-Aditya Naufal Agustin-
Aku merebahkan badan dikasur seraya memijit pelipisku. Hari ini lelah sekali rasanya. Bukan karena kesibukanku sebagai seorang Dokter melainkan karena pengakuan cinta dari Dara tadi.
Sungguh aku tidak menyangka dia memiliki perasaan itu terhadapku. Bagaimana bisa seseorang yang ku anggap sebagai adik selama ini tiba-tiba menyatakan perasaannya ?
Aku harus bagaimana sekarang ?
Aku tidak yakin bisa bersikap seperti biasa kepada Dara. Aku tidak mau dia tersakiti karena mencintaiku. Satu hal yang paling tidak ingin aku lakukan adalah membuat Dara menangis. Namun apa yang sudah kulakukan tadi justru sangat membuat Dara terluka.
Ponselku berdering pertanda ada pesan masuk. Aku lantas membuka pesan tersebut.
Mas, Dara gak mau mas menjauh setelah mendengar pengakuan Dara. Bersikaplah seperti biasa. Dara mohon, jangan bersikap seperti orang asing. Oh iya, Dara gak akan ngelupain perasaan ini. Setidaknya biarin Dara mencoba mas, mencoba untuk membuat mas melihat Dara sebagai seorang wanita, bukan seorang adik.
Dara cinta sama mas Adit, sangat :')
Aku menghela napas berat. Aku lupa kalau Dara itu keras kepala.
Aku harus bagaimana sekarang ?
***
-Adara Fredella Ulani-
"Selamat pagi ma, selamat pagi pa."
Aku menyapa kedua orangtua mas Adit. Papa sedang duduk di meja makan sembari membaca koran. Sedangkan mama sedang menyiapkan sarapan untuk papa dan mas Adit.
"Pagi sayaang. Ayah Bunda gak dirumah ?" Tanya mama kepadaku.
"Dirumah ma. Hari ini Dara pengen sarapan disini. Bolehkan ma, pa ?" Pintaku sambil nyengir.
Aku sengaja memilih sarapan disini. Aku akan berjuang untuk membuat mas Adit menyukaiku. Dan itu berarti aku harus sering-sering bertemu dengan mas Adit.
"Boleh dong sayang. Mama juga kangen sarapan sama kamu."
"Dara, papa dengar kemaren kamu memenangkan lomba menari balet ya ? Selamat ya nak. Maaf papa sama mama gak bisa datang kemaren. Kamu mau hadiah apa ?" Papa menutup koran yang dibacanya.
"Makasih paa. Dara minta doa mama sama papa aja."
"Kalau itu gak usah diminta juga udah kami lakuin. Ayo, bilang aja sama papa kamu mau apa ?" Desak papa.
Papa sama mama memang sering memberikanku hadiah. Aku sampai sungkan rasanya.
"Terserah papa aja deh. Dara juga bingung mau apa." Aku terkekeh diakhir ucapanku.
"Baiklah, nanti papa sama mama akan cari hadiah yang cocok buat kamu."
"Makasih paa."
"Lho, Dara ngapain pagi-pagi disini ?"
Aku menoleh, mendapati mas Adit dengan penampilan yang sudah rapi. Sepertinya mas Adit ada praktek pagi ini.
"Selamat pagi mas." Sapaku sambil tersenyum manis. "Dara mau sarapan disini." Ucapku lagi.
Mas Adit hanya ber-oh-ria. Tidak berbicara lagi. Terlihat sekali dia sedang menjaga jarak denganku.
"Mas, nanti Dara nebeng mobil mas kekampus ya." Rengekku seperti biasanya.
"Enggak. Mas sibuk. Kamu sama papa aja." Ucapnya datar, tanpa melihatku.
"Papa ada rapat penting Dit, gak sempet kalau nganterin Dara dulu. Kamu aja yang nganter Dara ya." Papa lebih dulu menyela.
"Adit gak bisa pa. Dara sama taxi aja."
"Mas kok gitu sih, Dara maunya sama mas Adit.
"Dara !" Bentak mas Adit.
Aku kaget mendengar bentakan mas Adit. Tidak biasanya mas Adit membentak seperti ini. Aku sontak menunduk, menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca.
"Adit, kok bentak-bentak gitu sih." Tegur mama.
Aku melirik mas Adit. Dia sedang menghela napasnya.
"Gak papa kok ma, mungkin mas Adit capek. Jadi gak bisa nganterin Dara. Nanti Dara naik taxi aja." Ucapku sambil memaksakan diri untuk tersenyum.
Setelah itu kami menikmati sarapan dengan tenang. Selama sarapan, aku mencoba menahan rasa sesak di dadaku. Aku harus kuat. Mas Adit pasti sengaja untuk membuatku membencinya.
"Ma, pa, Dara berangkat duluan ya. Dara lupa hari ini ada kuis." Ucapku berbohong.
Sebenarnya hari ini tidak ada kuis. Hanya saja aku tidak sanggup lagi menahan rasa sesak ini. Aku butuh menangis. Ya. Menangis.
Mas Adit menahan lenganku saat aku akan beranjak.
"Mas anter." Ucapnya sambil menatapku.
Aku menggeleng. Melepaskan lenganku dari cekalan tangannya.
"Gak usah mas. Dara bisa sendiri. Dara pergi dulu."
Aku lalu berlari keluar. Beruntunglah ada taxi yang lewat. Aku langsung menyetop dan menaikinya. Setelah itu, tumpahlah tangisan yang dari tadi ku tahan.
Bodoh. Dibentak sedikit aja menangis.
Aku menggerutu didalam hati.
***
"Hellooo. Lo gak dengerin gue ngomong ya ?"
Aku tersentak.
"Eh sorry Nay, lo ngomong apa tadi ?" Tanyaku salah tingkah.
"Lo ngelamunin apa sih ? Ada masalah ? Lo bisa cerita sama gue."
"Gue lagi sedih."
"Sedih kenapa ?"
Aku lalu menceritakan kejadian semalam dan juga tadi pagi kepada Kanaya. Dia terlihat sangat terkejut. Ekspresi melongonya lucu sekali. Namun sayangnya aku sedang tidak mood untuk tertawa.
"Serius demi apa. Lo beneran ngomong gitu ke mas Adit ?"
Aku mengangguk. "Gue keceplosan Nay, jadi ya udah sekalian aja gue terusin. Gue gak cantik ya sampe mas Adit gak mau sama gue." Ucapku sendu.
Kanaya memperhatikan gue dari ujung rambut sampe ujung kaki. Seperti sedang memberi penilaian.
"Lo cantik sih, cuma ya gitu..." Ucapnya ragu-ragu.
"Gitu gimana ? Lo kalo ngomong jangan nanggung-nanggung dong." Gerutuku.
"Umur lo sekarang berapa ?"
"20 mau 21 tahun."
"Mas Adit berapa ?"
"29 mau 30 tahun." Jawabku polos.
"Mas Adit udah dewasa ra, nah lo udah mau 21 tahun masih aja kayak bocah. Lo masih suka nangis kalau dibentak. Lo masih suka merengek-rengek kalau mau sesuatu. Dan penampilan lo ? Persis ABG belasan tahun."
"Gue separah itu ya ?" Aku mengerucutkan bibirku.
Kanaya mengangguk lemah. "Parah banget ra."
Aku menghela napas. "Gue mesti gimana dong."
"Lo harus berubah." Ucapnya antusias.
"Berubah gimana ?" Tanyaku.
"Semuanya. Dari sifat manja lo sampe penampilan bocah lo ini."
Aku sontak tersenyum sumringah. "Lo yakin mas Adit bakalan mau sama gue ?"
Naya mengendikkan bahunya. "Gak tau sih. Setidaknya coba dulu."
Aku mengangguk-nganggukkan kepalaku.
"Oke. Gue bakalan berubah." Aku mengepalkan tangan kananku dan mengangkatnya ke udara. "Semangat !" Ucapku lagi.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
Oleh
NindyKornelia
Categories
Part 7
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment