My Lovely Son

Oleh NindyKornelia

Bima pov

"Sayang, jangan marah lagi dong. Please."

Aku memegang tangan Sasha, namun dia dengan cepat menepisnya. Aku menghela napas dengan kasar. Merasa sangat kesal dengan Tania.

Aku memang mengenal Tania, kami pernah dekat namun tidak memiliki hubungan apapun. Kedekatan kami hanya sebatas saling membutuhkan saja.

If you know what I mean.

Tapi, setelah aku bertemu dengan Sasha, aku tidak pernah lagi menemuinya. Tania memang sesekali mencoba menghubungiku yang ku abaikan begitu saja.

Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk memperjuangkan Sasha dan Bimo. Aku ingin kami menjadi keluarga yang seutuhnya. Tentu saja dengan ikatan pernikahan.

Sekarang bagaimana mau membicarakan pernikahan. Melihatku saja Sasha tidak mau.

Tadi setelah kepergian Tania, Sasha langsung memasang wajah datarnya. Dia hanya akan tersenyum jika berbicara dengan Roy dan Dika. Dia bahkan tidak menanggapi ucapanku.

"Jangan diem aja dong sayang. Aku jelasin semuanya ke kamu. Oke ?"

"Nanti aja. Ada Bimbim di belakang." Jawabnya dengan ketus.

Aku menoleh kebelakang, mendapati Bimo sedang sibuk dengan mainan barunya. Pemberian dari Roy dan Dika. Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju toko.

Sesampainya di toko, Sasha memilih turun duluan dan membanting pintu dengan sedikit lebih keras.

"Bunda kenapa yah ?" Tanya Bimo dengan bingung.

"Bunda lagi ngambek sama ayah. Bimbim main aja nanti di dalam. Oke ? Jangan ganggu Bunda dulu."

"Oke yah."

Aku mengelus kepala Bimbim dengan sayang. "Bagus. Sekarang ayo turun."

Aku dan Bimo melangkah masuk ke dalam toko. Aku tidak menemukan Sasha disana.

"Sasha mana Din ?" Tanyaku kepada Dinda, sahabatnya Sasha. Kami memang sudah kenal beberapa hari yang lalu.

"Dia langsung masuk kedalam Bim. Kalian berantem ? Mukanya kusut gitu."

Aku mengedikkan bahu. "Ya gitu deh. Nyonya lagi ngambek."

Dinda terkekeh pelan. "Ya udah sana urusin dulu si nyonya. Bimbim biar sama aku aja."

Aku mengangguk. "Thank you ya."

Aku melangkah ke dalam ruangan Sasha yang ada disini dan melihat dia sedang sibuk dengan berkas-berkas di atas meja. Entah beneran sibuk atau malah sok sibuk.

"Sha, Kita harus bicara." Ucapku pelan seraya melangkah mendekatinya.

Sasha diam saja, tidak melihatku sama sekali. Memangnya kertas-kertas itu lebih menarik daripada aku ?

Aku menariknya berdiri, lalu memegang kedua pipinya. "Please, dengerin penjelasan aku dulu."

"Penjelasan apa lagi ? Dari kata-kata wanita itu sudah jelas kalau kalian memiliki hubungan." Sasha mencoba mengalihkan pandangannya. Namun aku menahannya dengan menangkup pipinya.

"Aku tidak memiliki hubungan apapun seperti yang kamu fikirkan Sha."

"Memangnya kamu tau apa yang kufikirkan ?" Jawabnya dengan sinis.

"Tentu saja tau. Disini." Aku menyentil dahinya dengan pelan. "Tertulis jelas kalau kamu cemburu karena kamu mengira aku memiliki hubungan spesial dengan wanita itu."

"Aku sungguh tidak memiliki hubungan spesial dengannya. Percayalah."

"Aku tidak percaya." Sasha memegang tanganku dan melepaskan tanganku dari pipinya. Dia memilih untuk duduk di kasur santai yang biasa Bimo gunakan untuk tidur siang.

Aku menghela napas. Sasha memang keras kepala. Jadi aku harus lebih ekstra lagi membujuknya.

Aku ikut duduk disamping Sasha. Menatap lurus ke depan lalu mulai bercerita.

"Namanya Tania. Aku tidak sengaja bertemu dengannya di club. Aku akui kami memang dekat, namun bukan dekat dalam artian menjalin suatu hubungan yang serius. Hubungan kami hanya sebatas saling membutuhkan saja. Aku seorang pria dewasa Sha. Dan aku melampiaskannya kepada Tania. Sedangkan Tania membutuhkan uangku untuk berfoya-foya."

Aku menoleh ke arah Sasha, mencari tahu ekspresinya. Sasha masih saja memasang wajah datarnya. Tidak menoleh ke arahku sama sekali.

"Tapi semua itu telah lama berlalu Sha, aku tidak pernah lagi menemuinya sejak bertemu denganmu. Dia tidak berarti apa-apa bagiku. Hanya kamu Sha. Hanya kamu yang aku cintai. Sungguh."

"Bagaimana bisa Bim ?" Tanyanya dengan lirih.

Aku menoleh lagi ke arahnya.

"Bagaimana bisa kamu mencintaiku secepat itu. Kita baru saja bertemu Bim. Apa karena Bimo ?"

Aku memegang pipi Sasha. Memaksanya untuk melihat ke arahku. Aku menyeka air mata yang jatuh di pipinya. Rasanya ada yang menyayat hatiku saat melihat Sasha menangis dan terlihat rapuh begini.

Aku mengecup pipinya yang tadi dijatuhi oleh air mata.

"Jangan menangis. Kumohon."

"Aku mencintaimu dengan tulus Sha, tidak ada hubungannya dengan Bimo. Ada ataupun tidak ada Bimo, aku akan tetap mencintaimu. Aku memang pernah menyakitimu. Tapi  aku sudah berjanji kepada diriku untuk tidak akan menyakitimu lagi. Please. Percayalah."

"Benarkah ?" Sasha menatapku. Matanya berbinar namun air mata masih saja menetes membasahi pipinya.

"Aku serius sayang."

Sasha menubrukkan badannya. Memelukku dengan erat. Aku mengelus punggungnya sambil sesekali mengecup puncak kepalanya dengan sayang.

"Maaf yaaaa." Dia menengadahkan kepalanya.

"Kenapa minta maaf ?" Aku menyeka air mata yang masih berbekas di pipinya.

"Aku udah kekanak-kanakan banget. Harusnya aku dengerin penjelasan kamu dulu. Bukannya marah-marah gak jelas."

Aku mengecup ujung hidungnya. "Gak papa sayang. Aku seneng kamu cemburu gitu. Tapi lain kali kamu harus dengerin penjelasan aku dulu. Oke ?" Aku menarik hidungnya.

"Oke." Sasha kembali mengeratkan pelukannya. "Aku sayang kamu." Ucapnya dengan nada manja.

Aku tersenyum lalu juga ikut mengeratkan pelukanku."

***

Setelah mengalami sedikit drama di dalam hubungan kami, aku memutuskan untuk tidak kembali kekantor.

Aku menemani Sasha dan Bimo di toko. Bimo senang sekali mengetahui aku akan seharian bersamanya. Dia mengajakku memainkan mainan helikopter barunya.

Disela-sela bermain dengan Bimo, Sasha mendatangi kami dengan membawa sepiring brownies serta segelas jus jeruk.

Bimo yang penggila brownies langsung berteriak histeris melihat browniesnya. Dia memakannya dengan lahap.

Tidak terasa hari sudah sore, karyawan-karyawan di toko Sasha sudah mulai pulang. Sasha juga mulai membereskan barang-barangnya.

"Ayo pulang." Ajak Sasha.

"Ayo Bim." Aku menggendong Bimo. Melangkah duluan diikuti oleh Sasha di belakangku.

Aku mendudukkan Bimo di bangku belakang. Lalu membukakan pintu depan untuk Sasha. Setelah memastikan dia duduk di bangkunya, aku lalu menutup pintu dan melangkah ke sisi pintu sebelahnya.

Sesampainya dirumah, Bimo turun duluan dari mobil dan berlari menuju pintu.

"Anak itu suka sekali berlari-lari." Gerutu Sasha.

"Biarin aja Sha. Yang penting dia seneng."

"Aku gak mau dia jatuh aja Bim."

"Iya. Aku tau." Ucapku sambil tersenyum dan mengacak rambutnya pelan.

"Bun, cepetan buka pintunya. Bimbim mau main helikopter lagi." Seru Bimo sambil melompat-lompat.

"Gak ada cerita main lagi Bim. Udah sore. Bimbim harus mandi dulu." Sasha membuka pintu rumah lalu masuk ke dalam.

"Yaaaaaaa. Ayaaaaaah." Bimo menoleh kearahku, menatapku dengan wajah memelasnya.

"Bunda benar sayaang. Mandi dulu oke ?" Aku membujuknya.

"Baiklaaah." Bimo berjalan dengan lesu ke kamarnya. Aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku di belakangnya.

Sungguh aku menginginkan percakapan seperti ini setiap hari.

Kurasa, aku harus secepatnya menikahi Sasha.

"Sha."

"Aku di dapur."

Aku melangkah ke dapur dan mendapati Sasha sedang meminum segelas air putih.

"Kamu mau minum ?"

Aku mengangguk. "Pake gelas bekas kamu aja."

"Emang gak papa ?"

"Ya gak papa lah sayang."

Sasha menuangkan air ke gelasnya, lalu memberikannya kepadaku. Aku meneguknya hingga menyisakan sedikit air saja.

"Aku mau bicara serius sama kamu." Ucapku setelah mengembalikan gelas yang hampir kosong itu.

"Bicara apa ?" Sasha mengerutkan dahinya.

"Kemarilah." Aku menarik tangan Sasha dan mendudukkannya di kursi meja makan. Aku memilih duduk di sebelahnya.

Aku menggenggam tangan Sasha sebelum berbicara. "Aku mau hubungan kita segera di resmiin."

"Maksudnya ?"

"Aku ingin kita segera menikah Sha."

Sasha melihatku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Membuatku menjadi khawatir dia akan menolakku.

"Kamu serius ? Bukankah ini terlalu cepat ?"

"Aku serius. Aku justru sudah sangat terlambat melakukannya Sha. Harusnya aku melakukannya enam tahun yang lalu. Kita menikah ya ?"

"Kamu yakin orangtua kamu mau menerima aku Bim ? Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Bimo. Dan, bagaimana dengan Bimo ? Aku takut orangtua kamu juga akan menolaknya."

"Ssst. Jangan berbicara seperti itu." Aku mengelus pipi Sasha. Lalu mulai melanjutkan. "Kamu punya aku sekarang. Aku akan selalu menjaga kamu, menjaga Bimo dan berusaha membahagiakan kalian berdua. Kalian berdua prioritasku sekarang."

"Biiiiiiiiimmm." Rengek Sasha.

"Kenapa ? Kok malah nangis siiih."

"Kamu jangan so sweet gitu dong. Aku jadi terharu." Sasha mengipas-ngipas matanya dengan jari-jari tangannya.

"Ngapain dikipasin gitu ?" Tanyaku heran.

"Biar air matanya gak jatuh."

Aku melongo. Baru tau kalau ngipasin mata bisa mencegah air matanya jatuh.

Aku meraih kedua tangannya. Lalu menghapus air matanya yang sempat jatuh. "Jadi gimana ? Kamu mau kan nikah sama aku ?"

"Aku boleh nolak ?"

"Tidak."

Sasha memukul dadaku pelan. "Jadi ngapain masih nanya."

"Apakah itu artinya kamu mau nikah sama aku ?"

"Tentu saja."

"Oh sayaaang." Aku memeluknya dengan erat. "Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu."

Aku tersenyum bahagia. Sekarang tinggal selangkah lagi. Aku harus bicara sama kedua orangtuaku. Aku harap mereka mau menerima Sasha.

***

"Kak, kakak serius mau bicara sama mama papa sekarang ?" Renata duduk diatas kasurku sambil menatapku dengan raut wajah khawatir.

Tadi, setelah menyatakan keinginanku untuk menikahi Sasha. Aku memutuskan untuk segera pulang. Aku ingin jujur kepada orangtuaku tentang keberadaan Sasha dan Bimo.

Apapun yang terjadi nanti, aku akan tetap memperjuangkan mereka.

"Serius dong dek." Jawabku.

"Kalau mama papa marah gimana kak ?"

"Kamu doain kakak aja. Oke ?"

Renata mengangguk lemas. "Rena sayang kak Bima." Renata memelukku.

Aku tersenyum sambil mengelus punggungnya dengan sayang. "Kakak juga sayang sama kamu. Jangan lemes gini dong. Ayo. Temenin kakak nemuin mama sama papa."

Aku menarik tangan Renata menuju orangtuaku yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi.

"Maa, paa, Bima mau bicarain sesuatu yang penting." Ucapku saat berada di dekat mama dan papa.

"Mau bicara apa Bim ? Serius banget." Ucap mama sambil mengambil remot dan mematikan televisi.

Mama pengertian sekali.

Aku berdeham sebelum memulai. "Maa, paa...Bima mau minta maaf. Bima udah ngecewain mama dan papa."

"Mengecewakan apa Bim ? Papa rasa kinerja kamu di perusahaan baik-baik aja." Sahut papa.

"Bukan tentang perusahaan pa."

"Jadi ?" Papa mengerutkan dahinya. Menatap tepat ke manik mataku.

"Maaf ma, pa...Bima mencintai seorang wanita. Dan dia adalah Ibu dari anak kandung Bima yang sekarang berusia 5 tahun."

Aku melihat raut wajah mama dan papa yang sangat terkejut.

"Maksud kamu apa ?" Tanya papa dengan suara tegasnya. Tatapannya juga sangat tajam. Menusuk tepat di manik mataku.

"Bima minta maaf pa. Bima sudah melakukan kesalahan fatal kepada seorang wanita 6 tahun yang lalu. Bima meninggalkan dia begitu saja saat dia tengah mengandung anak Bima. Dan sekarang Bima ingin menebus semuanya. Bima mencintainya pa dan ingin menikahinya. Bima mohon restu mama dan papa."

"Bimaaaaa..." mama berbicara dengan lirih. Matanya berkaca-kaca. Tatapannya juga sarat akan kekecewaan.

Aku menatap papa. Harap-harap cemas menanti jawaban papa. Namun selang beberapa saat papa tak kunjung mengeluarkan suaranya.

Dadanya naik turun pertanda sedang dilanda emosi. Papa memejamkan matanya sejenak lalu beranjak dan memilih meninggalkanku tanpa berbicara satu katapun.

Maaf pa. Bima mengecewakan papa, batinku.


Bersambung ~












0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea