MY SUNSHINE

Oleh NindyKornelia

-Adara Fredella Ulani-

"Sayang, semua perlengkapan kamu udah bunda masukin ke dalam tas ini. Nanti jangan lupa berdoa dulu sebelum tampil. Bunda yakin, anak bunda yang cantik ini pasti akan tampil memukau malam ini. Aah, bunda udah gak sabar untuk segera berangkat. Ayo, cepetan ganti bajunya. Bunda nyamperin ayah dulu."

Itu adalah rentetan kalimat yang diucapkan bunda sejak pagi tadi. Dan hingga sore ini, bunda masih saja mengulang-ngulangnya.

Hari ini adalah hari perlombaan menari balet. Aku gugup sekali sebenarnya. Ditambah lagi dengan bunda yang sepertinya sangat berharap aku bisa memenangkan lombanya.

Aku menghela napas. Membiarkan tubuhku sedikit rileks. Aku juga menghalau fikiran-fikiran negatif yang mencoba membuatku menjadi semakin gugup.

Semua akan baik-baik saja. Ini hanya perlombaan biasa. Bukan perang.

Aku melafalkan kata-kata itu didalam hati. Setidaknya, aku bisa lebih rileks sekarang.

Aku berganti baju dengan cepat. Jangan sampai bunda mengomeliku karena masih belum berpakaian.

"Dek, udah siap belum ?" Itu suara mas Felix dari luar pintu kamarku.

"Udah mas. Masuk aja." Jawabku sedikit berteriak.

Mas Felix memasuki kamarku dengan penampilan yang sudah rapi. Sepertinya semua orang sudah tidak sabar dengan perlombaan ini.

"Mbak Alana jadi ikut mas ?" Tanyaku.

"Jadi, nanti mas jemput dia dulu. Baru ke lokasi perlombaannya. Kamu gugup ?"

Aku mengangguk.

Mas Felik menghampiriku. Lalu memegang kedua bahuku.

"Lihat mas." Perintahnya yang langsung aku turuti. "Mas bangga sama kamu, apapun hasilnya nanti. Mas yakin, kamu bakalan menampilkan yang terbaik. Jangan fikirin menang kalah dulu. Berjuanglah. Lakukan yang terbaik." Nasehatnya.

Aku langsung memeluk mas Felix. "Makasih mas. Dara pasti menampilkan yang terbaik."

Mas Felix mengacak rambutku pelan. "Itu baru kesayangan mas." Ucapnya sambil terkekeh pelan.

***

Suasana dibelakang panggung penuh dengan ketegangan. Semua peserta terlihat sangat gugup. Begitupun dengan aku.

Setelah ini, giliran aku yang tampil. Aku menghela napas panjang, menghitung sampai sepuluh didalam hati lalu menghembuskannya. Aku melakukannya berulang-ulang.

Ngomong-ngomong aku belum melihat mas Adit sejak tadi.

Mungkinkah dia tidak datang ?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mas Adit tidak mungkin tidak datang. Dia tidak pernah melewatkan momen-momen penting bagiku.

Mungkin mas Adit sudah berada di antara penonton. Ya. Mungkin seperti itu.

"Adara Fredella Ulani, sekarang giliran kamu. Bersiap-siaplah ?" Salah satu panitia memanggilku.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu mulai melangkah ke tengah panggung. Lampu dipanggung dimatikan. Aku langsung mengambil posisi, bersiap-siap mendengarkan musiknya.

Alunan musik mulai terdengar. Akupun mulai melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan irama musik. Aku berputar-putar, meliuk-liukkan badanku dan sesekali melompat dengan indah.

Aku terus saja menari hingga musik habis lalu mengakhiri tarian dengan posisi yang sudah kupelajari.

Suara riuh tepuk tangan terdengar dari kursi penonton. Aku membungkuk memberi hormat. Lalu mengedarkan pandanganku ke arah penonton sambil tersenyum.

Aku merasakan kekecewaan saat itu juga. Aku tidak melihat mas Adit dimanapun. Dia tidak datang. Untuk pertama kalinya mas Adit melewatkan momen penting bagiku.

Aku kembali ke belakang panggung dengan menunduk lesu. Dadaku sesak luar biasa.

Aku kecewa.

Sedih.

Marah.

Dan aku tidak tahu bagaimana melampiaskannya. Mas Adit benar-benar melupakanku.

Beberapa jam kemudian.

Akhirnya pengumuman pemenang pun diumumkan. Aku dipilih sebagai pemenangnya. Namun rasanya biasa aja. Buat apa aku menang jika mas Adit tidak melihatnya ?

Aku memaksakan tersenyum di depan semua orang. Apalagi Ayah, bunda, mas Felix dan mbak Alana terlihat bahagia di kursi penonton.

Mereka melambaikan tangan kearahku. Aku balas memamerkan piala yang ku dapat ke arah mereka.

"Selamat ya sayaang. Ayah bangga sama kamu." Ayah memeluk sambil mengecup dahiku dengan sayang.

"Anaaak bunda. Kemarilah. Bunda bangga sekali sama kamu." Bunda menangkup pipiku lalu mengecup pipi kanan dan kiriku.

"Selamat sayaang. Mas bangga sekali sama kamu." Mas Felix juga memelukku lalu mengecup dahiku dengan sayang.

"Selamat ya dek. Kamu memukau sekali malam ini." Mbak Alana menyalamiku lalu mengecup pipi kanan dan pipi kiriku.

"Sekarang mana hadiah buat Dara ?" Aku mengulurkan tanganku seperti bocah yang meminta permen.

Mereka semua sontak tertawa.

"Dara."

Aku menegang seketika. Suara itu.

Aku menghela napas lalu menoleh ke asal suara. Aku melihat mas Adit disana dengan tatapan merasa bersalah.

"Selamat ya. Kamu memenangkan perlombaannya. Maaf mas telat." Ucapnya pelan.

"Makasih." Ucapku datar.

"Yah, ayo pulang. Dara capek." Aku merengek sama ayah. Aku tidak mau berlama-lama di dekat mas Adit. Aku takut tidak bisa mengontrol perasaanku dan berakhir dengan bodoh dihadapan mereka semua.

"Yah, Dara semobil sama Adit aja ya." Pinta mas Adit kepada ayah.

Ayah menganggukkan kepalanya.

"Yaah..." protesku.

"Kamu sama Adit aja, gak baik marah-marahan gitu." Tegur ayah.

"Siapa yang marahan sih yah ? Dara cuma pengen semobil sama ayah."

"Kalau gak marahan kenapa gak mau semobil sama Adit ?."

Aku diam. Tidak tau harus menjawab apa lagi.

"Dit, hati-hati nyetirnya." Ayah menepuk pelan bahu mas Adit.

"Iya yah."

Dengan sangat terpaksa akhirnya aku berada di dalam mobil mas Adit. Aku mengarahkan pandanganku keluar jendela, terlalu malas untuk melihat mas Adit.

"Daraa. Mas minta maaf. Mas benar-benar ada keperluan tadi."

Aku mengabaikan ucapan mas Adit.

"Jangan kekanak-kanakkan gini dong. Mas janji, jadwal libur mas minggu ini buat kamu. Kita akan jalan-jalan. Kemanapun kamu mau." Bujuknya lagi.

"Dara gak mau kemana-mana." Ucapku ketus.

Mas Adit menghela napasnya. Setelah itu dia tidak berbicara lagi.

Aku semakin sedih. Cuma segitu saja cara mas Adit membujukku. Benar-benar menyebalkan.

"Mas dari mana ?" Tanyaku. Sungguh aku penasaran sekali.

"Mas dari rumah Hana. Sheila tidak berhenti menangis. Dia ingin bermain sama mas."

Aku merasakan ribuan jarum menusuk jantungku mendengar jawaban mas Adit.

"Jadi dia lebih penting sekarang." Ucapku lirih.

Mas Adit mengenggam tangan kananku, namun aku segera menariknya.

"Maaf. Sheila masih kecil. Mas gak tega menolak permintaannya."

"Mas yakin cuma karena Sheila ? Bukan karena mbak Hana ?"

"Maksud kamu ?"

"Mas ada hubungan apa sama mbak Hana ? Kalian pacaran."

"Omongan kamu mulai ngelantur. Istirahatlah. Besok kita bicarakan lagi."

"Kenapa mas ngelak ? Mas benar-benar pacaran ya sama dia ?" Aku masih saja menuntut jawaban dari mas Adit.

"Dek, udah jangan dilanjutin lagi."

"Kenapa ? Kenapa mas gak jujur aja ? Dara...Dara cinta sama mas Adit." Akhirnya 3 kata sakral itu keluar juga dari bibirku. Aku memejamkan mataku menahan sesak di dada.

Mad Adit sontak menginjak pedal rem.

"Kamu bilang apa tadi ?" Mas Adit menatapku dengan tatapan tajam.

"Dara cinta sama mas Adit." Ucapku lirih.

"Kamu sadar dengan yang kamu katakan ? Kamu itu adik mas."

"Kita bukan saudara kandung mas."

"Sama saja. Mas udah nganggap kamu sebagai adik mas sendiri." Mas Adit mengusap wajahnya kasar. Dia terlihat sangat shock.

"Tapi Dara benar-benar cinta sama mas Adit." Ucapku sedikit terisak.

"Lupakan perasaan kamu."

Hanya itu. Ya, hanya itu yang dikatakan mas Adit. Namun mampu membuat hatiku hancur lebur seketika.

Tega sekali mas Adit mengatakan itu.

Bersambung ~


0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea