya.

Iya, kamu juga. Aku sayang kamu.

Aku sayang kamu juga.

***

Memasuki minggu ke empat, aku dan Al masih sering komunikasi. Namun entah kenapa aku mulai merasa Al sedikit menghindariku. Entah karena apa.

Padahal, selama empat minggu terakhir kami tidak pernah bertengkar. Aku juga bahkan tidak pernah menuntut apapun dari Al, termasuk tentang status hubungan yang kami jalani sekarang.

Karena, sama seperti dulu, bagiku bisa mengetahui kabar Al setiap harinya sudah membuatku bahagia.

Aku memutuskan untuk menelpon Al sekarang. Menanyakan apa yang terjadi dengannya. Benarkah dia mencoba menghindariku atau perasaanku saja.

Al mengangkat teleponku pada deringan kelima.

"Halo." Sapa Al dari seberang sana.

"Hai Al, lagi apa ?"

"Lagi tiduran aja. Kamu ?"

"Sama. Lagi tiduran juga."

Al diam. Aku kembali memanggilnya.

"Al..."

"Ya ?"

"Kamu kenapa ? Aku ngerasa kamu mulai menjauh dari aku."

Aku mendengar Al menghela napasnya. "Aku gak bisa Kei."

"Gak bisa apa ?" Tanyaku bingung.

"Aku gak bisa ngejalanin hubungan kayak gini terus."

"Maksud kamu apa ? Aku gak ngerti."

"Kei, sudah hampir sebulan kita deket lagi. Dan jujur itu mulai membuatku merasa sulit. Hubungan seperti apa sebenarnya yang kita jalani."

"Kita temenan Al."

"Teman tapi mesra ? Teman mana yang memanggil temannya dengan panggilan sayang ? Teman mana yang komunikasi tiap hari tanpa henti ?"

Aku menghela napas pelan. "Lalu apa masalahnya ? Aku tidak menuntut apa-apa dari kamu Al. Aku juga tidak memaksa kamu untuk menaikkan status kita satu tingkat lagi. Aku cukup bahagia dengan seperti ini Al."

"Tapi aku yang tidak bisa Kei. Ini...sulit sekali rasanya.

"Kamu tau Al, kamu egois sekali. Sekarang terserah kamu. Kamu mau menjauh lagi seperti dulu juga terserah kamu. Aku gak akan memaksa kamu untuk tetap seperti ini."

"Aku minta maaf, Kei."

"Baiklah. Terserah."

Aku memutuskan sambungan telepon begitu saja. Dan untuk kedua kalinya Al mematahkan hatiku, seperti dulu.

***

To be continue...


Dia "Alfajri" ku.

Oleh NindyKornelia 0 comments

"Kei, lo mau gue kenalin sama temen gue gak ? Cakep anaknya." Ucap indah, teman satu kamar yang sekarang sudah menjadi sahabatku.

Kami sama-sama kuliah di salah satu universitas swasta dikota ini serta mengambil jurusan yang sama, yaitu Sistem Informasi. Dan sekarang sudah tahun kedua kami menjalani hari-hari bersama.

"Siapa ? Jangan yang cakep-cakep banget deh. Ntar dia gak mau sama gue." Ucapku sambil tertawa.

Indah berdecak. "Selalu aja gak percaya diri. Lo cantik tau."

"Ya udah, kenalin aja."

"Lo yang invite pin dia ya ?"

"Lah kenapa gue ? Gak mau ah, males."

Indah berdecak lagi. "Biasa aja ih. Sini hp lo." Indah merebut ponsel milikku. Dia langsung mengirim permintaan pertemanan kepada temannya. Aku hanya bisa pasrah, terlalu malas untuk berdebat dengan Indah.

"Sudah." Indah mengembalikan ponselku sambil tersenyum lebar.

Aku langsung membuka aplikasi bbm. Ada satu recent update disana. Ternyata teman si Indah sudah menerima permintaan pertemanan dariku.

"Nama temen lo Alfajri ?" Tanyaku kepada Indah.

Indah mengangguk. "Udah diterima ?"

"Udah." Jawabku singkat. "Dia dimana ?" Tanyaku lagi.

"Pekanbaru."

"Jauh ya."

"Ga jauh-jauh banget ah."

Aku baru saja akan menutup kembali aplikasi bbm, namun ada satu pesan baru yang masuk. Aku melihat nama Alfajri disana.

Hei.

Aku langsung membalas pesan itu tanpa memberitahu Indah. Lagian dia juga terlihat sedang sibuk dengan ponselnya.

Hei :)

Salam kenal, temannya Indah ya ?

Salam kenal kembali. Iya. Teman sekamar dikosan. Kamu teman Indah juga ?

Iya. Teman SMA. Nama kamu Keira ?

Iya. Panggil Kei saja. Kamu Alfajri ?

Panggil Al saja.

Oke, Al.

Lagi apa ?

Tiduran aja, capek pulang dari kampus. Kamu ?

Aku masih dikampus. Kamu ambil jurusan apa ?

Lah, masih ada jadwal kuliah emangnya ? Aku sistem informasi. Kamu ?

Enggak. Cuma lagi nongkrong aja sama anak-anak. Aku ambil teknik sipil.

Wah. Anak teknik sipil:)

Haha. Kenapa memangnya ?

Gapapa, dulu aku pengen banget ambil teknik sipil. Tapi gak lulus. Haha

Aku aja pengen nyerah rasanya.

Jangan ! Sayang tau. Masuk kesana susah. Semangat terus pokoknya.

Haha. Iya-iya. Aku mau jalan pulang dulu.

Oke. Hati-hati dijalan.

Sip. Bye Keira.

Bye Alfajri.

Aku menutup aplikasi bbm lalu menoleh ke arah Indah. Sial. Aku ketahuan. Dia sedang tersenyum jahil ke arahku sambil menaikturunkan alisnya.

"Apa ?" Tanyaku sedikit galak.

"Ciye. Langsung chatting aja." Godanya, dia mencolek daguku dari samping.

"Jangan lebay ya. Gak mungkin ada orang yang nge chat gue abaikan gitu aja. Ntar dikira sombong lagi."

"Uuuuuu. Gak usah salting gitu dong."

"Apaan sih." Gue menoyor kepala Indah lalu beranjak dari kasur. Mengambil handuk yang tergantung dibelakang pintu lalu melangkah menuju kamar mandi.

***

Aku mengucek mataku yang mulai perih dan berair. Hampir 2 jam memandangi laptop tanpa henti membuat mataku lelah. Kalau bukan karena tugas yang harus dikumpulkan besok pagi, aku tidak akan mau mengerjakannya.

Aku meregangkan otot-ototku. Lalu membereskan berkas-berkas tugas yang tadi kukerjakan. Dilanjutkan dengan membersihkan kamar. Jangan sampai aku mendengar omelan Indah saat dia pulang nanti karena kamar yang kotor dan berantakan.

Selesai dengan membereskan kamar, aku lalu merebahkan badanku di atas kasur lalu mulai mengecek ponselku yang dari tadi ku abaikan.

Aku membuka aplikasi bbm dan menemukan beberapa pesan baru disana. Dan salah satunya dari Alfajri.

Malam Kei, lagi apa ?

Sorry baru bales Al, aku baru kelar ngerjain tugas. Sekarang lagi tiduran aja. Kamu lagi apa ?

Owh. Aku lagi duduk-duduk aja sama abang-abang deket rumah di pos ronda. Kamu udah makan ?

Kamu ikutan jaga di pos ronda ? Aku belum makan. Nungguin Indah pulang dulu, soalnya tadi nitip beli makanan sama dia. Kamu udah makan ?

Iya. Ketimbang dirumah sendirian. Mending disini kan. Rame. Aku udah makan. Memangnya Indah kemana ?

Enakan rame yak. Biasalah Al, lagi pacaran dia haha.

Kamu gak pacaran juga ?

Pacaran kok, sama dinding kosan -_-

Haha. Masa sama dinding kosan.

Iya. Huhuu.

Pacar kamu kemana ?

Gak punya pacar :(

Kasian. Jomblo :p

Memangnya kamu enggak ?

Jomblo juga sih. Haha

Uuu. Dasar !

Akhirnya aku menghabiskan malam ini dengan chatting bersama Alfajri.

***

Dua minggu berlalu sejak perkenalanku dengan Al. Kami masih sering berkomunikasi. Entah itu sekedar menanyakan "lagi apa" atau "udah makan belum ?".

Dia teman chatting yang menyenangkan dan juga...perhatian. kadang-kadang dia bisa menjadi menyebalkan, apalagi saat aku mengeluh sakit perut karena magg ku yang kambuh. Dia bahkan bisa mengomeliku seharian, atau yang lebih parah malah mengabaikanku. Dia akan memilih untuk tidak membalas pesan-pesanku.

Seperti saat sekarang. Dia tidak membalas pesanku sejak tadi siang aku mengeluh sakit perut lagi. Memang salahku juga, sudah tau belum makan nasi dari pagi, malah memilih makan mie rebus untuk makan siang.

Aku menghela napas berat. Rasanya sesak sekali. Aku sudah terbiasa chatting dengan Al, jadi saat dia marah begini, aku merasa sedikit kehilangan.

Aku memutuskan untuk mengirim pesan lagi kepada Al. Berharap dia membalasnya.

Hei. Masih marah ?:(

Tiga puluh menit berlalu, namun Al masih belum membalas pesanku. Tapi aku masih bisa sedikit tenang, karena disana masih belum ada tanda bahwa pesan itu sudah dibaca. Mungkin saja Al lagi sibuk dan belum melihat ponselnya. Iya. Mungkin saja.

Beberapa saat kemudian ponselku berbunyi. Ada pemberitahuan pesan baru di aplikasi bbmku. Aku langsung membukanya dengan cepat saat tau pesan itu dari Al.

Enggak.

Hanya satu kata, dan itu semakin membuat dadaku menjadi sesak. Entah karena apa.

Beneran ? Tapi kenapa jadi cuek banget :(

Aku baru pulang, tadi di ajak keluar sama teman. Kamu sudah makan ? Masih sakit ?

Aku udah makan. Masih sakit sih, tapi udah gak sesakit tadi sore. Aku udah minum obat kok. Kamu udah makan ?

Aku udah makan. Mending kamu sekarang istirahat.

Gak mau, masih pengen bbman sama kamu.

Kei, kamu itu lagi sakit. Istirahat.

Sakit perut doang kok. Aku janji ga tidur lewat dari tengah malam.

Gak. Istirahat sekarang. Atau besok gak usah hubungin aku lagi.

Oke fine. Aku tidur.

Good night Keira.

Good night.

Aku memanyunkan bibirku. Merasa sedih karena Al terlihat sangat dingin malam ini. Dan tanpa bisa aku tahan lagi, akhirnya aku menangis. Aku tidak mau Al yang seperti ini. Al yang cuek dan tampak tidak peduli padaku, menurutku.

***

"Kei, tugas dari Pak Pian udah kelar belum?" Tanya Indah kepadaku. Dia sedang menghidupkan laptopnya. Aku bisa menebak pasti dia belum mengerjakan tugas dari Pak Pian.

"Udah." Jawabku singkat sambil memainkan ponselku. Seperti biasa, aku lagi chatting dengan Al. Dia sudah kembali menjadi Al yang aku suka.

Tunggu.

Apa barusan aku bilang suka sama Al ?

Astaga.

"Tumben banget udah kelar. Sok rajin lo."

Aku tertawa. "Gue emang rajin."

Indah mendengus pelan. Lalu mulai mengerjakan tugasnya. Aku membiarkan Indah fokus tanpa mengganggunya.

Aku tersenyum sumringah saat melihat pesan dari Al yang mengatakan bahwa dia akan menelponku. Ya, dia sudah meminta no ponselku dan sebentar lagi akan menelponku. Itu berarti ini pertama kalinya aku mendengar suaranya.

Ponselku berdering, ada panggilan telepon masuk. Dan aku bisa menebak kalau itu dari Al. Aku langsung mengangkatnya.

"Halo." Sapaku pelan.

"Hai." Ucap Al dari sana. Aku kembali tersenyum setelah mendengar suara Al. Dan entah kenapa jantungku berdebar-debar. Harus aku akui, aku suka mendengar suaranya. Sangat.

"Lagi apa ?" Tanyanya.

"Tiduran, kamu ?"

"Sama. Lagi tiduran juga. Besok kamu ada jadwal kuliah ?"

"Iya. Masuk pagi. Kamu gimana ?"

"Aku masuk pagi juga, bangunin aku ya ?"

"Bangunin ? Gimana caranya ?"

"Telepon-telepon aja. Hp gak aku silent kok."

"Oke. Aku bangunin jam 7 ya."

"Iya."

Setelah itu aku dan Al membicarakan banyak hal. Seperti kegiatanku seharian ini. Kegiatan dia seharian ini. Bahkan sampai membahas masalalu percintaan kami.

***

"Capek banget gue." Keluhku lalu menghempaskan badan dikasur.

Aku baru saja pulang dari mall bersama Indah dan Diah, teman satu kosku juga. Kami berbelanja kebutuhan masing-masing sambil cuci mata.

Aku mengecek ponselku. Dan seperti biasa menemukan pesan baru dari Al.

Udah pulang ?

Itu isi pesannya dari dua puluh menit yang lalu. Aku memang mengabarinya saat akan berangkat tadi.

Aku baru nyampe kosan Al. Kamu lagi apa ?

Lagi nongkrong di pos ronda. Sudah makan kan ?

Belum. Aku masih kenyang. Kebanyakan jajan tadi. Kayaknya ga makan lagi deh. Kamu udah makan ?

Udah. Kamu harus paksain makan, walaupun dikit. Ntar magg kamu kumat lagi.

Masih kenyang banget Al :(

Makan sayang.

Aku sontak tersenyum sumringah sambil menghentak-hentakkan kakiku di kasur. Ini pertama kalinya dia memanggilku sayang. Dan aku bahagia sekali.

"Kenapa lo ?" Tanya Indah.

Aku menggeleng sambil masih tersenyum. "Kepo lo."

Indah mencibir. "Paling karena si Al."

Aku mengabaikan ucapan Indah, lalu mulai mengetikkan balasan pesan dari Al.

Baiklah tuan pemaksa. Nanti aku makan. Puas ?

Bagus.

***

Aku bolak-balik mengubah posisi tidurku. Namun masih saja tidak bisa tidur. Aku tidak biasa tidur sendiri, dan sekarang aku harus tidur sendiri karena Indah sedang pulang ke kampung halamannya.

Al, sudah tidur ? Aku tidak bisa tidur :(

Aku memutuskan mengirimkan pesan itu kepada Al. Padahal tadi aku sudah pamit tidur dari jam sepuluh tadi kepadanya.

Belum. Kenapa tidak bisa tidur ?

Gak tau. Aku telpon ya ?

Iya. Telponlah.

Aku langsung mencari no Al di kontak, setelah itu menekan tombol panggilnya. Al langsung menerima panggilanku pada dering kedua.

"Kenapa tidak bisa tidur ?" Tanyanya langsung.

"Aku takut. Aku tidak biasa tidur sendiri."

Aku mendengar Al menghela napas di seberang sana. Dia pasti sedikit kesal. Dia pernah bilang kalau dia tidak suka aku terlalu manja dan cengeng. Dia ingin aku mandiri dan jadi lebih tegar lagi. Apapun yang terjadi.

"Paksain Kei. Kamu itu udah gede. Apa yang kamu takutin ?"

"Takut aja Al, temenin aku bentar ya. Please." Ucapku sedikit merengek.

"Iya. Tapi gak lebih dari jam 12. Kamu harus tidur.

"Oke."

Setelah itu kami kembali membicarakan banyak hal dengan tenang sampai kepada kalimat yang tanpa sengaja keluar dari bibirku. Yang membuat suasana menjadi canggung.

"Al. Aku sayang kamu."

Al diam beberapa saat lalu kembali berbicara. "Aku juga."

"Juga apa ?"

"Juga sayang kamu."

"Beneran ?" Tanyaku tanpa bisa menutupi nada bahagiaku.

"Iya Kei."

"Jadi ?" Tanyaku lagi.

"Jadi apa ?" Tanyanya balik. Aku gak tau apakah dia memang tidak mengerti maksudku atau pura-pura tidak mengerti.

"Jadi gimana kelanjutannya, tentang kita."

Al menghela napas berat lagi. Aku was-was menunggu apa yang akan diucapkan Al selanjutnya.

"Kei, aku akui aku sayang sama kamu, aku nyaman sama kamu. Tapi, aku gak bisa mengabulkan apapun yang ada di fikiran kamu saat ini. Kita gak akan berhasil Kei."

"Kenapa ?" Tanyaku lirih. Dadaku sesak seketika. Rasanya ada ribuan beton yang menghimpit disana.

"Jarak. Aku berada di pekanbaru. Sedangkan kamu berada di padang. Kita sulit untuk bertemu Keira. Dan aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh."

"Kenapa kita tidak coba dulu ? Aku beneran sayang samu Al. Sangat."

"Aku tau, Kei. Tapi aku sungguh-sungguh tidak bisa. Aku gak bisa ngebayangin jika suatu saat nanti, saat kita memutuskan untuk menjalani hubungan pacaran, dan tiba-tiba aku atau kamu rindu ingin bertemu. Sementara kondisinya kita gak bisa ketemu. Aku gak bisa ngebayangin gimana rasanya. Ditambah lagi sifat manja dan cengeng kamu, aku gak mau kamu nangis saat gak bisa ketemu sama aku. Aku gak bisa Kei. Mengertilah."

Aku menangis mendengar semua ucapan Al yang berarti penolakan untukku. Tadinya aku fikir hubungan kami akan naik satu tingkat dari level pertemanan. Tapi ternyata aku salah. Aku tidak yakin hubungan kami akan membaik setelah ini. Bahkan untuk level teman sekalipun.

"Jangan menangis. Aku tidak suka kamu menangis." Ucap Al lagi saat tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirku. Hanya suara tangisan saja yang akan terdengar oleh Al.

"Keira. Berhentilah menangis. Atau aku akan matikan teleponnya.

Bukannya menenangkanku, Al malah semakin menambah kesedihanku. Aku tau dia tidak suka aku menangis. Tapi setidaknya, untuk saat ini, aku berharap dia mau sedikit saja menunjukkan rasa sayangnya dengan cara menenangkanku.

Tapi Alfajri tetaplah Alfajri, laki-laki yang akan selalu membuktikan perkataannya. Dia benar-benar memutuskan sambungan telepon. Membiarkanku menangis terisak-isak disini.

***

To be continue...









Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-


“Lin, gak mau makan siang dulu ?” Tanya Bella, salah satu dosen di universitas tempatku mengajar.

“bentar lagi bel, nanggung. Kamu duluan aja.” Ucapku sambil tersenyum.

Bella mengangguk. “Baiklah, aku istirahat duluan ya.”

“iya.”

Bella keluar dari ruangan dosen, meninggalkanku sendiri disini. Sedangkan dosen yang lain, ada yang masih mengajar.

Aku melanjutkan memeriksa tugas yang dikumpulkan oleh mahasiswaku. Tinggal beberapa tugas lagi, setelah itu baru aku makan siang dan langsung pulang. Lagian aku tidak ada jadwal mengajar lagi hari ini.

Suara ponsel berbunyi membuat perhatianku teralihkan. Mengabaikan sebentar tugas-tugas itu, aku langsung mengecek ponsel. Ternyata ada pesan singkat dari Ayu. Aku lantas membuka pesan tersebut.

Minggu depan aku ke Jakarta. Tolong siapin red carpet buat penyambutan. Okay ?

Aku tertawa pelan membaca pesan dari Ayu. Ngomong-ngomong aku sudah lama tidak bertemu dengan Ayu . terakhir bertemu saat liburan tahun baru kemaren. Itu berarti sudah enam bulan yang lalu. Sedangkan dengan Rissa, aku masih sering bertemu karena Rissa memang memutuskan untuk berkarir disini saja. Berbeda dengan Ayu yang ingin dekat dengan kedua orangtuanya.

Presiden saja tidak selalu disambut dengan Red carpet. Memangnya kau siapa ?

I’m your idol. Sudah sewajarnya fans fanatic memanjakan idolanya.

Huek ! kabarin aja kalau udah mau berangkat.

Tentu. Ambil cuti please, aku cuma bisa libur seminggu doang.

Ck. Selalu menyusahkan. Kabarin Rissa sekalian.

Sudah baby. Baiklah, idola mau makan siang dulu. Bye and see you next week.

See you.

Aku meletakkan kembali ponselku di atas meja, lalu melanjutkan memeriksa tugas-tugas yang tadi tertunda.

Tidak butuh waktu lama akhirnya aku selesai memeriksa semua tugas-tugas itu. Aku menyimpan file-file yang penting lalu merapikan meja. Setelah itu baru beranjak meninggalkan ruangan dosen.

Aku menyusuri lorong kampus dengan santai. Tersenyum ramah kepada setiap mahasiswa yang menyapaku sudah menjadi rutinitasku.

Lagi-lagi ponselku berbunyi. Aku mengeceknya dan memutuskan untuk mengangkatnya saat melihat nama si penelpon di layar. Justin calling, tertulis dilayar ponselku.

“Hai” Sapaku pelan.

“Lagi dimana ?” Tanya Justin langsung tanpa membalas sapaanku.

“Dikampus.”

“Masih ngajar ?”

“Enggak, udah mau pulang.”

“Baguslah.”

Aku mengernyitkan dahi. Ada apa dengannya. “are you okay ?” tanyaku.

Justin tertawa. “I’m okay. Berbaliklah dan lihat siapa yang ada dibelakangmu.”

Aku sontak berhenti berjalan. Lalu membalikkan badan. Aku langsung cemberut melihat siapa yang berdiri beberapa meter di belakangku. Ya, orang itu adalah Justin.

Ngomong-ngomong aku dan Justin memang masih sering berkomunikasi via telepon atau kadang-kadang via social media. Bahkan kami sempat beberapa kali bertemu. Saat dia ada urusan pekerjaan disini atau aku sedang jalan-jalan ke bali.

“kok gak ngabarin kalau mau kesini ?” tanyaku sambil cemberut.

Justin mengacak rambutku pelan. “Kejutan.” Ucapnya sambil tersenyum.

“hei, aku disini dosen ya. Jangan memperlakukanku seperti bocah begini. Ngerusak citra banget tauk !”

Justin tertawa pelan. “Kamu udah makan ?”

Aku menggeleng.

“mau makan bersama ?”

“Aku maunya ditempat yang mahal ya. Biar kamu bangkrut.”

“kayak yang banyak makan aja. Ayo, nyari makan.”

Aku dan Justin berjalan beriringan menuju area parkir kampus. Berhubung Justin tidak punya mobil disini, jadi kami berangkat menggunakan mobilku saja. Sepanjang jalan aku dan Justin mengobrol banyak. Aku seringkali memukuli lengannya saat sedang menyetir. Melampiaskan kekesalanku karena dia tidak mengabariku datang kesini. Kalau aku tau dari awal dia akan kesini aku pasti akan menyempatkan diri menjemputnya ke bandara.

Justin memakirkan mobil di area parkir restoran yang kami datangi. Aku turun duluan, disusul oleh Justin. Setelah itu kami masuk bersama-sama.

“Mau pesan apa ?” Tanya Justin.

Aku membaca buku menu restoran. “Spaghetti aja deh sama ice lemon tea.”

“Siang-siang gini makan spaghetti ?”

Aku mengangguk. “memangnya kenapa ?”

“Gak papa sih.”

Justin memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanan kami. Pelayan itu mencatat dan mengulang menyebutkan pesanan kami, setelah itu baru beranjak pergi.

“Jadi, kali ini berapa lama di Jakarta?” tanyaku kepada Justin.

“satu minggu. Kenapa ? pengen aku lama-lama disini ya ?” Godanya sambil tersenyum jahil.

Aku mencibir. “ngarep ! yang ada kamu nyusahin kalau lama-lama disini.”
Justin tertawa. “Jujur banget sih. Nanti malam dinner yuk.”

“Makan siang aja belum datang dan kamu udah mau ngajakin dinner buat nanti malem ?”

“Iyain aja kenapa.”

Aku tertawa. “Iya-iya. Kamu nginep dimana ? biar nanti malem aku jemput.”

“yang ngajakin dinner itu aku Lin, kenapa kamu yang jemput ?”

“biasanya juga aku yang jemput. Kayak kamu punya mobil aja disini.”

Justin tertawa lagi. “Kali ini aku yang jemput. Kamu cukup dandan yang cantik terus duduk manis dirumah sambil nunggu aku.”

“Baiklah.”

Beberapa saat kemudian makanan yang kami pesan datang. Kami langsung menyantapnya sambil sesekali menobrol santai.

*****

Pukul tujuh lewat empat puluh menit malam. Aku keluar dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi dan sedikit berdandan. Justin bilang dia sudah di dalam perjalanan menuju rumahku.

“Mau kemana kak ?” Tanya Fajar yang sedang menonton tv sambil melirikku sekilas.

“Mau dinner sama Justin. Entar bilang mama papa kalau kakak pulang agak telat ya.”

“Kak Justin lagi di Jakarta ?”

“Iya, ada pekerjaan disini.”

Fajar mengangguk-ngangguk. “jangan pulang malam-malam banget.”

“Iya, kamu kayak mama papa lama-lama.”

Fajar mengedikkan bahu. “Buat kebaikan kakak juga.”

Suara bel berbunyi, itu pasti Justin. Aku melangkah menuju pintu. Lalu membukanya. Benar saja, Justin berdiri disana sambil tersenyum manis. Dia juga membawa sebuket bunga ditangannya.

“Buat kamu.” Ucapnya seraya mengulurkan sebuket bunga mawar berwarna merah.

Aku menaikkan sebelah alisku. “tumben banget ngasih bunga.” Ucapku, tapi tetap mengambil bunga tersebut. “makasih ya.” Ucapku lagi.

“Sekali-sekali gak papa dong.”

“Mau berangkat sekarang ?” tanyaku.

Justin mengangguk. “Mama papa ada ? aku mau izin dulu.”

“Mama papa lagi keluar, Cuma ada Fajar. Langsung berangkat aja deh, aku tadi udah bilang dia juga kok.”

“Baiklah, ayo.”

Aku mengikuti Justin yang berjalan didepan menuju mobil. Dia membukakan pintu mobil untukku. How sweet. Setelah aku duduk manis di bangku samping bangku kemudi barulah Justin menutup pintu dan berlari kecil menuju pintu bangku kemudi.

“Nyolong mobil siapa kamu ?” tanyaku saat Justin mulai menyalakan mesin mobil.

“Enak aja nyolong. Mobil pinjeman ini.” Ucapnya sambil terkekeh di akhir kalimat.

“Minjem mobil siapa ?”

“Mobil sepupu.”

Aku mengangguk-ngangguk. Lalu membiarkan Justin focus menyetir. Walaupun aku dan Justin dekat, namun kami tidak sedekat yang terlihat. Aku memang nyaman bersama Justin, tapi entah kenapa seperti ada batas di antara kami. Aku tidak bisa tertawa lepas bersamanya. Atau memang aku yang tidak tau bagaimana cara tertawa lepas lagi selama Sembilan tahun terakhir. Entahlah.

Aku mengedarkan pandangan keluar jendela selama di perjalanan. Bagiku, pemandangan gedung-gedung tinggi serta lampu-lampu yang berkilauan ditengah kegelapan malam itu sangat indah. Dan aku menyukainya.

“Kita sudah sampai.”

“huh ?”

“Kamu baik-baik aja ? Sepanjang jalan aku perhatiin kamu ngelamun terus.”

Aku tersenyum tipis. “aku baik-baik aja. Ayo turun, aku laper.” Ucapku lalu tertawa kecil.

Aku mendengar Justin menghela napas, namun tetap mengikutiku turun. Kami melangkah bersama-sama. Lalu memesan makanan dan menikmatinya dengan suasana santai.

Satu jam kemudian semua pesanan yang kami pesan habis tidak bersisa. Aku bukan orang yang suka menyisakan makanan. Jika bisa kuhabiskan maka akan aku habiskan, tidak peduli sedang bersama siapapun.

“Pergi sekarang yuk. Ada film yang mau aku tonton di bioskop. Kamu mau nemenin ?”

“film apa ?”

“Film action gitu. Aku lupa judulnya. Please.” Ucap Justin sambil menampilkan wajah memelasnya.

Aku tertawa pelan. “gak usah masang wajah gitu. Geli tauk. Ayo, ntar ngambek lagi kalau gak ditemenin.” Aku menjulurkan lidahku.

“emangnya aku cewek yang lagi pms, gampang ngambek.”

“gak usah sok ngerti tentang cewek deh Tin, jomblo juga.”

“Bully aja terus. Ayuk ah, gak berangkat-berangkat ini.”

Justin beranjak menuju meja kasir. Aku menyusul dibelakangnya. Setelah membayar semua pesanan, kami berjalan beriringan menuju mobil. Dan lagi-lagi Justin membukakan pintu mobil untukku.

Perjalanan menuju mall hanya memakan waktu sepuluh menit saja, karena jaraknya dengan restoran tempat kami makan tadi memang dekat.
Aku melihat-lihat sekeliling sementara Justin membeli tiket buat nonton. Setauku ini bukan malam minggu, kenapa pengunjung ramai sekali. Dan kebanyakan dari mereka adalah pasangan muda-mudi usia belasan tahun.

“Ayo masuk.” Justin menunjukkan tiket yang dibelinya.

Aku mengangguk lalu masuk bersama-sama dengan Justin ke dalam ruangan bioskop.

Aku mengernyitkan dahi, bingung. Pasalnya ruangan bioskop yang kami masuki masih kosong. Tidak ada orang sama sekali kecuali kami berdua.

“Kemana orang-orang ? kenapa Cuma kita berdua ?” tanyaku kepada Justin yang duduk di sisi kanan ku.

Justin mengedikkan bahu. “gak tau. Gak suka nonton ini mungkin.”

Aku semakin bingung dengan alasan Justin. Namun memilih untuk tidak menanyakan lagi. Beberapa saat kemudian lampu bioskop mulai dimatikan bersamaan dengan hidupnya layar yang ada di dalam bioskop.

Aku speechless seketika.

Karena yang ada di layar bukanlah tayangan film yang akan kami tonton melainkan Justin yang tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Hai, kamu pasti kaget banget ngeliat ini. ELina, kamu masih inget ungkapan cinta aku Sembilan tahun yang lalu kan ? Dan sekarang aku pengen nagih jawabannya ke kamu. Aku sungguh-sungguh sayang sama kamu Lin. Would you be my girl friend ?”

Aku menoleh ke samping dan semakin speechless dengan apa yang kulihat. Justin memberikanku sebuket bunga mawar dengan ukuran besar. Lebih besar dari yang diberikannya saat menjemputku tadi.

“Aku bener-bener gak tau harus bilang apa.” Jawabku dengan jujur.

“Aku gak akan maksa kamu untuk jawab iya Lin. Cukup kasih tau jawabannya sekarang. Yes or No ?”

Aku berfikir sebentar. Aku nyaman bersama Justin. Dia baik, baik banget malahan. Tapi, aku gak punya perasaan apa-apa sama Justin. Sungguh, aku bingung sekali.

Bukankah perasaan bisa tumbuh seiring berjalannya waktu ?

Kenapa tidak coba dijalani dulu ?

Benar juga, kenapa aku tidak mencobanya dulu. Bukankah ini kesempatan bagus buat melupakan pria brengsek bernama Gavin itu ?

Yes.” Ucapku sambil mengangguk.

Justin sontak memelukku. “Thank you. Aku janji bakal bahagiain kamu. I Love you.”

Aku membalas pelukan Justin sambil tersenyum, tanpa membalas pernyataan cintanya.

Bersambung ~


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Gavin Devon Adelard-



Aku sedang memeriksa restoran yang ku miliki. Memastikan semua tempat sudah bersih dan nyaman untuk digunakan. GDA Resto, nama restoran yang kubangun tujuh tahun yang lalu.

Berawal dari meminjam uang sebagai modal awal kepada papa. Akhirnya sekarang aku mampu mendirikan GDA Resto di beberapa kota besar di Indonesia.

"Hei kak."

Aku menoleh ke arah suara berasal dan mendapati Fajar yang tampak rapi dengan setelan jasnya.

"Ah tersanjung sekali rasanya di datangi CEO super tampan." Godaku.

Fajar meninju pelan bahuku.

"Sial !" umpatnya.

Aku tertawa menanggapinya. Aku dan Fajar memang masih sering bertemu untuk sekedar olahraga atau nongkrong bersama. Mengagumkan sekali melihatnya menjadi CEO muda yang berpengaruh dikalangan pebisnis.

"Jadi apa yang membuat kau datang kemari ?"

"Setidaknya ajaklah tamu duduk sebelum bertanya kak."

Aku memutar kedua bola mata. "Di ruangan kakak aja."

Aku melangkah menuju ruanganku diikuti oleh Fajar dibelakang. Sebelum masuk aku meminta salah satu pegawaiku untuk menyiapkan minuman. Setelah itu baru masuk ke dalam.

"Jadi, ada apa ?" tanyaku langsung kepada Fajar. Kami duduk berhadap-hadapan di sofa yang ada diruanganku.

"Minggu depan adalah acara ulang tahun perusahaanku. Dan aku pengen restoran kakak yang menyiapkan makanannya."

Aku mengangguk-ngangguk. "Baiklah, kakak akan memberikan yang terbaik."

"Aku percaya sama kakak."

Kami lalu membahas persiapan apa saja yang dibutuhkan untuk minggu depan. Setelah itu melanjutkan dengan mengobrol santai. Biasanya topik yang kami bicarakan tidak akan jauh-jauh dari olahraga.

"hm. Kak, aku harap kali ini kakak mau datang ke acara ulang tahun perusahaanku."

Aku menghela napas. "kakak gak bisa Jar."

"Sampai kapan sih kakak menghindar dari kak Elin ? Ini udah Sembilan tahun kak. Aku gak tau apa masalah kakak sama kak Elin. Tapi satu hal yang aku tau. Kalian berdua sama-sama tersiksa selama Sembilan tahun terakhir."

"Gak usah sok tau."

Fajar mengedikkan bahu. "terserah. Aku Cuma pengen kalian berdua bahagia. Aku pergi dulu. Aku benar-benar berharap kakak datang."

Fajar berdiri lalu melangkah keluar. Meninggalkanku dengan fikiran yang dipenuhi dengan rasa bersalah. Semua kilatan kejadian Sembilan tahun yang lalu menyeruak masuk dalam ingatanku.

Bodoh !

Satu kata itu cocok menggambarkan bagaimana sikapku dulu.

Harusnya aku tidak pernah mengatakan semua kalimat sialan itu. Kalimat yang membuat wanita yang aku cintai terluka hingga mengeluarkan air mata. Kalimat yang ingin aku tarik kembali jika bisa. Dan kalimat itu juga yang membuatku membenci diriku sendiri hingga saat ini.

Aku terlalu cemburu saat itu. Masih teringat jelas olehku bagaimana pria bernama Justin itu memeluk Elina dengan erat. Ditambah lagi dengan Elina yang yang membalas pelukan Justin, sambil tersenyum manis.

Pemandangan itu sontak membuatku emosi. Aku tidak bisa berfikir jernih lagi. Yang ada didalam fikiranku adalah bagaimana cara melampiaskan amarahku. Aku sengaja tidak menjemput Elina malam itu. Karena aku tau, aku tidak akan bisa mengontrol emosiku bila bertemu dengannya. Namun sialnya, Elina malah datang menemuiku. Dan yap, aku menyakitinya.

Sangat menyakitinya.

"AAAARGH !!!"

PRANG !!!

Aku berteriak disusul dengan bunyi pecahan vas bunga yang ku lempar. Selalu seperti itu. Aku selalu melampiaskan penyesalanku dengan memecahkan benda-benda tidak bersalah disekitarku.

"Ada apa ? Kau baik-baik saja ?"

Aku menoleh dan mendapati Carel, orang kepercayaanku dalam mengelola GDA Resto sedang menatapku dengan raut wajah terkejut.

"Seperti yang kau lihat." Balasku singkat.

"Pulang dan beristirahatlah."

Aku mengangguk pelan. Carel benar. Aku butuh istirahat untuk menenangkan diri. Aku beranjak keluar dan menyempatkan menepuk pelan bahu Carel.

Sudah Sembilan tahun ternyata.

Dan aku masih saja belum melupakannya.

Bersambung ~

Terimakasih buat yang udah baca.

Terimakasih juga buat votenya :)


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

Sembilan tahun kemudian.



-Elina Desma Gloria-

"ma, pa, Elin berangkat ya." Aku mengecup pipi mama dan pipi papa, lalu mengacak rambut Fajar sekilas.

Sembilan tahun berlalu, banyak yang berubah dari hidupku. Aku sudah menjadi seorang dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Sifatku juga sudah banyak berubah. Aku bukan lagi Elina yang akan berbinar melihat pria tampan. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan semua itu.

Dan perubahan itu membuat kedua orangtuaku khawatir, terutama mama. Karena sekarang, saat usiaku menginjak angka 29 tahun, aku masih belum mempunyai kekasih yang bisa aku kenalkan kepada mama dan papa.

Aku mengendarai mobil menuju kampus dengan kecepatan sedang. Hari ini aku ada jadwal mengajar, pukul sepuluh lebih tepatnya. Dan itu berarti aku masih punya waktu setengah jam lagi karena sekarang masih pukul Sembilan lewat tiga puluh menit.

Dikampus, aku langsung melangkah menuju ruang dosen sambil sesekali tersenyum ramah kepada beberapa mahasiswa yang menyapaku disepanjang lorong.

"Selamat pagi Ibu Elina." Goda salah satu dosen yang berada diruangan saat aku memasuki ruang dosen. Namanya Mahardika Nadindra, aku biasa memanggilnya mas Dika karena dia tiga tahun lebih tua dariku.

"Selamat pagi, mas Dika."

"Ada kelas jam berapa ?"

"jam sepuluh mas. Mas jam berapa ?"'

"Sama. Habis ngajar, lunch bareng ?"

Aku mengangguk. "baiklah. Aku meriksa bahan dulu."

Mas Dika mengangguk. Aku lalu memeriksa kembali apa saja yang akan aku jelaskan hari ini.

*****

Selesai mengajar aku dan mas Dika langsung berangkat menuju restoran langganan kami. Aku dan mas Dika memang sudah akrab. Dialah orang pertama yang mau berteman denganku disaat orang lain ada yang memandangku dengan sinis. Ya, dunia kerja memang begitu. Sebaik apapun kita, seramah apapun kita tetap saja akan ada orang yang tidak menyukai kita. Jadi, jalani dan nikmati saja.

"mau pesan apa ?" Tanya mas Dika.

"Ikan bakar aja mas. Minumnya jus jeruk."

Mas Dika mengangguk. Lalu menyebutkan pesanan kami kepada pelayan restoran.

"Oh iya, temen mas ada yang nanyain kamu. Kayaknya dia suka beneran sama kamu." Ucap mas Dika setelah pelayan restoran pergi.

"Belum kefikiran buat deket sama cowok mas." Jawabku seperti biasa. Ini bukan pertama kalinya ada temen mas Dika yang menanyakanku padanya.

"Lin, umur kamu udah 29. Udah waktunya untuk berumah tangga. Udah waktunya juga untuk ngelupain..."

"mas."

Aku memotong pembicaraan mas Dika. Aku tidak mau mas Dika menyebutkan nama seseorang yang selama Sembilan tahun ini coba aku lupakan. Aku memang sudah menceritakan semua yang terjadi Sembilan tahun yang lalu kepada mas Dika karena dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Begitupun dengan mas Dika. Dia juga sudah menganggapku seperti adiknya sendiri.

"mas gak usah khawatir gitu. Nanti juga aku bakalan nikah kok. Mas diem dan duduk manis aja nunggu undangan dari aku." Aku tertawa diakhir kalimat.

"Selalu aja menghindar kalau ngebahas dia." Ucap mas Dika.

Aku memberikan cengiran lebar seperti biasanya. Kalau ditanggapi, sudah bisa dipastikan kami akan membahas orang itu. Dan aku akan berakhir menyedihkan karena menangisi apa yang dia lakukan kepadaku dulu.

Mas Dika tidak lagi menyinggung soal orang itu. Kami beralih topik dengan menceritakan kegiatan mengajar tadi. Mas Dika seringkali dibuat pusing dengan tingkah mahasiswinya yang Nampak terang-terangan menyukainya. Wajar saja sih, karena mas Dika memiliki ketampanan diatas rata-rata.

*****

"Lin, bisa papa bicara sebentar ?"

Aku menoleh kearah papa. Menyimpan file yang sedang kuketik lalu menghampiri papa yang duduk di sofa kamarku.

"Kenapa pa ?" tanyaku.

Papa mengelus kepalaku dengan sayang. "Papa gak nyangka kamu segede ini sekarang. Udah jadi dosen lagi."

Aku tersenyum tipis. "Papa mau ngomong apa sebenarnya ?" tanyaku to the point.

Aku tau papa pasti mau menyampaikan sesuatu. Bukan hanya sekedar basa-basi seperti ini.

Papa tertawa kecil. "kamu memang selalu to the point."

"Lin." Ucap papa lagi. "kamu tau kan kalau papa sudah tua. Papa ingin sebelum papa meninggal, papa bisa melihat kamu menikah."

"papa jangan bicara seolah-olah papa bakal ninggalin Elin selamanya gitu dong. Papa jangan khawatir, Elin pasti menikah kok."

"Usia seseorang gak ada yang tau Lin. Kapan kamu akan menikah ? Papa juga gak pernah ngeliat temen cowok kamu yang datang ke rumah. Gavin juga. Kenapa gak pernah kesini lagi."

"Pa..."

"Udah Sembilan tahun Lin. Jangan menghindari masalah. Temui dan selesaikan semuanya."

"Papa ngomong apa sih ? Elin gak ada masalah apa-apa. Jadi gak ada yang harus diselesein."

"Papa ini orangtua kamu nak. Jadi papa pasti tau kalau ada apa-apa sama kamu. Walaupun kamu gak pernah cerita." Ucap papa sambil mengelus kepalaku.

Aku memeluk papa dari samping. Menyandarkan kepalaku di bahu papa. "Elin sayang papa."

Dalam hati, aku mengucapkan maaf kepada papa. Aku benar-benar tidak bisa menceritakan kejadian Sembilan tahun yang lalu itu.

"Ya sudah. Kamu lanjutin aja pekerjaan kamu. Jangan tidur malam-malam."

"Pa, Elin bukan bocah usia 5 tahun lagi, masa gak boleh tidur malam-malam." Ucapku memberengut seperti anak kecil.

Papa terkekeh. "Bagi papa kamu tetap saja putri kecil papa."

Papa kembali mengacak rambutku pelan sebelum keluar dari kamar.

Aku menghela napas berat lalu bersandar pada sofa.

Sudah Sembilan tahun ternyata.

Dan aku masih saja belum melupakannya.

*****

Bersambung ~

Terimakasih buat yang udah baca dan ngevote cerita ini :)

Berhubung sekarang aku udah bukan pengangguran lagi, jadi aku gak bisa cepet-cepet update. Tapi tenang aja, aku pasti lanjutin sampai tamat kok. Aku juga usahain buat update secepat yang aku bisa. Semoga masih ada yang mau nunggu dan baca cerita ini ya.

with love, nk.


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-



"Lin, kita rencananya mau ke mall. Kamu mau ikut gak ?" Ajak Ayu.

Aku, Ayu dan Rissa sedang berjalan menuju gerbang kampus.

"Gak deh kayaknya. Mama sendiri dirumah."

Ayu dan Rissa mengangguk. Mereka memang sudah mengerti tentang perubahanku yang lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Dan mereka tidak mempersalahkan itu. Quality time kami juga tidak pernah berkurang karena Rissa dan Ayu sering ke rumahku untuk sekedar bergosip atau membuat tugas bersama.

Lagian, nanti malam aku juga sudah ada janji makan malam diluar bersama Gavin. Ngomong-ngomong hubunganku dengan Gavin masih begitu-begitu saja. Aku juga tidak tahu bagaimana perasaan Gavin kepadaku. Dia terlalu susah di tebak. Sedangkan perasaanku kepadanya, jangan ditanya lagi. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.

"Elina, bisa ngobrol berdua aja ?"

Kami bertiga sontak berhenti dan menoleh ke belakang, ke asal suara. Ada Justin yang menatapku dengan tatapan memohon.

Aku mengangguk. Berpamitan kepada Ayu dan Rissa lalu mengikuti Justin yang ternyata memilih duduk di bangku taman kampus.

"Kenapa Tin ?" tanyaku saat sudah duduk berdampingan bersama Justin.

"Lin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi berjanjilah satu hal. Apapun yang akan aku sampein nanti, jangan sampai merusak pertemanan kita. Janji ?" Justin mengulurkan jari kelingkingnya.

"Janji." Aku menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingking Justin sambil tersenyum.

Justin menggenggam kedua tanganku lalu menatapku sambil tersenyum. Aku seketika bisa menebak apa yang akan disampaikan oleh Justin. Astaga. Apa yang harus kulakukan ?

Aku tahu Justin mendekatiku beberapa minggu ini dengan maksud tertentu. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini Justin mengungkapkannya. Lagian aku juga tidak merespon semua perhatian Justin.

"Elina,...aku mau bilang sama kamu kalau aku sayang sama kamu. Aku udah lama memperhatikan kamu, dan aku rasa sekarang saat yang tepat buat bilang sama kamu. Karena,...besok aku pindah ke bali."

Aku kaget dengan perkataan Justin barusan, bukan karena ungkapan sayangnya tapi karena dia akan pindah ke bali besok."

"Justin..."

"sst. Kamu gak perlu jawab apa-apa karena aku memang gak butuh jawabannya sekarang. Nanti, setelah aku mapan aku akan datang kembali untuk menagih jawaban sama kamu.

"Tapi..."

"Elina, please. Aku gak akan memaksa kamu. Bahkan kalaupun nanti kamu mencintai pria lain, aku tidak masalah. Kamu berhak menentukan pilihan kamu sendiri."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Kapan kamu berangkat ?"

"Besok, pesawat jam 10.00."

"Maaf, aku gak bisa nganter kamu ke bandara. Jaga diri baik-baik di sana."

Justin mengangguk. "Kamu juga. Baik-baik disini ya. Aku sayang sama kamu, Elina."

"makasih udah sayang sama aku, Justin."

"Boleh aku peluk kamu ?"

Aku berfikir sebentar lalu menganggukkan kepala. Justin akan berangkat besok. Aku rasa, tidak masalah memberikan pelukan perpisahan untuknya.



***



Pukul tujuh lewat dua puluh menit, aku berulangkali mengecek ponselku. Berharap ada panggilan atau pesan singkat dari Gavin, namun berkali-berkali mengecek ponsel tidak ada satupun pesan dari Gavin. Aku bahkan sudah mencoba untuk menghubunginya namun dia tidak mengangkatnya.

Apa dia lupa kalau kami ada janji makan malam diluar ?

Aku menunggu Gavin hingga pukul Sembilan malam. Merasa khawatir karena dia tidak kunjung datang, aku akhirnya memutuskan untuk menemui Gavin ke rumahnya. Aku ingin memastikan dia dalam keadaan baik-baik saja.

Setengah jam berkendara akhirnya aku sampai di rumah Gavin. Aku turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu utama rumah Gavin. Dua kali memencet bel, pintu terbuka dan aku disambut oleh tante Merlin.

"Lho, Elin ?" tante Merlin tampak kaget dengan kedatanganku.

"Selamat malam tante, maaf ganggu malam-malam. Gavinnya ada tante ?" tanyaku sopan.

"ada. Ayo masuk. Dia dikamar aja dari tadi. Makan malam aja minta di antar ke kamar."

Aku mengikuti tante Merlin masuk ke dalam.

"Gavin gak sakit kan tante ?"

"gak kok. Lagi bad mood mungkin. Dia kalo gak mood emang gitu."

Tante Merlin membawaku menuju kamar Gavin.

"Vin, ada Elin nih." Ucap tante Merlin sambil mengetuk pintu kamar Gavin.

"Masuk aja. Gavin lagi main ma."

"Gih sana masuk, asyik main ps paling."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu membuka pintu kamar Gavin dan masuk ke dalam.

Gavin sedang sibuk bermain ps sambil bersandar di sofa yang ada di kamarnya. Dia diam saja. Tidak menyapaku sama sekali. Jangankan menyapa, menoleh padaku saja tidak.

"Vin." Panggilku pelan.

Gavin berdeham.

"Kamu baik-baik aja ?"

"baik." Jawabnya datar.

"kamu lupa ya ada janji sama aku ?"

"gak kok."

"terus ?"

"aku males."

Emosiku langsung memuncak seketika mendengar jawaban terakhir Gavin. Aku tidak masalah dengan sikap dingin atau jawaban-jawaban datarnya. Tapi aku sunggguh tidak bisa terima dengan jawaban "aku males" nya. Paling tidak dia harus mengabariku kalau memang tidak ingin keluar. Bukannya malah membiarkanku menunggu seperti orang bodoh di rumah.

Aku menarik stick ps dari tangan Gavin lalu membantingnya di sisi Gavin.

"KAMU KENAPA SIH ? MARAH SAMA AKU ? KALAU IYA BILANG !!! JANGAN DIEM AJA KAYAK GINI." Ucapku berapi-api.

Gavin menaikkan sebelah alisnya lalu berdiri dari duduknya. "Marah ? aku gak punya alesan apapun buat marah sama kamu."

"JADI KENAPA ? Kamu udah janji ngajakin aku makan malam di luar malam ini. Dan aku dengan begonya nungguin kamu dirumah berjam-jam. Dan sekarang, aku mendapati kamu dirumah sedang asyik main ps sementara dari tadi aku ngekhawatirin kamu. Kamu jahat banget sih." Aku memukul-mukul dada Gavin. Dia diam saja, tidak berusaha menenangkanku. Dan itu membuat dadaku sesak.aku menangis di depan Gavin.

"Aku sayang kamu, Vin." Ucapku lirih.

Aku tidak lagi memukulnya. Rasanya tenagaku hilang seiring dengan perlakuan dingin Gavin. Aku tidak tahu apa yang membuat Gavin berubah. Dia bahkan lebih dingin dari pada awal kami bertemu.

Gavin masih saja diam dan berwajah datar. Bahkan saat aku mengungkapkan perasaanku. Dia sungguh menyakitiku tepat di relung hati yang paling dalam.

"Pulanglah."

"Aku baru saja mengungkapkan kalau aku sayang sama kamu, dan kamu menjawabnya dengan mengusirku ?" tanyaku tidak percaya.

"Jadi, jawaban apa yang kamu mau ? Kamu berharap aku bilang sayang juga sama kamu ? Jangan mimpi. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah sayang sama kamu. Gadis seperti kamu tidak pantas untukku. Pergilah, cari pria yang mau menerima gadis agresif sepertimu."

"GAVIN !!!"

"APA ?? Itu faktanya kan ? Gadis sepertimu memang lebih suka mendekati pria dengan cara apapun. Ck. Murahan sekali !"

Air mataku mengalir deras tanpa bisa ku tahan. Aku sakit. Hatiku sakit. Rasanya aku baru saja di jatuhkan dari jurang dan disambut oleh bebatuan karang lalu dihempaskan dan terbawa ombak kemana saja.

"Maaf, karena aku dengan bodohnya mencintaimu. Selamat tinggal, Gavin."

Aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar Gavin. Berpamitan dengan tante Merlin lalu berlari keluar rumah. Aku tidak mau tante Merlin menanyakan apa yang barusan terjadi. Aku tidak akan sanggup untuk menceritakannya. Aku meninggalkan rumah Gavin dengan hati yang hancur.

"Selamat tinggal, Gavin."

Bersambung ~


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-

"Kita mau kemana sih sebenernya. Kamu gak punya niat buruk kan sama aku ?"

Aku melirik Gavin yang sedang sibuk menyetir. Sudah hampir tiga jam di mobil, Gavin belum juga menjelaskan kemana tujuan kami sebenarnya.

Tadi pagi-pagi sekali Gavin datang ke rumahku. Aku fikir dia mengantarkan tante Merlin seperti biasanya, ternyata tidak. Dia sengaja datang menemuiku dan menculikku. Ya, walaupun papa dan mama memang memberikan ijin kepada Gavin.

"Vin, aku beneran takut lho sekarang." Ucapku sambil bergidik ngeri. Pasalnya jalan yang kami lalui sekarang mulai terlihat sepi. Rumah penduduk pun sudah jarang kami temui.

Gavin berdecak. "bawel banget sih !"

"Gimana gak bawel kalau kamu gak ngejelasin kemana tujuan kita."

"Gak usah takut. Aku gak mungkin macam-macam sama kamu." Gavin melirik dadaku sekilas. "Datar gitu pun." Ucapnya lagi.

Aku memelototkan mataku lalu memukul lengannya. "mesum banget sih ! Punya aku gak datar ya, ideal ini gedenya."

Gavin mencibir. "Ngarep. Datar ya datar aja. Aku gak ngeliat ada yang nonjol tuh."

Aku mengarahkan kedua tanganku berbentuk cakaran kearah Gavin, namun kutarik kembali. Membuang-buang energi saja. Aku menghela napas berat lalu menyandarkan badan ke jok mobil. Lebih baik aku tidur sekarang.

Entah berapa lama aku tertidur, yang jelas rasanya badanku kembali lebih segar. Aku membuka mata, mengarahkan pandangan ke sekeliling.

"Dimana ini ?" Gumamku.

Aku melepas seatbelt lalu turun dari mobil. Pemandangan disini indah sekali, semuanya hijau, dipenuhi oleh pepohonan. Hawa dingin mulai menusuk ke kulitku. Wajar saja, aku di daerah perbukitan sekarang.

Aku melihat Gavin di salah satu kedai kopi yang ada disini. Aku menyusulnya lalu memilih duduk disampingnya.

"Kok gak bangunin aku ? udah nyampe dari tadi ya ? btw, ngapain kita disini ?"

Gavin menyentil dahiku pelan yang membuatku mengaduh seketika lalu memberengut kesal.

"Nanya itu satu-satu. Kamu tidurnya nyenyak banget kayak kebo. Males ngebangunin."

"Mana ada kebo yang cantik kayak aku ?"

"Ada. Nih". Gavin menunjukku, tepat di hidung.

Aku menepis tangannya dengan kesal.

"Kamu mau makan apa ? Cepetan pesen. Bentar lagi kita berangkat."

"Berangkat ? Emang kita mau kemana lagi ?" tanyaku.

"Ada air terjun bagus di daerah sini. Aku pengen kesana. Cepetan pesen. Perjalanan ke air terjunnya ditempuh setengah jam lagi dengan jalan kaki."

Aku mengerjapkan mata. "Jalan kaki ?" tanyaku memastikan.

Gavin mengangguk. "Jadi mau makan apa enggak ? Kalau enggak kita berangkat sekarang."

Aku mendengus kesal. Dasar tidak sabaran. Sudah memaksa untuk pergi, tidak memberi tahu kalau mau ke air terjun, dan sekarang malah mendesakku untuk makan dengan cepat. Benar-benar luar biasa.

Aku memesan makanan kepada penjualnya lalu mulai memakannya dengan lahap saat pesananku sudah datang. Udara dingin benar-benar membuat perutku sangat lapar. Aku tidak peduli dengan keberadaan Gavin yang melihatku makan seperti ini.

"Udah berapa tahun gak makan ?" komentarnya.

Aku menatap Gavin sambil cemberut, lalu melanjutkan makanku.

Selesai makan, Gavin membiarkanku istirahat sebentar. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun. Seperti yang Gavin bilang, perjalanan menuju air terjun memang ditempuh selama tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Aku capek sekali, aku tidak terbiasa jalan jauh menyusuri hutan seperti ini. Untunglah Gavin sepertinya mengerti, jadi setiap kali aku merasa lelah dia akan mengajakku berhenti sebentar untuk beristirahat.

"waaah. Cantiknyaaa." Teriakku saat kami sudah sampai di air terjun.

"Makanya jangan nongkrong di kafe ato mall terus. Sekali-sekali coba menikmati keindahan alam kayak gini." Ucap Gavin menyindirku.

Aku mencibir. Malas meladeninya.

Aku duduk dibebatuan besar, tidak begitu jauh dari air terjun. Sebenarnya aku ingin menceburkan diri, tapi aku tidak membawa baju ganti, ditambah lagi aku menggunakan kaos berwarna putih sekarang.

"Gak mau ikutan nyebur ?" Gavin yang sudah nyebur duluan menghampiriku. "Airnya seger banget lho." Ucapnya menggodaku.

Aku menggeleng. "Aku gak bawa baju ganti. Kamu gak bilang mau kesini." Aku mengerucutkan bibirku.

"aku juga gak bawa baju ganti. Ntar juga kering sendiri pas jalan pulang."

"Baju aku warna putih Vin."

Gavin melihat kearah bajuku lalu mengangguk-ngangguk. "Nanti pake jaket aku aja. Sayang banget udah nyampe sini gak ikutan nyebur."

Mataku berbinar seketika. Tanpa fikir panjang aku langsung menceburkan diri. Airnya benar-benar dingin, enak buat mandi-mandi.

Aku dan Gavin mandi berjam-jam. Kami bercanda dan tertawa-tawa selama mandi. Ada saja yang akan kami tertawakan. Aku bahkan tidak sadar jari-jariku mulai keriput karena terlalu lama mandi.

"Udahan yuk, aku takut nanti nganterin kamunya kemaleman." Uvap Gavin.

"Yaaaah." Aku menampilkan wajah memelasku.

"kapan-kapan aku ajakin jalan-jalan lagi.

"beneran ?"

Dia mengangguk.

Aku baru saja akan keluar dari air, namun Gavin lebih dulu menahanku.

"Kenapa ?" tanyaku bingung.

"Aku ambilin jaket dulu. Banyak orang disini. Daleman kamu keliatan."

Aku mengangguk. Membiarkan Gavin keluar dari air lebih dulu. Gak lama Gavin datang dengan membawa jaketnya. Aku memakainya didalam air lalu keluar dari air.

Perjalanan menuju pulang terasa lebih cepat daripada perjalanan menuju air terjun. Pukul 20.45 Gavin memakirkan mobilnya di halaman rumahku.

Aku turun dari mobil. Gavin juga ikutan turun. Dia kembali menemui mama dan papaku. Meminta maaf karena baru pulang jam segini. Gentleman sekali.

Aku kembali mengantarkan Gavin menuju mobilnya setelah dia berpamitan kepada mama dan papa.

"makasih udah ngajakin aku jalan-jalan." Ucapku kepada Gavin.

Gavin tersenyum sambil mengangguk. Dia masuk ke mobilnya, menghidupkan mesin mobil lalu melambaikan tangannya sedikit ke arahku.

"Aku pulang dulu."

Aku mengangguk. "hati-hati dijalan."

Gavin mulai melajukan mobilnya. Setelah mobil Gavin menghilang dari pandanganku , aku baru masuk ke dalam rumah.

Bersambung ~


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-

Sebulan setelah kepulangan mama dari rumah sakit, aku mulai merubah kebiasaan keluyuranku. Aku menghabiskan banyak waktu dirumah bersama mama.

Kami melakukan banyak hal bersama-sama seperti memasak bersama, olahraga bersama, berbelanja bersama dan banyak hal lainnya.

Aku bersyukur sekali mama tidak lama dirawat di rumah sakit. Dokter menyarankan mama untuk memulai hidup sehat dan mengatur pola makan dengan benar.

"Lin, lama banget sih dandannya." Ucap mama sambil berdecak.

"Bentar ma, Elin kan harus terlihat cantik. Kali aja ntar ketemu cowok ganteng." Ucapku dengan asal.

Kebiasaan berdebatku dengan mama memang tidak pernah berubah. Namun dengan cara itulah kami menunjukkan kasih sayang satu sama lain.

Mama mencibir. "Bilang aja mau terlihat cantik di depan Gavin." Sindir mama.

Aku dan mama memang mau kerumah Gavin. Sebenarnya aku malas ikut kesana. Tapi mau gimana lagi, mama ngotot minta ditemani.

"Mama ih. Ga jadi nemenin ni."

Mama tertawa."udah ah, ayo berangkat."

Mama keluar lebih dulu dari kamarku. Aku bercermin sekali lagi. Memastikan tidak ada yang aneh dengan penampilanku. Setelah itu baru menyusul mama yang sudah menungguku dibawah.

Perjalanan menuju rumah Gavin hanya membutuhkan waktu dua puluh menit saja. Aku memarkirkan mobil dihalaman rumah Gavin. Aku tidak menyangka rumahnya sebesar ini.

"Mama mau ngapain sih ma kesini ?" Tanyaku sambil mengikuti mama yang berjalan didepanku.

"Bawel kamu. Mama udah lama gak ngegosip sama tante Merlin."

Aku benar-benar terpaku sekarang. Jadi aku hanya akan menemani ibu-ibu bergosip ? Ya Tuhan, tenggelamkan saja aku di rawa-rawa sekarang.

Mama menekan bel, tidak lama terdengar suara langkah kaki dari dalam disusul dengan terbukanya pintu. Tante Merling langsung tersenyum sumringah saat melihat mama. Meteka berdua langsung berpelukan dan bercipika-cipiki.

Aku menyalami tante Merlin dengan hormat. Setelah itu mengikuti tante Merlin dan juga mama yang masuk kedalam.

Mama dan tante Merlin asyik mengobrol sambil makan cemilan. Aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan.

"Tante, Elim boleh duduk disana gak ?" Aku menunjuk kearah kolam renang. Disana terdapat kursi untuk bersantai dan juga tumbuh-tumbuhan yang lebih menyegarkan mata.

"Tentu boleh sayang. Pergilah, kamu pasti bosan sekali disini."

Aku tertawa kecil lalu mulai melangkah keluar. Kolam renang disini lumayan besar. Airnya yang jernih membuatku ingin berenang saja. Untunglah aku masih cukup waras untuk tidak menceburkan diri disini.

Aku menyandarkan badan dikursi santai yang ada disini. Mengambil ponsel dari kantong celanaku lalu mulai membuka aplikasi instagram. Aku memposting live story instagram. Manampilkan wajah bad mood serta sedikit pemandangan disini.

"Alay."

Suara datar seseorang yang sangat aku ingat sontak membuatku mengerucutkan bibir. Siapa lagi kalau bukan Gavin. Secara aku sedang berada dirumahnya sekarang.

"Udah gede masih aja alay. Malu sama umur." Ucapnya lagi sambil duduk disampingku.

"Alay juga gak ganggu kamu kan ? Gak usah resek deh."

"Jelas mengganggu karena kamu secara gak langsung udah ngejelasin ke orang-orang kalau kamu lagi ada di rumah aku sekarang."

"Kepedean banget sih. Gak akan ada yang tau juga kalau ini rumah kamu."

"Oh ya ? Coba cek lagi yang kamu posting barusan. Kalau mata kamu masih normal harusnya sih ngeliat kalau aku kerekam disana."

Aku kembali membuka akun instagram, melihat kembali live storyku. Benar saja, ada Gavin terekam saat aku mengambil pemandangan disini.

"See ?" Tanyanya meremehkanku.

"Ya udah sih sorry."

"Tante Ella mana ?" Tanya Gavin, mengabaikan permintaan maafku barusan.

"Ada di dalem."

"Aku mau keluar, ikut gak ?"

"Kemana ?"

"Kemana aja. Bosen disini."

"Boleh deh. Aku juga bosen."

Aku mengikuti Gavin masuk ke dalam, berpamitan kepada tante Merlin dan juga mama. Setelah itu keluar menuju garasi, dimana mobil Gavin terparkir.

Gavin mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan ada saja yang kami debatkan. Dia sama sekali tidak mau mengalah. Egois sekali.

Tiga puluh menit mutar-mutar tanpa arah dan tujuan mulai membuatku bosan.

"Vin, berhenti di taman itu yuk ? Beli ice cream." Aku menunjuk sebuah taman. Gavin tidak menjawab namun langsung memarkirkan mobilnya. Aku keluar mobil duluan, melangkah menuju penjual ice cream.

"Pak, ice cream rasa coklatnya satu dong." Ucapku kepada penjual ice cream.

Aku menoleh kebelakang, mendapati Gavin yang ternyata ikut turun menyusulku.

"Kamu mau ?" Tawarku.

"Boleh deh. Rasa strawberry ya."

Aku mengangguk, lalu menyebutkan pesanan Gavin kepada si penjual. Beberapa saat kemudian si penjual memberikan kedua ice cream untukku. Aku memberikan yang rasa strawberry kepada Gavin. Saat akan membayar, Gavin lebih dulu membayarnya kepada si penjual.

"Makasih." Ucapkku.

Gavin mengedikkan bahunya. Lalu berjalan menuju kursi panjang yang ada di taman. Aku mengikutinya dari belakang.

Aku duduk disamping Gavin sambil menikmati ice cream, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Banyak orang yang bersantai disini, ada yang bersama keluarga dan ada juga yang bersama pasangannya.

"Disini rame ya." Ucapku.

"Namanya juga taman, jelaslah rame. Kalo mau yang sepi ke kuburan sana."

Aku mendelik sebal. "Kamu kalo ngomong emang gitu ya ? Suka nyebelin."

"Kamu aja yang baperan."

Aku berdecak. Tidak membalas lagi. Lebih baik aku menikmati suasana disini dengan damai, ketimbang berdebat dengan makhluk dingin ini.

"Ice cream kamu enak ?"

Aku menoleh, menatap Gavin. Merasa tidak yakin apakah memang dia yang berbicara barusan.

"Kamu ngomong sama aku ?"

"Gak, sama pohon di samping kamu."

Aku tertawa pelan. "Gitu aja ngambek." Ucapku.

"Rasa coklat enak tau. Mau nyoba ?" Aku menyodorkan ice cream rasa coklat milikku.

"Kamu gak rabies kan ?"

Aku kembali berdecak sebal. Aku baru saja akan menarik kembali tanganku, namun Gavin lebih dulu menahannya.

"Becanda." Ucapnya lalu menyicip ice cream milikku.

"Biasa aja rasanya. Enakan juga rasa strawberry." Komentar Gavin.

"Enak aja. Coklat lebih enak daripada strawberry."

"Cicip sendiri." Dia menyodorkan ice cream miliknya. Aku dengan polosnya menyicip ice cream itu.

"Gak enak." Ucapku datar.

"Selera kamu ndeso."

Aku memukul pelan tangannya. "Sembarangan." Ketusku.

Setelah itu kami lanjutkan dengan mengobrol santai. Ternyata Gavin tidak sedingin yang kukira, buktinya sekarang kami menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol banyak hal sambil sesekali bercanda.

Bersambung~


Love me, please

Oleh NindyKornelia 0 comments

-Elina Desma Gloria-

Ayu menyenggol lenganku dengan sikunya, membuat perhatianku terhadap dosen yang sedang mengajar teralihkan.

"Kenapa ?" Ucapku setengah berbisik.

"Itu Fajar kan ?" Ayu menunjuk arah jendela. Aku melihat ke arah dana. Benar saja, Fajar berdiri disana menggunakan seragam sekolahnya.

"Aku keluar bentar." Ucapku kepada Ayu dan Rissa.

Aku ijin sebentar kepada dosen lalu keluar dari kelas menemui Fajar yang terlihat sangat...tegang.

"Kenapa Jar ? Bukannya masih jam sekolah ?" Tanyaku langsung.

"Kita harus ke rumah sakit sekarang kak."

"Rumah sakit ? Ngapain ?" Tanyaku dengan bingung.

"Mama masuk rumah sakit."

Ucapan Fajar sukses membuat jantungku terasa berhenti berdetak.

"Jangan becanda !" Ucapku sedikit berteriak.

"Aku gak becanda kak. Mama kena serangan jantung. Papa udah di rumah sakit sekarang." Ucap Fajar dengan suara serak. Dia terlihat sedang berusaha menahan tangisnya.

"Tunggu sebentar. Kakak ijin dulu."

Aku buru-buru masuk ke kelas. Menemui dosen lalu meminta izin untuk ke rumah sakit sekarang juga. Setelah mendapat izin aku lalu mengambil tas di bangku yang tadi kududuki.

"Mama masuk rumah sakit." Ucapku kepada Ayu dan Rissa.

Setelah itu aku baru keluar dari kelas.

"Ayo cepetan."

Aku berlari di sepanjang lorong kampus menuju parkiran diikuti oleh Fajar dibelakang yang juga berlari dibelakangku. Fajar sempat meminta maaf kepada beberapa mahasiswa yang tidak sengaja kami senggol. Sungguh. Aku hanya ingin cepat berada di rumah sakit sekarang.

Fajar melajukan motornya dengan kendaraan sedang. Padahal aku sudah memintanya untuk mengendarai dengan cepat. Tapi dia tidak mau. Sepertinya akal sehatnya masih berfungsi dengan baik. Tidak seperti aku yang tidak bisa memikirkan apapun kecuali tentang mama.

Sesampainya di rumah sakit aku langsung berlari menuju ruangan mama di rawat.

"Papa." Aku memanggil papa yang akan masuk ke ruangan lalu memeluknya dengan erat.

"Mama kenapa pa ?" Tanyaku langsung.

"Mama kena serangan jantung. Ayo ke dalam. Mama lagi istirahat sekarang. Dokter sudah menangani mama dengan baik."

Aku masuk kedalam bersama papa. Mama terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan beberapa alat medis yang terpasang di tubuhnya. Aku mendekati ranjang mama lalu mengecup dahinya.

"Cepat sembuh ma." Ucapku pelan.

Papa merangkulku dari belakang. "Jangan sedih. Mama baik-baik aja. Dokter bilang tekanan darah mama tadi terlalu tinggi. Sekarang sudah mulai turun." Jelas papa.

Fajar masuk bersamaan dengan papa yang selesai menjelaskan. Sama sepertiku dia juga langsung mengecup dahi mama lalu mengucapkan kalimat "cepat sembuh ma."

***

Pukul sembilan lewat sepuluh menit. Aku menyandarkan badan disofa yang ada di ruangan mama di rawat. Papa pulang, aku menyuruh papa untuk mandi dan berganti pakaian. Sedangkan Fajar, dia lagi ke kantin yang ada di rumah sakit ini.

Suara pintu diketuk membuatku menoleh ke arah pintu bersamaan dengan masuknya Gavin.

"Hai." Sapanya pelan.

Aku tersenyum tipis. Dia mendekati ranjang mama lalu mengucapkan kalimat "cepat sembuh tante". Setelah itu dia memilih duduk di sebelahku.

"Sudah makan ?" Tanyanya pelan.

Aku menggeleng. "Aku tidak selera makan." Jawabku pelan.

Pandanganku lurus ke arah dimana mama terbaring lemah. Seharian ini aku benar-benar linglung. Rasanya dadaku sesak, tapi aku tidak tau bagaimana melampiaskannya.

Fajar masuk membawa sebotol minuman dingin rasa jeruk di tangannya lalu memberikannya kepadaku.

"Kak Gavin dari tadi ?" Tanyanya pada Gavin.

"Gak kok, baru aja dateng."

Gavin berdiri lalu mengulurkan tangannya kearahku. Aku menatapnya dengan dahi berkerut.

"Ayo ikut. Kamu butuh udara segar." Ucapnya pelan.

Aku berfikir sebentar lalu menerima uluran tangannya. Dia benar. Aku memang butuh udara segar sekarang.

"Jar, jagain mama." Pesanku krpada Fajar sebelum keluar.

Fajar mengangguk. "Kak Gavin, ajakin kak Elin makan juga sekalian. Dia belum makan dari tadi."

Gavin mengangguk lalu menarikku keluar dari ruangan mama.

Aku membiarkan Gavin membawaku entah kemana. Aku tidak punya tenaga untuk berdebat dengannya. Lagian Gavin yang bersamaku sekarang bukanlah Gavin yang menyebalkan seperti biasanya. Dia terlihat lebih pendiam, atau memang karena aku yang lagi tidak dalam mood untuk bicara banyak.

Gavin memberhentikan mobilnya disebuah taman. Dia keluar duluan lalu membukakan pintu mobil untukku.

"Turun." Perintahnya dengan lembut.

Aku menurut. Lagi-lagi dia menggandeng tanganku dan menarikku kesebuah kursi taman. Aku duduk disana dengan pandangan lurus ke depan. Gavin memilih duduk disamping kananku.

"Kamu bisa lepasin semuanya sekarang."

Aku menoleh. "Maksudnya ?" Tanyaku bingung.

"Semua yang kamu rasain. Aku tau kamu memendamnya. Aku bisa jadi pendengar yang baik."

Ucapan Gavin sukses membuat mataku berkaca-kaca. Perlahan-lahan air mata mulai menetes membasahi pipiku. Dadaku semakin sesak.

"Aku jarang ada dirumah." Ucapku memulai untuk menceritakan semuanya. "Aku lebih banyak menghabiskan waktu dikampus, nongkrong dikafe, main ke mall, jalan-jalan kemana saja bareng Ayu dan Rissa. Aku bahkan gak inget kapan terakhir kali cerita banyak sama mama, ngingetin mama makan, ngajakin mama olahraga, aku juga gak pernah tau kapan mama sakit karena mama memang gak pernah ngeluh. Aku takut Vin. Aku takut mama kenapa-napa. Aku nyesel sekarang kenapa aku gak ngabisin waktu di rumah aja sama mama." Ucapku sembari terisak.

Gavin memelukku dari samping, memaksa untuk menyandarkan kepalaku di dadanya. Aku menangis dipelukan Gavin tanpa malu.

"Tante Ella baik-baik aja. Dokter juga udah bilang kan kalau tidak ada yang serius." Ucapnya sambil mengelus kepalaku.

"Tetep aja aku takut. Aku lebih sering bikin mama kesal ketimbang ngebahagiain mama.

"Makanya jangan keluyuran terus. Anak gadis kok hobi keluyuran."

Aku memukul pelan dadanya. Sepertinya dia sudah kembali menjadi Gavin yang menyebalkan.

"Udah lebih tenangkan ? Sekarang ayo cari makan. Ngomongnya mau ngebahagiain tante Ella. Gimana mau ngebahagiain kalau sekarang aja gak mau makan."

Gavin melepaskan pelukannya yang langsung membuatku merasa...hampa. Dia berdiri lalu berjalan duluan. Gavin berhenti dan menoleh kebelakang saat merasa aku tidak mengikutinya.

"Kenapa masih duduk disana ?" Tanyanya.

"Tadi kan digandeng." Jawabku dengan polos.

"Gak usah ngarep ! Ayo cepetan, kalo enggak aku tinggal."

Gavin lanjut melangkahkan kakinya menuju mobil. Manusia dingin menyebalkan benar-benar telah kembali. Aku menghentakkan kaki lalu menyusulnya menuju mobil sambil menggerutu.

Tapi, walaupun Gavin akhirnya kembali menyebalkan. Aku tetap berterimakasih padanya. Karena dialah aku merasa lebih baik sekarang.

"Thank's Vin." Ucapku dalam hati.

Bersambung ~


 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea