-Aditya Naufal Agustin-
Aku mengetuk pintu rumah Dara berkali-kali. Tapi belum ada juga yang membukakan pintu. Kemana semua orang ? Ini bahkan baru pukul sembilan malam.
Ceklek.
"Lho, mas Adit toh." Sapa mbok Nah. Dia yang membukakan pintu untukku.
"Mbok, Dara mana ?"
"Mbak Dara ada di kamar mas. Sejak pulang gak keluar-keluar dari kamar. Mbak Dara juga gak makan malam. Mana Ibuk dan Bapak lagi gak dirumah." Keluh mbok Nah, dengan nada khawatir lebih tepatnya.
"Ayah sama Bunda belum pulang mbok ?"
"Belum mas. Ibuk bilang besok baru bisa pulang."
Aku menghela napas. "Ya udah, biar Adit yang bujuk Dara buat makan malam. Mbok siapin aja di meja makan makanannya."
"Baik mas."
Aku melangkahkan kaki menuju kamar Dara. Beruntunglah dia tidak mengunci kamarnya. Jadi aku bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk-ngetuk pintunya.
Aku masuk dan mendapati Dara yang tidur meringkuk seperti bayi di kasur. Pelan-pelan aku mendekatinya.
Pemandangan ini membuat dadaku sesak sekali. Rasanya ada sesuatu yang meremas-remasnya disana. Dara, tertidur dengan air mata yang masih ada di pipi. Sepertinya dia menangis hingga kelelahan.
Astaga.
Apa yang telah kulakukan ?
Bagaimana bisa aku menyakiti gadis kecilku ini ?
Salahkanlah aku yang tidak bisa menolak permintaan Sheila, putrinya Sasha untuk menemaninya bermain.
Tadi setelah mengantarkan mereka berdua pulang. Sheila sontak merengek-rengek minta ditemani untuk bermain. Dia juga berjanji akan meminum obatnya dengan rajin jika aku menyetujuinya.
Sungguh, aku tidak bisa menolak permintaan gadis kecil selucu Sheila. Apalagi aku tahu bahwa dia jarang mendapatkan kasih sayang dari ayahnya karena Hana telah bercerai dengan suaminya dua tahun yang lalu.
Awalnya aku berencana akan menemani Sheila bermain sebentar saja. Setelah itu baru menemani Dara latihan menari balet. Namun rencana hanya tinggal rencana. Gadis kecil itu tidak mau kutinggal. Aku terpaksa menemaninya hingga dia tertidur.
Dan akhirnya aku menyakiti gadis kecilku sendiri. Dia pasti sangat sedih, karena ini pertama kalinya aku mengecewakannya. Selama ini aku selalu menuruti semua kemauannya agar dia bahagia. Bahkan dengan permintaan konyol sekalipun.
Aku menghela napas dengan berat. Berharap rasa yang menyesakkan ini berkurang. Tapi, bukannya berkurang. Rasa sesak ini semakin menjadi-jadi.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Dara tadi menungguku ditempat latihan. Dan memutuskan untuk pulang sendiri.
"Maafin mas." Ucapku lirih seraya menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. Lalu mengecup kepalanya dengan sayang.
Dara terbangun dari tidurnya. Perlahan-lahan dia membuka mata seraya mengernyitkan dahinya. Mungkin masih bingung dengan keberadaanku disini. Setelah itu dia memalingkan wajah sambil mengganti posisi tidurnya.
"Dara, mas minta maaf."
"Dara pengen sindiri mas." Ucapnya dengan suara serak. Entah karena bangun tidur atau karena terlalu lama menangis.
Aku mengelus kepalanya dengan sayang. "Sayaang. Mas benar-benar minta maaf. Mas janji gak akan ngelakuinnya lagi. Please, maafin mas ya." Ucapku memohon.
Dara diam saja, tidak juga melihatku. Dia malah menangis dalam diamnya dengan bahu bergetar. Dan itu sangat menyakitkanku.
Aku memeluknya dari belakang. Ikut berbaring di sampingnya. "Jangan seperti ini. Mas mohon."
"Mas jahat." Ucapnya dengan suara serak.
"Iya. Mas tahu."
"Mas gak sayang lagi sama Dara."
"Hei. Siapa yang bilang begitu ? Mas sayang sama kamu. Kamu adik kesayangan mas."
"Dara bukan adik mas."
"Kamu adik kesayangan mas, Dara."
Dia melepaskan diri dari pelukanku, lalu berbaring menghadapku. Aku refleks menyeka air mata di pipi dan sudut matanya.
"Jangan menangis lagi. Mas minta maaf." Ucapku pelan.
"Mas janji gak akan ninggalin Dara lagi ?"
"Janji."
"Ya udah, Dara maafin." Dia mengelap ingusnya dengan bajuku. Dan aku membiarkannya saja. Dari pada dia makin marah jika aku meledeknya saat ini.
"Sekarang ayo makan. Mbok nah bilang kamu belum makan. Mas gak mau kamu sakit."
Dara mengangguk lalu beranjak dari kasur. Kami lalu melangkah menuju meja makan.
Jangan pernah menangis lagi, princess. Ucapku dalam hati.
***
-Adara Fredella Ulani-
Hari minggu.
Yeeiii. Aku senang sekali pagi ini. Pasalnya mas Adit sudah berjanji akan mengajakku jalan-jalan untuk menebus kesalahannya beberapa hari yang lalu.
Aku memang sudah memaafkan mas Adit pada malam itu. Dia terlihat merasa bersalah sekali. Dan aku tidak suka melihat raut wajah sedihnya.
Lagian, aku juga tidak akan tahan marahan lama-lama sama mas Adit. Aku sudah terbiasa dengan keberadaannya disisiku.
"Selamat pagi Yah, selamat pagi Bunda." Sapaku dengan ceria.
"Pagi sayaang." Ucap mereka serempak seperti biasa.
"Anak ayah bahagia banget kayaknya. Ada apa nih ?" Tanya ayah.
"Iya dong yah. Mas Adit mau ngajakin Dara jalan-jalan hari ini. Boleh kan yah ?"
"Tentu saja boleh. Kamu sarapan dulu ya."
"Iya yah."
***
"Kita mau kemana mas ?" Tanyaku kepada mas Adit.
"Rahasia dong." Ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Mas Adit ih. Dara kan penasaran."
Mas Adit tertawa. "Udah, kamu tidur aja. Nanti kalau udah sampai mas bangunin."
"Tempatnya jauh mas ?"
"Lumayan. Sana tidur."
Aku menuruti perintah mas Adit. Menyandarkan badan lalu memejamkan mataku.
Entah berapa lama aku tertidur. Yang jelas sekarang aku sayup-sayup mendengar mas Adit memanggilku.
"Daraa. Bangun kita udah sampai."
Aku mengerjapkan mataku. Mencoba menyesuaikan penglihatan dengan cahaya silau didepan sana.
"Kita dimana mas ?" Tanyaku.
"Lihat aja ke depan." Perintah mas Adit.
Aku menoleh ke depan dan seketika berteriak histeris.
"Aaaaaaaaaak PANTAIIIIIII."
Aku membuka pintu mobil lalu berlari menuju tepi pantai. Membiarkan ombak membasahi kakiku.
"Mas. Siniiii." Ucapku sedikit berteriak seraya melambaikan tangan ke arah mas Adit.
Mas Adit menghampiriku dengan setengah berlari. Ya Tuhan. Mas Adit tampan sekali. Dia menggunakan kaos polos warna putih dipadukan dengan celana jeans pendek.
"Udah seneng ?" Tanya mas Adit.
Aku mengangguk antusias. "Mas kok gak bilang kita mau kepantai sih."
"Mas sengaja. Ntar kamu pake baju kurang bahan lagi." Dia mengacak rambutku pelan.
"Namanya juga kepantai mas, lihat aja noh mereka ?" Aku menunjuk beberapa wanita yang menggunakan bikini disini.
"Mas gak peduli sama mereka. Mas pedulinya sama kamu."
Aku merona seketika. Namun langsung mengalihkan pandangan. Aku tidak mau mas Adit mengetahui tentang perasaanku. Setidaknya bukan saat ini.
Aku kembali bermain-main dengan ombak. Membiarkan kaki dan celana yang kupakai basah. Sedangkan mas Adit hanya duduk dipasir sambil memperhatikanku.
Aku terlalu larut dalam kebahagiaan ini. Hingga tanpa aku sadari hari sudah menjelang sore.
"Sudah puas bermainnya ?" Tanya mas Adit.
"Tidak akan pernah puas mas. Memangnya kita mau pulang ?"
Mas Adit mengangguk. "Ada satu kejutan lagi dirumah yang menantimu." Jawab mas Adit sambil tersenyum misterius.
"Kejutan lagi ? Dara gak ngerasa ulang tahun hari ini." Aku mengerutkan dahi.
"Kejutan gak mesti nunggu ulang tahun, Dara."
"Baiklah. Ayo kita pulang mas. Dara udah penasaran banget."
Mas Adit tertawa. Lalu menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan menuju mobil sambil bercanda.
Aku jadi penasaran. Kejutan apa yang disiapkan oleh mas Adit ?
***
Aku melangkahkan kaki kedalam rumah dengan semangat. Kalau mas Adit tidak menggenggam tanganku dengan erat, sudah kupastikan aku akan berlari masuk kedalam.
Kami berdua masuk kedalam dan mendapati Ayah dan Bunda yang sedang menonton televisi dengan berangkulan mesra.
Aku menoleh ke arah mas Adit. "Mana kejutannya ?" Aku mengedarkan pandangan namun tidak menemukan sesuatu yang baru.
"Ada dikamar."
"Beneran ?" Aku berbinar lalu segera berlari menuju kamar. Sekilas aku mendengar tawa ayah dan bunda.
Ceklek.
Aku membuka pintu. Melihat seorang pria berdiri membelakangiku di pinggir ranjang.
"MAS FELIX !!" Aku berteriak histeris dan berlari untuk memeluknya.
Mas Felix membalikkan badannya tepat saat aku akan memeluknya. Mas Felix mengangkat tubuhku dan membuatnya berayun.
"Hentikan mas. Dara pusing." Protesku.
Mas Felix tertawa. "Kenapa kamu makin pendek gini ?" Godanya sambil tertawa.
"Enak aja. Ini bukan pendek. Tapi imut-imut." Balasku narsis. "Mas kapan nyampe ? Kok gak bilang Dara sih ?" Tanyaku.
"Kejutan sayang."
"Jadi mana oleh-oleh buat Dara ?" Aku mengulurkan kedua tanganku. Seperti anak kecil meminta permen.
Mas Felix menunjuk sisi samping ranjang. Disana ada koper yang sudah terbuka namun isinya masih terlihat rapi. Sekilas aku bisa melihat ada sepatu, tas, pakaian serta makanan ringan.
"Bukan yang itu." Protesku.
"Huh ? Terus ?"
"Kakak ipar Dara mana ?"
Mas Felix menyentil dahiku pelan. "Sabar kali. Mas baru dateng lho ini." Dengusnya.
Aku tertawa terbahak-bahak.
"Ehem. Sepertinya mas Adit bakal dilupain nih."
Aku menoleh, mendapati mas Adit berdiri sambil bersandar didinding kamarku seraya bersidekap.
Aku sontak berlari ke arah mas Adit dan memeluknya.
"Gak dong. Dara lebih sayang mas Adit dari pada mas Felix." Aku menjulurkan lidahku ke arah mas Felix.
Mereka berdua tertawa melihat tingkahku.
Aku semakin memeluk mas Adit dengan erat.
Ya Tuhan, betapa aku mencintai pria ini.
Mencintai Aditya Naufal Agustin.
Matahariku.
Bersambung ~
MY SUNSHINE
Oleh
NindyKornelia
Categories
Part 4
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment