MY SUNSHINE

Oleh NindyKornelia

-Aditya Naufal Agustin-

Aku meregangkan otot-ototku. Sekarang pukul enam. Aku beranjak ke kamar mandi lalu melakukan ritual mandi seperti biasa. Setelah itu baru berpakaian lengkap.

"Selamat pagi pa, ma." Sapaku kepada papa yang sedang sibuk membaca koran dan mama yang sedang menyiapkan sarapan.

"Pagi Dit." Balas mereka berbarengan.

"Praktek pagi ?" Tanya papa seraya melipat koran yang ada ditangannya.

"Iya pa. Papa kekantor ?"  Tanyaku balik.

"Iya. Hari ini papa ada rapat sama perusahaan asing." Ucap papa menjelaskan. Papa adalah seorang CEO di perusahaan milik keluarga yang bergerak di bidang kontruksi.

Dulu papa ingin sekali aku meneruskan perusahaannya suatu saat nanti, namun aku lebih tertarik untuk menjadi seorang dokter anak. Ada kebahagian tersendiri bagiku saat melihat senyuman serta tawa bahagia anak-anak.

Beruntunglah papa mau menerima keputusanku itu.

"Selamat pagi ma, selamat pagi pa." Suara seorang gadis menyita perhatian kami. Aku menoleh mendapati Dara sedang berjalan dengan senyum ceria khas dirinya.

"Selamat pagi sayaang." Jawab papa.

"Pagi sayang. Udah sarapan ?" Tanya mama.

"Belum ma. Ayah sama Bunda pagi-pagi sekali udah berangkat ke luar kota. Dara sarapan disini aja ya ma." Ucapnya manja.

Aku sudah pernah bilang kalau dia sudah seperti anak gadis dikeluarga ini kan ?

"Tentu sayang." Jawab mama.

"Selamat pagi mas Adit." Ucapnya sambil tersenyum manis.

"Kakinya udah sembuh ?" Tanyaku.

Dia mengangguk. "Udah. Mas mau kerumah sakit ? Dara nebeng ya ?"

"Kita kan gak searah. Kamu nebeng sama papa aja sana."

"Mas Adit ih. Pelit ! Dara maunya dianter sama mas Adit." Ucapnya memberengut.

Aku mengacak rambutnya."Iya. Gak usah kayak bocah."

"Yeiiii." Dia berteriak dengan senang.

"Udah. Jangan berantem terus. Sekarang ayo sarapan." Tegur mama.

Kami lalu menghabiskan sarapan dengan tenang.

***

"Mas, nanti siang makan bareng ya." Ucap Dara.

Kami berada di mobil sekarang, dalam perjalanan menuju kampus Dara.

"Iya. Tapi mas gak bisa jemput kamu."

"Gak papa mas. Nanti aku naik taxi aja kayak biasa."

Sesampainya di kampus Dara, aku memberhentikan mobil tepat di depan gerbang pintu masuk.

"Belajar yang rajin." Nasehatku saat dia akan turun.

"Siap bos ! Mas hati-hati dijalan."

Dia melambaikan tangannya yang ku balas dengan senyum tipis. Setelah itu baru aku melajukan mobil menuju rumah sakit.

Dirumah sakit. Aku langsung memasuki ruanganku. Diluar sudah banyak anak-anak bersama orangtua mereka yang mengantri untuk diperiksa.

Tok tok.

"Masuk." Sahutku.

"Selamat pagi Dokter Adit, bisa kita mulai prakteknya  sekarang ?" Tanya seorang wanita yang mengenakan baju khusus perawat.

"Pagi Suster Jena. Mari kita mulai."

Setelah itu Suster Jena memanggil pasien satu-persatu sesuai dengan urutan. Aku pun lalu meriksa kesehatan anak-anak itu satu persatu juga. Kebanyakan dari mereka mengalami flu dan batuk. Ada juga yang terluka ringan habis jatuh saat bermain.

"Ini permen untuk jagoan yang mau di suntik." Ucapku sambil tersenyum ramah seperti biasanya kepada pasien yang baru saja kuperiksa.

Aku memang selalu memberikan satu permen bertangkai kepada anak-anak yang selesai berobat. Itu akan membuat mereka sedikit senang dan melupakan sakit yang mereka rasakan.

Bukankah semua anak-anak menyukai permen ?

Anak itu langsung berbinar dan mengambil permen dari tanganku.

"Bilang apa sama Dokternya sayang ?" Tanya Ibu dari anak tersebut.

"Terimakasih Dokter." Ujarnya dengan senyum tulus khas anak-anak.

"Sama-sama sayang."

"Sekali lagi terimakasih Dokter, kami permisi dulu." Sahut Ibunya.

"Sama-sama bu. Semoga Reihan cepat sembuh."

Ibu dan anak itu lalu keluar dari ruanganku.

Aku melirik jam dipergelangan tanganku. Sudah hampir jam makan siang dan itu berarti sebentar lagi jam praktekku habis.

"Suster Jena, ada berapa pasien lagi ?" Tanyaku kepada Suster yang mendampingiku praktek hari ini.

"Tinggal satu Dokter." Ucapnya singkat.

"Baiklah, mari kita selesaikan praktek hari ini." Sahutku dengan semangat.

Suster Jena memanggil pasien terakhir. Pasien itu masuk bersama Ibunya.

"Selamat siang...Lho, Hana ?" Ucapku dengan sedikit terkejut.

Wanita di depanku ini adalah Hana. Seseorang yang pernah kucintai dulu. Sayangnya dia lebih memilih menikah dengan pengusaha muda yang kaya.

"Adit ?" Wanita itu nampak terkejut juga. "Apa kabar ? Udah lama banget ya kita gak ketemu?" Dia mengulurkan tangannya. Menyalamiku. Aku pun balas menyalaminya.

"Duduklah. Aku baik. Kamu apa kabar ? Siapa yang sakit ?"

"Aku juga baik. Ini, anak aku yang sakit. Ayo sayang, salim dulu sama om Adit." Hana menunjuk seorang anak perempuan yang kira-kira berusia 4 tahun. Hana menyuruh anaknya menyalamiku. Anak itu menurut dan tersenyum dengan manis. Dia cantik seperti ibunya.

"Halo om, aku Sheila." Ucapnya.

"Halo sayang, nama om Adit." Balasku. "Kemarilah, biar om periksa." Aku menyuruhnya berbaring di ranjang tempat biasa aku memeriksa pasien.

Setelah itu aku memeriksa kesehatan Sheila. Untunglah dia hanya demam biasa, aku hanya perlu memberi beberapa obat untuknya.

"Dia hanya demam biasa. Aku akan memberikan beberapa obat. Pastikan dia makan dengan teratur dan meminum obatnya." Ucapku kepada Hana.

"Syukurlah. Dia rewel banget kalo lagi sakit gini."

"Wajar aja Han, namanya juga anak-anak."

"Om ada hadiah buat Sheila yang cantik." Ucapku kepada Sheila.

"Apa om hadiahnya ?"

"Ini." Aku memberikan Sheila satu permen bertangkai seperti pasien lainnya.

"Terimakasih om." Ucapnya sambil tersenyum lebar.

"Sama-sama sayaang." Aku mengelus rambutnya pelan.

"Hm...Dit, kamu udah selesai praktek ?" Tanya Hana.

Aku mengangguk. "Udah, Sheila pasien terakhir hari ini." Ucapku.

"Kamu mau makan siang bareng kami gak ?"

Aku diam. Berfikir sebentar lalu menganggukkan kepala. "Oke, tapi nunggu adik aku dulu ya. Aku janji makan sama dia juga."

"Baiklaah."

***

-Adara Fredella Ulani-

Aku mengedarkan pandanganku keluar. Perjalanan menuju rumah sakit sedikit macet. Membuatku berkali-kali menghela napas.

Ponselku berdering. Nama Bunda tertera di layar. Aku langsung mengangkatnya.

"Halo Bun." Sapaku.

"Halo sayang. Kamu sudah makan siang ?" Tanya Bunda.

"Belum bun. Dara lagi dijalan mau kerumah sakit. Mau makan siang bareng mas Adit. Bunda sama Ayah udah makan ?"

"Udaah sayang. Bunda mau ngabarin kalau Bunda sama Ayah gak bisa pulang sore ini. Kamu gak papa kan tidur dirumah sendirian ?"

"Gak papa Bun. Kan ada mbok Nah juga. Bawain Dara oleh-oleh yang banyak yaa." Ucapku manja.

Bunda tertawa. "Iyaa. Baik-baik dirumah ya. Bye sayang."

"Bye Bun."

Bunda memutuskan sambungan telepon duluan. Aku lalu menyimpan ponsel ke dalam tas. Dan menikmati kemacetan dijalan yang mulai berkurang.

Sesampainya dirumah sakit aku langsung melangkah menuju ruangan praktek mas Adit. Aku sudah sering kesini, jadi aku sudah sangat hapal dimana tempatnya.

Saat mendekati ruangan itu, aku sontak diam mematung. Tidak melanjutkan jalanku. Disana, diluar ruangan terlihat mas Adit sedang tertawa dengan gadis kecil di gendongannya.

Namun bukan itu saja yang mengagetkanku. Disamping mas Adit ada seorang wanita cantik. Dia menatap mas Adit dengan...entahlah. Aku rasa dia menyukai mas Adit.

Mereka terlihat seperti keluarga bahagia saja.

Dadaku sesak seketika. Dan untuk pertama kalinya aku merasa ada saingan untuk mendapatkan mas Adit.

"Mas Adit." Aku memanggilnya. Dia menoleh lalu menghampiriku.

"Udah selesai kuliahnya ?" Tanya mas Adit, lembut seperti biasanya.

Aku mengangguk. "Udah mas."

"Oh ya kenalin, ini temen mas Adit. Hana namanya."

Aku lalu berkenalan dengan wanita yang bernama Hana itu, setelah itu mas Adit mengenalkanku dengan gadis kecil di gandongannya.

"Ayo, sekarang kita nyari makan." Ajak mas Adit.

"Kita ?" Tanyaku ragu.

"Iya, gak papa kan Hana sama Sheila ikut kita ?"

Aku mengangguk pasrah.

Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan ?

Di restoran, kekesalanku benar-benar memuncak. Bagaimana tidak, setelah tadi diperjalanan aku ditempatkan dibangku belakang bersama putri kecil wanita itu, sekarang dia malah memonopoli mas Adit.

Mas Adit juga menyebalkan. Bisa-bisanya dia mengabaikanku dan malah asyik mengobrol bersama wanita itu.

Aku sekilas mendengarnya bercerita tentang kehidupannya. Ternyata dia seorang janda beranak satu. Dan dia memiliki butik hasil dari pembagian harta gono gini dari mantan suaminya.

Fix ! Wanita ini akan menjadi saingan beratku.

Setelah menghabiskan makan siang dengan sangat terpaksa, karena aku sama sekali tidak menikmati makanannya. Sekarang kami berada dalam satu mobil kembali.

Mas Adit menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang yang tentu saja disetujuinya dengan senang hati.

"Mas, Dara mampir langsung ke tempat latihan aja." Ucapku datar.

"Baiklah. Nanti setelah mas nganterin Hana, mas langsung nyusulin kamu." Jawab mas Adit. Tanpa menyadari kekesalanku.

Beberapa saat kemudian, mas Adit memakirkan mobilnya di depan gedung tempat dimana aku berlatih menari balet. Aku turun dari mobil dengan wajah datar.

Aku Berpamitan kepada mas Adit dan berbasa-basi dengan wanita itu serta putri kecilnya. Setelah itu aku melangkah dengan gontai menuju ruangan tempat latihan.

Selama latihan, aku tidak fokus sama sekali. Fikiranku dipenuhi dengan fikiran-fikiran negatif tentang mas Adit dan wanita itu.

Apa saja yang mereka lakukan ?

Apa saja yang mereka bicarakan ?

Apa saja...?

Berbagai fikiran negatif itu tergiang-ngiang ditelingaku.

Aku menoleh ke tempat dimana mas Adit biasanya menungguku. Namun tempat itu kosong. Mas Adit belum datang. Ini bahkan sudah berjam-jam.

Aku melirik jam di dinding ruangan latihan. Aku menghela napas lalu memutuskan untuk berganti pakaian.

Sudahlah.

Aku lelah.

Aku tidak akan menunggu mas Adit. Dia tidak akan datang. Sungguh aku kecewa sekali. Aku sedih, karena ini pertama kalinya mas Adit mengingkari janjinya.

Dadaku sesak sekali. Aku berusaha untuk menahan tangisanku. Setidaknya sesampai dirumah nanti.

Bersambung ~


0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea