-Sasha-
Aku mengaduk nasi goreng di dalam kuali. Tinggal menambah bumbu saja maka nasi goreng ini siap untuk di hidangkan.
Sembari mengaduk, tiba-tiba saja ada sepasang lengan yang melingkari perutku. Aku tersenyum. Sudah bisa menebak siapa yang memelukku ini. Siapa lagi kalau bukan Bima.
Selama dua tahun pernikahan kami. Memelukku setiap pagi saat memasak seperti ini adalah kebiasaannya yang sulit dihilangkan. Dia bahkan lebih memilih untuk ke dapur daripada beranjak kekamar mandi dan bersiap-siap.
"Baru bangun ?" Tanyaku tanpa menoleh.
Dia mengangguk. Menyembunyikan wajahnya di lekukan leherku. Dan memberi kecupan-kecupan kecil disana.
"Bimbim belum bangun ?" Tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Belum, habis ini baru aku bangunin." Jawabku sambil mematikan kompor.
Bima membalikkan badanku. Hingga kami berhadapan. Aku merapikan rambutnya yang acak-acakan. Namun tidak mengurangi ketampanannya sama sekali.
Dia menciumku tiba-tiba. Hanya ciuman lembut biasa. Ciuman yang selalu aku sukai. Karena ciuman ini membuatku merasa sangat di cintai.
"I Love you." Ucapnya setelah melepaskan tautan bibir kami.
"Love you more." Jawabku sambil bersemu. Setelah dua tahun bersama, aku masih saja merona dengan perlakuan-perlakuan manis dari Bima.
"Aku selalu suka melihat pipimu memerah seperti ini." Ucapnya sambil tersenyum jahil.
Aku memukul dadanya pelan. "Nyebelin ih."
Dia terkekeh.
Suara tangisan dari arah kamar membuat kami sontak sama-sama tersenyum.
"Dia selalu tau bagaimana merusak suasana romantis kita." Sahut Bima.
"Mungkin dia haus. Aku keatas dulu. Kamu aja yang bangunin Bimbim. Oke ?"
"Baiklah sayang." Sebelum beranjak Bima menyempatkan mengecup bibirku sekilas.
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku sembari tersenyum.
Aku melangkah ke lantai atas rumah kami dan memasuki kamar utama yang kugunakan bersama Bima.
Dikamar terdapat sebuah box bayi. Aku mendekat dan mendapati putri kecil kami yang bernama Angel. Dia baru berusia tujuh bulan sekarang.
"Anak bunda haus ya." Ucapku seraya menggendongnya lalu mulai menyusuinya. Aku duduk di sofa yang ada dikamar. Mengelus-ngelus pipi Angel dengan sayang lalu bersenandung kecil.
Pintu kamar terbuka. Bima melangkah masuk sambil tersenyum lebar.
"Bimbim udah bangun ?" Tanyaku pelan.
"Udah. Bimbim lagi mandi. Aku udah nyiapin baju sekolah Bimbim dikasur." Dia duduk disebelahku.
"Terimakasih sayang." Ucapku.
"Everything for you hon." Dia mengecup kepalaku dari samping.
"Haloo princess. Hauss yaa." Ucap Bima sambil menoel-noel pipi Angel.
"Jangan ganggu. Nanti dia nangis." Aku memukul pelan tangannya.
"Galak banget bunda." Godanya.
"Biarin. Udah sana mandi. Nanti kamu telat."
"Mandi bareng hayuk." Ucapnya genit. Dia mengedipkan sebelah matanya.
"Biiiimmm..."
"Oke.oke. Aku mandi sekarang." Bima lalu beranjak menuju kekamar mandi.
Dia senang sekali menggodaku dengan ajakan-ajakan atau kata-kata vulgarnya.
Setelah memastikan putri kecil kami tidak haus lagi dan kembali terlelap, aku baru meletakkannya kembali di box bayi miliknya. Lalu menyiapkan baju kantor Bima di atas kasur seperti biasanya.
Aku beranjak ke dapur setelahnya. Menyiapkan sarapan yang tadi telah aku buat duluan. Aku mengisi tiga piring kosong dengan nasi goreng dan satu telur matasapi.
"Selamat pagi bundaa." Sapa Bimo. Dia sudah berpakaian lengkap ke sekolah.
"Selamat pagi sayang." Balasku.
"Ayah mana bun ?"
"Ayah masih siap-siap. Bimbim tunggu sebentar ya."
"Oke bun."
Beberapa menit kemudian. Bima turun dengan memegang dasi di tangannya.
Dia mengulurkan dasinya kepadaku. Aku mengambilnya lalu memasangkan dasi tersebut di lehernya.
"Ayah masih belum bisa pakai dasi ? Bimbim aja bisa pakai sendiri." Celetuk Bimo.
"Bisa dong. Ayah cuma mau dipasangin sama bunda aja." Dia menjulurkan lidahnya ke arah Bimo. Kekanak-kanakan sekali.
Bimo tertawa melihat tingkah Bima. "Ayah manja ih." Ucapnya lagi.
"Udah, sekarang ayo pada makan." Tegurku.
Bima dan Bimo menurut. Kami mulai menghabiskan sarapan dengan tenang.
Aku melirik mereka yang makan dengan lahap. Pemandangan yang selalu aku inginkan setiap hari. Aku berharap keluarga kecil kami bisa selalu seperti ini.
"Bimbim udah habis." Ucap Bimo seraya menelungkupkan sendoknya. Piringnya sudah kosong.
"Baguss. Udah dicek kan sayang buku pelajarannya ?"
"Udah bun. Gak ada yang ketinggalan lagi." Ucapnya bersemangat.
"Bim, tunggu ayah dimobil. Oke ?" Perintah Bima yang langsung di angguki oleh Bimo.
Dia mendekatiku dan menyalamiku dengan sopan. Aku balas mengecup dahinya dengan sayang.
"Belajar yang bener. Jangan nakal." Nasehatku.
Dia lalu ganti menyalami Bima dengan sopan. Bima balas mengecup puncak kepala Bimo dengan sayang. Setelah itu dia berlari keluar.
"Aku berangkat dulu sayang." Bima mendekatiku lalu mengecup dahiku dengan sayang. Aku memejamkan mataku sambil tersenyum.
"Jangan lupa makan siang. Jangan genit dikantor." Ucapku sambil tertawa pelan.
"Oke. Aku genitnya sama kamu aja kok." Godanya.
Pipiku bersemu kembali. Bima memegang pipi kiriku dengan tangan kanannya. Mengelusnya dengan lembut lalu mulai mendekatkan wajahnya.
Aku memejamkan mata, menyambut ciuman lembut Bima seperti biasanya. Kebiasaan sebelum dia berangkat ke kantor.
Aku melepaskan diri saat merasa sulit bernafas. "Cepetan berangkat. Kasian Bimbim nunggu lama."
"Oke. Aku berangkat ya."
Dia mengecup dahiku sekali lagi. Lalu mulai melangkah keluar rumah.
Aku melambaikan tangan saat mobil mulai melaju dengan pelan. Setelah memastikan mereka tidak terlihat lagi, barulah aku masuk ke dalam.
Begitulah suasana pagi dirumah kami. Begitu membahagiakan.
End.
My Lovely Son
MY SUNSHINE
-Adara Fredella Ulani-
"Astaga Nay, lo yakin gue cocok gini ? Roknya terlalu ketat menurut gue."
Aku berdiri di depan cermin besar yang ada dirumah Naya. Mematut diri di depan kaca.
Aku sedang menggunakan atasan pas badan berwarna maron dengan model lengan yang terbuka dibagian bahunya. Untuk bawahan aku menggunakan rok span berwarna hitam yang jatuh di atas lututku.
"Cocok kok, lo jadi tambah cantik. Rambut lo digerai aja. Oke ?"
"Tapi gue gak pede. Seriusan deh Nay." Keluhku.
"Lo mau dapetin mas Adit gak ?"
"Ya mau lah. Tapi gue risih banget Nay. Kalau gak berhasil gimana ?"
"Tenang aja. Lo pasti berhasil."
Aku menyerah. Berdebat dengan Naya tidak akan ada habisnya. Aku pun memutuskan untuk tetap menggunakan pakaian pilihan Naya. Siapa tahu memang cara ini berhasil.
Selama ini aku memang terbiasa menggunakan dress seperti bocah belasan tahun atau kalau tidak celana jeans dipadukan dengan kaos biasa. Kecuali saat menari balet, aku tentunya akan menggunakan pakaian khusus menari balet. Sedangkan dirumah, aku hanya menggunakan piyama lengan panjang bermotif bunga-bunga atau tokoh kartun.
"Gih sana berangkat. Bentar lagi jam makan siang." Ujar Kanaya.
Aku mengecek jam di pergelangan tanganku. Benar saja. Setengah jam lagi sudah masuk jam makan siang. Semoga saja nanti jalanan tidak macet.
"Oke. Gue berangkat dulu ya. Doain gue." Ucapku antusias. Aku tidak sabar ingin melihat reaksi mas Adit. Memangnya Hana saja yang bisa berpenampilan dewasa dan sexy.
"Pasti. Hati-hati dijalan. Jangan lupa kabarin gue hasilnya."
"Oke." Aku mengangkat jempolku.
Lalu melambaikan tangan ke arah Naya.
Aku berangkat menuju rumah sakit menggunakan taxi. Untung sekarang sudah ada taxi online. Aku tidak perlu menunggu terlalu lama, karena aku sudah memesannya terlebih dahulu.
Sesampainya di rumah sakit, aku bermaksud mengambil dompet di dalam tas. Namun aku tidak bisa menemukannya.
Astaga.
Sepertinya aku meninggalkannya di rumah Naya.
"Tunggu sebentar ya pak." Ucapku kepada sopir taxi nya.
Aku mendial no telepon mas Adit. Berkali-kali mencoba namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku keluar dari taxi sambil celingak-celinguk. Berharap ada mas Adit diluar.
"Hei, kamu adiknya Dokter Adit kan ? Ada masalah ?" Seseorang mendatangiku. Aku ingat, dia adalah Dokter Vero. Teman seprofesi dengan mas Adit. Mas Adit pernah mengenalkan kami dulu.
"Eh...Mas Vero kan ?" Ucapku ragu.
"Iya, kamu kenapa keliatan bingung gitu." Tanya mas Vero kepadaku.
Aku berfikir sejenak. Haruskah aku meminta tolong kepada mas Vero ? Tapi kalau bukan kepada mas Vero, kepada siapa lagi aku minta tolong.
"Gini mas, dompet Dara ketinggalan di rumah temen. Dara udah nelpon mas Adit tapi enggak di angkat." Keluhku.
"Oh gitu, biar mas yang bayar. Tunggu disini sebentar."
Mas Vero mendekati sopir taxi. Mengambil dompet di kantong celananya lalu memberikan beberapa lembar uang kepada sopir taxi.
"Makasih ya mas. Besok Dara ganti uang mas." Ucapku kepada mas Vero.
"Sama-sama Dara. Gak usah di ganti. Mas ikhlas nolong kamu." Ucapnya sambil tersenyum.
"Dara jadi gak enak sama mas Vero."
"Kalau gak enak dikasih kucing aja." Candanya.
Aku sontak tertawa. "Mas ih. Ada-ada aja."
"Kamu mau menemui Dokter Adit ?" Tanyanya.
"Iya mas."
"Bareng aja kalau gitu. Mas juga mau kedalam."
Aku mengangguk. Kami berjalan beriringan menuju ruangan mas Adit. Mas Vero banyak berbicara sepanjang perjalanan. Dia baik sekali dan lumayan humoris. Aku hampir tidak berhenti tertawa karenanya.
"Mas lebih berbakat menjadi seorang pelawak sepertinya." Ucapku di sela-sela tawaku.
"Maksud kamu mas gak cocok jadi seorang Dokter ?"
"Mungkin." Jawabku sambil menjulurkan lidah kearahnya. Dia balas mengacak rambutku.
"Dara."
Aku sontak berhenti. Mas Adit berhenti didepanku bersama dengan Hana di sampingnya. Mereka terlihat serasi seperti biasanya. Dan aku membenci kenyataan itu.
"Mas Adit." Jawabku pelan. "Mas mau kemana ?" Tanyaku pelan.
"Mas mau makan siang sama Hana."
"Oh."
"Kamu mau ikut mas makan siang ?"
Aku melirik Hana yang masih tersenyum ramah. Aku lantas menggelengkan kepalaku. "Dara mau makan siang sama mas Vero aja."
"Sama Dokter Vero ?" Tanya mas Adit.
Aku mengangguk.
"Iya Dokter Adit. Saya akan makan siang dengan Dara. Sekarang mau keruangan dulu. Ada yang harus saya ambil." Beruntunglah mas Vero menangkap sinyal-sinyal dariku.
"Oh begitu. Silahkan ambil dulu. Saya ingin berbicara sebentar sama Dara."
Mas Adit menarik lenganku. Menjauh dari mas Vero dan mbak Hana.
"Sakit mas." Ucapku. Mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan mas Adit.
"Apa-apaan ini !" Bentak mas Adit. Posisi kami sekarang sudah jauh dari tempat tadi. Dimana mas Vero dan mbak Hana berada.
"Maksud mas Adit apa ?"
"Pakaian kamu. Kenapa memakai pakaian seperti ini. Astaga, rok yang kamu pakai terlalu pendek Dara." Mas Adit menggeram di akhir ucapannya.
"Mas Adit gak suka ya ?" Keluhku.
"Kamu berpakaian seperti ini buat menarik perhatian mas ?"
Aku mengangguk polos.
Mas Adit mengusap wajahnya dengan kasar. "Kamu gila ! Mas gak suka kamu berpakaian seperti ini. Mengerti ?" Ucapnya sedikit membentak.
Aku menunduk. "Kenapa mas suka lihat mbak Hana berpakaian seperti itu."
"Kamu sama Hana itu berbeda Dara. Kamu itu adik mas. Mas gak mau orang-orang melihat kamu berpakaian seperti ini."
"Dara bukan adik mas ! Sampai kapan sih mas bakalan nganggap Dara sebagai adik ? Dara itu cinta sama mas Adit."
"Jangan bikin semuanya menjadi sulit. Sekarang pulang, ganti pakaian kamu."
"Enggak ! Mas mau pergi sama mbak Hana kan ? Pergi saja kalau gitu. Dara juga mau pergi sama mas Vero !" Aku menghentakkan kaki dan beranjak menuju mas Vero.
"Ayo mas, kita per..." belum selesai aku berbicara, mas Adit lebih dulu menyela.
"Maaf Dokter Vero. Saya harus pergi bersama Dara. Hana, maaf lain kali saja makan siangnya."
Mas Adit lalu menarikku menjauh dari mas Vero dan mbak Hana. Aku pun hanya bisa pasrah. Sia-sia saja membantah mas Adit.
***
-Aditya Naufal Agustin-
Aku berjalan cepat dengan menarik tangan Dara. Membawanya menjauh dari orang-orang yang menatapnya dengan pandangan yang tidak kusuka.
Entah apa yang ada dalam fikirannya hingga berani menggunakan rok sependek itu. Roknya bahkan hanya mampu menutupi setengah pahanya saja.
"Mas, tangan Dara sakit." Dia mencoba melepaskan tangannya. Namun sia-sia saja, karena cengkramanku lebih kuat.
Sesampainya di mobil, aku memaksanya untuk masuk. Setelah itu baru aku melangkah ke pintu di sebelah kemudi.
Aku duduk di belakang kemudi. Mencengkram kemudi dengan kuat. Mencoba meredakan emosiku. Sesekali aku memejamkan mata seraya menghela napas berat.
Hening.
Aku masih saja diam lalu melirik Dara yang juga diam. Matanya memerah, mencoba menahan tangis. Dia mengelus tangannya yang tadi ku cengkram.
Rasa bersalah seketika menggelayutiku.
Apa yang baru saja kulakukan ?
Aku memegang tangan Dara yang tadi kucengkram. Ada bekas merah disana. Aku mengelus lalu mengecup bekas merah itu.
"Maaf. Masih sakit ?" Tanyaku dengan nada lembut seperti biasa.
Dara mengangguk. Air mata yang coba ditahannya akhirnya jatuh. Aku langsung membawanya ke dekapanku.
Dia meronta-ronta, memukul dadaku dengan kedua tangannya. "Mas Jahat !" isaknya.
Aku mendekapnya dengan erat. Mengelus punggungnya sambil sesekali mengecup puncak kepalanya.
"Jangan menangis. Mas minta maaf. Mas gak suka kamu memakai pakaian seperti ini." Ucapku. Sungguh aku tidak suka melihat orang-orang menatap ke arah pahanya.
"Kenapa ? mbak Hana juga memakai pakaian seperti ini. Lalu kenapa mas suka ?"
Aku melepaskan Dara dari dekapanku, memegang kedua bahunya dan menyuruhnya menatapku.
"Memangnya mas pernah bilang kalau mas menyukai Hana ?"
Dia menggeleng. "Tapi mas selalu bersamanya akhir-akhir ini."
Aku menghela napas. Dia selalu saja begitu. Mengambil kesimpulan sendiri.
"Hana cuma temen mas. Harus berapa kali mas bilang sama kamu."
"Maaf." Ucapnya sambil menunduk.
"Sudahlah. Lupakan. Jangan berpakaian seperti ini lagi. Oke ?"
Dia mengangguk.
"Good girl." Aku mengacak rambutnya pelan.
Aku mulai menghidupkan mesin mobil lalu melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Aku memberhentikan mobil di sebuah butik terdekat. Aku ingin membelikan Dara baju ganti.
"Ayo turun." Ajakku.
"Kita ngapain disini kak ?" Tanyanya dengan raut wajah bingung.
"Beliin baju buat kamu."
Aku turun, lalu melangkah masuk ke dalam butik. Diikuti oleh Dara yang berjalan di belakangku.
Didalam butik aku langsung memilih sendiri baju yang sesuai untuk Dara. Aku tidak mau dia bersikap bodoh lagi dan berakhir dengan memilih baju yang lebih sexy lagi.
"Pake ini." Aku memberikan sebuah dress motif bunga-bunga berwarna biru muda. Lengannya pendek. Dan dalamnya juga di bawah lutut Dara.
Dara menurut. Dia melangkah ke ruang ganti. Sedangkan aku menunggu sambil duduk di bangku yang disediakan di butik ini.
Beberapa saat kemudian, Dara keluar dengan menggunakan dress yang kuberikan tadi. Sesuai ekspektasiku. Dress itu cocok sekali untuknya.
Aku lalu membayar ke bagian kasir butik. Lalu melangkah keluar butik masih diikuti oleh Dara dibelakangku.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Aditya Naufal Agustin-
Aku merebahkan badan dikasur seraya memijit pelipisku. Hari ini lelah sekali rasanya. Bukan karena kesibukanku sebagai seorang Dokter melainkan karena pengakuan cinta dari Dara tadi.
Sungguh aku tidak menyangka dia memiliki perasaan itu terhadapku. Bagaimana bisa seseorang yang ku anggap sebagai adik selama ini tiba-tiba menyatakan perasaannya ?
Aku harus bagaimana sekarang ?
Aku tidak yakin bisa bersikap seperti biasa kepada Dara. Aku tidak mau dia tersakiti karena mencintaiku. Satu hal yang paling tidak ingin aku lakukan adalah membuat Dara menangis. Namun apa yang sudah kulakukan tadi justru sangat membuat Dara terluka.
Ponselku berdering pertanda ada pesan masuk. Aku lantas membuka pesan tersebut.
Mas, Dara gak mau mas menjauh setelah mendengar pengakuan Dara. Bersikaplah seperti biasa. Dara mohon, jangan bersikap seperti orang asing. Oh iya, Dara gak akan ngelupain perasaan ini. Setidaknya biarin Dara mencoba mas, mencoba untuk membuat mas melihat Dara sebagai seorang wanita, bukan seorang adik.
Dara cinta sama mas Adit, sangat :')
Aku menghela napas berat. Aku lupa kalau Dara itu keras kepala.
Aku harus bagaimana sekarang ?
***
-Adara Fredella Ulani-
"Selamat pagi ma, selamat pagi pa."
Aku menyapa kedua orangtua mas Adit. Papa sedang duduk di meja makan sembari membaca koran. Sedangkan mama sedang menyiapkan sarapan untuk papa dan mas Adit.
"Pagi sayaang. Ayah Bunda gak dirumah ?" Tanya mama kepadaku.
"Dirumah ma. Hari ini Dara pengen sarapan disini. Bolehkan ma, pa ?" Pintaku sambil nyengir.
Aku sengaja memilih sarapan disini. Aku akan berjuang untuk membuat mas Adit menyukaiku. Dan itu berarti aku harus sering-sering bertemu dengan mas Adit.
"Boleh dong sayang. Mama juga kangen sarapan sama kamu."
"Dara, papa dengar kemaren kamu memenangkan lomba menari balet ya ? Selamat ya nak. Maaf papa sama mama gak bisa datang kemaren. Kamu mau hadiah apa ?" Papa menutup koran yang dibacanya.
"Makasih paa. Dara minta doa mama sama papa aja."
"Kalau itu gak usah diminta juga udah kami lakuin. Ayo, bilang aja sama papa kamu mau apa ?" Desak papa.
Papa sama mama memang sering memberikanku hadiah. Aku sampai sungkan rasanya.
"Terserah papa aja deh. Dara juga bingung mau apa." Aku terkekeh diakhir ucapanku.
"Baiklah, nanti papa sama mama akan cari hadiah yang cocok buat kamu."
"Makasih paa."
"Lho, Dara ngapain pagi-pagi disini ?"
Aku menoleh, mendapati mas Adit dengan penampilan yang sudah rapi. Sepertinya mas Adit ada praktek pagi ini.
"Selamat pagi mas." Sapaku sambil tersenyum manis. "Dara mau sarapan disini." Ucapku lagi.
Mas Adit hanya ber-oh-ria. Tidak berbicara lagi. Terlihat sekali dia sedang menjaga jarak denganku.
"Mas, nanti Dara nebeng mobil mas kekampus ya." Rengekku seperti biasanya.
"Enggak. Mas sibuk. Kamu sama papa aja." Ucapnya datar, tanpa melihatku.
"Papa ada rapat penting Dit, gak sempet kalau nganterin Dara dulu. Kamu aja yang nganter Dara ya." Papa lebih dulu menyela.
"Adit gak bisa pa. Dara sama taxi aja."
"Mas kok gitu sih, Dara maunya sama mas Adit.
"Dara !" Bentak mas Adit.
Aku kaget mendengar bentakan mas Adit. Tidak biasanya mas Adit membentak seperti ini. Aku sontak menunduk, menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca.
"Adit, kok bentak-bentak gitu sih." Tegur mama.
Aku melirik mas Adit. Dia sedang menghela napasnya.
"Gak papa kok ma, mungkin mas Adit capek. Jadi gak bisa nganterin Dara. Nanti Dara naik taxi aja." Ucapku sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
Setelah itu kami menikmati sarapan dengan tenang. Selama sarapan, aku mencoba menahan rasa sesak di dadaku. Aku harus kuat. Mas Adit pasti sengaja untuk membuatku membencinya.
"Ma, pa, Dara berangkat duluan ya. Dara lupa hari ini ada kuis." Ucapku berbohong.
Sebenarnya hari ini tidak ada kuis. Hanya saja aku tidak sanggup lagi menahan rasa sesak ini. Aku butuh menangis. Ya. Menangis.
Mas Adit menahan lenganku saat aku akan beranjak.
"Mas anter." Ucapnya sambil menatapku.
Aku menggeleng. Melepaskan lenganku dari cekalan tangannya.
"Gak usah mas. Dara bisa sendiri. Dara pergi dulu."
Aku lalu berlari keluar. Beruntunglah ada taxi yang lewat. Aku langsung menyetop dan menaikinya. Setelah itu, tumpahlah tangisan yang dari tadi ku tahan.
Bodoh. Dibentak sedikit aja menangis.
Aku menggerutu didalam hati.
***
"Hellooo. Lo gak dengerin gue ngomong ya ?"
Aku tersentak.
"Eh sorry Nay, lo ngomong apa tadi ?" Tanyaku salah tingkah.
"Lo ngelamunin apa sih ? Ada masalah ? Lo bisa cerita sama gue."
"Gue lagi sedih."
"Sedih kenapa ?"
Aku lalu menceritakan kejadian semalam dan juga tadi pagi kepada Kanaya. Dia terlihat sangat terkejut. Ekspresi melongonya lucu sekali. Namun sayangnya aku sedang tidak mood untuk tertawa.
"Serius demi apa. Lo beneran ngomong gitu ke mas Adit ?"
Aku mengangguk. "Gue keceplosan Nay, jadi ya udah sekalian aja gue terusin. Gue gak cantik ya sampe mas Adit gak mau sama gue." Ucapku sendu.
Kanaya memperhatikan gue dari ujung rambut sampe ujung kaki. Seperti sedang memberi penilaian.
"Lo cantik sih, cuma ya gitu..." Ucapnya ragu-ragu.
"Gitu gimana ? Lo kalo ngomong jangan nanggung-nanggung dong." Gerutuku.
"Umur lo sekarang berapa ?"
"20 mau 21 tahun."
"Mas Adit berapa ?"
"29 mau 30 tahun." Jawabku polos.
"Mas Adit udah dewasa ra, nah lo udah mau 21 tahun masih aja kayak bocah. Lo masih suka nangis kalau dibentak. Lo masih suka merengek-rengek kalau mau sesuatu. Dan penampilan lo ? Persis ABG belasan tahun."
"Gue separah itu ya ?" Aku mengerucutkan bibirku.
Kanaya mengangguk lemah. "Parah banget ra."
Aku menghela napas. "Gue mesti gimana dong."
"Lo harus berubah." Ucapnya antusias.
"Berubah gimana ?" Tanyaku.
"Semuanya. Dari sifat manja lo sampe penampilan bocah lo ini."
Aku sontak tersenyum sumringah. "Lo yakin mas Adit bakalan mau sama gue ?"
Naya mengendikkan bahunya. "Gak tau sih. Setidaknya coba dulu."
Aku mengangguk-nganggukkan kepalaku.
"Oke. Gue bakalan berubah." Aku mengepalkan tangan kananku dan mengangkatnya ke udara. "Semangat !" Ucapku lagi.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Adara Fredella Ulani-
"Sayang, semua perlengkapan kamu udah bunda masukin ke dalam tas ini. Nanti jangan lupa berdoa dulu sebelum tampil. Bunda yakin, anak bunda yang cantik ini pasti akan tampil memukau malam ini. Aah, bunda udah gak sabar untuk segera berangkat. Ayo, cepetan ganti bajunya. Bunda nyamperin ayah dulu."
Itu adalah rentetan kalimat yang diucapkan bunda sejak pagi tadi. Dan hingga sore ini, bunda masih saja mengulang-ngulangnya.
Hari ini adalah hari perlombaan menari balet. Aku gugup sekali sebenarnya. Ditambah lagi dengan bunda yang sepertinya sangat berharap aku bisa memenangkan lombanya.
Aku menghela napas. Membiarkan tubuhku sedikit rileks. Aku juga menghalau fikiran-fikiran negatif yang mencoba membuatku menjadi semakin gugup.
Semua akan baik-baik saja. Ini hanya perlombaan biasa. Bukan perang.
Aku melafalkan kata-kata itu didalam hati. Setidaknya, aku bisa lebih rileks sekarang.
Aku berganti baju dengan cepat. Jangan sampai bunda mengomeliku karena masih belum berpakaian.
"Dek, udah siap belum ?" Itu suara mas Felix dari luar pintu kamarku.
"Udah mas. Masuk aja." Jawabku sedikit berteriak.
Mas Felix memasuki kamarku dengan penampilan yang sudah rapi. Sepertinya semua orang sudah tidak sabar dengan perlombaan ini.
"Mbak Alana jadi ikut mas ?" Tanyaku.
"Jadi, nanti mas jemput dia dulu. Baru ke lokasi perlombaannya. Kamu gugup ?"
Aku mengangguk.
Mas Felik menghampiriku. Lalu memegang kedua bahuku.
"Lihat mas." Perintahnya yang langsung aku turuti. "Mas bangga sama kamu, apapun hasilnya nanti. Mas yakin, kamu bakalan menampilkan yang terbaik. Jangan fikirin menang kalah dulu. Berjuanglah. Lakukan yang terbaik." Nasehatnya.
Aku langsung memeluk mas Felix. "Makasih mas. Dara pasti menampilkan yang terbaik."
Mas Felix mengacak rambutku pelan. "Itu baru kesayangan mas." Ucapnya sambil terkekeh pelan.
***
Suasana dibelakang panggung penuh dengan ketegangan. Semua peserta terlihat sangat gugup. Begitupun dengan aku.
Setelah ini, giliran aku yang tampil. Aku menghela napas panjang, menghitung sampai sepuluh didalam hati lalu menghembuskannya. Aku melakukannya berulang-ulang.
Ngomong-ngomong aku belum melihat mas Adit sejak tadi.
Mungkinkah dia tidak datang ?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mas Adit tidak mungkin tidak datang. Dia tidak pernah melewatkan momen-momen penting bagiku.
Mungkin mas Adit sudah berada di antara penonton. Ya. Mungkin seperti itu.
"Adara Fredella Ulani, sekarang giliran kamu. Bersiap-siaplah ?" Salah satu panitia memanggilku.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu mulai melangkah ke tengah panggung. Lampu dipanggung dimatikan. Aku langsung mengambil posisi, bersiap-siap mendengarkan musiknya.
Alunan musik mulai terdengar. Akupun mulai melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan irama musik. Aku berputar-putar, meliuk-liukkan badanku dan sesekali melompat dengan indah.
Aku terus saja menari hingga musik habis lalu mengakhiri tarian dengan posisi yang sudah kupelajari.
Suara riuh tepuk tangan terdengar dari kursi penonton. Aku membungkuk memberi hormat. Lalu mengedarkan pandanganku ke arah penonton sambil tersenyum.
Aku merasakan kekecewaan saat itu juga. Aku tidak melihat mas Adit dimanapun. Dia tidak datang. Untuk pertama kalinya mas Adit melewatkan momen penting bagiku.
Aku kembali ke belakang panggung dengan menunduk lesu. Dadaku sesak luar biasa.
Aku kecewa.
Sedih.
Marah.
Dan aku tidak tahu bagaimana melampiaskannya. Mas Adit benar-benar melupakanku.
Beberapa jam kemudian.
Akhirnya pengumuman pemenang pun diumumkan. Aku dipilih sebagai pemenangnya. Namun rasanya biasa aja. Buat apa aku menang jika mas Adit tidak melihatnya ?
Aku memaksakan tersenyum di depan semua orang. Apalagi Ayah, bunda, mas Felix dan mbak Alana terlihat bahagia di kursi penonton.
Mereka melambaikan tangan kearahku. Aku balas memamerkan piala yang ku dapat ke arah mereka.
"Selamat ya sayaang. Ayah bangga sama kamu." Ayah memeluk sambil mengecup dahiku dengan sayang.
"Anaaak bunda. Kemarilah. Bunda bangga sekali sama kamu." Bunda menangkup pipiku lalu mengecup pipi kanan dan kiriku.
"Selamat sayaang. Mas bangga sekali sama kamu." Mas Felix juga memelukku lalu mengecup dahiku dengan sayang.
"Selamat ya dek. Kamu memukau sekali malam ini." Mbak Alana menyalamiku lalu mengecup pipi kanan dan pipi kiriku.
"Sekarang mana hadiah buat Dara ?" Aku mengulurkan tanganku seperti bocah yang meminta permen.
Mereka semua sontak tertawa.
"Dara."
Aku menegang seketika. Suara itu.
Aku menghela napas lalu menoleh ke asal suara. Aku melihat mas Adit disana dengan tatapan merasa bersalah.
"Selamat ya. Kamu memenangkan perlombaannya. Maaf mas telat." Ucapnya pelan.
"Makasih." Ucapku datar.
"Yah, ayo pulang. Dara capek." Aku merengek sama ayah. Aku tidak mau berlama-lama di dekat mas Adit. Aku takut tidak bisa mengontrol perasaanku dan berakhir dengan bodoh dihadapan mereka semua.
"Yah, Dara semobil sama Adit aja ya." Pinta mas Adit kepada ayah.
Ayah menganggukkan kepalanya.
"Yaah..." protesku.
"Kamu sama Adit aja, gak baik marah-marahan gitu." Tegur ayah.
"Siapa yang marahan sih yah ? Dara cuma pengen semobil sama ayah."
"Kalau gak marahan kenapa gak mau semobil sama Adit ?."
Aku diam. Tidak tau harus menjawab apa lagi.
"Dit, hati-hati nyetirnya." Ayah menepuk pelan bahu mas Adit.
"Iya yah."
Dengan sangat terpaksa akhirnya aku berada di dalam mobil mas Adit. Aku mengarahkan pandanganku keluar jendela, terlalu malas untuk melihat mas Adit.
"Daraa. Mas minta maaf. Mas benar-benar ada keperluan tadi."
Aku mengabaikan ucapan mas Adit.
"Jangan kekanak-kanakkan gini dong. Mas janji, jadwal libur mas minggu ini buat kamu. Kita akan jalan-jalan. Kemanapun kamu mau." Bujuknya lagi.
"Dara gak mau kemana-mana." Ucapku ketus.
Mas Adit menghela napasnya. Setelah itu dia tidak berbicara lagi.
Aku semakin sedih. Cuma segitu saja cara mas Adit membujukku. Benar-benar menyebalkan.
"Mas dari mana ?" Tanyaku. Sungguh aku penasaran sekali.
"Mas dari rumah Hana. Sheila tidak berhenti menangis. Dia ingin bermain sama mas."
Aku merasakan ribuan jarum menusuk jantungku mendengar jawaban mas Adit.
"Jadi dia lebih penting sekarang." Ucapku lirih.
Mas Adit mengenggam tangan kananku, namun aku segera menariknya.
"Maaf. Sheila masih kecil. Mas gak tega menolak permintaannya."
"Mas yakin cuma karena Sheila ? Bukan karena mbak Hana ?"
"Maksud kamu ?"
"Mas ada hubungan apa sama mbak Hana ? Kalian pacaran."
"Omongan kamu mulai ngelantur. Istirahatlah. Besok kita bicarakan lagi."
"Kenapa mas ngelak ? Mas benar-benar pacaran ya sama dia ?" Aku masih saja menuntut jawaban dari mas Adit.
"Dek, udah jangan dilanjutin lagi."
"Kenapa ? Kenapa mas gak jujur aja ? Dara...Dara cinta sama mas Adit." Akhirnya 3 kata sakral itu keluar juga dari bibirku. Aku memejamkan mataku menahan sesak di dada.
Mad Adit sontak menginjak pedal rem.
"Kamu bilang apa tadi ?" Mas Adit menatapku dengan tatapan tajam.
"Dara cinta sama mas Adit." Ucapku lirih.
"Kamu sadar dengan yang kamu katakan ? Kamu itu adik mas."
"Kita bukan saudara kandung mas."
"Sama saja. Mas udah nganggap kamu sebagai adik mas sendiri." Mas Adit mengusap wajahnya kasar. Dia terlihat sangat shock.
"Tapi Dara benar-benar cinta sama mas Adit." Ucapku sedikit terisak.
"Lupakan perasaan kamu."
Hanya itu. Ya, hanya itu yang dikatakan mas Adit. Namun mampu membuat hatiku hancur lebur seketika.
Tega sekali mas Adit mengatakan itu.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Adara Fredella Ulani-
"Mas, Dara ikut mas ke kantor ya." Pintaku kepada mas Felix sambil mengunyah nasi goreng buatan bunda.
Sejak kepulangan mas Felix sebulan yang lalu, mas Felix memang ditugaskan untuk menggantikan kerjaan ayah di kantor.
"Ngapain ikut mas ? Memangnya kamu gak kuliah ?"
Aku menggeleng. "Hari ini gak ada jadwal kuliah. Dara cuma latihan balet aja ntar siang."
"Ya udah kalau gitu."
Setelah itu kami melanjutkan sarapan. Suasana sarapan seperti ini yang selalu aku rindukan. Dimana ada ayah, bunda dan juga mas Felix.
***
"Mas, masih lama gak sih ? Dara lapeer." Aku mengerucutkan bibirku.
Aku sedang berada di sofa yang ada dalam ruangan mas Felix. Menyandarkan badan disana dengan penuh kebosanan. Mending aku dirumah aja tadi.
"Sabar dong dek. Tinggal dikit lagi ini. Lagian siapa suruh maksa ikut kekantor ?" Ucap mas Felix tanpa melihatku.
Aku menghela napas. Merasa sangat bosan di sini. Aku mengambil ponsel lalu mengetik sebuah pesan untuk mas Adit. Ngomong-ngomong aku memang jarang ketemu sama mas Adit sebulan ini. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama mas Felix dan juga mbak Alana, kekasihnya mas Felix.
Mas, lagi apa ? Makan siang bareng hayuk. Sama mas Felix juga. ;;)
Balasan pesan dari mas Adit masuk beberapa menit setelahnya.
Mas udah ada janji makan siang sama temen :(
Aaaaaaaa :( Dara kangen sama mas Adit.
Gak usah lebay. Rumah kita sebelahan.
Kejam !
Mas Adit tidak lagi membalas pesanku. Aku memutuskan untuk bermain game yang ada diponselku saja.
Beberapa saat kemudian.
"Ayo dek. Kita makan siang." Mas Felix berdiri disamping sofa yang kududuki.
"Kerjaan mas udah selesai ?" Tanyaku sambil menutup aplikasi game yang kumainkan.
"Udah. Ayo."
Aku mengikuti mas Felix yang berjalan di depanku. Dia sibuk dengan ponselnya. Mungkin menghubungi mbak Alana. Mas Felix memang selalu menghubungi mbak Alana tiap jam makan siang, bahkan mereka sering menghabiskan waktu makan siang bersama.
Sesampainya direstoran pilihan mas Felix. Kami langsung melangkah masuk ke dalam. Mas Felix memilih meja yang berada di dekat dinding. Setelah itu kami memesan makanan yang kami inginkan.
"Habis ini kamu latihan kan dek ?" Tanya mas Felix.
"Iya mas. Anterin Dara ya. Males naik taxi."
"Iya. Kamu emang gak capek kuliah sambil latihan balet gitu ?"
"Kadang-kadang capek sih. Tapi Dara seneng kok ngelakuinnya."
"Mas gak mau kamu kecapekan terus sakit aja. Pinter-pinter jaga kesehatannya. Kalau bukan kamu yang jaga siapa lagi." Omel mas Felix. Dia sama saja seperti mas Adit. Mereka berdua memang tidak setuju sebenarnya kalau aku mengikuti latihan balet.
"Iya mas." Jawabku.
Mas Felix merogoh ponselnya di dalam kantong yang berdering. Lalu mengangkatnya. Ternyata yang menelpon adalah mbak Alana.
Aku memilih mengedarkan pandangan di ruangan restoran. Pada jam makan siang begini, restoran terlihat lumayan ramai oleh pengunjung yang kebanyakan adalah orang kantoran.
Deg.
Mataku sontak terpaku kepada meja yang terletak di dekat pojok. Pasalnya disana ada mas Adit yang sedang makan siang bersama wanita yang bernama Hana.
Mereka terlihat sangat menikmati makan siang dengan nyaman.
Apa-apaan ini ?
Dadaku berdebar-debar dengan kencang. Aku takut. Sungguh. Aku tidak rela jika mas Adit bersama wanita itu. Hanya aku yang boleh bersama mas Adit. Ya. HANYA AKU !
Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari sana. Aku terus saja mengawasi gerak-gerik mereka yang semakin membuat dadaku menjadi sesak.
Kenapa mas Adit tidak bilang saja tadi kalau teman makan siangnya itu adalah Hana ?
"Dek, ayo makan. Jangan ngelamun gitu." Tegur mas Felix.
"Eh...iya mas." Ucapku sedikit gugup.
Aku bahkan tidak sadar makanan kami sudah datang.
Aku memaksakan diri untuk makan. Sungguh, selera makanku lenyap seketika saat melihat mas Adit tertawa lepas bersama wanita itu. Namun aku tidak mau membuat mas Felix curiga. Cukup aku saja yang mengetahui perasaan bodoh ini.
***
Aku menyeka keringat dengan handuk kecil yang biasa kubawa saat latihan menari balet. Mengambil air mineral di dalam tas lalu meneguknya hingga menyisakan sedikit air saja.
Aku duduk menyandar ke dinding sambil meluruskan kaki. Mengambil ponsel lalu mengetikkan pesan untuk mas Adit.
Mas, udah gak praktek kan ? Jemput Dara ditempat latihan dong :(
Setelah memencet tombol send, aku meletakkan ponsel disamping.
Beberapa saat kemudian ponselku berdering, pertanda ada telepon masuk. Aku melihat nama si penelpon di layar lalu mengangkatnya.
"Halo mas." Sapaku antusias. Seperti biasanya. Yang menelpon adalah mas Adit. Dan aku akan selalu bersemangat jika itu tentang mas Adit.
"Kamu lagi latihan ?"
"Iya mas. Bentar lagi selesai. Jemput Dara yaaa." Rengekku.
"Iya. Tunggu mas."
"Oke mas."
Mas Adit lalu memutuskan sambungan teleponnya. Selalu begitu. Dia Irit sekali dalam berbicara.
Aku lanjut berlatih menari balet. Seminggu lagi akan ada lomba menari balet. Dan aku berniat untuk mengikutinya. Jadi aku harus berusaha lebih keras lagi. Siapa tahu mas Adit jatuh cinta jika aku memenangkan lomba itu.
"Baiklah, latihan hari ini selesai." Ucap pelatih yang melatih kami menari balet.
Aku lantas beranjak menuju kursi panjang yang sekarang diduduki oleh mas Adit. Dia terlihat tampan seperti biasanya.
Aku mengernyitkan dahi. Melihat pakaian yang dikenakan mas Adit masih sama dengan pakaian yang dikenakannya di restoran tadi.
Bukankah harusnya mas Adit sudah pulang dari tadi ?
Oh shit ! Jangan-jangan mas Adit bersama wanita itu setelah makan siang. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak mau mas Adit direbut oleh wanita itu.
"Capek ?" Tanya mas Adit saat aku berada di dekatnya. Aku langsung duduk di sebelah mas Adit dan menyandar di bahunya.
"Banget mas." Ucapku lesu sambil menyeka keringat dengan handuk kecil.
"Siapa su..."
"Mas." Aku memotong pembicaraan mas Adit. Aku sudah tau apa yang akan dikatakannya. "Dara memang capek. Tapi Dara seneng ngelakuinnya. Jadi jangan menyuruh Dara untuk berhenti menari balet lagi. Karena Dara gak akan berhenti." Lanjutku dengan nada tegas.
"Kamu kenapa ? Sensi banget. Lagi dapet ?" Tanya mas Adit lagi.
"Enggak. Mas dari mana ?"
"Mas dari rumah Hana, Sheila lagi batuk. Jadi Hana minta tolong sama mas untuk periksa Sheila dirumahnya."
"Kenapa harus mas yang kesana sih ? Dia kan bisa bawa sendiri ke dokter. Modus banget." Ketusku.
"Dara. Gak boleh ngomong gitu. Mas seorang dokter, jadi udah kewajiban mas untuk menolong siapapun yang membutuhkan pertolongan mas. Lagian Sheila itu anaknya Hana, temen mas."
Aku menghela napas kesal. Mas Adit lebih membela wanita itu sekarang. Menyebalkan.
"Au ah. Dara mau pulang. Capek."
"Gak mau ganti baju dulu ?"
"Enggak, Dara pakein sweater aja."
Aku berjalan duluan. Mas Adit menyusul dibelakang. Lebih baik aku tidur dirumah dari pada mendengarkan cerita mas Adit tentang wanita itu.
Sampai kapan perasaan bodoh ini bersemayam dihatiku ?
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Aditya Naufal Agustin-
Aku mengetuk pintu rumah Dara berkali-kali. Tapi belum ada juga yang membukakan pintu. Kemana semua orang ? Ini bahkan baru pukul sembilan malam.
Ceklek.
"Lho, mas Adit toh." Sapa mbok Nah. Dia yang membukakan pintu untukku.
"Mbok, Dara mana ?"
"Mbak Dara ada di kamar mas. Sejak pulang gak keluar-keluar dari kamar. Mbak Dara juga gak makan malam. Mana Ibuk dan Bapak lagi gak dirumah." Keluh mbok Nah, dengan nada khawatir lebih tepatnya.
"Ayah sama Bunda belum pulang mbok ?"
"Belum mas. Ibuk bilang besok baru bisa pulang."
Aku menghela napas. "Ya udah, biar Adit yang bujuk Dara buat makan malam. Mbok siapin aja di meja makan makanannya."
"Baik mas."
Aku melangkahkan kaki menuju kamar Dara. Beruntunglah dia tidak mengunci kamarnya. Jadi aku bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk-ngetuk pintunya.
Aku masuk dan mendapati Dara yang tidur meringkuk seperti bayi di kasur. Pelan-pelan aku mendekatinya.
Pemandangan ini membuat dadaku sesak sekali. Rasanya ada sesuatu yang meremas-remasnya disana. Dara, tertidur dengan air mata yang masih ada di pipi. Sepertinya dia menangis hingga kelelahan.
Astaga.
Apa yang telah kulakukan ?
Bagaimana bisa aku menyakiti gadis kecilku ini ?
Salahkanlah aku yang tidak bisa menolak permintaan Sheila, putrinya Sasha untuk menemaninya bermain.
Tadi setelah mengantarkan mereka berdua pulang. Sheila sontak merengek-rengek minta ditemani untuk bermain. Dia juga berjanji akan meminum obatnya dengan rajin jika aku menyetujuinya.
Sungguh, aku tidak bisa menolak permintaan gadis kecil selucu Sheila. Apalagi aku tahu bahwa dia jarang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya karena Hana telah bercerai dengan suaminya dua tahun yang lalu.
Awalnya aku berencana akan menemani Sheila bermain sebentar saja. Setelah itu baru menemani Dara latihan menari balet. Namun rencana hanya tinggal rencana. Gadis kecil itu tidak mau kutinggal. Aku terpaksa menemaninya hingga dia tertidur.
Dan akhirnya aku menyakiti gadis kecilku sendiri. Dia pasti sangat sedih, karena ini pertama kalinya aku mengecewakannya. Selama ini aku selalu menuruti semua kemauannya agar dia bahagia. Bahkan dengan permintaan konyol sekalipun.
Aku menghela napas dengan berat. Berharap rasa yang menyesakkan ini berkurang. Tapi, bukannya berkurang. Rasa sesak ini semakin menjadi-jadi.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Dara tadi menungguku ditempat latihan. Dan memutuskan untuk pulang sendiri.
"Maafin mas." Ucapku lirih seraya menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. Lalu mengecup kepalanya dengan sayang.
Dara terbangun dari tidurnya. Perlahan-lahan dia membuka mata seraya mengernyitkan dahinya. Mungkin masih bingung dengan keberadaanku disini. Setelah itu dia memalingkan wajah sambil mengganti posisi tidurnya.
"Dara, mas minta maaf."
"Dara pengen sindiri mas." Ucapnya dengan suara serak. Entah karena bangun tidur atau karena terlalu lama menangis.
Aku mengelus kepalanya dengan sayang. "Sayaang. Mas benar-benar minta maaf. Mas janji gak akan ngelakuinnya lagi. Please, maafin mas ya." Ucapku memohon.
Dara diam saja, tidak juga melihatku. Dia malah menangis dalam diamnya dengan bahu bergetar. Dan itu sangat menyakitkanku.
Aku memeluknya dari belakang. Ikut berbaring di sampingnya. "Jangan seperti ini. Mas mohon."
"Mas jahat." Ucapnya dengan suara serak.
"Iya. Mas tahu."
"Mas gak sayang lagi sama Dara."
"Hei. Siapa yang bilang begitu ? Mas sayang sama kamu. Kamu adik kesayangan mas."
"Dara bukan adik mas."
"Kamu adik kesayangan mas, Dara."
Dia melepaskan diri dari pelukanku, lalu berbaring menghadapku. Aku refleks menyeka air mata di pipi dan sudut matanya.
"Jangan menangis lagi. Mas minta maaf." Ucapku pelan.
"Mas janji gak akan ninggalin Dara lagi ?"
"Janji."
"Ya udah, Dara maafin." Dia mengelap ingusnya dengan bajuku. Dan aku membiarkannya saja. Dari pada dia makin marah jika aku meledeknya saat ini.
"Sekarang ayo makan. Mbok nah bilang kamu belum makan. Mas gak mau kamu sakit."
Dara mengangguk lalu beranjak dari kasur. Kami lalu melangkah menuju meja makan.
Jangan pernah menangis lagi, princess. Ucapku dalam hati.
***
-Adara Fredella Ulani-
Hari minggu.
Yeeiii. Aku senang sekali pagi ini. Pasalnya mas Adit sudah berjanji akan mengajakku jalan-jalan untuk menebus kesalahannya beberapa hari yang lalu.
Aku memang sudah memaafkan mas Adit pada malam itu. Dia terlihat merasa bersalah sekali. Dan aku tidak suka melihat raut wajah sedihnya.
Lagian, aku juga tidak akan tahan marahan lama-lama sama mas Adit. Aku sudah terbiasa dengan keberadaannya disisiku.
"Selamat pagi Yah, selamat pagi Bunda." Sapaku dengan ceria.
"Pagi sayaang." Ucap mereka serempak seperti biasa.
"Anak ayah bahagia banget kayaknya. Ada apa nih ?" Tanya ayah.
"Iya dong yah. Mas Adit mau ngajakin Dara jalan-jalan hari ini. Boleh kan yah ?"
"Tentu saja boleh. Kamu sarapan dulu ya."
"Iya yah."
***
"Kita mau kemana mas ?" Tanyaku kepada mas Adit.
"Rahasia dong." Ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Mas Adit ih. Dara kan penasaran."
Mas Adit tertawa. "Udah, kamu tidur aja. Nanti kalau udah sampai mas bangunin."
"Tempatnya jauh mas ?"
"Lumayan. Sana tidur."
Aku menuruti perintah mas Adit. Menyandarkan badan lalu memejamkan mataku.
Entah berapa lama aku tertidur. Yang jelas sekarang aku sayup-sayup mendengar mas Adit memanggilku.
"Daraa. Bangun kita udah sampai."
Aku mengerjapkan mataku. Mencoba menyesuaikan penglihatan dengan cahaya silau didepan sana.
"Kita dimana mas ?" Tanyaku.
"Lihat aja ke depan." Perintah mas Adit.
Aku menoleh ke depan dan seketika berteriak histeris.
"Aaaaaaaaaak PANTAIIIIIII."
Aku membuka pintu mobil lalu berlari menuju tepi pantai. Membiarkan ombak membasahi kakiku.
"Mas. Siniiii." Ucapku sedikit berteriak seraya melambaikan tangan ke arah mas Adit.
Mas Adit menghampiriku dengan setengah berlari. Ya Tuhan. Mas Adit tampan sekali. Dia menggunakan kaos polos warna putih dipadukan dengan celana jeans pendek.
"Udah seneng ?" Tanya mas Adit.
Aku mengangguk antusias. "Mas kok gak bilang kita mau kepantai sih."
"Mas sengaja. Ntar kamu pake baju kurang bahan lagi." Dia mengacak rambutku pelan.
"Namanya juga kepantai mas, lihat aja noh mereka ?" Aku menunjuk beberapa wanita yang menggunakan bikini disini.
"Mas gak peduli sama mereka. Mas pedulinya sama kamu."
Aku merona seketika. Namun langsung mengalihkan pandangan. Aku tidak mau mas Adit mengetahui tentang perasaanku. Setidaknya bukan saat ini.
Aku kembali bermain-main dengan ombak. Membiarkan kaki dan celana yang kupakai basah. Sedangkan mas Adit hanya duduk dipasir sambil memperhatikanku.
Aku terlalu larut dalam kebahagiaan ini. Hingga tanpa aku sadari hari sudah menjelang sore.
"Sudah puas bermainnya ?" Tanya mas Adit.
"Tidak akan pernah puas mas. Memangnya kita mau pulang ?"
Mas Adit mengangguk. "Ada satu kejutan lagi dirumah yang menantimu." Jawab mas Adit sambil tersenyum misterius.
"Kejutan lagi ? Dara gak ngerasa ulang tahun hari ini." Aku mengerutkan dahi.
"Kejutan gak mesti nunggu ulang tahun, Dara."
"Baiklah. Ayo kita pulang mas. Dara udah penasaran banget."
Mas Adit tertawa. Lalu menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan menuju mobil sambil bercanda.
Aku jadi penasaran. Kejutan apa yang disiapkan oleh mas Adit ?
***
Aku melangkahkan kaki kedalam rumah dengan semangat. Kalau mas Adit tidak menggenggam tanganku dengan erat, sudah kupastikan aku akan berlari masuk kedalam.
Kami berdua masuk kedalam dan mendapati Ayah dan Bunda yang sedang menonton televisi dengan berangkulan mesra.
Aku menoleh ke arah mas Adit. "Mana kejutannya ?" Aku mengedarkan pandangan namun tidak menemukan sesuatu yang baru.
"Ada dikamar."
"Beneran ?" Aku berbinar lalu segera berlari menuju kamar. Sekilas aku mendengar tawa ayah dan bunda.
Ceklek.
Aku membuka pintu. Melihat seorang pria berdiri membelakangiku di pinggir ranjang.
"MAS FELIX !!" Aku berteriak histeris dan berlari untuk memeluknya.
Mas Felix membalikkan badannya tepat saat aku akan memeluknya. Mas Felix mengangkat tubuhku dan membuatnya berayun.
"Hentikan mas. Dara pusing." Protesku.
Mas Felix tertawa. "Kenapa kamu makin pendek gini ?" Godanya sambil tertawa.
"Enak aja. Ini bukan pendek. Tapi imut-imut." Balasku narsis. "Mas kapan nyampe ? Kok gak bilang Dara sih ?" Tanyaku.
"Kejutan sayang."
"Jadi mana oleh-oleh buat Dara ?" Aku mengulurkan kedua tanganku. Seperti anak kecil meminta permen.
Mas Felix menunjuk sisi samping ranjang. Disana ada koper yang sudah terbuka namun isinya masih terlihat rapi. Sekilas aku bisa melihat ada sepatu, tas, pakaian serta makanan ringan.
"Bukan yang itu." Protesku.
"Huh ? Terus ?"
"Kakak ipar Dara mana ?"
Mas Felix menyentil dahiku pelan. "Sabar kali. Mas baru dateng lho ini." Dengusnya.
Aku tertawa terbahak-bahak.
"Ehem. Sepertinya mas Adit bakal dilupain nih."
Aku menoleh, mendapati mas Adit berdiri sambil bersandar didinding kamarku seraya bersidekap.
Aku sontak berlari ke arah mas Adit dan memeluknya.
"Gak dong. Dara lebih sayang mas Adit dari pada mas Felix." Aku menjulurkan lidahku ke arah mas Felix.
Mereka berdua tertawa melihat tingkahku.
Aku semakin memeluk mas Adit dengan erat.
Ya Tuhan, betapa aku mencintai pria ini.
Mencintai Aditya Naufal Agustin.
Matahariku.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Aditya Naufal Agustin-
Aku meregangkan otot-ototku. Sekarang pukul enam. Aku beranjak ke kamar mandi lalu melakukan ritual mandi seperti biasa. Setelah itu baru berpakaian lengkap.
"Selamat pagi pa, ma." Sapaku kepada papa yang sedang sibuk membaca koran dan mama yang sedang menyiapkan sarapan.
"Pagi Dit." Balas mereka berbarengan.
"Praktek pagi ?" Tanya papa seraya melipat koran yang ada ditangannya.
"Iya pa. Papa kekantor ?" Tanyaku balik.
"Iya. Hari ini papa ada rapat sama perusahaan asing." Ucap papa menjelaskan. Papa adalah seorang CEO di perusahaan milik keluarga yang bergerak di bidang kontruksi.
Dulu papa ingin sekali aku meneruskan perusahaannya suatu saat nanti, namun aku lebih tertarik untuk menjadi seorang dokter anak. Ada kebahagian tersendiri bagiku saat melihat senyuman serta tawa bahagia anak-anak.
Beruntunglah papa mau menerima keputusanku itu.
"Selamat pagi ma, selamat pagi pa." Suara seorang gadis menyita perhatian kami. Aku menoleh mendapati Dara sedang berjalan dengan senyum ceria khas dirinya.
"Selamat pagi sayaang." Jawab papa.
"Pagi sayang. Udah sarapan ?" Tanya mama.
"Belum ma. Ayah sama Bunda pagi-pagi sekali udah berangkat ke luar kota. Dara sarapan disini aja ya ma." Ucapnya manja.
Aku sudah pernah bilang kalau dia sudah seperti anak gadis dikeluarga ini kan ?
"Tentu sayang." Jawab mama.
"Selamat pagi mas Adit." Ucapnya sambil tersenyum manis.
"Kakinya udah sembuh ?" Tanyaku.
Dia mengangguk. "Udah. Mas mau kerumah sakit ? Dara nebeng ya ?"
"Kita kan gak searah. Kamu nebeng sama papa aja sana."
"Mas Adit ih. Pelit ! Dara maunya dianter sama mas Adit." Ucapnya memberengut.
Aku mengacak rambutnya."Iya. Gak usah kayak bocah."
"Yeiiii." Dia berteriak dengan senang.
"Udah. Jangan berantem terus. Sekarang ayo sarapan." Tegur mama.
Kami lalu menghabiskan sarapan dengan tenang.
***
"Mas, nanti siang makan bareng ya." Ucap Dara.
Kami berada di mobil sekarang, dalam perjalanan menuju kampus Dara.
"Iya. Tapi mas gak bisa jemput kamu."
"Gak papa mas. Nanti aku naik taxi aja kayak biasa."
Sesampainya di kampus Dara, aku memberhentikan mobil tepat di depan gerbang pintu masuk.
"Belajar yang rajin." Nasehatku saat dia akan turun.
"Siap bos ! Mas hati-hati dijalan."
Dia melambaikan tangannya yang ku balas dengan senyum tipis. Setelah itu baru aku melajukan mobil menuju rumah sakit.
Dirumah sakit. Aku langsung memasuki ruanganku. Diluar sudah banyak anak-anak bersama orangtua mereka yang mengantri untuk diperiksa.
Tok tok.
"Masuk." Sahutku.
"Selamat pagi Dokter Adit, bisa kita mulai prakteknya sekarang ?" Tanya seorang wanita yang mengenakan baju khusus perawat.
"Pagi Suster Jena. Mari kita mulai."
Setelah itu Suster Jena memanggil pasien satu-persatu sesuai dengan urutan. Aku pun lalu meriksa kesehatan anak-anak itu satu persatu juga. Kebanyakan dari mereka mengalami flu dan batuk. Ada juga yang terluka ringan habis jatuh saat bermain.
"Ini permen untuk jagoan yang mau di suntik." Ucapku sambil tersenyum ramah seperti biasanya kepada pasien yang baru saja kuperiksa.
Aku memang selalu memberikan satu permen bertangkai kepada anak-anak yang selesai berobat. Itu akan membuat mereka sedikit senang dan melupakan sakit yang mereka rasakan.
Bukankah semua anak-anak menyukai permen ?
Anak itu langsung berbinar dan mengambil permen dari tanganku.
"Bilang apa sama Dokternya sayang ?" Tanya Ibu dari anak tersebut.
"Terimakasih Dokter." Ujarnya dengan senyum tulus khas anak-anak.
"Sama-sama sayang."
"Sekali lagi terimakasih Dokter, kami permisi dulu." Sahut Ibunya.
"Sama-sama bu. Semoga Reihan cepat sembuh."
Ibu dan anak itu lalu keluar dari ruanganku.
Aku melirik jam dipergelangan tanganku. Sudah hampir jam makan siang dan itu berarti sebentar lagi jam praktekku habis.
"Suster Jena, ada berapa pasien lagi ?" Tanyaku kepada Suster yang mendampingiku praktek hari ini.
"Tinggal satu Dokter." Ucapnya singkat.
"Baiklah, mari kita selesaikan praktek hari ini." Sahutku dengan semangat.
Suster Jena memanggil pasien terakhir. Pasien itu masuk bersama Ibunya.
"Selamat siang...Lho, Hana ?" Ucapku dengan sedikit terkejut.
Wanita di depanku ini adalah Hana. Seseorang yang pernah kucintai dulu. Sayangnya dia lebih memilih menikah dengan pengusaha muda yang kaya.
"Adit ?" Wanita itu nampak terkejut juga. "Apa kabar ? Udah lama banget ya kita gak ketemu?" Dia mengulurkan tangannya. Menyalamiku. Aku pun balas menyalaminya.
"Duduklah. Aku baik. Kamu apa kabar ? Siapa yang sakit ?"
"Aku juga baik. Ini, anak aku yang sakit. Ayo sayang, salim dulu sama om Adit." Hana menunjuk seorang anak perempuan yang kira-kira berusia 4 tahun. Hana menyuruh anaknya menyalamiku. Anak itu menurut dan tersenyum dengan manis. Dia cantik seperti ibunya.
"Halo om, aku Sheila." Ucapnya.
"Halo sayang, nama om Adit." Balasku. "Kemarilah, biar om periksa." Aku menyuruhnya berbaring di ranjang tempat biasa aku memeriksa pasien.
Setelah itu aku memeriksa kesehatan Sheila. Untunglah dia hanya demam biasa, aku hanya perlu memberi beberapa obat untuknya.
"Dia hanya demam biasa. Aku akan memberikan beberapa obat. Pastikan dia makan dengan teratur dan meminum obatnya." Ucapku kepada Hana.
"Syukurlah. Dia rewel banget kalo lagi sakit gini."
"Wajar aja Han, namanya juga anak-anak."
"Om ada hadiah buat Sheila yang cantik." Ucapku kepada Sheila.
"Apa om hadiahnya ?"
"Ini." Aku memberikan Sheila satu permen bertangkai seperti pasien lainnya.
"Terimakasih om." Ucapnya sambil tersenyum lebar.
"Sama-sama sayaang." Aku mengelus rambutnya pelan.
"Hm...Dit, kamu udah selesai praktek ?" Tanya Hana.
Aku mengangguk. "Udah, Sheila pasien terakhir hari ini." Ucapku.
"Kamu mau makan siang bareng kami gak ?"
Aku diam. Berfikir sebentar lalu menganggukkan kepala. "Oke, tapi nunggu adik aku dulu ya. Aku janji makan sama dia juga."
"Baiklaah."
***
-Adara Fredella Ulani-
Aku mengedarkan pandanganku keluar. Perjalanan menuju rumah sakit sedikit macet. Membuatku berkali-kali menghela napas.
Ponselku berdering. Nama Bunda tertera di layar. Aku langsung mengangkatnya.
"Halo Bun." Sapaku.
"Halo sayang. Kamu sudah makan siang ?" Tanya Bunda.
"Belum bun. Dara lagi dijalan mau kerumah sakit. Mau makan siang bareng mas Adit. Bunda sama Ayah udah makan ?"
"Udaah sayang. Bunda mau ngabarin kalau Bunda sama Ayah gak bisa pulang sore ini. Kamu gak papa kan tidur dirumah sendirian ?"
"Gak papa Bun. Kan ada mbok Nah juga. Bawain Dara oleh-oleh yang banyak yaa." Ucapku manja.
Bunda tertawa. "Iyaa. Baik-baik dirumah ya. Bye sayang."
"Bye Bun."
Bunda memutuskan sambungan telepon duluan. Aku lalu menyimpan ponsel ke dalam tas. Dan menikmati kemacetan dijalan yang mulai berkurang.
Sesampainya dirumah sakit aku langsung melangkah menuju ruangan praktek mas Adit. Aku sudah sering kesini, jadi aku sudah sangat hapal dimana tempatnya.
Saat mendekati ruangan itu, aku sontak diam mematung. Tidak melanjutkan jalanku. Disana, diluar ruangan terlihat mas Adit sedang tertawa dengan gadis kecil di gendongannya.
Namun bukan itu saja yang mengagetkanku. Disamping mas Adit ada seorang wanita cantik. Dia menatap mas Adit dengan...entahlah. Aku rasa dia menyukai mas Adit.
Mereka terlihat seperti keluarga bahagia saja.
Dadaku sesak seketika. Dan untuk pertama kalinya aku merasa ada saingan untuk mendapatkan mas Adit.
"Mas Adit." Aku memanggilnya. Dia menoleh lalu menghampiriku.
"Udah selesai kuliahnya ?" Tanya mas Adit, lembut seperti biasanya.
Aku mengangguk. "Udah mas."
"Oh ya kenalin, ini temen mas Adit. Hana namanya."
Aku lalu berkenalan dengan wanita yang bernama Hana itu, setelah itu mas Adit mengenalkanku dengan gadis kecil di gandongannya.
"Ayo, sekarang kita nyari makan." Ajak mas Adit.
"Kita ?" Tanyaku ragu.
"Iya, gak papa kan Hana sama Sheila ikut kita ?"
Aku mengangguk pasrah.
Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan ?
Di restoran, kekesalanku benar-benar memuncak. Bagaimana tidak, setelah tadi diperjalanan aku ditempatkan dibangku belakang bersama putri kecil wanita itu, sekarang dia malah memonopoli mas Adit.
Mas Adit juga menyebalkan. Bisa-bisanya dia mengabaikanku dan malah asyik mengobrol bersama wanita itu.
Aku sekilas mendengarnya bercerita tentang kehidupannya. Ternyata dia seorang janda beranak satu. Dan dia memiliki butik hasil dari pembagian harta gono gini dari mantan suaminya.
Fix ! Wanita ini akan menjadi saingan beratku.
Setelah menghabiskan makan siang dengan sangat terpaksa, karena aku sama sekali tidak menikmati makanannya. Sekarang kami berada dalam satu mobil kembali.
Mas Adit menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang yang tentu saja disetujuinya dengan senang hati.
"Mas, Dara mampir langsung ke tempat latihan aja." Ucapku datar.
"Baiklah. Nanti setelah mas nganterin Hana, mas langsung nyusulin kamu." Jawab mas Adit. Tanpa menyadari kekesalanku.
Beberapa saat kemudian, mas Adit memakirkan mobilnya di depan gedung tempat dimana aku berlatih menari balet. Aku turun dari mobil dengan wajah datar.
Aku Berpamitan kepada mas Adit dan berbasa-basi dengan wanita itu serta putri kecilnya. Setelah itu aku melangkah dengan gontai menuju ruangan tempat latihan.
Selama latihan, aku tidak fokus sama sekali. Fikiranku dipenuhi dengan fikiran-fikiran negatif tentang mas Adit dan wanita itu.
Apa saja yang mereka lakukan ?
Apa saja yang mereka bicarakan ?
Apa saja...?
Berbagai fikiran negatif itu tergiang-ngiang ditelingaku.
Aku menoleh ke tempat dimana mas Adit biasanya menungguku. Namun tempat itu kosong. Mas Adit belum datang. Ini bahkan sudah berjam-jam.
Aku melirik jam di dinding ruangan latihan. Aku menghela napas lalu memutuskan untuk berganti pakaian.
Sudahlah.
Aku lelah.
Aku tidak akan menunggu mas Adit. Dia tidak akan datang. Sungguh aku kecewa sekali. Aku sedih, karena ini pertama kalinya mas Adit mengingkari janjinya.
Dadaku sesak sekali. Aku berusaha untuk menahan tangisanku. Setidaknya sesampai dirumah nanti.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Adara Fredella Ulani-
Aku menggonta-ganti channel televisi. Mencoba mencari tontonan yang pas dan kusuka. Namun tidak ada yang menarik hatiku.
Aku mengerucutkan bibirku. Aku bosan, pengen keluar. Tapi Ayah sama Bunda gak ngizinin. Pasalnya kakiku masih terasa sedikit sakit untuk berjalan.
Rumah sepi sekali. Ditambah lagi dengan Bunda yang pergi nemenin Ayah ke kondangan. Aku merasa seperti tahanan saja.
Ponselku berdering. Aku langsung mengangkatnya saat melihat nama si penelpon dilayar.
"Masih inget Dara juga ?" Ucapku kesal, tanpa sapaan halo.
Si penelpon tertawa. "Halo sayang. Mas baik. Kesayangan mas apa kabar ?" Balasnya menyindirku.
"Dara sakit." Ucapku ketus.
"Sakit apa ? Terkilir doang kan ?" Ucapnya dengan nada geli. Kalau dia ada disini sudah pasti akan kupukuli dia dengan tanganku ini.
"Mas Felix !" Aku berteriak. Ya. Yang menelpon itu adalah mas Felix. Kakak kandungku yang sekarang berada di luar negeri. "Terkilir sakit tau. Dara gak bisa keluar rumah. Dara gak bisa nari balet. Kaki Dara juga sakit buat jalan." Ucapku lagi.
"Iya. Iya. Mas becanda. Makanya lain kali hati-hati. Mas gak mau kesayangan mas kenapa-napa." Nasehatnya dengan suara lembut seperti biasa. Aku merindukan kasih sayang mas Felix.
"Mass."
"Hm."
"Kapan pulang ? Dara kangeen." Rengekku.
Aku mendengar mas Felix menghela napas disana. "Mas belum tau dek. Mas masih pengen berkarir disini." Ucapnya.
"Kenapa harus disana sih mas ? Ayah udah tua lho. Kalau bukan mas yang bantuin ayah disini, siapa lagi coba ?"
"Kan ada kamu dek."
"Dara gak mau ! Dara mau mas pulang pokoknya !"
Mas Felix tertawa lagi. "Bawel ih. Sabar ya sayang. Ntar mas pasti pulang kok. Sekalian mas mau ngenalin seseorang sama kamu, sama ayah, sama bunda juga ?"
"Huh ? Mas Felix bawa pacar ?"
"Bukan. Tapi calon istri."
"Aaaaaa! Mas Felix. Dara pengen ketemu. Pokoknya cepetan pulang." Ucapku antusias.
"Mas udah bilang sabar kan sayang ? Udah ah, nelpon ke kamu mahal. Sekarang istirahat. Okay ?"
"Iya mas. Miss you."
"Miss you too princess."
Mas Felix mematikan sambungan teleponnya. Aku meletakkan ponsel dengan asal. Lalu kembali menggonta-ganti channel televisi.
"Mboooook, Dara mau jus jeruk doong." Aku berteriak kepada mbok Nah, asisten rumah tangga dirumah.
Merasa tidak ada sahutan, aku berdiri dan berniat untuk mengambil sendiri ke dapur.
Aku melangkah dengan kaki yang sedikit pincang. Menahan nyeri yang masih terasa setiap kali memijakkan kaki ke lantai.
"Hati-hati." Suara seseorang menghentikanku.
Aku menoleh dan mendapati mas Adit yang sedang melangkah ke arahku. "Mas Adit !" Seruku dengan mata berbinar.
"Mau kemana ?" Tanya mas Adit.
"Ke dapur mas. Dara pengen jus jeruk."
"Si mbok kemana ?"
"Gak tau, Dara udah panggil tapi gak ada sahutan."
"Ya udah, kamu tunggu disini aja. Biar mas yang ambilin."
Mas Adit melangkah ke dapur. Aku memperhatikannya dengan senyuman lebar yang terukir di bibirku. Mas Adit memang sudah biasa berada dirumahku, dia bahkan sudah dianggap seperti keluarga dirumah ini.
Begitupula saat aku berada di rumah mas Adit. Mama papa mas Adit juga sudah menganggapku sebagai anak. Apalagi mas Adit adalah anak tunggal. Mama mas Adit memanjakanku layaknya anak gadisnya.
"Masih sakit ?" Tanya mas Adit mengulurkan segelas jus jeruk kepadaku. Aku langsung meminumnya hingga menyisakan setengah gelas saja.
"Gak terlalu mas. Besok aku mau kekampus. Bosen dirumah terus." Ucapku seraya meletakkan gelas di atas meja.
"Kamu bosen ?"
Aku mengangguk. "Banget mas."
"Ayo, jalan-jalan sama mas." Ajaknya.
"Beneran mas ?" Mataku seketika langsung berbinar, namun kembali meredup saat mengingat sesuatu. "Nanti ayah marah mas. Ayah bilang aku gak boleh keluar dulu." Ucapku sendu.
"Gak papa, nanti mas yang bilang sama ayah. Lagian sejak kapan sih ayah marah kalau kamu pergi sama mas ?" Dia menaikkan sebelah alisnya.
Aku tersenyum lebar. "Bener juga. Ayo mas kita jalan-jalan. Gendong yaaaa." Ucapku manja.
"Manja !" Mas Adit mengacak rambutku pelan. "Kamu gak mau ganti baju ?" Dia menunjuk pakaian yang ku kenakan.
Aku memakai setelan baju tidur bergambar hello kitty berwarna pink.
Aku mengeleng. "Males. Nanti lama. Lagian kita kan muter-muter aja mas. Gak bisa turun juga. Mas gak malu kan ?"
"Ngapain malu. Orang-orang juga tahunya kamu masih bocah." Dia menjulurkan lidahnya.
"Mas ih ! Dara udah 20 tahun ya. Udah gak bocah lagi." Aku memberengut.
"Udah, gak usah sok dewasa. Cepetan sini naik."
Mas Adit berjongkok membelakangiku agar aku bisa naik kepunggungnya. Aku sontak naik, lalu melingkarkan tanganku di lehernya.
Setelah itu mas Adit menggendongku menuju mobilnya.
Yeii, akhirnya kebosanan ini berakhir juga. I Love you mas Adit, batinku.
***
-Aditya Naufal Agustin~
"Enak ?" Tanyaku kepada gadis dengan pakaian tidur bergambar hello kitty yang duduk di sebelahku. Siap lagi kalau bukan Dara. Adik yang aku sayangi.
Dia mengangguk dengan mulut penuh dan saus yang belepotan di sudut bibirnya. Persis sekali dengan bocah yang baru bisa makan.
"Mas mau ?" Dia menyodorkan sandwich yang berada di tangannya. Kami baru saja membelinya kepada penjual sandwich di pinggir jalan.
Aku menggeleng. "Gak. Mas masih kenyang." Ucapku sambil mengambil tisu di dashboard dan mengelapkannya ke sudut bibir Dara yang belepotan saus.
Sekarang sudah hampir jam 10 malam. Itu berarti hampir 2 jam kami berputar-putar di jalanan. Senyum bahagia tidak pernah hilang di bibir Dara.
Di bercerita banyak sepanjang perjalanan, termasuk tentang kerinduannya akan kampus, teman-temannya hingga kerinduannya akan menari balet. Padahal dia baru libur selama 2 hari. Bayangkan, DUA HARI ! Dan dia bertingkah seolah dia sudah tidak keluar rumah selama 2 tahun.
"Kita pulang sekarang ya. Nanti Ayah sama Bunda khawatir." Bujukku.
Dia melirik jam dipergelangan tangannya. Lalu memasang tampang memelasnya. "Dara masih pengen sama mas Adit." Ucapnya manja.
Aku berdecak. "Tiap hari ketemu juga !" Ucapku.
"Oh jadi gitu, mas Adit gak suka lama-lama deket Dara. Oke fine. Kita pulang. Dara pengen istirahat." Dia memberengut dibangkunya. Mengalihkan pandangan keluar jendela.
"Katanya udah 20 tahun, tapi masih suka ngambek kayak bocah." Ucapku dengan nada menyindir. Aku suka sekali menggodanya.
"Bodo !" Katanya.
Aku tertawa terbahak-bahak. Dara memang lucu sekali. Dia dengan sifat kekanak-kanakannya selalu mampu membuatku tertawa lepas sekaligus merasa bahagia.
Aku memakirkan mobilku di depan rumah Dara. Keluar dari mobil lalu melangkah ke sisi pintu sebelah Dara duduk.
Aku membuka pintu, lalu berjongkok agar dia bisa naik ke gendonganku.
"Ayo naik." Ajakku.
"Gak mau ! Dara mau jalan sendiri aja. Sana mas Adit pulang aja." Ucapnya dengan nada ketus.
Aku berusah menahan tawa. Kalau dia sedang dalam mood buruk begini, cara paling ampuh membujuknya adalah dengan kelembutan. Jangan membantahnya sama sekali. Kalau tidak dia akan berubah menjadi macan betina yang dipisahin paksa dengan anaknya.
"Jangan ngambek gitu dong. Mas Adit minta maaf. Oke ?" Bujukku.
"Au ah gelap !"
"Aaaaaa MAS ADIT !" teriaknya.
Aku memaksa untuk menggendongnya. Namun bukan di punggungku. Aku menggendongnya dengan bridal style. Dia lalu mengalungkan tangannya dileherku dan menenggelamkan wajahnya di dadaku.
Aku melangkah memasuki rumah Dara.
"Lho, Dara. Udah gede masih digendong mas Adit juga. Kasian mas Aditnya keberatan." Tegur Bundanya Dara. Beliau sedang menonton televisi bersama ayah.
"Gak papa bun. Dia kan ringan kayak bocah." Ucapku sambil tertawa, yang langsung dihadiahi pukulan didadaku oleh Dara.
"Yang sabar ya Dit, langsung suruh tidur aja Daranya." Ucap Ayah.
"Selamat tidur Yaah, Buun." Ucap Dara pelan, sepertinya dia mulai mengantuk.
"Selamat tidur sayang." Jawab ayah dan bunda berbarengan.
"Adit nganter Dara ke atas dulu ya Bun, Yaah." Pamitku.
Bunda dan Ayah mengangguk. Aku lalu melangkah ke lantai atas, tempat dimana kamar Dara berada.
Aku menidurkan Dara dikasur. Menyelimutinya hingga menutupi lehernya. Lalu mengecup dahinya pelan.
"Good night, princess." Ucapku.
Aku dan Felix sering memanggilnya dengan sebutan princess. Dia memang tuan putri dikeluarga ini, dan juga dikeluargaku. Karena dia sudah seperti anak sendiri bagi orangtuaku.
Setelah itu, aku meninggalkan kamarnya. Membiarkan dia tertidur dengan lelap.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
-Adara Fredella Ulani-
Tok tok tok.
"Daraaa. Banguuuun. Katanya kamu kuliah pagi."
"Yaa Buuun."
Aku meregangkan badanku, lalu melirik jam yang menggantung di dinding kamar. Disana tertera jam tujuh lewat dua puluh menit. Bagus sekali. Sepertinya aku akan telat. Mengingat perkuliahannya dimulai jam delapan tepat.
Aku beranjak ke kamar mandi. Mandi dengan kilat. Setelah itu bersiap-siap dan dandan dengan kilat juga.
"Pagi yaah, pagii bun." Sapaku, lalu duduk di kursi meja makan seperti biasanya.
"Selamat pagi sayang." Jawab ayah dan bunda berbarengan.
"Yaah, Dara nebeng ayah aja ya kekampusnya." Ucapku, sambil mengunyah sarapan yang sudah di sediakan oleh bunda.
"Iya sayang." Jawab ayah.
Setelah itu kami melanjutkan sarapan dengan tenang.
Aku Adara Fredella Ulani, anak bungsu di keluarga ini. Aku mempunyai seorang kakak yang bernama Felix Fernando. Dia sedang diluar negeri sekarang.
Aku adalah seorang ballerina, tapi juga seorang mahasiswi di salah satu universitas swasta. Dan itu membuatku banyak menghabiskan waktu diluar rumah dan menguras banyak energiku.
Menjadi seorang ballerina bukanlah cita-citaku. Namun karena mas Adit, pria yang kucintai sangat menyukai wanita yang sedang menari balet. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut berlatih menari balet.
Aku belum cerita tentang siapa mas Adit bukan ?
Baiklah, akan kuceritakan.
Namanya Aditya Naufal Agustin. Aku biasa memanggilnya dengan panggilan mas Adit. Dia seorang dokter anak di salah satu rumah sakit swasta.
Awal perkenalan kami dimulai saat dia baru pindah ke rumah tepat di sebelah rumahku. Saat itu usiaku 13 tahun. Pertama kali melihat raut wajah tampannya serta sifat ramah dan penyayangnya, aku langsung dibuat jatuh cinta.
Sungguh, ini bukan cinta monyet seperti yang sering dibilang orang-orang. Karena saat usiaku mencapai 20 tahun, aku masih tetap mencintainya. Bahkan sangat mencintainya.
Namun sayangnya, mas Adit sama sekali tidak mencintaiku. Dia menganggapku sebagai seorang adik. Padahal sudah jelas-jelas kami tidak memiliki hubungan darah.
Menyebalkan sekali.
"Woii. Daraa. Ngelamun lo ?" Suara berisik seorang wanita mengagetkanku.
Aku menoleh, mendapati Kanaya, sahabatku yang sedang menatapku dengan raut wajah kesal.
"Apa ?"
"Kuliah udah selesai. Lo mau tidur dikelas ?" Ucapnya kesal.
Aku mengedarkan pandangan ke ruangan kelas yang sudah kosong. Hanya tinggal aku berdua saja dengan Kanaya. Aku menyengir ke arah Kanaya.
"Ayo, keluar." Ajaknya.
Kami berjalan dilorong kampus menuju parkiran.
"Lo mau langsung pulang ?" Tanya Kanaya.
Aku menggeleng. "Aku mau kerumah sakit. Nemuin mas Adit."
Kanaya berdecak. "Masih berusaha aja lo buat dapetin mas Adit ?"
Aku mengedikkan bahu. "Sepertinya sih gitu." Ucapku.
Kanaya memang telah ku ceritakan semua tentang mas Adit. Dan tentang perasaanku kepada mas Adit.
Dan kalian tau apa tanggapannya ?
Dia menganggapku sudah gila. Karena mencintai seseorang sampai segitunya.
"Ya udah gue pulang duluan ya, lo hati-hati dijalan."
"Oke Nay. Lo juga hati-hati." Aku melambaikan tangan.
Aku memasuki taxi yang terparkir di depan gerbang kampus. Menyebutkan alamat rumah sakit tempat mas Adit kerja. Lalu membiarkan sopir taxi melajukan mobilnya menuju rumah sakit.
Aku mengambil ponsel lalu mengetikkan pesan buat mas Adit.
Mas, Dara otw rumah sakit. Makan siang bareng ya ? ;;)
Beberapa saat kemudian, balasan pesan dari mas Adit masuk. Aku bergegas membacanya.
Iya. Mas tunggu di depan. Mas udah kelar praktek.
Oke mas.
Aku kembali memasukkan ponsel kedalam tas. Mengalihkan pandangan keluar jendela dan menikmati pemandangan diluar sana.
Tidak butuh waktu lama, taxi yang kutumpangi berhenti di depan rumah sakit yang kutuju. Aku memberikan beberapa lembar uang untuk membayar ongkosnya.
Dari kejauhan aku melihat mas Adit melambaikan tangan. Aku menghampirinya dengan sedikit berlari.
"Udah berapa kali mas bilang, jangan lari-lari !" Omelnya.
Aku mengerucutkan bibirku. "Dara baru dateng lho mas, udah dimarahin aja."
"Siapa suruh bandel !"
Aku semakin mengerucutkan bibirku. Mas Adit memang begitu. Suka galak kalau aku bikin salah. Dulu, saat aku kecil, aku sering sekali terjatuh karena lari-larian. Makanya mas Adit selalu marah kalau aku mulai lari-larian gitu.
"Mas, Dara lapeeeer." Ucapku manja seraya melingkarkan tanganku dilengan mas Adit. Kebiasaanku saat bersamanya.
"Kamu mau makan apa ?"
"Makan apa aja asal sama mas Adit."
Mas Adit menyentil dahiku pelan. "Anak kecil gak boleh ngegombal. Gak pantes."
"Dara serius kali mas."
Mas Adit mengabaikan ucapanku. Lebih memilih mengajakku ke mobilnya yang terparkir di pelataran parkir rumah sakit.
Setelah itu dia melajukan mobilnya.
***
-Aditya Naufal Agustin-
Aku memusatkan perhatianku kepada sekelompok orang yang sedang berlatih menari balet. Lebih tepatnya kepada gadis cantik dengan baju balet yang melekat sempurna di tubuhnya.
Dia adalah Adara Fredella Ulani. Gadis yang menempati rumah tepat di sebelah rumahku. Aku masih sangat ingat saat pertama kali melihatnya.
Dia berusia 13 tahun saat itu, sedangkan aku sudah berusia 22 tahun. Waktu itu dia sedang bermain kejar-kejaran bersama kakaknya yang bernama Felix. Dia berlari sambil tertawa lebar. Dia terlihat bahagia sekali. Seolah tidak ada hal yang mengganggu fikirannya. Dia tertawa dengan lepas. Yang membuatku tanpa sadar mengukir senyuman tipis dibibirku.
Aku masih saja memperhatikan sampai akhirnya dia terjatuh dengan posisi menelungkup. Aku refleks berdiri untuk membantunya. Namun kakaknya lebih dulu menghampirinya. Dara menangis sesegukan, lututnya luka mengeluarkan darah. Felix langsung menggendong Dara dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Sejak saat itu, entah kenapa aku ingin melindunginya.
"Mas. Dara mau minumnya." Ucap Dara sambil menjulurkan tangannya.
Aku memberikan sebotol air mineral kepada Dara. Mengambil tisu di dalam tas Dara lalu mengelap keringat di dahi dan lehernya.
"Capek ?" Tanyaku.
Dara mengangguk. "Lumayan. Tapi Dara seneng ditemenin mas Adit." Dia tersenyum lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang putih dan bersih.
"Kalau capek gak usah nerusin balet lagi. Fokus kuliah aja."
Dia memberengut. "Mas Adit ih, dari dulu gak suka banget Dara ikutan latihan nari balet."
"Bukannya gak suka. Mas Adit gak mau kamu kecapekan terus sakit. Kuliah aja udah bikin pusing dan capek, ditambah lagi sama latihan balet." Ucapku menjelaskan.
"Dara suka nari balet. Kan mas Adit udah ngasih vitamin buat Dara. Jadi Dara gak akan gampang sakit."
Aku menghela napas. "Ya udah, pokoknya kamu jaga kesehatan terus."
"Siap bos !" Dia mengangkat tangannya, memberi hormat. "Mas, Dara latihan lagi ya. Bentar lagi selesai kok." Ucapnya lalu kembali ke arah sekelompok teman-temannya.
Aku kembali memperhatikan Dara yang mulai menari balet, badannya lentur sekali. Dia terlihat semakin cantik saat melangkah, berputar-putar dan melompat sesuai dengan gerakan balet dan irama musik.
Sejujurnya aku memang sangat suka melihat wanita yang sedang menari balet. Namun pengecualian bagi Dara. Aku tidak mau dia terlalu capek terus jatuh sakit.
Apalagi harus membiarkan dia menggunakan pakaian khusus menari balet yang membuatnya terlihat semakin cantik dan sedikit...sexy.
Dengan warna kulit yang putih bersih membuatnya terlihat bersinar di antara teman-teman yang lainnya.
"Astaga, Dara !" Seru beberapa orang teman Dara.
Aku menoleh dan mendapati Dara yang sedang jatuh terduduk. Dia terlihat kesakitan sembari memegang pergelangan kakinya. Aku sontak berlari kearahnya.
"Mas, sakiiit." Rengeknya.
"Jangan di apa-apain dulu." Tegurku.
Aku menggendong Dara lalu membawanya ketempat dimana tadi aku menungguinya. Dan mendudukkannya disana. Lalu mulai memeriksa kakinya.
"Kaki kamu terkilir. Gak papa. Nanti juga sembuh." Ucapku setelah memeriksa dan sedikit memijitnya.
"Tapi sakiit." Dia masih saja merengek.
"Kalau gitu besok-besok gak usah latihan balet lagi."
"Udah gak sakit. Ayo pulang mas. Dara mau istirahat dirumah aja."
Aku tersenyum tipis. Dara memang keras kepala. Entah apa yang membuatnya begitu kekeh untuk tetap berlatih balet.
"Baiklah. Ayo pulang."
Aku kembali menggendong Dara sampai ke mobil. Lalu melajukan mobil menuju rumah.
Bersambung ~
My Lovely Son
Beberapa bulan kemudian.
Sasha pov
Senyum merekah tidak hilang-hilang dari bibirku. Aku mengedarkan pandangan ke sisi kanan ruangan, disana ada Bimo yang sedang digandeng Oma dan Opanya.
Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang lucu. Bimo tertawa lepas, hingga membuat matanya menjadi sipit.
Aku menoleh ke arah lain, disana ada Renata bersama teman-temannya. Mereka juga terlihat sedang membicarakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Jika aku tidak salah menebak, pembicaraan mereka tidak akan jauh-jauh dari cowok. Ya, saat para gadis bersama apalagi yang akan mereka bicarakan selain itu ?
Aku kembali mengalihkan pandangan ke arah lain. Disana ada Dinda dan Dion, sahabatku yang luar biasa. Tuhan begitu baik kepadaku hingga menghadirkan mereka di dalam hidupku. Bahkan di titik terendah hidupku. Mereka tetap berada disisiku, memberikan support dan membantuku melewati kerasnya kehidupan.
"Kamu bahagia ?"
Aku menoleh, mendapati Bima sedang tersenyum bahagia.
Aku mengangguk. "Sangat. Aku bahkan tidak pernah bermimpi akan memperoleh kebahagian seperti ini."
"Aku akan selalu membahagiakanmu, istriku."
Aku merona mendengarnya. Ya. Setelah melewati hari-hari terburuk dalam hidupku, beberapa rintangan didalam hubungan kami dan proses ijab kabul yang di adakan tadi pagi, akhirnya kami resmi menjadi sepasang suami istri.
Dan sekarang adalah resepsinya yang di adakan di ballroom salah satu hotel berbintang.
Aku bersyukur sekali kembali dipertemukan dengan Bima, pria yang kubenci selama bertahun-tahun. Jika waktu bisa di putar, aku akan tetap memilih untuk bertemu dengannya walaupun harus dimulai dengan satu kesalahan.
Sekarang, dia bukan lagi sosok yang kubenci sepenuh hati. Aku telah jatuh ke dalam pesonanya. Pria tampan dengan kasih sayang luar biasa.
Dia melakukan segala cara untuk membahagiakanku dan juga membahagiakan Bimo, malaikat kami.
"Bawaan penganten baru emang gitu. Bini lo jangan diliatin mulu Bim. Masih banyak orang ni. Tahan bentar napa." Ucap Roy, sahabat Bimo yang datang bersama dengan Dika.
"Berisik lo. Sirik ya lo gue tinggal nikah ?" Jawab Bima.
"Ngapain mesti sirik, yang penting masih banyak cewek yang ngantri buat nemenin malam-malam gue."
"Kamvret lu ! Bahasa please. Jangan racuni fikiran istri gue dengan kata-kata hina lo."
Roy dan Dika sontak tertawa. Aku hanya bisa senyum sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka.
"Btw selamat bro, akhirnya lo nemuin kebahagiaan lo juga." Ucap Dika tulus. Lalu kembali melanjutkan "Sha, gue turut prihatin ya. Semoga lo betah sama si kamvret ini." Ucapnya lagi.
Aku sontak tertawa mendengarnya. Sedangkan Bima mengumpat kepada Dika. "Thank you ya Dik, semoga lo cepet nyusul ya." Balasku dengan tulus.
"Bim, selamat ya. Gue seneng akhirnya lo membuktikan bahwa lo gak penyuka sesama jenis."ucapnya seraya tertawa. Lalu kembali melanjutkan. "Sha, kalo lo udah bosen sama Bima lo bisa datangin gue kok."
"Kamvret lo pada ya. Gih sana pergi. Sebelum gue bunuh lo berdua disini." Bima mendorong Roy dan Dika agar segera pergi dari kami.
Mereka semakin terbahak-bahak mendengar ocehan Bima. Lalu melangkah meninggalkan kami.
"Kok bisa sih aku punya sahabat kayak mereka." Bima menggerutu.
Aku tertawa. Lalu mengelus dadanya pelan. "Jangan marah-marah. Udah jadi ayah juga." Ucapku lembut.
Dia tersenyum lalu berbisik ke telingaku. "Habis ini kita langsung bikin adik buat Bimo ya, kasian dia gak ada teman main dirumah."
Aku memukul dadanya pelan. "Alesan ih. Itu mah maunya kamu!"
"Kan udah halal sayang. Yaa yaa yaa." Dia menunjukkan wajah memelasnya.
Aku menutup mukanya dengan tanganku. "Iya."
Bima langsung berbinar mendengar jawabanku.
"I Love you." Ucapnya sambil tersenyum tulus.
"Love tou too." Balasku dengan senyum tulus juga.
Kehidupan kami yang sebenarnya akan dimulai dari sekarang. Semoga kebahagiaan selalu menyertai keluarga kecil kami.
-end-
My Lovely Son
Sasha pov
"Sha, kamu bangunin Bimo sama Bima dulu sana. Ini biar mama yang lanjutin dulu." Ucap mamanya Bima seraya mengaduk nasi goreng di dalam wajan.
"Iyaa ma." Ucapku.
Aku melangkah menuju kamar tamu dirumah ini. Kamar yang kutempati bersama Bimo semalam dan jika menginap disini.
"Bim, bangun yuk sayang." Aku menepuk pelan badan Bimo.
Dia bergumam lalu mulai membuka matanya pelan-pelan.
Menggemaskan sekali.
"Udah pagi ya Bun ?" Tanyanya.
"Iya. Ayo mandi. Oma udah masakin nasi goreng buat Bimbim." Aku mengelus kepalanya dengan sayang.
Mendengar kata nasi goreng yang dibuat Omanya dia langsung bersemangat. Mengambil handuk dan beranjak kekamar mandi.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Bimo memang dekat sekali sekarang dengan semua keluarga Bimo.
Aku membereskan tempat tidur lalu menyiapkan baju yang akan dipakai Bimo hari ini dan meletakkannya di atas kasur.
Setelah itu beranjak kekamar Bima.
Dikamar Bima, aku melihat dia masih tertidur dengan posisi menelungkup. Selimut yang dipakainya hanya menutupi wilayah pinggang ke bawah. Sehingga aku bisa melihat punggung Bima yang terlihat sangat enak untuk dipeluk.
Aku menggeleng. Mengusir fikiran-fikiran liar yang mulai mengganggu. Lalu mendekati tempat tidur Bima.
"Bim. Banguuun. Udah pagi." Aku menepuk-nepuk pelan punggungnya. Namun tidak ada jawaban sama sekali.
"Bim ! Cepetan bangun." Aku menggoyang-goyangkan badannya dengan kencang. Dan berhasil. Dia mulai membuka matanya.
"Good morning sayang." Ucapnya sambil tersenyum dengan suara serak khas bangun tidur.
"Pagi. Ayo bangun. Sebentar lagi sarapan." Ucapku, lalu berniat untuk beranjak dari kasur Bima. Tapi tangan Bima lebih dulu menahanku.
"Kenapa ?" Ucapku heran.
"Duduk dulu." Ucapnya. Dan aku menurutinya.
Bima duduk diatas kasurnya lalu secepat kilat mengecup bibirku. "Morning kiss." Ucapnya sambil tersenyum lebar.
"Mesum !" Ucapku pura-pura marah.
"Cepetan mandi, habis itu sarapan. Gak enak nanti mama papa nungguin lama." Ucapku lagi lalu melangkah keluar dari kamar Bima.
***
"Oma, Bimbim mau nambah telurnya." Bimo menyodorkan piringnya ke arah Omanya.
"Ini sayang. Makan yang banyak ya."
"Ok ma. Nasi goreng Oma enak."
"Jadi nasi goreng buatan Bunda gak enak ?" Ucapku pura-pura ngambek.
Bimbim tertawa. "Nasi goreng bunda enak juga. Tapi nasi goreng oma lebih enak." Ucapnya.
Kami semua sontak tertawa.
Aku suka suasana pagi disini.
***
"Bim, kita mau kemana sih ?"
"Rahasia sayang." Ucapnya sambil tersenyum misterius.
Aku penasaran sekali. Sudah satu jam lebih di perjalanan tapi belum sampai-sampai juga.
Bima memakirkan mobilnya di sebuah toko bunga.
"Kamu tunggu disini sebentar. Oke ?"
Aku mengangguk. Membiarkan Bima masuk ke toko bunga tersebut. Beberapa saat kemudian Bima keluar dengan dua buket bunga di tangannya. Bima meletakkan kedua buket bunga tersebut dibangku belakang.
"Bunga buat siapa ?" Tanyaku dengan nada heran.
"Buat orang spesial." Jawab Bima yang sukses membuat kerutan didahiku semakin dalam.
Aku membiarkan Bima meneruskan kebungkamannya. Entah sudah berapa lama hingga akhirnya Bima memakirkan mobilnya di sebuah tempat pemakaman.
Dan aku sangat tau sekali tentang tempat ini.
"Ayo. Ikut aku." Bima mengulurkan tangannya. Kami berjalan beriringan memasuki area pemakaman.
Kami berdua berhenti di depan dua makam orang yang kusayang dan kucintai seumur hidupku.
"Biimmm." Ucapku lirih sambil berkaca-kaca.
Makam didepan kami adalah makam mama dan papaku. Kenangan masalalu bersama mereka sontak menyeruak di ingatanku. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa bisa ku cegah.
Aku merindukan mereka.
Aku meluruh. Jatuh terduduk di depan makam mereka.
"Maa...pa...Sasha kangen." Ucapku dengan isak tertahan.
Bima berjongkok disampingku seraya melingkarkan tangannya di bahuku. Mengelus pelan disana. Memberikan kekuatan.
Dia meletakkan masing-masing satu buket bunga di makam mama dan papa.
"Halo ma, pa. Kenalin saya Bima. Bima ingin mengucapkan terimakasih kepada mama dan papa karena telah melahirkan dan membesarkan wanita hebat seperti Sasha. Bima juga ingin meminta maaf karena Bima telah menyakiti Sasha di masalalu. Bima menyesal ma, pa. Sungguh, jika waktu bisa diulang Bima tidak akan meninggalkan dia dan akan selalu membahagiakannya. Oh iya, Bima juga mau minta izin mama dan papa. Bima ingin menikahi Sasha. Bima harap mama dan papa bahagia disana."
Aku menoleh ke arah Bima. Dengan air mata yang mengalir deras di pipi. Aku terharu sekali.
Entah kebaikan apa yang telah kuperbuat hingga Tuhan memberikanku Bima dalam hidupku.
Aku makin menangis terisak-isak.
"Hei, jangan menangis lagi. Aku gak mau mama sama papa nganggepnya aku gak bisa bikin kamu bahagia." Ucap Bima seraya memelukku.
"Terimakasih Bim." Aku makin terisak dipelukannya.
"Sssshh. Tenang sayang. Jangan nangis lagi please." Dia mengelus punggungku.
"Aku sayang kamu."
"Aku lebih sayang kamu." Bima mengecup puncak kepalaku berkali-kali.
Maa, paa, Sasha rindu. Maafin Sasha udah ngecewain mama dan papa waktu itu. Mama dan papa bahagia disana ya. Sasha sayang mama dan papa, aku berbicara didalam hati.
Bersambung ~
My Lovely Son
Bima pov
"Sayaang. Udah selesai belum ?" Tanyaku sedikit berteriak.
"Sebentar lagii." Jawab Sasha dengan berteriak juga.
Aku sedang berada di sofa ruang tamu Sasha. Menungguinya keluar dari kamar sejak satu jam yang lalu. Aku heran dengan kebiasaan wanita yang satu ini.
Kenapa dandan saja mesti lama sih ?
Malam ini, aku akan menghadiri acara pernikahan salah satu kolega bisnisku. Dan aku membawa Sasha sebagai pasangan.
Sementara Bimo sudah kami ungsikan kerumah orangtuaku yang ditanggapi dengan lompat-lompat bahagia olehnya.
Sejak bertemu sebulan yang lalu, jagoanku itu selalu merengek tiap weekend untuk dibawa kerumah Oma dan Opanya. Dia memang senang sekali berada disana. Bagaimana tidak, dia sangat dimanjakan oleh mamaku, papaku dan juga Renata.
"Aku udah selesai. Ayo berangkat."
Aku menoleh, mendapati Sasha terlihat sangat cantik dibalut gaun malam nan sexy.
Aku menaikkan sebelah alisku. "Kamu harus banget pake baju gitu ?" Tanyaku tidak suka.
"Iya. Memang kenapa ? Gak cantik ya ?"
Aku menggeleng. "Cantik kok. Tapi aku gak suka."
"Kenapa ? Aku suka kok."
Aku mendekati Sasha. Berdiri tepat di depannya. Lalu menelusuri pundaknya yang hanya tertutupi tali kecil dengan jari telunjukku.
"Aku gak suka orang-orang menikmati pemandangan seindah ini." Ucapku.
Dia merona. Makin menambah kecantikannya.
"Lebay ih." Ucapnya seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Ganti ya sayang yaa." Bujukku.
Dia menggeleng. "Aku suka gaun ini. Udah lama banget gak pake gaun kayak gini. Lagian kan nanti aku sama kamu terus. Jadi ada yang jagain. Sekali iniiiiii aja. Ya Bim yaa." Ucapnya dengan wajah memelas.
Aku menggeleng dengan tegas.
Sasha melangkah selangkah lagi. Hingga menyisakan jarak sedikit saja di antara kami. "Sayaaaaaang. Sekali ini ajaaa ya. Janjiii deh." Ucapnya manja di akhiri dengan kecupan di pipiku.
Wanitaku sudah pintar menggoda sekarang.
Aku menghela napas. Salahkanlah aku yang gampang terbujuk seperti ini. "Baiklah, tapi dengan satu syarat."
Wajah Sasha langsung berbinar. "Apa syaratnya ?"
"Kamu gak boleh jauh-jauh dari aku. Walaupun sedetikpun."
"Siap bos !"
Sasha lalu melingkarkan tangannya di lenganku. Dan kami berangkat menuju tempat resepsi pernikahannya.
***
Sesampainya di ballroom hotel, tempat dimana resepsi berlangsung, kami langsung masuk ke dalam.
Ruangan ini sudah dipenuhi oleh para tamu undangan. Aku menyuruh Sasha tetap melingkarkan tangannya dilenganku.
"Rame banget yang dateng." Ucap Sasha.
"Iya. Makanya jangan jauh-jauh dari aku. Nanti kamu hilang."
Dia memukul lenganku pelan. "Emangnya aku anak kecil." Dengusnya.
Aku tertawa. "Iya deh yang udah bisa bikin anak kecil." Godaku.
"Bima !"
"Apa sayang ?"
"Jangan becanda. Banyak orang. Malu kalau kedengeran yang lain."
Aku tertawa lagi. Sasha menggemaskan sekali kalau lagi ngomel-ngomel begini.
Boleh nyium disini gak sih ?
Aku mengajak Sasha ke arah kedua mempelai berada. Mengucapkan selamat kepada mereka lalu melangkah menuju tempat makanan berada.
"Lho, Sasha kan ?"
Suara seorang pria dari arah samping menghentikan jalan kami. Lalu menoleh kearah dimana suara itu berasal.
"Dava ? Kamu disini juga ?" Jawab Sasha antusias.
Aku mengernyitkan dahi. Apa-apaan ini ? Siapa dia ? Aku tidak pernah melihatnya berada disekitar Sasha sebelumnya.
"Iya. Yang nikah itu rekan bisnis aku." Jawab pria bernama Dava itu sambil tersenyum lebar.
Sasha mengangguk-nganggukkan kepalanya.
"Kamu apa kabar ? Udah lama banget ya kita gak ketemu. Bimbim gak di ajak ?" Tanyanya lagi.
"Iyaa. Udah lama banget. Bimbim lagi sama Oma Opanya."
"Ehem." Aku berdeham. Menghentikan obrolan mereka. Bisa-bisanya Sasha mengabaikanku.
"Oh iya Dav, kenalin ini..."
"CALON SUAMI Sasha." Aku memotong ucapan Sasha. Sengaja menekankan kata CALON SUAMI seraya mengulurkan tanganku.
"Dava." Ucapnya sambil menjabat uluran tanganku.
"Sayang, pulang sekarang ya. Nanti Bimbim kelamaan nunggu kita. Permisi Dava."
Aku melingkarkan tanganku dipinggang Sasha. Lalu menariknya keluar dari ruangan ballroom hotel.
"Kamu kenapa sih ? Gak sopan tau." Protes Sasha.
Aku diam, tidak menanggapi ucapan Sasha. Entahlah, rasanya aku sangat kesal melihat interaksi mereka berdua.
***
Sasha pov.
Aku memberengut di mobil. Kami sedang diperjalanan ke rumah. Aku kesal sekali dengan tingkah Bima yang kekanak-kanakan.
"Kalau kamu gak mau ngomong. Turunin aku di sini." Aku mencoba memancing Bima untuk bicara. Pasalnya setelah meninggalkan hotel dia tidak mau berbicara denganku.
Bima masih saja diam. Fokus memandang ke depan.
Aku menghela napas. Sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang.
Entah berapa lama kami dalam keheningan. Sekarang mobil Bima sudah terparkir di depan rumahku. Aku keluar lebih dulu dan menutup pintu mobil dengan sedikit kencang.
Didalam rumah, aku langsung melangkah menuju dapur. Seperti biasa aku butuh air dingin untuk mendinginkan kepalaku yang terasa panas.
Setelah itu melangkah ke arah kamar untuk mengganti pakaian.
Aku keluar dari kamar. Mendapati Bima duduk menyandar di sofa ruang tamu sambil memejamkan matanya.
Aku mendekatinya. Memilih duduk tepat di sebelahnya. Aku tidak suka dia mendiamkanku begini.
Aku menyandarkan diriku di bahunya dengan tangan melingkar diperutnya.
"Kamu marah sama aku ya ?" Ucapku sambil mendongak. Berharap Bima mau membuka matanya dan melihatku.
Bima menunduk. Menatapku dengan tatapan...kesal mungkin. Dia mengelus kepalaku dengan sayang.
"Aku gak marah. Cuma kesal aja."
"Kesal kenapa ?" Aku mengerutkan dahi.
"Kamu sadar gak sih, si Dava-Dava itu suka sama kamu ?" Ucapnya ketus.
"Dava ? Kamu cemburu sama dia ?"
"Aku gak suka kamu deket-deket dia. Aku gak suka cara dia natap kamu. Kamu cuma milik aku." Ucapnya tegas.
Aku sontak tertawa. Ini lucu sekali.
"Kenapa tertawa ?"
"Kamu lucu."
"Apanya yang lucu. Aku serius ya Sha. Jangan deket-deket dia lagi."
Aku memeluknya lebih erat.
"Iya.iya. Lagian siapa juga yang mau deket-deket dia. Mending deket-deket kamu." Ucapku dengan manja.
Aku sudah tau bagaimana cara menaklukan Bima, apalagi jika sedang marah begini.
Cukup dirayu sedikit dengan pelukan atau kecupan kecil. Dijamin dia bakal luluh.
"Baguslah."
"Jadi udah gak marah kan ?" Tanyaku.
"Masih."
"Lho kok gitu."
"Kamu belum cium aku. Cium dulu baru aku gak marah lagi." Ucapnya jahil.
"Males!"
Aku melepaskan diri dari Bima lalu berlari menuju kamarku.
"Heii..kita harus kerumah mama." Ucapnya sedikit berteriak.
"Iyaa bawel." Jawabku berteriak juga.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
Namanya Aditya Naufal Agustin yang berarti Pemuda tampan yang dermawan yang penuh keagungan laksana matahari.
Dia memang tampan.
Dia adalah matahariku.
Aku mencintainya sejak berusia 13 tahun. Namun hingga usiaku mencapai angka 20 tahun. Dia tetap saja menganggapku sebagai seorang adik.
Aku melakukan segala cara untuk menarik perhatiannya. Termasuk menjadi seorang ballerina. Mas Adit bilang, dia sangat menyukai wanita saat menari balet. Dan yap, aku melakukannya. Aku adalah seorang ballerina sekarang. Tapi sepertinya mas Adit tidak juga melirikku sebagai seorang wanita.
Apalagi yang harus kulakukan agar dia mau melirikku ?
-Adara Fredella Ulani-
***
Namanya Adara Fredella Ulani yang berarti perempuan yang cantik yang selalu riang gembira dan membawa kedamaian.
Dia memang cantik.
Sesuai namanya dia juga sangat periang dan juga membawa kedamaian terutama bagiku.
Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku selalu melakukan apapun asal itu bisa membuatnya bahagia. Termasuk mengizinkannya menjadi seorang ballerina.
Aku memang suka melihat wanita saat menari balet. Tapi aku tidak rela jika pria diluar sana melihat Adara menari balet dengan pakaian balet yang menunjukkan lekuk tubuhnya.
Aku harus lebih ekstra menjaganya sekarang.
-Aditya Naufal Agustin-