MY SUNSHINE

Oleh NindyKornelia

-Adara Fredella Ulani-

"Astaga Nay, lo yakin gue cocok gini ? Roknya terlalu ketat menurut gue."

Aku berdiri di depan cermin besar yang ada dirumah Naya. Mematut diri di depan kaca.

Aku sedang menggunakan atasan pas badan berwarna maron dengan model lengan yang terbuka dibagian bahunya. Untuk bawahan aku menggunakan rok span berwarna hitam yang jatuh di atas lututku.

"Cocok kok, lo jadi tambah cantik. Rambut lo digerai aja. Oke ?"

"Tapi gue gak pede. Seriusan deh Nay." Keluhku.

"Lo mau dapetin mas Adit gak ?"

"Ya mau lah. Tapi gue risih banget Nay. Kalau gak berhasil gimana ?"

"Tenang aja. Lo pasti berhasil."

Aku menyerah. Berdebat dengan Naya tidak akan ada habisnya. Aku pun memutuskan untuk tetap menggunakan pakaian pilihan Naya. Siapa tahu memang cara ini berhasil.

Selama ini aku memang terbiasa menggunakan dress seperti bocah belasan tahun atau kalau tidak celana jeans dipadukan dengan kaos biasa. Kecuali saat menari balet, aku tentunya akan menggunakan pakaian khusus menari balet. Sedangkan dirumah, aku hanya menggunakan piyama lengan panjang bermotif bunga-bunga atau tokoh kartun.

"Gih sana berangkat. Bentar lagi jam makan siang." Ujar Kanaya.

Aku mengecek jam di pergelangan tanganku. Benar saja. Setengah jam lagi sudah masuk jam makan siang. Semoga saja nanti jalanan tidak macet.

"Oke. Gue berangkat dulu ya. Doain gue." Ucapku antusias. Aku tidak sabar ingin melihat reaksi mas Adit. Memangnya Hana saja yang bisa berpenampilan dewasa dan sexy.

"Pasti. Hati-hati dijalan. Jangan lupa kabarin gue hasilnya."

"Oke." Aku mengangkat jempolku.

Lalu melambaikan tangan ke arah Naya.

Aku berangkat menuju rumah sakit menggunakan taxi. Untung sekarang sudah ada taxi online. Aku tidak perlu menunggu terlalu lama, karena aku sudah memesannya terlebih dahulu.

Sesampainya di rumah sakit, aku bermaksud mengambil dompet di dalam tas. Namun aku tidak bisa menemukannya.

Astaga.

Sepertinya aku meninggalkannya di rumah Naya.

"Tunggu sebentar ya pak." Ucapku kepada sopir taxi nya.

Aku mendial no telepon mas Adit. Berkali-kali mencoba namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku keluar dari taxi sambil celingak-celinguk. Berharap ada mas Adit diluar.

"Hei, kamu adiknya Dokter Adit kan ? Ada masalah ?" Seseorang mendatangiku. Aku ingat, dia adalah Dokter Vero. Teman seprofesi dengan mas Adit. Mas Adit pernah mengenalkan kami dulu.

"Eh...Mas Vero kan ?" Ucapku ragu.

"Iya, kamu kenapa keliatan bingung gitu." Tanya mas Vero kepadaku.

Aku berfikir sejenak. Haruskah aku meminta tolong kepada mas Vero ? Tapi kalau bukan kepada mas Vero, kepada siapa lagi aku minta tolong.

"Gini mas, dompet Dara ketinggalan di rumah temen. Dara udah nelpon mas Adit tapi enggak di angkat." Keluhku.

"Oh gitu, biar mas yang bayar. Tunggu disini sebentar."

Mas Vero mendekati sopir taxi. Mengambil dompet di kantong celananya lalu memberikan beberapa lembar uang kepada sopir taxi.

"Makasih ya mas. Besok Dara ganti uang mas." Ucapku kepada mas Vero.

"Sama-sama Dara. Gak usah di ganti. Mas ikhlas nolong kamu." Ucapnya sambil tersenyum.

"Dara jadi gak enak sama mas Vero."

"Kalau gak enak dikasih kucing aja." Candanya.

Aku sontak tertawa. "Mas ih. Ada-ada aja."

"Kamu mau menemui Dokter Adit ?" Tanyanya.

"Iya mas."

"Bareng aja kalau gitu. Mas juga mau kedalam."

Aku mengangguk. Kami berjalan beriringan menuju ruangan mas Adit. Mas Vero banyak berbicara sepanjang perjalanan. Dia baik sekali dan lumayan humoris. Aku hampir tidak berhenti tertawa karenanya.

"Mas lebih berbakat menjadi seorang pelawak sepertinya." Ucapku di sela-sela tawaku.

"Maksud kamu mas gak cocok jadi seorang Dokter ?"

"Mungkin." Jawabku sambil menjulurkan lidah kearahnya. Dia balas mengacak rambutku.

"Dara."

Aku sontak berhenti. Mas Adit berhenti didepanku bersama dengan Hana di sampingnya. Mereka terlihat serasi seperti biasanya. Dan aku membenci kenyataan itu.

"Mas Adit." Jawabku pelan. "Mas mau kemana ?" Tanyaku pelan.

"Mas mau makan siang sama Hana."

"Oh."

"Kamu mau ikut mas makan siang ?"

Aku melirik Hana yang masih tersenyum ramah. Aku lantas menggelengkan kepalaku. "Dara mau makan siang sama mas Vero aja."

"Sama Dokter Vero ?" Tanya mas Adit.

Aku mengangguk.

"Iya Dokter Adit. Saya akan makan siang dengan Dara. Sekarang mau keruangan dulu. Ada yang harus saya ambil." Beruntunglah mas Vero menangkap sinyal-sinyal dariku.

"Oh begitu. Silahkan ambil dulu. Saya ingin berbicara sebentar sama Dara."

Mas Adit menarik lenganku. Menjauh dari mas Vero dan mbak Hana.

"Sakit mas." Ucapku. Mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan mas Adit.

"Apa-apaan ini !" Bentak mas Adit. Posisi kami sekarang sudah jauh dari tempat tadi. Dimana mas Vero dan mbak Hana berada.

"Maksud mas Adit apa ?"

"Pakaian kamu. Kenapa memakai pakaian seperti ini. Astaga, rok yang kamu pakai terlalu pendek Dara." Mas Adit menggeram di akhir ucapannya.

"Mas Adit gak suka ya ?" Keluhku.

"Kamu berpakaian seperti ini buat menarik perhatian mas ?"

Aku mengangguk polos.

Mas Adit mengusap wajahnya dengan kasar. "Kamu gila ! Mas gak suka kamu berpakaian seperti ini. Mengerti ?" Ucapnya sedikit membentak.

Aku menunduk. "Kenapa mas suka lihat mbak Hana berpakaian seperti itu."

"Kamu sama Hana itu berbeda Dara. Kamu itu adik mas. Mas gak mau orang-orang melihat kamu berpakaian seperti ini."

"Dara bukan adik mas ! Sampai kapan sih mas bakalan nganggap Dara sebagai adik ? Dara itu cinta sama mas Adit."

"Jangan bikin semuanya menjadi sulit. Sekarang pulang, ganti pakaian kamu."

"Enggak ! Mas mau pergi sama mbak Hana kan ? Pergi saja kalau gitu. Dara juga mau pergi sama mas Vero !" Aku menghentakkan kaki dan beranjak menuju mas Vero.

"Ayo mas, kita per..." belum selesai aku berbicara, mas Adit lebih dulu menyela.

"Maaf Dokter Vero. Saya harus pergi bersama Dara. Hana, maaf lain kali saja makan siangnya."

Mas Adit lalu menarikku menjauh dari mas Vero dan mbak Hana. Aku pun hanya bisa pasrah. Sia-sia saja membantah mas Adit.

***

-Aditya Naufal Agustin-

Aku berjalan cepat dengan menarik tangan Dara. Membawanya menjauh dari orang-orang yang menatapnya dengan pandangan yang tidak kusuka.

Entah apa yang ada dalam fikirannya hingga berani menggunakan rok sependek itu. Roknya bahkan hanya mampu menutupi setengah pahanya saja.

"Mas, tangan Dara sakit." Dia mencoba melepaskan tangannya. Namun sia-sia saja, karena cengkramanku lebih kuat.

Sesampainya di mobil, aku memaksanya untuk masuk. Setelah itu baru aku melangkah ke pintu di sebelah kemudi.

Aku duduk di belakang kemudi. Mencengkram kemudi dengan kuat. Mencoba meredakan emosiku. Sesekali aku memejamkan mata seraya menghela napas berat.

Hening.

Aku masih saja diam lalu melirik Dara yang juga diam. Matanya memerah, mencoba menahan tangis. Dia mengelus tangannya yang tadi ku cengkram.

Rasa bersalah seketika menggelayutiku.

Apa yang baru saja kulakukan ?

Aku memegang tangan Dara yang tadi kucengkram. Ada bekas merah disana. Aku mengelus lalu mengecup bekas merah itu.

"Maaf. Masih sakit ?" Tanyaku dengan nada lembut seperti biasa.

Dara mengangguk. Air mata yang coba ditahannya akhirnya jatuh. Aku langsung membawanya ke dekapanku.

Dia meronta-ronta, memukul dadaku dengan kedua tangannya. "Mas Jahat !" isaknya.

Aku mendekapnya dengan erat. Mengelus punggungnya sambil sesekali mengecup puncak kepalanya.

"Jangan menangis. Mas minta maaf. Mas gak suka kamu memakai pakaian seperti ini." Ucapku. Sungguh aku tidak suka melihat orang-orang menatap ke arah pahanya.

"Kenapa ? mbak Hana juga memakai pakaian seperti ini. Lalu kenapa mas suka ?"

Aku melepaskan Dara dari dekapanku, memegang kedua bahunya dan menyuruhnya menatapku.

"Memangnya mas pernah bilang kalau mas menyukai Hana ?"

Dia menggeleng. "Tapi mas selalu bersamanya akhir-akhir ini."

Aku menghela napas. Dia selalu saja begitu. Mengambil kesimpulan sendiri.

"Hana cuma temen mas. Harus berapa kali mas bilang sama kamu."

"Maaf." Ucapnya sambil menunduk.

"Sudahlah. Lupakan. Jangan berpakaian seperti ini lagi. Oke ?"

Dia mengangguk.

"Good girl." Aku mengacak rambutnya pelan.

Aku mulai menghidupkan mesin mobil lalu melajukan mobil dengan kecepatan sedang.

Aku memberhentikan mobil di sebuah butik terdekat. Aku ingin membelikan Dara baju ganti.

"Ayo turun." Ajakku.

"Kita ngapain disini kak ?" Tanyanya dengan raut wajah bingung.

"Beliin baju buat kamu."

Aku turun, lalu melangkah masuk ke dalam butik. Diikuti oleh Dara yang berjalan di belakangku.

Didalam butik aku langsung memilih sendiri baju yang sesuai untuk Dara. Aku tidak mau dia bersikap bodoh lagi dan berakhir dengan memilih baju yang lebih sexy lagi.

"Pake ini." Aku memberikan sebuah dress motif bunga-bunga berwarna biru muda. Lengannya pendek. Dan dalamnya juga di bawah lutut Dara.

Dara menurut. Dia melangkah ke ruang ganti. Sedangkan aku menunggu sambil duduk di bangku yang disediakan di butik ini.

Beberapa saat kemudian, Dara keluar dengan menggunakan dress yang kuberikan tadi. Sesuai ekspektasiku. Dress itu cocok sekali untuknya.

Aku lalu membayar ke bagian kasir butik. Lalu melangkah keluar butik masih diikuti oleh Dara dibelakangku.

Bersambung ~



0 comments:

Post a Comment

 

sikunin Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea